Share

5. Digerebek Warga

Mobil Koko Kevin terus melaju perlahan melewati jalan aspal menuju rumahku. Kali ini aku pikir suasananya terlihat agak berbeda. Sepanjang jalan yang kami lalui, kini lebih banyak orang-orang duduk di tepi jalanan. Ada juga sebagian dari mereka yang berdiri. Mereka seperti sedang membicarakan sesuatu. Semakin mendekati rumahku, semakin banyak yang bergerombol sembari menatap ke satu arah, yakni tujuan kami.

Di pekarangan rumahku, ternyata sudah penuh sesak oleh para tetangga yang berkerumun.

Apakah orang-orang yang kulihat sepanjang jalan tadi, membicarakan kerumunan ini? Ada apa, ya? Mengapa tetanggaku pada berkerumun? Seketika aku menelan ludah, gugup. Feeling-ku mengatakan ada sesuatu perkara buruk yang telah terjadi.

"Terima kasih, ya, Ko. Itu rumah saya," kataku menunjuk rumah yang pintunya menganga terbuka.

"Kok rame? Kamu ada acara?" Ko Kevin ternyata merasakan perasaan heran juga, sama sepertiku.

Aku menggeleng. "Saya juga gak tau, Ko." Tergesa-gesa kubuka pintu mobil, setengah menunduk pada Ko Kevin, lantas kututup lagi pintu mobilnya.

"Ibu! Ibu!" Nurul berlari ke arahku sembari menangis. Sontak warga yang berkumpul memalingkan wajah menatap ke arahku.

"Ada apa, Nak? Kok orang-orang berkumpul di rumah kita?" Kuusap-usap kepala Nurul dalam pelukan. Kupindai wajah tetangga satu demi satu.

"Ayah, Bu. Sama Bude Yuli." Nurul memiringkan kepalanya, menatap ke arah rumah.

Bu Rahmi, tetangga persis depan rumah yang kebetulan ibunya Rodiyah temannya anakku, melangkah mendekat dan meraih pundak Nurul. "Nurul, ke rumah Ibu dulu, yuk. Rodiyah sendirian di dalam. Tolong temani dia di sana."

Bu Rahmi lalu menatapku dengan sorot mata yang tak bisa kutebak. "Masuk dulu ke dalam, Li. Liat apa yang terjadi. Udah ada Pak RT sama beberapa warga di dalam." Bu Rahmi membalik badan dan membawa Nurul bersamanya.

Hatiku berdetak tak enak. Aku melangkah menyibak kerumunan. Telingaku mendengar tangisan Mbak Yuli saat kakiku menginjak lantai teras. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum memutuskan masuk ke rumah.

"Akhirnya Mbak Lia pulang juga." Pak RT yang duduk di ruang tamu, berdiri menyambutku.

"Ada apa, ya, Pak RT? Kenapa rumah saya dikepung warga begini?"

"Mari kita bicarakan di dalam, Mbak."

Aku melanjutkan langkah. Di ruang keluarga, Mbak Yuli masih terus menangis dan di sebelahnya Mas Arman menunduk dalam diam.

"Kami memergoki Mas Arman dan Mbak Yuli sedang melakukan hal yang tidak senonoh, Mbak."

Aku mematung. Akhirnya apa yang kutakutkan terjadi. Kupandangi mereka berdua, tapi orang yang kutatap tidak berani memalingkan wajah dan membalas tatapanku.

"Bikin sial daerah sini aja!"

"Emang dasar gak tau malu!"

"Bini kerja, lakinya malah asyik-asyikan mesum sama perempuan lain!"

"Ini juga. Yang cewenya gatal gak tau diri. Laki sodara aja diembat!"

Masih banyak umpatan-umpatan lain yang terdengar setelah penjelasan dari Pak RT barusan. Malah kulihat ada beberapa warga yang berusaha melayangkan tamparan dan tendangan ke mereka berdua, tapi berhasil dicegah oleh warga yang lain.

"Jadi, gimana Mbak Lia? Saya menunggu keputusan dari Mbak terlebih dahulu."

Aku mengembuskan napas. "Saya serahkan hal ini pada warga aja, Pak. Saya nyerah. Saya udah pernah ngingatin Mas Arman, tapi dia mengabaikan."

Mas Arman mendongak, menatapku.

Aku melangkah ke kamar, lantas meraih tas koper di atas lemari. Aku mengisinya dengan baju-baju milikku dan juga Nurul. Aku akan membawa barang-barang yang penting dulu. Sisanya bisa menyusul kemudian.

Biarlah Mas Arman menyelesaikan masalahnya sendiri. Dia sudah dewasa dan juga seorang laki-laki. Jika aku tak pergi dari rumah ini, kutakutkan Nurul akan trauma setelah kejadian hari ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status