Share

BAB V

“Bu ... tidak mungkin saya harus gagal lagi ‘kan? Sepertinya, Mas Bagus serius dengan saya. Kenapa tidak?” ucapku mantap walau sebenarnya lebih karena ingin menenangkan diri saja.

Andai ibu tahu hatiku, kali ini ada lebih banyak keraguan. Sebenarnya, Allah sudah menunjukkan berbagai hal yang membuatku ragu untuk melanjutkan. Akan tetapi, sesuatu yang lain ingin kutunjukkan bahwa yang mereka katakan aku tidak laku, aku pembawa sial itu tidak benar.

“Baiklah jika begitu. Bagus suruh ke sini, kita pikirkan bagaimana caranya,” ucapnya.

Bagai mendapat durian runtuh. Akhirnya, satu pintu dari ibuku terbuka. Aku merasa bahagia, bahkan seandainya sekarang memiliki ponsel, mungkin akan langsung menghubunginya. Bahagianya lebih dari mendapatkan setumpuk berlian. 

Aku bangkit setelah membersihkan sisa sayur yang sudah ada. Setelah membuang sampah, maka langsung membersihkan tangan dan kaki. Aku mirip orang gila sekarang. Aku berlari kecil, berputar dan menjatuhkan diri. Hatiku terasa meledak mendengar perkataan dari ibuku.

Hingga sampai pagi, tidak bisa terlelap karena merasa sangat bahagia. Anehnya, aku tidak merasa pusing atau lemas. Sebaliknya justru merasa sangat bersemangat. Setelah mandi, mengikat sayuran dan mulai mengantar ibu ke pasar.

Hari ini, semoga mendapatkan rezeki yang melimpah, agar lebih berkah nantinya. Terutama, karena kami akan menuju ke jenjang pernikahan. Tentu saja, harus mendapatkan banyak sekali kebahagiaan hari ini.

Selesai mengantarkan ke pasar, aku pulang. Di jalan, bertemu dengan salah satu temanku. Ia menghentikan laju motor yang kukendarai. 

“Bisa kita bicara?” ucapnya.

Aku mengerutkan kening. Sudah sekitar dua bulan, temanku itu tidak bertemu. Kurasa, ia telah menghindariku. Sepertinya, hanya prasangka ku saja. Buktinya, lelaki ini kini menghentikanku. Akan tetapi, ini di luar kebiasaannya. 

“Ada apa? Kenapa tidak ke rumah saja?” tanyaku.

Lelaki itu menarik tanganku, untuk duduk di sebuah kursi kayu yang ada di depan rumahnya. Kali ini, perbuatannya agak sedikit membuatku kaget. 

“Tunggu, aku bisa jalan sendiri kali, tidak perlu tarik-tarik macam bandot,” keluhku.

Ia tidak mendengarkanku. Semakin aku meronta, tenaganya semakin besar yang di keluarkannya. 

“Han, bisa lepaskan? Sakit!” keluhku.

Ia melepaskan tanganku dengan menghentak. Aku melihat ke pergalangan tangan bekas yang ia genggam dengan erat. Dengan tangan kiriku, mengelus bekas memerah tersebut.

“Ada apa sebenarnya?” ucapku karena memang tidak mengerti.

“Nis, kenapa? Kenapa tidak dari awal kamu katakan? Kamu memberikanku angin segar, setelah itu kau tinggal begitu saja. Kenapa?” ucapnya.

Kaget, itu reaksi pertama mendengar pertanyaannya itu. 

“Tunggu, tunggu, maksud kamu apa, Han?” tanyaku penuh dengan penasaran.

Handy tidak berani menatap mataku. Lelaki itu berbalik badan, berkacak punggang dan menyembunyikan wajahnya. Aku tidak mengerti, sungguh-sungguh tidak mengerti yang ia katakan. Bagaimana ia bisa mengatakan hal itu? Apa yang memangnya aku lakukan?

“Han, jelaskan! Aku tidak mengerti!” kesalku.

Enak saja ia menyalahkanku hal yang bahkan tidak kuketahui dengan pasti.

“Kamu setuju keluar denganku, kamu setuju bersama denganku, apakah aku bagimu?” ucapnya.

Aku mengerutkan kening. Aku masih tidak bisa mencerna. Akan tetapi, mulai mengerti yang ia maksudkan.

“Tunggu, kita teman ‘kan?” ucapku meyakinkan status kita.

Aku masih tidak percaya bahwa lelaki itu menghendaki hal yang lebih dari seharusnya. Memang ia pernah mengatakannya saat sekitar sebulan lalu mengajakku jalan-jalan ke salah satu pantai di kota ini. Akan tetapi, kuangap itu bercanda karena ia juga mengatakannya sambil tertawa. Selain itu juga, pada malam tujuh belasan hari kemerdekaan, ia mengatakan lewat telepon.

Akan tetapi, lagi-lagi ia membuat setting cerita bercanda, jadi sama sekali aku tidak menghitung bahwa yang dikatakan itu sebuah kebenaran.

“Hen, kenapa hanya diam?” kataku lebih penasaran.

“Aku tidak menyangka, Nis. Aku kita kamu juga menyukaiku. Kita sudah sering pergi bareng, bahkan kita sudah … aku sudah katakan pada orang tuamu akan melamarmu. Bukankah kamu ingin lamaran tanpa pacaran? Aku sedang berusaha untuk mengumpulkan semuanya. Mengapa kamu tidak sabar?” tanyanya sedang nada berapi-api.

Akan tetapi, tidak sekalipun menghadap kepadaku. Dari pernyataannya, rasanya aku mendapat tamparan keras. Jadi, ia benar-benar menyukaiku? Akan tetapi, bagaimana bisa aku tidak mendeteksi semua itu. Atau terlambat mendeteksi.

Hubunganku dengan Mas Bagus juga bukan atas dasar cinta. Sebelum ia mengatakan dengan orang tuaku, hubunganku dengannya atas dasar kepercayaan dan sumpahku saja. Memang, aku pernah bersumpah kala tahun lalu berpisah dengan Mas Ian.

Aku bersumpah tidak akan memandang siapa pun yang datang ke orang tuaku, langsung aku terima jika orang tuaku setuju. Ternyata, Hendy hanya datang sebagai temanku dan tidak berani mengatakan kepada ibu untuk memintaku. Sedangkan Mas Bagus, secara terang-terangan memintaku untuk menjadi istrinya. Meminta kepada ibu secara jantan.

Untuk sekejap, aku merasa bimbang. Bagaimana ini? Kenapa ia datang saat seperti ini? Apakah ini cobaan atau memang … aku yang semula berdiri, duduk di sebuah dipan yang ada di depan rumahnya, karena kini aku memang berada di depan rumahnya.

Dengan perkataannya baru saja, berusaha mencerna dan berpikir. Sebenarnya, mengapa ia melakukannya di belakangku? Jika ia mengatakannya dengan ibu terlebih dahulu, mungkin akan berbeda. Mungkin bukan Mas Bagus yang akan menjadi calon suamiku.

Akan tetapi, aku sudah menyanggupi Mas Bagus, bagaimana ini? Tangan mengusap wajahku kasar. Belum usai dengan masalah pernikahan, kini datang masalah ini. Aku tidak ingin menyakitinya. Ia pemuda yang sangat baik, santun, pejuang bisnis. Ia juga sangat akrab dengan ibuku.

Di sini, kami terdiam cukup lama. Aku bangkit, untuk melihat jam dinding sudah pukul berapa? Ternyata sudah hampir jam sembilan pagi. Aku harus memutuskan, jangan membuatnya bimbang. 

“Hen, aku minta maaf. Sudah kubilang, yang bicara sama ibuku terlebih dahulu adalah yang akan kunikahi. Kamu terlambat,” ucapku.

Ia berbalik badan mendengar perkataanku. Mata itu, aku tidak sanggup untuk memandangnya. Aku tidak ingin melukainya. Ia orang baik, bahkan memperlakukanku lebih baik dari Mas Bagus. Akan tetapi, janji tetap janji. Tidak mungkin aku mengingkari dia, hanya demi Hendy. Bagiku, sumpah adalah sebuah hutang. Jadi harus dilunasi.

“Tidak mungkinkah bagi kita? Aku sedang mempersiapkan semuanya, Nis. Aku bilang ke ibumu saat semuanya sudah siap. Tidak mungkin aku ke sana tanpa persiapan,” lanjutnya.

Ia tiba-tiba berlutut memohon dengan memegang kedua tanganku.

Aku menoleh ke kanan, karena di sebelah kanan adalah jalan desa besar yang dilalui oleh orang-orang antar desa penghubung, bahkan jalan ke tempat wisata. Beberapa orang yang lewat memperlambat laju mobilnya.

"Hen ..."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status