Share

Bab 10. Trauma Masa Lalu

***

"Tahu! Hati Mas emang bahannya kayaknya beda sama kebanyakan hati manusia pada umumnya deh!" Raditya mencebik merutuki adiknya dalam hati.

"Terima aja lah Mbak-Mbak temennya mas Dandi keburu bangkotan itu punya Mas. Lagian mereka gak kalah cantik sama Mbak Aina kok," ledek Feni sambil berlari ke kamarnya lagi sebelum Mas-nya itu mengamuknya. Bisa gawat kalau macan tidur Masnya itu bangun.

"Sialan tuh mulut! Dikuliahin malah ngehina Mas-nya,"  teriak Raditya tanpa mau mengejar Feni.

"Kenapa harus temennya mas Dandi jika ada penjual cilok yang mandiri dan menggemaskan? Huft! Sepertinya aku gak bisa berhenti memikirkan gadis cilok tadi." Sesimpul senyum terbit menghiasi wajah Raditya. "Maira ..." Raditya menyugar rambutnya kebelakang. Hatinya berdesir saat mulutnya menyebut nama Maira.

"Papa ... Aiya mau maem!" Aira menarik lengan Raditya meminta makan.

"Oke, Sayang!" Tangan Raditya mengusap-usap kepala Aira dengan bibir tersenyum, ia ingat tadi pagi Maira juga mengelus-elus kepala Aira. "Bik, tolong ambilkan Aira makan!" seru Raditya dengan suara lantangnya.

"Siap, Den!" jawab bik Nani-ART di rumah sang Ibu dari arah dapur.

*

"Mai! Ayo kesini buruan! Cepat kamu masak itu ikan gurame-nya!" teriak sang Tante-istri dari Andri dari arah dapur rumahnya yang cukup jauh dengan kamar Maira.

Tidak ingin mendapat omelan dari Tante-nya, Maira segera ke dapur yang luas yang terpisah dari rumah utama Andri ciri khas rumah orang Solo.

"Ini bumbunya udah Tante siapin. Tinggal masak doang. Lagian kamu jualannya lama banget sih? Udah ditungguin dari tadi juga! Cepetan, jangan lelet! Ini mas Andri sudah menunggu!" Maira mengangguk tanpa mau membantah sepatah katapun. Toh dijawab maupun tidak tantenya itu tak pernah tak mengomelinya.

Dengan cekatan Maira memasak gurame bumbu kuning. Tak sampai 15 menit masakan pun jadi yang langsung di masukkan dalam rentang tahan panas tanpa menyisakannya.

"Udah sana mandi! Kamu bau!" Tante Maira melenggang pergi sambil membawa bekal ditangannya.

"Sabar, ya, perut. Nanti kita beli nasi pecel didepan," ucap Maira sambil menelan ludahnya saat perutnya terasa begitu melilit. Ia segera meraih tas selempangnya dan cari makan di warung depan rumah Andri. Tak berapa lama adzan dhuhur terdengar.

Setelah selesai mandi dan shalat dhuhur Maira hendak mengistirahatkan raganya. Namun ia segera bangkit karena ingat harus membungkus snak yang tadi pagi dibelinya.

"Aku harus semangat mengumpulkan cuan." Ia tersenyum memompa kembali semangatnya. "Ayo, Maira! Semangat!" imbuhnya saat sudah siap dengan berbagai macam snak dan peralatan didepan matanya.

Ting.

Maira mengambil ponsel diatas ranjang kecilnya.

"Nayla ...," gumam Maira dengan mata terpicing sebelah setelah membaca notifikasi chat-nya.

[Hei, Maira! Kamu harus menghindari dan menolak Zian kalau dia hendak memberi kamu bantuan. Awas saja kalau seperti tadi. Akan kubuat kau keluar dari rumahku.]

Maira menarik napas. Selalu saja ancaman.

"Tanpa kamu minta pun, aku sudah menjauhi Zian, bahkan sebelum kalian berdua jadian, Nay!" gumam Maira lirih.

[iya Nay.] Setelah mengirim pesan Maira melanjutkan kembali membungkus snak yang sempat tertunda.

"Apa ini saatnya aku untuk pindah kos ya?" Ego Maira sudah tak tahan diperlakukan semena-mena oleh keluarga Om-nya.

Ponsel ditangan Maira berbunyi lagi.

"Feni? Ada apa ya?" gumam Maira sambil menggeser gambar gagang telpon warna hijau.

"Assalamualaikum, Fen."

(Wa'alaikum salam. Mai! Temani aku ke mall. Aku mau belanja sama nonton.)

"Tapi Fen ... Aku harus ..."

(Pokoknya gak boleh nolak. Please ...)

Maira tak tega mendengar rengekan Feni, sahabat satu-satunya.

"Iya."

(Aku jemput kamu, ya.)

"He'em."

Tuuut tuuut.

Maira menghela napas lalu menyelesaikan mengemas snaknya yang tinggal sedikit.

*

"Gimana tadi jualannya?" tanya Feni saat motor matic Feni melesat cepat membelah jalanan. Maira tak segera menjawab. Ia takut naik motor dengan kecepatan tinggi seperti itu. Serasa diterbangkan angin. Maklum, biasanya gadis itu kemana-mana menaiki sepeda butut yang kecepatannya sangat tak sepadan dengan laju kendaraan bermotor.

"Eh, Mai! Kok gak dijawab?"

"Aku takut kamu ngebut gini, Fen."

"Owh?" Feni terkikik, lalu menurunkan kecepatan kuda besinya.

"Alhamdulillah," ucap Maira lega sambil mengelus dada.

"Jualannya gimana tadi?"

"Alhamdulillah, laris."

"Besok masih jualan lagi?"

"Insya Allah. Mumpung free day kan?/"

"Free day apanya? Kamunya aja yang bolos," cicit Feni.

"Gak bolos, cuma gak masuk. Kan udah gak pelajaran. Daripada gak ngapa-ngapain, ya mending jualan dapet duit."

"Iih, otak kamu tuh udah dipenuhi duit, duit, duit, Mai!"

"Namanya juga harus berjuang sendiri. Jadi ya seperak dua perak itu sangat berarti buat aku, Fen," dengus Maira.

"Iya. Semoga besok laris lagi ya."

"Amin."

"Nanti malam nginep lagi di rumah ya? Ada Mas aku yang ganteng dan keponakan aku yang imut."

"Maaf aku gak bisa. Aku harus buat puding nanti malam. Esoknya aku juga harus belanja."

"Nanti kita cari di mall kan bisa?"

"Lebih mahal disana, Fen."

"Nanti aku yang bayarin."

"Gak, ah! Gak berkah. Orang untuk jualan kok kamu yang bayarin?" desis Maira kesal.

"Itung-itung aku invest di kamu." Feni terkikik.

"Invest itu ya di saham, di pasar modal, masak invest di pedagang cilok Fen?" Maira dan Feni terkekeh bahagia disisa perjalanan ke mall.

Maira sangat bersyukur punya sahabat yang baik seperti Feni. Walaupun dia anak orang kaya tetapi tidak sombong. Tidak seperti pria yang tadi siang membeli ciloknya bersama putri kecilnya itu. Sombong, galak dan menyebalkan.

"Ayo!" Maira ragu untuk menjejakkan kaki di mall yang sangat dingin itu.

"Mai! Ish!" Feni menarik tangan Maira yang dingin.

"Kenapa tangan kamu sedingin ini? Kamu sehat kan?" Maira mengangguk lalu Feni melanjutkan langkah dengan masih menarik tangannya.

Feni memberi Maira tiket film yang telah dibelinya. Tak lupa dia memberi Maira jajanan dan minuman untuk dibawa masuk.

"Ramainya ... Ini film baru launching kemarin jadi masih sangat diminati," gumam Feni seperti memberi penjelasan pada Maira.

Maira terkesima melihat penampakan gedung bioskop yang begitu besar. Ini pengalaman pertama baginya menonton film di bioskop. Katrok? Memang iya!

Suara menggema berkali-kali menghampiri gendang telinga Maira.

Maira pamit pada Feni ke toilet dan berpesan bahwa ia akan menunggunya di luar. Entahlah, ada apa dengan Maira. Disaat ratusan orang menikmati film bergenre komedi romantis itu, Maira malah menggeser badannya kekanan dan kekiri. Dia merasa itu bukan tempatnya.

Maira duduk di bangku yang panjang sambil menunggu Feni keluar. Matanya memerhatikan lalu lalang orang yang berjalan tanpa henti. Apa mereka gak sayang buang duit mereka.

"Mai!" Maira menoleh kesumber suara.

"Z-zi-an? Ngapain kamu disini?" Zian tersenyum sementara Maira menunduk.

"Boleh duduk?" Maira ingin menggeleng tapi kepalanya mengangguk. Ia kesal pada raganya yang berkhianat dengan hatinya.

"Katanya gak mau ikut? Kok nyusul sama sahabat kamu?"

"Eh? Kok kamu tahu?" Reflek Maira menatapnya.

"Kamu yang terlalu fokus, hingga tak memedulikan orang yang merhatiin kamu." Zian tersenyum. Tampan. Dari kemarin-kemarin juga tampan, Mai! Ugh!

"Maaf, aku harus kembali kedalam." Maira berdiri. Namun tangannya seperti kesetrum, ia melirik tangan Zian sudah memegang tangannya.

"Z-zi-an ... Tolong lepaskan!"

"Ikut aku!" Zian menarik Maira ke samping mall, menjauh dari keramaian. Mata Maira sudah tak kuasa menahan buliran bening dari matanya.

Tes.

'Apa yang akan terjadi padaku? Selamatkan aku dari pria br*ngsek ini, Tuhan ... Ibu ...'

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status