Share

Bab 2

Author: Lakmus
"Aku benar-benar nggak mengerti kenapa dulu aku mengizinkan Riko menikah dengan pembawa sial sepertimu! Kamu berhenti kerja, apa kamu berencana hidup santai, malas, dan menunggu Riko menanggung semua bebanmu?" ucap ayah mertuaku dengan suara yang keras.

"Bahkan pekerjaan sebaik itu saja tidak bisa kamu pertahankan. Apa lagi yang bisa kamu lakukan? Kalau dari awal kami tahu kamu seburuk ini, sudah pasti kami nggak akan membiarkanmu masuk ke keluarga ini!"

"Sekarang Erni sedang lemah dan perlu banyak biaya untuk dirinya dan anak itu. Bukannya membantu meringankan beban Riko, kamu malah menambah masalah. Apa pantas istri bersikap seperti itu?" timpalnya lagi.

Mendengar semua itu, aku hanya merasa konyol.

"Lalu bagaimana dengan Riko? Saat aku sedang studi lanjut, dia justru menghamili perempuan lain. Apa suami seperti itu pantas disebut baik?" sahut aku.

"Nisa, cukup! Semua ini juga demi kebaikanmu!" bentak Riko.

Riko mengernyitkan alisnya dan menatapku dengan pandangan yang dingin.

"Karena kamu nggak bisa melahirkan, aku meminta Erni melahirkan anak untukmu. Aku cuma mau kamu merasakan bagaimana menjadi seorang ibu. Kenapa kamu nggak bisa mengerti ketulusanku?"

"Lagian, ini cuma bayi tabung. Bukankah ini hal yang saling menguntungkan? Keinginan Erni untuk menjadi seorang ibu terpenuhi sebelum dia meninggal, dan kamu pun bisa memiliki anak tanpa harus merasakan sakit. Aku benar-benar nggak tahu apa yang membuatmu marah!"

"Kalau bukan karena Erni dua tahun lalu menyelamatkanku dalam kecelakaan mobil, aku sudah mati. Orang tuanya juga sudah tiada dan sekarang dia divonis kanker stadium akhir. Dalam waktu dekat, nggak akan ada lagi orang yang mengingatnya."

"Sebagai sesama perempuan, apa nggak seharusnya kamu bersimpati padanya? Kenapa terus menyalahkannya? Atau di matamu aku cuma lelaki kotor dan keji?"

Erni menggenggam tangan Riko dengan wajah penuh rasa iba, lalu menatapku sambil berkata,

"Kak Nisa, tolong jangan marah lagi, ya. Semua ini salahku. Aku janji, mulai sekarang aku nggak akan lagi muncul dalam hidup kalian. Tapi, kumohon, jangan sampai hubungan kalian rusak karena aku."

Melihat keempat orang di hadapanku yang jelas sudah berdiri di pihak yang sama, aku hanya bisa tertawa dalam hati. Ternyata, inilah yang disebut keluarga sejati.

Saat itu, Riko tiba-tiba berbicara dengan suara dingin dan tegas, "Nisa, kesabaranku juga ada batasnya. Kalau kamu berani menyakiti Erni tanpa alasan lagi, jangan salahkan aku kalau aku bersikap keras!"

"Kalau kamu masih mau hidup bersamaku, berhentilah membuat keributan. Di pesta syukuran satu bulanan bayi minggu depan, aku akan mengakui di depan seluruh keluarga dan teman kalau kamu adalah ibu dari anak ini."

Minggu depan?

Aku melirik sekilas bayi yang sedang tertidur di kereta dorong. Minggu depan aku akan berangkat ke luar negeri. Namun, sebelum pergi, aku tidak keberatan memberi mereka sebuah kejutan yang tidak akan pernah mereka lupakan seumur hidup.

Aku menatap mereka tanpa ekspresi, lalu mengangguk sambil berseru, "Baiklah."

Setelah itu, tanpa memedulikan reaksi mereka, aku berbalik menuju kamar untuk mulai berkemas. Lantaran sudah memutuskan pergi untuk selamanya, aku tidak ingin meninggalkan sedikit pun jejakku di rumah ini.

Suara tawa dari ruang tamu terdengar samar di balik pintu. Tanganku yang sedang melipat pakaian sempat terhenti sejenak.

"Erni, anak ini kita beri nama Rierni Fosa saja, ya? Nama ini bisa selalu mengenang Erni. Jadi, meskipun nanti dia memanggil orang lain sebagai ibu, dia nggak akan melupakanmu, ibu kandungnya yang sebenarnya."

Meskipun aku tidak melihatnya langsung, aku bisa membayangkan wajah Riko yang penuh kasih saat mengucapkan kalimat itu. Sementara hatiku sudah lama dibuat hancur olehnya.

Aku teringat bulan lalu, saku buru-buru pulang membawa oleh-oleh yang kubeli khusus untuknya dari luar negeri. Namun, di depan pintu rumah, aku justru melihat Riko berjalan beriringan sambil bergandengan tangan dengan Erni.

Berbeda dengan wajah panik Riko, Erni justru menatapku dengan bingung, lalu bertanya seolah-olah aku orang asing yang sedang tersesat, "Apakah kamu nggak salah rumah? Ini rumahku."

Aku tidak mengatakan sepatah kata pun, hanya menatap perutnya yang sudah membesar dengan pandangan kosong. Sepuluh bulan aku pergi, tetapi suamiku membawa kekasih lamanya tinggal di rumah kami dan perempuan itu bahkan sedang mengandung.

Apa yang telah terjadi selama waktu itu sudah terlihat jelas tanpa perlu dijelaskan. Hingga akhirnya, Riko yang tampak panik berdiri di depan Erni dan berkata, "Ini istriku, Nisa Yusad."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kukira Dia Cinta, Ternyata Pemberi Luka   Bab 11

    Aku tidak mengalami luka serius, tetapi Peter terkena ledakan dan satu kakinya cedera.Karena merasa bersalah, aku memutuskan untuk menebusnya dengan seluruh hidupku dan berjanji akan merawatnya seumur hidup.Awalnya, aku memang bersama Peter dengan niat untuk menemaninya dan menebus kesalahanku. Namun, seiring waktu berlalu dan kami terus berinteraksi, perlahan-lahan aku mulai memahami isi hatiku sendiri.Kelembutannya, kesabarannya, ketulusannya, dan pengertiannya yang mendalam membuat hatiku yang dulu beku perlahan menjadi hangat kembali. Aku sadar sepertinya aku kembali memiliki kemampuan untuk mencintai seseorang lagi.Dengan dorongan dan bantuan rekan-rekan kerja, aku akhirnya menerima Peter sepenuh hati.Kami menjadi sepasang kekasih dalam arti yang sesungguhnya dan berjanji untuk saling setia sampai menua.Aku pikir, mungkin Tuhan merasa iba melihat aku yang selama ini sendirian, sehingga Tuhan menghadirkan takdir baru tepat di genggamanku. Karena itu, kali ini aku bertekad unt

  • Kukira Dia Cinta, Ternyata Pemberi Luka   Bab 10

    Aku menatapnya dengan dingin, setiap kata keluar dari mulutku dengan penuh ketegasan."Aku nggak mungkin kembali pada cinta yang sudah berlalu, apalagi kembali cuma untuk menjadi pengasuh gratis untukmu dan anakmu. Jadi, lupakan saja," ucapku.Mata Riko memerah. Dia membuka mulut seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun, sebelum sempat bersuara, aku sudah lebih dulu berkata, "Aku masih ada urusan. Tempat ini berbahaya, sebaiknya kau cepat pulang saja."Selesai berbicara, aku berbalik menuju perkemahan.Dari belakang, suara Riko kembali terdengar."Nisa, kalau kamu nggak mau pulang, aku juga nggak akan pergi. Aku akan tetap di sini menemanimu. Saat semua hal yang mau kau lakukan sudah selesai, aku akan ikut pulang bersamamu," teriak Riko.Aku sama sekali tidak menoleh, bahkan tidak berniat menjawab apa pun. Namun, belum sempat aku melangkah jauh, kudengar dia menerima panggilan telepon. Sepertinya dari rumah sakit di dalam negeri."Apa katamu? Erni meninggal? Aku segera pulang! Kalian har

  • Kukira Dia Cinta, Ternyata Pemberi Luka   Bab 9

    Jadi, sekarang, untuk apa Riko bersusah payah datang mencariku lagi?Memikirkan hal itu, aku sedikit gugup dan tidak nyaman. Aku mendorongnya menjauh dengan wajah datar."Riko, kita sudah bercerai," ujarku.Mendengar itu, mata Riko memerah makin berat, suaranya serak dan bergetar."Nisa, jangan dorong aku, kumohon. Aku sudah menyusuri semua bandara, bertanya ke setiap petugas, baru akhirnya bisa menemukanmu di sini …. ""Kamu tahu nggak, selama satu bulan kamu pergi, banyak hal yang terjadi. Ibuku … dia sudah meninggal," pungkas Riko.Aku tertegun. Aku tidak pernah terpikir kalau ibu Riko sudah tiada.Selagi aku masih diam membeku, Riko terus berbicara dengan suara penuh penyesalan."Nisa, maaf … dulu kami semua nggak percaya padamu, kami pikir kamu berbohong. Tapi yang berbohong sebenarnya adalah Erni!""Dia pembohong! Dia sama sekali nggak mencari dokter ahli yang kamu sebut. Penyakit ibuku justru makin parah. Andai saja waktu itu kami mendengarkanmu dan menemui dokter yang tepat, mu

  • Kukira Dia Cinta, Ternyata Pemberi Luka   Bab 8

    Riko menunduk dan diam tanpa berbicara sepatah kata, tampak seperti anak kecil yang baru saja melakukan kesalahan. Namun, suara marah ayahnya membuat bayi di pelukannya terkejut dan menangis keras.Tangisan bayi itu membuat ayah mertua makin kesal. Dengan wajah murka, dia menaruh bayi itu di kursi plastik di sampingnya sambil berseru, "Menangis apa lagi! Siang malam kerjanya cuma nangis! Orang bisa mengira kita melahirkan seorang tuan besar kalau begini!""Riko, itu anakmu, kamu yang tenangkan sendiri!" ucap ayah mertua ketus.Namun, Riko sudah tidak sanggup lagi memperhatikan apa pun. Dia perlahan mengeluarkan ponsel, berusaha meneleponku. Mungkin hanya aku yang bisa menghubungi dokter ahli tersebut untuk melakukan operasi.Akan tetapi, panggilannya tidak pernah tersambung karena saat itu aku sudah berada di pesawat yang menuju luar negeri. Di dalam pesawat, aku bersandar di jendela, memandangi pemandangan di luar yang perlahan menjauh, hingga dorongan kuat membawa pesawat menembus la

  • Kukira Dia Cinta, Ternyata Pemberi Luka   Bab 7

    Akhirnya, Riko hanya bisa menatap punggungku yang menjauh meninggalkan mereka dengan tegap. Dia berpikir bahwa dirinya masih ada waktu untuk berbicara baik-baik lagi setelah semua ini reda. Lagi pula, selama dia menolak menandatangani surat cerai, hubungan kami tidak akan benar-benar putus.Dengan berpikir seperti itu, Riko pun merasa sedikit tenang. Namun, dia tidak tahu. Sejak dia dan Erni memiliki anak, sejak dia mengkhianati perasaan kami, kami tidak mungkin bisa bersama lagi.Setelah aku pergi, Riko dan rombongannya yang panik langsung membawa Erni ke rumah sakit. Namun, di perjalanan, ibu mertua justru mengalami sesak akibat gejolak emosi dan asmanya kambuh lagi. Wajah ibu mertua memucat, bibirnya kebiruan, dia mencengkeram tangan Riko sambil tersengal meminta pertolongan."Riko … tolong … Ibu sangat sesak …." pinta ibu mertua.Di sisi lain, Erni juga menutup dahi, memegangi pakaiannya dengan napas yang tersengal sambil berseru, "Riko … aku kesulitan bernapas … sepertinya aku ngg

  • Kukira Dia Cinta, Ternyata Pemberi Luka   Bab 6

    "Kamu mau apa? Aku peringatkan, jangan asal bicara atau aku nggak akan melepaskanmu!" ancam Riko kepadaku.Wajah Riko tampak panik. Dia menarik ujung lenganku dan memperingatkanku dengan suara rendah, tetapi aku menepis tangannya tanpa menoleh sedikit pun.Kalau memang tidak melakukan hal memalukan, kenapa harus takut saat kebenaran terpampang di depan mata?Aku menarik napas perlahan, lalu berbicara dengan tenang di hadapan semua orang, "Pertama-tama, aku ingin berterima kasih kepada semua kerabat yang sudah datang jauh-jauh untuk menghadiri pesta satu bulanan hari ini.""Sebagian besar dari kalian juga menjadi saksi saat aku dan Riko melangkah ke pelaminan beberapa tahun lalu. Selama ini, aku selalu mengingat doa dan restu dari kalian. Tapi, tadi saat kalian masuk, seharusnya juga sempat melihat foto keluarga yang terpajang di pintu."Begitu aku mengucapkan itu, wajah Riko sontak berubah. Dia bergegas menghampiriku dengan wajah yang masam, lalu mencoba merebut mikrofon dari tanganku.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status