Share

BAB III

Langkah kakiku hanya mengikutinya saja.

Walau sedikit terseok karena kakinya yang panjang sedangkan kakiku mungil. Jarak tinggi badan kami memang agak jauh. Ia bertinggi badan seratus tujuh puluh tujuh, sedangkan aku sangat mungil. Bahkan dengan anak kelas enam SD saja, terkadang masih tinggi anak kelas enam. Tinggi badanku hanya seratus empat puluh delapan sentimeter.

“Kamu lihat? Itu kenapa tidak mau meminta restu dari mereka. Mereka semua tidak menganggapku ada. Aku hanya sampah bagi mereka,” kesalnya.

Dari ucapannya, aku merasa tertohok. Rasanya keputusan yang benar kami ambil untuk hidup bersama. Semua orang tidak percaya padanya. Orang tuanya, Pakdenya dan semua teman-temannya juga bilang ia orang yang buruk.

Lelakiku ini keras kepala, ucapannya juga sangat kasar. Akan tetapi, entah bagaimana ceritanya kepercayaanku padanya sangat penuh. Jika dikumpulkan, bahkan mega-mega yang membentuk awan di langit, masih kalah penuh dengan kepercayaanku untuknya. Aku memeluk pinggangnya, ketika duduk di belakang membiarkan kakinya mengayuh sepeda. Rasa bahagia, haru dan masih banyak lagi rasa-rasa yang lain. 

Kami akhirnya sampai kembali ke rumah Pakdhe. Mata sembabku mungkin masih terlihat. Untuk menyamarkannya, maka menumpang ke kamar mandi. Tidak ada kamar mandi yang berkeramik apalagi shower. Hanya sumur dengan ember kecil sebagai pengambil air. Sebagai bak mandi, hanya jambangan hitam yang mungkin saja berisi hanya sepuluh liter air. Biliknya, hanya dengan bambu yang dianyam dan diberi pelapis spanduk bekas pemilu.

Aku membasuh wajahku dengan cepat dan mengguyur, hingga bagian bajuku basah. Untung saja, ada jaket krem sebagai pelindung, yang sudah kulepas sebelumnya. Tangisku kembali pecah. Akan tetapi, kali ini tangis bahagia. Kedatanganku tidak sia-sia. Meskipun dengan sedikit insiden, akhirnya semuanya jelas. Ia mau menikah denganku.

Aku kembali ke dalam. Setelah dengan terpaksa meminum teh yang sudah mulai dingin karena tidak suka minum teh, aku pamit dengan pakdhe dan keluarga. Sebelum kami berpisah, ia memberikan sebuah ucapan yang lebih mempertajam keyakinanku.

“Jangan khawatir, kita pasti akan menikah,” ucapnya.

Aku meraih tangannya, mencium punggung tangan itu. Dengan motor yang kupinjam dari salah satu keluargaku, kembali ke rumah yang berjarak sekitar dua puluh kilo dari rumah pakdenya dengan membawa kebahagiaan. Rasa ini tidak terperi. Dengan berjuta harapan dan angan-angan roda-roda motorku sampai di rumah. Ibuku yang sedang sibuk dengan sayuran yang sore tadi dipetik, menengok ke arahku.

“Bagaimana hasilnya?” tanya ibuku.

Ludah di tenggorokan terasa sangat sulit tertelan. Aku bahkan belum masuk ke rumah karena ibu dan dua pekerja lain menyiangi sayuran untuk diikat di depan rumah.

“Sebentar,” ucapku.

Kakiku melangkah menuju ke bilik kecil, dengan ranjang kecil juga menggantung tas hitam kecil di ruangan tersebut. Ruangan yang belum di keramik masih dengan lantai tanah itu, tempatku merajut mimpi-mimpi. Ranjang baru yang terbuat dari kayu, terlihat lebih baik dari sebelumnya. Walau terkesan masih seadanya karena uang kami memang tidak banyak. Tidak mampu, bagi kami untuk membeli tempat tidur baru dari toko mebel terkenal.

“Bu, hmmm … aku sudah bicara dengan orang tuanya,” ucapku hati-hati.

Ibu berhenti menyiangi sayur, tangannya diam sembari mendengarkan keteranganku.

“Terus? Mereka akan ke sini?” tanya ibu.

Tanganku meraih sayuran yang masih berantakan karena baru saja dilepas dari ikatan yang super besar. Tanganku dengan lincah memilah sayuran yang bagus untuk diikat, sedangkan yang buruk untuk dibuang atau diberikan kepada kambing yang kami pelihara di belakang.

“Sepertinya tidak,” ucapku lirih.

Aku menunduk dengan tangan yang sibuk menyiangi sayuran. Kali ini, sayuran kangkung darat yang akan kami jual esok hari, karena memang waktunya panen kangkung darat.

“Apa maksudmu tidak? Bagaimana bisa? Seharusnya orang tuanya datang. Sudah ibu bilang, tidak usah macem-macem hanya akad saja sudah sah. Kenapa tidak mau datang? Terus bagaimana?” tanya ibu dengan suara yang mulai meninggi.

Bulu kudukku terasa berdiri. Ibuku, wanita yang melahirkanku ini lebih menyeramkan jika marah dibanding dengan apa pun di muka bumi ini.

“Jika tidak mau datang, maka tidak usah saja kalian menikah.  Itu sebuah tanda dia tidak menghargaimu sebagai wanita. Terus bagaimana dengan Bagus?” tanya ibu masih dengan nada yang meledak-ledak.

“Mas Bagus tentu saja sudah berusaha, Bu. Aku mohon, jika tidak bersandar pada ibu, mengeluh pada ibu, dengan siapa lagi kami harus mengeluh,” bujukku.

Aku melirik sudut mata wanita yang telah berjuang untukku sampai hari ini itu, sudah sembab. Aku tidak tahu yang ia pikirkan, akan tetapi di matanya terlihat sebuah kekecewaan yang mendalam. Aku merasa sangat bersalah. Sebelumnya, ia sudah kecewa denganku karena pernikahanku yang kurang sebulan juga berantakan. Kini harus mengulang hal yang tidak lancar lagi. 

“Salah apa aku? Apakah dosaku demikian besar sehingga Tuhan menghukumku dengan hal semacam ini?” lirihnya.

Ia meletakkan sayur yang baru saja digenggamnya, berlari ke belakang. Aku ingin mengejarnya, akan tetapi salah satu pekerja mencegahku dengan memanggil.

“Nis, ini sudah penuh. Dicuci dulu, siapkan ikatan,” ucapnya.

Entah sengaja atau tidak, ucapan dari pekerja itu membuatku menurut dan mengangguk. Aku mencuci sayur-sayur itu di bak besar dan menatanya agar esok hari tetap segar. Kami melakukan aktivitas itu setiap sore hingga malam berlalu.

Aktivitas kami sudah selesai. Saatnya tidur, untuk mengembalikan tenaga. Akan tetapi, rasanya sangat susah mata ini terpejam. Padahal seluruh tubuhku terasa remuk. Mataku terbuka lebar menatap atap dan tulang-tulang yang mulai menua. Gerimis melanda, menambah pekatnya perasaanku. Saat ini, perasaan ini campur aduk tidak karuan. 

“Ya Allah, apakah ini yang terbaik?” batinku.

Ini sangat gila. Bagaimana bisa? Aku masih ragu, setelah tadi siang jelas-jelas merasa sangat percaya diri dengan semua ini. Aku mengembuskan napas berkali-kali untuk menenangkan pikiranku. Mencoba untuk tidur miring. Akan tetapi tetap saja tidak bisa. Bayangan kemarahan ibu dan bapaknya calon suamiku itu, terus saja terngiang bagai kaset kusut.

“Bagaimana bisa? Urusan mencari hari, mencari tanggal dan lainnya itu urusan pihak laki-laki. Bagaimana bisa kalian melangkah tanpa kami? Apa yang sebenarnya keluargamu pikirkan?” kesalnya.

Aku mengembuskan napas mengehentak. Perkataan dari ibunya memang benar. Akan tetapi, mau bagaimana? Semua sudah terjadi. Semua sudah siap. Jika akan batal, maka aku tidak tahu lagi. Ingatanku mengulang beberapa minggu yang lalu saat dengan mulut ini lancang untuk memberikan pilihan. Mau terus, atau putus. 

Jika ingin meneruskan maka menikah, jika tidak ingin meneruskan maka tidak masalah. Dengan begitu maka kita putus. Ada yang mendasari dari yang kulakukan itu. Maka dengan tegas ia siap menikah denganku. 

“Mas, kita sudah kenal selama tiga bulan. Seperti yang kukatakan waktu kita pertama ketemu. Siapa yang serius langsung ngomong dengan ibu, itu yang kupilih. Aku tidak mau pacaran,” ucapku waktu itu.

Ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Mengapa semua penuh dengan gejolak. Jika tidak siap untuk menikah, mengapa mendekat? Mataku tanpa sadar menetes. Dadaku semakin sesak terasa. Tangan kiriku memukul dada yang terasa penuh ini. 

Bunyi guntur seperti memberikan isyarat ketidakpuasan. Apakah Tuhan juga akan memberikan tanda bahwa pernikahan kami memang akan menuai banyak rintangan? 

“Tuhan, apakah aku tidak berhak bahagia?” lirihku tergugu.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status