Share

Bab 7. Hampir Celaka

"Mamaaa…" 

Suara lantang Abimanyu, membuat Zahera tersenyum. Sejak pulang dari restoran dan mengobrol banyak dengan Zio, Zahera kembali dibuat patah hati dengan kenyataan masa lalu sang suami. 

Tabiat buruk Sanjaya ternyata memang sudah terjadi sejak mereka belum menikah. Dan salah satu korbannya adalah Zia, adik perempuan pengacara Zio yang saat ini sudah menetap di luar negeri bersama keluarga barunya. Bahkan tadi, Zahera juga sempat mengobrol dan diceritakan langsung oleh Zia melalui sambungan telepon. 

Sebenarnya Zahera tidak mau membawa cerita masa lalu suaminya ke masa yang sekarang. Hanya saja, jika kelakuan buruk di masa lalu masih dilakukan berulang di masa sekarang, Zahera jadi menyangsikan apakah suaminya bisa berubah di masa mendatang ataukah tidak.

"Abi gimana sekolahnya, Nak?" 

Zahera menekuk kakinya dan berlutut supaya badannya sejajar dengan tinggi Abimanyu. Mengesampingkan kegundahan hatinya saat ini demi terlihat baik-baik saja di depan anaknya. 

"Seyu, Ma! Abi walnai gambal semal sama bu guyu." 

"Oh ya? Nanti mama kasih lihat gambar semarnya ya?" 

"Gak bisa, Mama. Gambalnya udah dikumpul ke bu guyu." 

"Oh gitu. Yaudah gak apa-apa. Sekarang kita pulang ya?" 

"Oke, Mama." 

Zahera menggandeng putranya yang riang sepulang sekolah. Keceriaan Abimanyu sedikit banyak mulai menular kepadanya karena sejak di depan kelasnya tadi, Abi berceloteh banyak tentang kegiatannya di sekolah hari ini. 

Begitu masuk ke dalam mobil, sebelum sempat menjalankan mesin mobil, ponsel Zahera berdering dan memperlihatkan panggilan video dari Sanjaya. Karena tidak mau membuat curiga anak dan suaminya, Zahera pun lekas menerima panggilan tersebut. 

"Ma, sudah jemput Abi di sekolah kan? Abi mana? Papa mau ngobrol dong kayak biasanya." 

Sanjaya begitu hafal jam pulang sekolah anaknya. Dia menghubungi Zahera untuk mengobrol dengan anak semata wayangnya. Sudah menjadi kebiasaan mereka jika Sanjaya sedang dinas di luar kota atau luar pulau, maka jam segini dia akan menelepon anaknya. 

"Sudah, Pa. Ini," ujar Zahera memberikan ponselnya kepada Abimanyu. 

"Hayo, Papa…" 

Zahera membiarkan anaknya mengobrol dengan Sanjaya di sambungan telepon. Dia memilih langsung menjalankan mobilnya keluar dari sekolahan menuju kediamannya. 

Zahera tidak memperhatikan obrolan anak dan suaminya. Meski sesekali dia mendengar mereka tertawa riuh tanpa tahu menertawakan apa. Dia juga tidak cukup fokus di jalanan. Pikiran Zahera benar-benar sedang terpecah. 

"MAMA AWAS!" 

Zahera melebarkan kedua bola matanya saat mendadak mendapati sebuah sepeda motor memotong jalan di depannya. Bola mata yang tadi sempat menatap jalanan dengan tatapan kosong kini terbelalak sempurna. Kaki Zahera segera menginjak rem sedalam yang dia bisa. Decitan suara ban mobil yang dipaksa berhenti mendadak memekakkan telinga. 

"Abi! Mama! Ada apa?" seru Sanjaya dari sambungan telepon yang masih ada di dalam genggaman tangan Abimanyu. Menggema bersamaan dengan teriakan histeris Abimanyu yang menutup kedua matanya karena ketakutan. 

"Aaaaaaa!"

Sesaat terjadi keheningan setelah mobil mereka berhasil berhenti. Membuat Zahera menyadari jika dirinya hampir celaka karena tidak memperhatikan jalanan selama berkendara. Dan sialnya saat ini dirinya sedang membawa Abimanyu bersamanya. Zahera tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri jika sampai terjadi sesuatu pada anaknya atas kelalaian tersebut.  

"BRAKK!"

Zahera dan Abimanyu merasakan guncangan mengejutkan yang untungnya tidak sampai membuat mereka berdua terluka. Meski berhasil lolos dari maut karena bisa menghentikan laju mobilnya sebelum menabrak sepeda motor di depannya. Tapi ternyata tidak cukup membuat mereka terhindar dari sundulan mobil yang ada di belakangnya. 

Mengingat Zahera yang berhenti mendadak dari kecepatan tinggi, tentu membuat kendaraan di belakangnya ikut kesulitan menghentikan laju kendaraan secara mendadak. Untungnya tabrakan di bagian belakang mobil Zahera tidak cukup keras untuk membuat mereka terluka. 

"Abi! Mama!" 

Suara di ponsel Zahera yang sudah terlempar ke bawah kaki Abimanyu masih terdengar jelas. Sanjaya terdengar sangat panik hingga memanggil anak istrinya berulang kali. Abimanyu masih syok dan tidak melakukan apapun selain memegangi wajahnya yang hampir terbentur dashboard mobil. Sedangkan Zahera justru sudah tidak tahan untuk melepas tangisannya. 

Perasaan Zahera kacau dan menangis adalah caranya melepaskan emosi untuk saat ini. Namun perhatiannya kembali terganggu oleh ketukan di kaca pintu mobilnya yang terdengar cukup agresif. Zahera sadar jika pria muda yang mengetuk kaca pintu mobilnya tentu saja pemilik mobil yang menabraknya. 

"Abi. Mama keluar sebentar, abi tunggu mama di dalam. Jangan keluar-keluar ya?" pinta Zahera pada Abimanyu sambil membuka sabuk pengaman miliknya sendiri sebelum keluar. 

Abimanyu menurut tanpa bertanya apapun. Membiarkan mamanya menyelesaikan masalah yang tentu saja tidak akan dimengerti bocah seusia Abimanyu saat ini. 

Zahera yang tidak dalam keadaan baik-baik saja, terutama kondisi psikis dan mentalnya, menjadikan dirinya tidak bisa berpikir jernih. Seharusnya saat ini dia meminta maaf karena kelalaiannya membuat mereka semua hampir celaka. Namun yang terjadi justru di luar nalar siapapun. 

Zahera justru bercerita tentang masalah yang mengganggu pikirannya barusan pada orang lain yang jelas tidak dikenalnya. Tapi mungkin memang itu yang saat ini dia butuhkan. Zahera butuh bercerita untuk mengurangi beban pikirannya. Dan bercerita pada seseorang yang tidak dikenalnya dirasa paling tepat olehnya. 

"Sembilan tahun aku menikah. Merasakan kehidupan rumah tangga yang harmonis. Penuh kasih sayang anak dan suami yang sempurna. Tapi ternyata di luar rumah suami yang kubanggakan masih saja menggoda dan tergoda wanita lain. Aku harus gimana? Bertahan? Berjuang? Atau meninggalkan? Semuanya terasa sama menyakitkannya." 

Zahera bercerita dengan menangis sejadinya. Dia sungguh tidak butuh jawaban apapun dari pertanyaannya tersebut. Dia hanya butuh mengeluarkan isi hatinya secara bebas.

"Silakan ke rumah sakit saja. Di sana kamu bisa konsultasi sama ahlinya," desis pria tidak dikenalnya tersebut tanpa ekspresi berlebih. 

Memberikan kartu nama seorang dokter spesialis kejiwaan atau psikiater dari sebuah rumah sakit swasta yang ada di Ibu Kota. Kemudian meninggalkan Zahera yang masih menangis sendirian. 

Sedangkan di dalam mobil, Abi hanya mengamati mamanya yang berlutut di pinggir jalan sambil menangis tanpa tahu apa yang dibicarakan sang mama kepada orang asing di luar mobil. Diambilnya ponsel yang masih tersambung dengan panggilan papanya. 

"Pa," panggil Abi lirih di depan ponsel mamanya. 

"Halo, Nak. Akhirnya kamu jawab papa lagi. Kamu kenapa, Sayang?" 

"Abi gak apa-apa, Pa."

"Sungguh? Terus tadi ada apa? Kenapa ada suara bising dan kamu tadi sempat menjerit kan? Cerita sama papa, Nak!" 

Abi masih diam saja karena bingung menjelaskan kepada papanya. Sanjaya pun masih penasaran dan memilih menanyakan istrinya untuk ditanyai lebih jelas dengan apa yang baru saja terjadi. 

"Mama mana, Sayang? Mama gak apa-apa kan?

"Mama lagi nangis, Pa." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status