"Ma, sebenarnya kamu itu kenapa? Ini pertama kalinya kamu bertingkah ceroboh kayak tadi lho, Ma. Tolong kalau ada apa-apa, kamu bilang sama aku, Sayang. Aku gak mau kalau di belakang aku, ternyata kamu punya masalah dan hadapi masalah itu sendirian. Kamu punya aku, Ma. Aku pasti bantu apapun masalah kamu," bujuk Sanjaya sambil menyuapi Zahera makan malam. Tanpa tahu jika masalah Zahera ada pada dirinya sendiri.
Sejak mendengar dari Abimanyu istrinya menangis tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi, Sanjaya memilih langsung bertolak ke Jakarta dengan penerbangan seadanya. Sehingga malam ini, Sanjaya sudah kembali berada di kediamannya dan merawat istrinya yang sakit. "Maaf," balas Zahera singkat seperti sebelumnya.Sanjaya membuang napas dengan kasar. Dia tidak marah pada kecintaannya. Tidak pernah bisa marah. Sanjaya hanya merasa gagal membujuk Zahera untuk berterus terang dan bercerita seperti biasanya. Sanjaya khawatir pada istrinya.Selama ini Zahera tidak pernah menyembunyikan apapun darinya. Bahkan sebelum diminta untuk bercerita, biasanya Zahera sudah bercerita dengan sendirinya. Dan kali ini, Sanjaya merasa ada sesuatu yang sedang disembunyikan istrinya. "Baiklah kalau kamu belum siap untuk cerita. Aku akan tunggu sampai kamu mau cerita dengan sendirinya." "Makasih, Pa." "Mulai sekarang pakai sopir yang aku siapkan ya, Ma. Jangan nyetir mobil sendiri lagi. Bukan aku gak percaya sama kamu. Cuma aku gak mau kamu dan Abi kenapa-kenapa." "Iya." "Ya sudah, diminum obatnya terus tidur. Biar besok badannya udah enakan." Zahera menurut dan meminum obatnya dengan dibantu Sanjaya. Sanjaya sendiri terlihat sibuk sedang mendelegasikan pekerjaannya yang terpaksa ditinggal begitu saja kepada orang kepercayaannya melalui sambungan telepon. "Kamu handle semuanya dulu ya, Bram. Nanti aku kabarin bisa balik ke Balikpapan lagi kapan. Aku lihat gimana kondisi istriku dulu," ujar Sanjaya sambil menatap Zahera yang terbaring di ranjang. Tepat pada saat itu istrinya juga sedang memandang ke arahnya. Senyum tipis diulas ketika netra mereka berdua saling beradu. Zahera yakin, sampai saat ini dirinya masih menjadi prioritas Sanjaya seperti biasanya. 'Kamu terlalu baik untuk bisa berkhianat padaku, Mas,' ***"Ma, kamu serius udah gak apa-apa?" "Iya, Pa. Aku udah sehat kok. Maaf ya kemarin sempat bikin khawatir." "Gak apa-apa, Sayang. Yang penting kalau ada apa-apa kamu bilang ya?" "Iya, Pa. Aku cuma lagi capek aja kok kemarin itu. Tapi sekarang udah gak lagi. Sudah semangat lagi kayak biasanya." "Syukurlah. Kalau gitu kan aku jadi tenang berangkat kerjanya. Tapi tetap ya? Mulai sekarang gak usah nyetir mobil sendiri. Pakai sopir yang aku kasih aja." "Hm. Ya apa boleh buat? Aku gak bisa nolak kan?" "Kali ini gak bisa, Sayang. Maaf. Aku ambil keputusan ini demi keselamatan kamu juga Abi." "Okay. Aku ngerti."Zahera merasakan usapan lembut di kepalanya. Sanjaya masih sangat perhatian kepadanya. Seperti biasanya. Selama sembilan tahun menikah, perhatian Sanjaya padanya tidak pernah berubah. Justru semakin hari terasa semakin meningkat. "Papa yakin gak mau diantar ke bandara?" "Iya, Sayang. Kamu di rumah aja ya, Ma. Biar aku yang antar sekolah Abi dan langsung ke Bandara. Aku gak mau kamu kecapekan lagi." "Ya udah, kamu hati-hati selama di jalan ya, Pa. Kabarin kalau sudah sampai di Balikpapan lagi." "Siap, Mama sayang." Sanjaya kembali ke Balikpapan karena harus bekerja. Zahera sudah memperlihatkan keceriaan seperti biasanya. Meyakinkan Sanjaya jika dirinya akan baik-baik saja. Zahera mengecek email dan pesan di ponselnya setelah kemarin tidak melakukan apapun karena sakit pasca kecelakaan. Walaupun sebenarnya tidak ada luka di tubuhnya, tapi pikirannya butuh istirahat. Ada beberapa pesan laporan dari Pak Anwar mengenai suaminya selama beberapa jam di Balikpapan kemarin. Zahera segera melakukan panggilan suara untuk mendengar lebih jelas lagi cerita tentang suaminya. "Halo, Pak Anwar?" "Iya, Bu Zahera, ini saya. Bagaimana kondisi ibu hari ini? Apakah sudah baik-baik saja?" "Alhamdulillah sudah sehat kok, Pak. Terima kasih sudah bertanya. Bagaimana dengan investigasi kemarin, Pak? Saya tadi sudah baca laporannya sekilas sih." "Iya, Bu. Kemarin bapak memang sudah sempat berkenalan dengan wanita muda yang kebetulan ditemuinya di restoran saat bapak makan siang. Sudah saling bertukar nomor ponsel juga. Sepertinya wanita itu akan jadi target bapak selanjutnya," terang Pak Anwar yang didengarkan Zahera dengan seksama. "Sebenarnya mereka ada janji ketemuan untuk makan malam di restoran yang sama, tapi dibatalkan sepihak karena bapak langsung pulang begitu mendengar terjadi sesuatu sama ibu," lanjutnya lagi."Jadi saya perlu berbangga diri gak ya pak, karena saya masih jadi prioritas bagi suami saya?" lirih Zahera sambil tertawa kecil. Tidak ada rasa senang dalam tawanya kali ini. Siapapun yang mendengar, mereka pasti akan merasakan kesedihan dalam tawa kecil dari Zahera tersebut. Tidak terkecuali Pak Anwar sendiri. Ini bukan kasus perselingkuhan pertama yang ditangani Pak Anwar dengan timnya. Dia sudah cukup sering menangani hal seperti ini, sehingga cukup peka juga dengan perasaan kliennya."Maaf, Bu." "Gak apa-apa, Pak. Bukan salah bapak. Saya saja yang terlalu baper. Maaf ya." "Baik, Bu." Mereka pun lanjut membicarakan misinya. Pak Anwar mengatakan jika Azam masih mengikuti Sanjaya sejak kemarin, termasuk saat pulang ke Jakarta dan saat ini akan kembali ke Balikpapan. Sedangkan Risti mendapatkan tugas untuk mengikuti wanita muda yang diduga akan menjadi target Sanjaya berikutnya. 'Pantas saja aku habis banyak untuk sewa jasa mereka. Cara kerjanya begini. Semoga saja bukti perselingkuhan Mas Jaya cepat didapat, sebelum uang tabunganku bertahun-tahun habis tak tersisa,' batin Zahera sebelum kemudian dikagetkan Pak Anwar karena ada berita terbaru. "Bu, saya baru saja dapat informasi terbaru dari Azam. Bapak baru saja berkenalan dengan gadis lain di bandara. Bahkan bapak juga membantu tiket pesawat gadis itu untuk di-upgrade dari kelas ekonomi menjadi kelas bisnis biar bisa sebangku sama bapak." "Ada fotonya, Pak? Saya mau tahu gadis seperti apa yang sedang diincar oleh suami saya," gumam Zahera dengan suara tertahan."Ada, Bu. Saya kirim sekarang." "Makasih, Pak." Zahera melihat ke bagian fitur perpesanan di ponselnya. Meneliti gambar dengan degup jantung yang berpacu dengan kencang. Napasnya tercekat saat membuka pesan dari Pak Anwar. Merasa mengenali sosok yang ada di gambar tersebut. "Itu kan…" desisnya lirih hampir tak terdengar."Apa, Bu?" sahut Pak Anwar yang memang panggilannya belum terputus dengan Zahera."Ah, tidak, Pak. Em, apakah misi kita bisa diubah? Sepertinya saya kenal sama gadis itu." "Ah iya. Boleh saja, Bu. Ibu ada rencana apa?" "Jadi begini, Pak…""Ini beneran Mbak Zahera?" "Iya, Alena. Kamu udah lupa sama wajahku? Aku udah kelihatan tua banget ya? Sampai kamu pangling gak percaya begitu aku bilangin." "Bukan tua sih, Mbak. Tapi lebih tepatnya mungkin keliatan makin seksi ya? Padat, berisi," puji Alena yang justru membuat Zahera mendengus. "Mana ada kelihatan seksi cuma dari wajah doang. Bilang aja aku sekarang gendutan," gerutu Zahera yang kemudian mengundang tawa Alena. Sejak melihat foto Alena bersama Sanjaya yang dikirimkan Pak Anwar, Zahera minta dicarikan cara untuk bisa menghubungi gadis itu secara pribadi. Zahera mengenal Alena. Alena pernah magang di tempatnya bekerja dulu saat Alena masih kuliah dan Zahera belum menikah. Sudah lama sekali. Mungkin bisa 10 tahun yang lalu, dan Zahera masih sangat hafal dengan wajah cantik Alena. Mungkin karena dulu mereka juga sudah dekat cukup lama. Sehingga tidak akan sulit bagi Zahera untuk bisa mengenali wajah Alena yang bertambah dewasa. Alena sendiri sebenarnya masih mengen
"Kak, kamu jangan berbuat yang aneh-aneh deh. Kalau cuma mau gugat cerai Mas Jaya, sudah langsung gugat aja. Jangan cari penyakit dengan bikin banyak drama di antara kalian." Belum lama setelah Zahera memutus sambungan panggilan videonya dengan Alena, ponselnya sudah berdering lagi dengan adik laki-lakinya yang menjadi si pemanggil. Tanpa basa basi apapun, Alvino langsung memberikan peringatan keras kepada Zahera. "Kamu ngomong apa sih, Dik?" sentaknya secara spontan.Zahera sedikit terkejut tapi segera ditutupi dengan cara mengomeli adiknya seperti biasa. Ingin bertanya kenapa sang adik bisa bertanya demikian seolah tahu apa yang sedang dilakukannya, tapi kemudian kembali diurungkan karena Zahera merasa sudah tahu jawabannya. "Kamu retas ponselnya, Kakak?" tuduhnya dengan yakin.Alvino memang ahli di bidang itu. Selain kuliah, di luar negeri dia juga punya pekerjaan sampingan sebagai peretas kerah putih. Yang tentu saja tidak banyak yang tahu, kecuali Zahera. Dia tahu akan bakat t
"Kalau gitu libatkan aku pada misi kakak," pinta Alvino saat dirinya tidak berhasil menghalangi niat Zahera untuk membalas dendam pada Sanjaya. Zahera mengiyakan saja meski belum tahu akan melibatkan adiknya pada peran apa. Setidaknya sang adik tidak lagi merongrong ataupun menghalangi niatnya menghancurkan Sanjaya dan merebut hartanya. Zahera sudah memulangkan Azam, Risti dan Gusti dari Balikpapan. Jasa Pak Anwar dan kawan-kawan sementara dihentikan. Selain demi hemat biaya, juga karena Zahera sudah punya rencana lain yang akan dijalankan berdua dengan Alena. Atau boleh juga disebut bertiga dengan bantuan Alvino. "Kak, kamu yakin Alena bisa dipercaya?" "Bukannya kamu bisa selidiki sendiri seperti apa si Alena itu?" "Bisa. Tapi tidak dengan isi hatinya, Kak. Mungkin dia memang orang baik seperti yang kakak bilang. Tapi tidak menutup kemungkinan kalau ujungnya dia bakalan beneran baper sama Mas Jaya. Terus berkhianat pada kita. Kita tau lah gimana hebatnya pesona Mas Jaya bikin c
"Mbak, serius deh. Kayaknya Mas Jaya itu gak tertarik sama aku lho. Soalnya meski dia baik dan perhatian, tapi dia gak ada rayuan-rayuan gombal gitu sama aku. Malah dia itu anggap aku kayak temen dia aja. Terus gak ada bohong apa gitu, Mbak. Dia jujur semua sama aku. Sampai statusnya yang punya istri dan anak aja dia bilang juga sama aku lho, Mbak." Alena langsung curhat pada Zahera begitu selesai makan malam dengan Sanjaya. Untung di saat itu Abimanyu sudah tidur dengan nyenyak di kamarnya. Sehingga Zahera bisa mengobrol banyak dengan Alena. "Dia emang beda, Len. Makanya kamu harus hati-hati. Aku takut justru kamu nanti yang baper sama dia," aku Zahera dengan jujur. "Jujur aja dia emang pinter bikin orang baper, Mbak. Tapi aku kan udah tahu aslinya kayak gimana, jadi pasti bisa lah tahan diri, tahan hati. Cuma kalau insting aku bener nih, dia kayaknya gak tertarik deh sama aku, terus kalau dia malah cari target lain, gimana? Gagal dong rencana kita? Apa aku kudu lebih agresif buat
Hari ini Alena bekerja seperti seharusnya. Misinya dengan Sanjaya tidak boleh membuat kinerja di kantornya berkurang sedikitpun. Meski dirinya belum lama ini dimutasi di Kota Minyak tersebut. Alena harus tetap memperlihatkan performa pekerjaannya yang bagus. "Alena, hari ini ada pemasangan CCTV di gedung lantai dua. Kamu awasi dan kontrol kebutuhan mereka ya. Pastikan proses instalasinya berjalan lancar dan tanpa kendala." "Baik, Pak." Alena adalah pribadi yang ekstrovert. Dia suka bekerja dengan bertemu banyak orang. Senyum ramahnya sangat cocok dengan pekerjaannya yang mengurus operasional perusahaan secara menyeluruh. Sejak di Jakarta, Alena sudah berkarir di divisi GA (General Affair) sebuah bank swasta ternama, Digdaya Bank. Sehingga saat bank swasta tersebut membuka cabang baru di Balikpapan, Alena ikut menjadi salah satu staf kandidat yang dikirim pusat untuk menjadi pioner di sana. Digdaya Bank Cabang Balikpapan belum mulai beroperasi sepenuhnya. Pembangunan gedung masih
Setelah pertemuan tidak disengaja, juga makan siang di Cafetaria dengan Sanjaya, seharusnya Alena berbangga diri karena sudah bisa membuat Sanjaya terkesan dan mungkin mulai memperhitungkan keberadaannya. Sehingga rencananya dengan Zahera untuk menjebak Sanjaya bisa berjalan semakin baik. Tapi ternyata Alena merasakan suatu hal yang lain di sisi hatinya. Dia tanpa sadar melakukan perhatian kepada Sanjaya secara spontan. Bukan pura-pura seperti yang seharusnya dia lakukan untuk Sanjaya. "Bisa-bisanya aku sampai hafal porsi makan dia juga minuman dia saat makan. Aku benar-benar gak niatan begitu padahal. Bisa bahaya kalau berlanjut begini terus. Bukannya aku bikin dia tergila-gila sama aku, malah bisa sebaliknya," desisnya merasa bersalah. Ada beban moral dan mental saat menyadari kesalahannya tersebut. Meski sebenarnya kesalahan itu justru memperlancar rencananya, tapi dia juga takut akan memberi efek berkepanjangan di masa depan. "Mbak, aku minta maaf. Aku gak ada maksud buat bene
"Aku sudah reservasi di dalam maupun di luar resto. Kamu pilih kita makan dimana?" Alena tidak bergeming. Matanya masih menatap area sekitar restoran yang dipilihkan Sanjaya untuk acara makan siang mereka dengan pandangan tertawan. Binar mata Alena tidak bisa berbohong jika dirinya menyukai tempat itu. "Lena?" panggil Sanjaya sekali lagi."Tempatnya keren banget, Mas."Sanjaya tersenyum mendengar tanggapan Alena yang terasa seperti sebuah pujian atas pilihannya yang tepat. Bahkan bisa sampai membuat Alena mengabaikan pertanyaannya. "Di luar kita bisa makan dengan pemandangan laut lepas, tapi mungkin bakalan agak panas meski ya tetap sejuk karena anginnya lumayan kencang. Kalau di dalam pasti lebih teduh dan ada live musiknya. Kamu pilih yang mana? Dua-duanya sudah aku reservasi." "Di luar dulu ya, Mas. Kalau ternyata panasnya makin menyengat, baru pindah ke dalam." Sanjaya mengangguk setuju dan mereka menuju meja yang sudah dipesan sebelumnya. Buku menu memanjakan mata Alena. Mem
Kepulangan Alena dan Sanjaya disambut dengan tumpukan barang yang familiar di depan kamar kos Alena. Sanjaya tidak tahan untuk tidak segera berkomentar. "Koper dan barang-barang kamu kenapa ada di luar kamar, Len?" Sanjaya bertanya pada Alena yang masih membuka mulut dengan bola mata terbelalak karena sama terkejutnya. Belum sampai menjawab apapun, suara lantang dari belakang mereka menjelaskan dengan sangat gamblang. "Barang-barang kamu sudah saya bereskan. Segera angkat kaki dari sini karena kamar itu sudah saya sewakan buat orang lain yang lebih mampu bayar sewa kamar tepat waktu." Alena menggeser tubuhnya meraih tangan ibu kos yang berdiri tegak. Wajahnya kaku dan dingin. Berbanding terbalik dengan ekspresinya ketika mereka bertemu pertama kali, saat Alena hendak menyewa kamar kos tersebut. "Bu, maaf banget aku telat bayar sisa DP-nya. Tapi begitu aku gajian, pasti aku lunasi kok sekaligus bulan berikutnya. Tolong banget ya, Bu. Jangan usir aku malam-malam begini," pinta Alen