Siang itu, Mas Bagus datang untuk menanyakan perihal kesiapan. Inilah kebahagiaan yang belum pernah kudapat sebelumnya. Ia datang membalut lukaku, kini menyembuhkanku. Itu yang ada dalam anganku.
“Dik, bagaimana?” tanyanya.
“Aku sudah bilang ibu, akan tetapi ….”
Kepalaku tertunduk sangat dalam. Tidak tega mengatakan yang sebenarnya bahwa ibu sedikit meminta lebih, bahwa orang tuanya harus datang.
“Tapi kenapa?”
Kedua mataku tidak dapat memandang dua netra bening itu. Rasanya di dada demikian sesak. Dalam pikiran bahkan ingin menyerah. Kedua orang tua kami sama-sama tidak mau mengalah.
“Ibu minta orang tua Mas datang,” ucapku.
Akhirnya, suara lirih itu lepas juga dari tenggorokan. Beberapa detik, aku menunggu reaksinya. Dari ekor mataku, terlihat ia juga mulai frustrasi.
“Dik, kita jalan sendiri saja, yuk,” ucapnya.
Kaget, itu reaksi yang terjadi padaku pertama kali. Mengapa ia begitu? Aku sendiri juga tidak paham. Yang pasti, calon suamiku ini sama frustrasinya denganku. Orang tuanya, masih sangat segar dalam otak, lebih menyeramkan dari ibu yang hanya bilang tidak setuju.
“Jangan gegabah, Mas. Aku akan membujuk ibu,” ucapku meyakinkan.
Seolah beban berat menimpa kepalaku. Bagaimana caranya harus meyakinkan ibu, untuk menerimanya sebagai menantu akan tetapi tanpa syarat yang diajukan oleh ibu. Kami hanya diam. Tidak ada suara yang muncul dari kerongkongan. Hanya berisik tanpa henti suara ayam yang menunjukkan kegagahan, menandai teritorinya.
Selain itu, beberapa suara motor terdengar karena rumah orang tuaku berada di tepi jalan desa. Cukup lama kami hanya berkutat dengan pikiran masing-masing. Rasa rusuh yang mendera di kepala, menyita sedikit demi sedikit otakku yang mulai lelah untuk berpikir.
“Mas, bawa ponsel ini,” ucapku.
Maksudku, supaya mudah menghubunginya.
“Tidak usah, aku akan sulit menghubungimu,” ucapnya.
Kepalaku menggeleng. Aku tak akan kemana. Ketika ia sulit menghubungiku, maka dengan mudah datang. Sedangkan aku, ia tidak mesti berada di rumah. Aku juga tidak mengenal semua temannya, kemana ia biasa pergi.
“Tidak apa-apa, kamu datang saja jika sulit menghubungiku,” lanjutku.
Dengan bujukan, ia mau membawa ponsel itu. Setelah memberikan pesan-pesan tentang pernikahan kita, ia pamit. Sedangkan aku, berganti kostum ke ladang. Ada dua tujuanku. Yang pertama, membantu ibu yang sedang mengambil daun pisang untuk dijual esok harinya ke pasar. Yang kedua, menyampaikan yang baru saja dikatakan oleh calon suamiku itu.
“Bu, aku bagian apa?” tanyaku setelah menempuh perjalanan sekitar tiga kilo untuk mencapai ladang.
Bukan ladang milik sendiri, akan tetapi ladang itu milik orang lain. Ibu hanya bertugas membersihkan. Sebagai gantinya, bisa mengambil daun pisang. Ibu sudah memetik beberapa tumpuk, tanganku sontak dengan lihai melepas daun itu dari tulangnya.
“Bu, Mas Bagus baru saja datang. Ia bertanya bagaimana kelanjutannya?” ucapku.
Ibu hanya diam saja. Aku mendekat, siapa tahu ia tidak mendengar yang kuucapkan.
“Bu,” panggilku.
Ibu masih tidak menjawab. Aku tahu ia marah, mungkin saja bingung.
“Bu, aku mohon. Siapa lagi yang akan mendukung kami? Bukankah ibu yang bilang, tak mengapa tidak pesta asal ijab sah?” ucapku.
Memang, keberanian kami datang dari ibu ketika beberapa minggu yang lalu Mas Bagus meminta restu. Kata ibu, ia tidak meminta lamaran yang mewah, apalagi pesta yang bagus. Perempuan yang paling mencintaiku itu hanya ingin orang tuanya datang untuk berembuk. Akan tetapi, justru itu hal yang sulit kedua setelah sederetan biaya.
“Apakah terlalu sulit? Kamu perempuan tidak dihargai. Jika ia sangat mencintaimu, maka mudah baginya untuk membuat orang tuanya datang. Tidak harus keduanya, bisa perwakilan. Yang penting, ada ucapan dari keluarganya,” ucap ibuku.
Lemas, kemana lagi aku akan meminta dukungan. Bagaimana ini? Bagaimana caranya, agar ibu bisa menyetujuiku. Kepalaku terasa berat, hingga aku terduduk tak bisa bangun lagi.
“Pulang kalau di sini tidak bisa membantu. Kita bicarakan nanti lagi. Kamu sudah dewasa, lebih tahu harus bagaimana.”
Aku bangkit, membawa daun yang sudah diikat. Pikiranku lebih kacau dari sebelumnya. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana? Kakiku bahkan terseok, akhirnya jatuh karena terkilir. Aku berteriak, tanpa aba-aba air mataku turut keluar.
“Aku hanya ingin menikah, kenapa begitu sulit? Apakah memang tidak layak? Akhirnya ada yang tulus ingin menikahiku,” ucapku.
Saat ini, hatiku merasa menjadi orang yang paling menderita di seluruh dunia. Dari kedua kejadian yang akan gagal menikah, menjadi tidak percaya diri. Sesampainya di rumah. Daun yang kugendong tadi, kuletakkan di tempat. Yaitu, emperan rumah sebelah samping, yang nantinya akan disusun ulang.
Kakiku berlari cepat menuju kamar mandi untuk menumpahkan air mata, yang sebenarnya meskipun sudah keluar, akan tetapi belum puas rasanya. Hingga, tanganku meraih ember sumur untuk mengambil air, ketika merasa sudah puas.
Dengan lemas, mengisi bak mandi dengan air, untuk membersihkan diri. Aku, membersihkan diri untuk memulai aktivitas yang lain, salat dan lain sebagainya.
Tidak ada handuk yang menyertai untuk menyeka bekas air. Hanya kain batik panjang yang kugunakan, untuk menutup tubuhku yang belum berpakaian. Kakiku melangkah masuk ke rumah untuk berganti pakaian. Sebelum ke lemari yang ada di pojok kamar, melewati kaca kecil. Wajahku, wajahku terlihat dari pantulan cermin itu.
Tanganku memegang kedua pipiku. Mataku terpejam, untuk menganalisa wajah sendiri. Memang, aku tidak cantik. Tidak ada lelaki yang menyukai wajah seperti aku. Sudah hitam, dekil, kecil, apa yang bisa dicintai dariku?
Lagi-lagi, banyak kejadian yang membuat aku menerawang ke alam saat remaja. Sebuah kisah yang membuatku memilih untuk tidak jatuh cinta. Memilih menutup hatiku selamanya. Sekitar usia SMP, pernah hatiku jatuh ke pusaran rasa yang namanya kagum dan menyukai. Sebenarnya, belum sampai tahap jatuh cinta. Akan tetapi, bunga itu sudah pupus terlebih dahulu.
Saat ketahuan aku menyukai seorang pria teman ngaji, ia tiba-tiba berubah menghindariku. Sebelumnya, kami teman yang sangat akrab. Bahkan, karena kami sekolah di almamater yang berbeda, ia sering titip salam dengan wanita pujaan hatinya yang kebetulan satu kelas denganku. Waktu itu, tahun sembilan puluh tujuh. Jadi, kami para remaja belum memiliki ponsel sebagai sarana komunikasi. Saat ingin menghubungi pacar, pasti lewat temannya atau berkirim surat.
“Kamu mencintai adikku?” tanya kakak ipar perempuan dari lelaki itu.
“Mbak, aku tidak … maksudku, entah mengapa? Aku mendapatkan sebuah surat yang bertuliskan namanya. Tapi, aku ….”
Tiba-tiba aku tidak bisa menjelaskan, tidak bisa mengelak.
“Apakah surat itu untukmu? Bukankah itu untuk pacarnya?” tanya kakak ipar perempuan dari lelaki itu.
“Bukan, maksudku ….”
Lagi-lagi kakak ipar perempuannya itu memotong kalimatku sehingga urung bagiku menjelaskan.
“Mulai sekarang, jauhi adikku. Dia tidak mencintaiku, dia juga tidak nyaman kamu kejar,” ucapnya.
******
Pedih, memang aku mendapatkan surat atas namanya. Akan tetapi, aku tahu bahwa itu hanya pekerjaan dari teman-teman yang iseng karena ia ingin tahu seberapa perasaanku pada lelaki yang tiga tahun lebih tua dariku itu. Sebab, dengan telingaku sendiri mereka menggunjingku bahwa ketika aku bersama dengan anak laki-laki itu, tidak wajar bahwa hanya sebagai teman.Aku kaget, lepas dari lamunanku ketika terdengar suara ibu membuka pintu. Aku segera berganti baju untuk kembali beraktivitas menyiangi kangkung untuk membantu ibu agar ia tidak marah lagi. Aku harus bisa mengambil hatinya. Bagaimanapun harus dapat. Aku tidak mau gagal menikah lagi, kemudian menjadi gunjingan para tetangga bermulut tajam. Sudah sekali, jangan sampai terulang lagi.*******
Malam ini, seperti biasa aktivitas kami menyiangi sayuran. Hanya keheningan yang terjadi. Aku mencari celah untuk bicara kembali, agar ibu bisa menyetujui pernikahan ini. Akan tetapi tenggorokanku tidak dapat mengeluarkan suara itu.“Kalian sudah mantap ingin menikah?” tanya ibuku tiba-tiba ketika kami hampir selesai dengan pekerjaan.
"Bu--"Esok hari, tepatnya hari Jumat tanggal tujuh Agustus tahun 2009 ini, kami akan melangsungkan pernikahan ini. Semua kerabat sudah datang. Mereka berada di ruangan depan rumah ibuku. Sudah pukul enam pagi, penata rias sudah datang. Aku sudah mandi juga.Dengan baju kemben, penata rias mulai menta wajahku. Dengan sebuah doa, dimulailah wajahku dibersihkan. Semula, aku yakin akan kelancaran acara. Hingga pukul setengah sembilan, lelakiku itu tidak dapat dihubungi. Lelaki itu sungguh membuat jantungku berdebar begitu kencang. Aku sudah siap, dengan gaun putih yang dirias oleh sang penata rias.“Aduh, sebenarnya jadi nggak sih? Kenapa aku sangat takut?” gumamku.Hingga seseorang dari keluarganya datang terlebih dahulu dengan mini bus.“Akhirnya, kalian datang juga,” komentar salah satu keluarga.Aku juga lega, akan tetapi telingaku menangkap bahwa calon suamiku belum datang, malah pengiringnya terlebih dahulu yang datang. Dalam hati, kok bisa demikian? Aku hampir meledak karena marah.“Iya
“Mbak, saat aku bersama ayahmu, dia bilang pergi dari rumah setelah khitan. Kita bertemu di perantauan. Tahukah kamu, jika ibu tidak menikah dengan ayahmu, ibu tidak bisa pulang dari rumah pakdemu,” ucap ibu.Aku bingung sebenarnya dari keterangan ibu. Apa hubungannya pulang, dengan menikah? Baiklah, kita dengarkan kisah selengkapnya saja.“Jadi, dulu ibu dan ayahmu ketemu di Sumatera, di kampung trans. Ayahmu adalah pegawainya pakdemu. Kata Pakdemu, dia akan membiarkanku pulang dan bawa simbahmu, jika aku mau menikah,” ucapnya.Dia sudah bisa menghadapiku. Matanya sedikit sembab, bahkan hampir menjatuhkan buliran itu. aku memeluknya, hal yang paling jarang bahkan tidak pernah kulakukan. Tangisnya tumpah saat ini di pelukanku. Aku belum pernah melihat air mata wonder woman-ku ini, selama umurku. Ibuku, tidak pernah menangis. “Kalau tidak kuat, ceritanya bisa lain kali saja, Bu. Aku tidak buru-buru ingin mendengar,” ucapku.Demi Tuhan, aku melihat sisi rapuh dari wanita yang melahirka
Aku masih ingat saat usiaku tujuh belas tahun, tepatnya kelas dua dahulu disebut SMA. Saat SMA, aku tinggal di panti asuhan karena ibu tidak sanggup lagi membiayai sekolahku. Saat aku bilang akan sekolah, ibu menangis dan bilang dengan suara gemetar,“Mbak, ibu tidak lagi bisa membiayai sekolahmu. Saat SMP saja, kalau kamu tidak pintar dan mendapatkan beasiswa, tidak bisa lulus. Kamu masih ingat waktu kelas dua dan adikmu harus rawat jalan karena flek paru-paru, bahkan hampir saja keluar dari sekolah karena uang beasiswa digunakan untuk berobat. Sekarang SMA juga jauh di kota. Ibu hanya bisa merestuimu,” ucap ibuku.Maka berangkatlah aku di panti asuhan walau sebenarnya, bukan anak yatim atau piatu. Apalagi, anak yatim piatu. Akan tetapi, demi selembar ijazah, tidak malu diriku masuk ke dalam panti asuhan. Aku tidak tahu hukumnya, yang terpenting ingin sekolah saja.Maka dari itu, meskipun hari-hariku sulit, tetap kujalani. Tuhanku mengijabah, yang sebelumnya aku hanya bisa membaca Al
Aku hanya tersenyum saja menantikan penjelasan darinya. Lelakiku ini meraih tanganku. Tangannya yang penuh dengan lem itu menyentuh kulit tanganku sehingga menempel di telapak tanganku. Aku semakin tersipu.“Dengarlah, ini berarti. Sekarang kita tidak punya apa-apa, tandanya dengan uang pecahan dua puluh lima rupiah ini, sampai nanti kita kaya raya, tandanya uang pecahan seratus ribu ini, bersama.”Alangkah indahnya filosofi itu. Semoga menjadi doa. Aku aminkan perkataannya. Lelakiku itu, sungguh mencintaiku. Ia menginginkan bahwa hubungan ini tidak hanya sekedar sementara. Akan tetapi, ia menginginkan kita abadi, kemungkinan hanya maut yang akan memisahkan. Alangkah indahnya, hingga mataku sampai berkaca-kaca.“Alah, alah … sudah jangan terharu begitu. Masih ada aku. Gus. Jangan membuatku yang jomblo ini ngiri pada kalian,” ucap sahabatnya Mas Bagus. Aku semakin tersipu menarik tanganku yang dipegang oleh Mas Bagus. Setelah Mas Bagus mengatakan semuanya, aku pamit ke belakang untuk
Aku ke rumah Pak lik karena ayahku tinggal di sana. Akan tetapi, di rumah itu tidak ada siapa pun. hingga kami memilih ke rumah Pakde yang tentu saja ada istrinya di rumah. Benar saja, aku disambut oleh wanita seumuran ibuku, akan tetapi wajahnya lebih terlihat bersih karena jarang terkena sinar matahari. “Kapan kalian sampai?” tanyanya.“Dari kemarin Bude, karena hujan maka saya tunda ke sini,” ucapku.“Kenapa tidak mampir ke sini dulu?” tany suara dari luar.Kami sepakat untuk menoleh bagai sebuah paduan, akan tetapi tanpa dipandu. Itu adalah suara ayahku. Tidak akan pernah lupa. Suara itu yang tidak pernah kurindukan walau ia adalah lelaki yang telah mengukir diriku di dalam rahim ibuku. Kami, hanya bertemu beberapa waktu saja meskipun lelaki itu disebut ayah.“Bukan begitu, Pak. Aku lupa gangnya. Jadi aku ke rumah Mas Fatih dulu,” ucapku.Ya Fatih adalah kakakku. Lelaki itu yang mencari bapak waktu kakakku yang bernama Ratih, akan menikah. Maka sejak itu, ibu mengetahui bahwa ia
Aku tersenyum, suamiku memang nyentrik. Mas kawin, seharusnya akan dibawa bersama lamaran. Aku lupa, lamaran itu tidak pernah ada. Kita sudah membahas, bahwa tidak apa-apa aku tidak dilamar asalkan sah secara agama dan negara. Bagiku sudah cukup. Kali ini aku cukup terharu karena dia menyediakan mas kawin ini. “Terima kasih,” ucapku. “Kamu tahu, mengapa aku memilih mas kawin ini yang berbeda dari biasanya?” tanya dia. Aku hanya tersenyum saja menantikan penjelasan darinya. Lelakiku ini meraih tanganku. Tangannya yang penuh dengan lem itu menyentuh kulit tanganku sehingga menempel di telapak tanganku. Aku semakin tersipu. “Dengarlah, ini berarti. Sekarang kita tidak punya apa-apa, tandanya dengan uang pecahan dua puluh lima rupiah ini, sampai nanti kita kaya raya, tandanya uang pecahan seratus ribu ini, bersama.” Alangkah indahnya filosofi itu. Semoga menjadi doa. Aku aminkan perkataannya. Lelakiku itu, sungguh mencintaiku. Ia menginginkan bahwa hubungan ini tidak hanya sekedar s