Share

4. Saran dari Siti

"Kamu kenapa melamun dari tadi, Li?" Siti bertanya saat kami duduk di kursi belakang konter sembari menanti pelanggan. Jam segini memang waktu-waktu yang sepi pembeli. Kami jadi bisa duduk sambil berbicara berdua.

"Ada yang mengganggu pikiranku, Ti. Tapi, aku gak mau mengikuti kecurigaanku." Kuembuskan napas panjang-panjang. "Nanti malah kesannya jadi suudzon."

"Tentang apa?"

Kupandangi Siti. Meski aku mengenal Siti adalah sosok yang amanah dan agamis, tapi aku masih ragu untuk mengungkapkan segala isi hatiku padanya. Tapi jika dipikir lagi, apa aku sanggup memendam rasa ini sendirian?

"Tentang Mas Arman." Akhirnya aku menyerah. Kupikir aku butuh teman berbagi dan meminta pendapat.

"Tentang pekerjaan lagi?"

Aku menggeleng. "Bukan. Aku curiga dia main belakang dengan sepupuku. Kemarin, Nurul cerita Mas Arman dan sepupuku itu sering berduaan di rumah. Sedangkan anakku sering disuruh main keluar, kayak sengaja diusir sebentar." Aku mengembuskan napas, lagi.

"Ya Allah. Nanti jadi fitnahan tetangga, lho. Udah kamu tegor suamimu itu?"

Aku mengangguk. "Udah. Dia malah marah. Katanya aku terlalu curigaan."

"Kalo gak begini aja. Kamu pesenin ke Nurul, Li. Lain kali kalo Nurul disuruh pergi ke luar rumah jangan mau. Suruh tetap di dalam aja. Dengan alasan ingin nonton TV atau ngerjain tugas sekolah." Siti menyarankan.

Saran Siti masuk akal juga. Sepertinya itu jalan yang terbaik. Tapi, bagaimana dengan Mas Arman? Dia masih marah padaku perihal perkara obrolan kami tadi malam. Subuh tadi, saat aku membangunkannya untuk Sholat Subuh, dia tidak menyahut. Padahal aku tahu dia sudah bangun.

"Makasih, ya, Ti. Beban pikiranku agak berkurang sekarang." Ucapanku tulus, sembari tersenyum padanya.

"Tau, gak, Li. Sebenarnya aku mau ngomongin ini ke kamu sejak lama." Siti nyengir.

"Tentang apa?" Kini gantian aku yang penasaran.

"Bos kita."

"Koko Kevin?" Alisku berkerut.

"Aku udah lama meratiin. Dia sering curi-curi pandang sama kamu."

"Ah, gila. Sembarangan kamu. Jangan ngomong yang aneh-aneh, Ti. Gak enak didengar orang."

"Sumpah, Li. Tau gak tempo hari pas kamu nungguin angkot, Koko kayak nungguin kamu di dalam mobilnya. Dia pergi setelah kamu dapat angkot. Mungkin dia mau kasih tumpangan kalo kamu gak nemu-nemu angkot."

Aku berdiri dan menggeleng, bersiap menyambut pelanggan yang berjalan mendekat ke arah toko kami. "Jangan bahas, ah, Ti. Gak pantes. Aku ini istri orang." Kulirik Siti yang wajahnya berubah menjadi tak enak, seperti orang yang menyesal karena telah salah bicara. Aku segera mengembang senyum, agar dia tidak merasa bersalah.

"Permisi, Mbak. Jual ini, gak?" Ibu-ibu berbaju merah mendekat, memperlihatkan layar ponselnya.

"Oh, ada, Bu. Tunggu sebentar, ya." Aku berjalan ke rak paling ujung, meraih benda yang dicari ibu-ibu tersebut lalu menyerahkan padanya. Dia mengecek dan mengangguk, lalu memberiku sejumlah uang pas sesuai dengan harga yang tertera di kotak barang tersebut.

"Mau kantong plastik, Bu?" tawarku.

"Gak usah, Mbak. Biar saya masukin tas aja." Wanita itu kemudian pergi berjalan menjauh.

"Makasih, ya, Bu," kataku meski tak ada balasan darinya.

~AA~

Ah, ada apa, sih, dengan angkot beberapa hari ini? Sudah satu jam aku berdiri menanti kedatangan kendaraan umum itu. Jari-jari kaki di dalam sepatu kurasa sudah kesemutan. Ck!

Mobil sport Koko Kevin berhenti tepat di hadapan. Kaca jendelanya terbuka perlahan. Wajahnya melongok dari dalam. "Ayo, sekalian, Lia. Saya juga mau ke arah sana."

Aku ragu, malah menggaruk kepala yang tak gatal. Namun, aku lebih merasa tak enak jika menolak apalagi sampai bosku itu menunggu lama.

Aku melangkah mendekati mobilnya. Kuraih pegangan pintu, menariknya hingga terbuka. Setelah duduk, kututup dan memasang seltbet. Aroma pewangi mobil berpadu dengan parfum maskulin Ko Kevin menguar menusuk indera penciuman. Mobil kemudian mulai berjalan dikendarai pemiliknya.

"Kamu tiap hari naik angkot?"

"Iya, Ko."

Hening.

"Kayaknya sopir-sopir angkot pada demo. Saya gak ngeliat mereka melintas sejak tadi."

"Iya." Aku kikuk. Sebab baru kali ini mengobrol secara pribadi dengan bos tempatku bekerja ini.

Koko Kevin, yang kutahu pria single keturunan Tionghoa berusia 30. Dia punya beberapa cabang toko di kota ini. Pria berpostur tinggi ini mampir ke toko di mana aku dan Siti sebagai pekerjanya, hanya di hari Sabtu saja.

"Saya turun di gapura itu aja, Ko." Aku menunjuk ke arah gapura simpang tiga tempat biasa angkot menurunkanku.

Namun, Koko Kevin membelokkan mobil dan memasuki gapura. "Saya antar sampai rumah," katanya.

"Aduh, jadi ngerepotin." Aku menelan ludah.

"Gak apa-apa. Santai aja." Dia tersenyum. Ya ampun. Aku pikir Koko Kevin seorang bos yang dingin lantaran karena dia jarang berbicara pada kami jika di toko. Untuk pertama kalinya kulihat dia tersenyum, dan itu manis. Menurutku.

~AA~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status