***
"Terima kasih, Fen! Kamu sahabat terbaik aku," ucap Maira ditengah perjalanannya menuju pasar tradisional yang tak jauh dari rumah Feni.
Kaos lengan panjang dan celana plisket yang Maira kenakan tak mampu menahan hawa dingin dari sapuan angin yang terasa begitu menusuk kulit.
'Brrr!' bibir Maira bergetar. Giginya saling bergemelutuk. Matanya fokus menatap jalanan yang diterangi oleh lampu putih disepanjang pinggirnya. Ini pertama kalinya ia belanja sepagi itu.
"Hidup harus terus berlanjut, Mai! Angin dingin ini tak boleh mengalahkan kamu!" cicit Maira memberi semangat pada dirinya sendiri.
"Tuh kan? Pasar sudah sangat ramai ...," gumam Maira sambil memarkirkan sepedanya. Lalu mengubah posisi tas selempangnya ke depan sebagai bentuk kewaspadaan dari tangan jahat. Ia menuju toko sembako untuk membeli bahan cilok. Selanjutnya ia menuju penjual plastik dan terakhir ke penjual snak kiloan dan memesan beberapa snak.
'Alhamdulillah, kalau masih pagi buta begini belum terlalu antri ...,' batin Maira tersenyum saat melirik plastik-plastik belanjaan sudah memenuhi tangannya.
"Tumben pagi banget belanjanya, Mbak?" tanya penjual snak seraya menimbang snak pesanan Maira.
"Iya, Bu," jawab Maira yang pendiam ini dengan singkat.
"Ini snak baru, Mbak. Gak ambil? Di tempat yang lain ini laris lho, Mbak," ucap penjual snak sambil memberikan sampel snak agar Maira cicipi.
"Yang itu saya minta setengah kilo, ya, Bu," pinta Maira setelah merasakan rasa gurih yang dirasa cocok dilidah semua umur dari snak dengan bentuk ulir itu.
"Siiplah. Moga laris juga ya, Mbak." Maira mengangguk dan mengaminkan dalam hati. Lalu ia membayar dan bergegas pergi.
Ia ingat pesan sahabatnya untuk mencari sarapan. Maira menuju penjual sate lontong. Ia menarik sebelah bibirnya keatas. Apakah dengan sebungkus sate lontong ini ia akan siap meladeni sepupunya yang selalu mencari gara-gara dengannya?
***
"Mai! Cepat sini!" Panggil Andri dari arah dapurnya saat mendengar suara gemericik air kran dari arah luar tempat kamar Maira berada. Rupanya gadis itu sedang mandi setelah menyelesaikan shalat subuhnya.
"Ada apa, Om?" tanya Maira setelah mendatangi Andri yang sedang menyesap kopinya.
"Kamu jangan lelet dong! Ayo cepat kamu bantuin Tante kamu masak. Dan ingat! Kalau sampai kamu keluyuran malam lagi, lebih baik gak usah pulang sekalian! Udah ditampung juga, masih aja cari hiburan malam. Mau jadi apa kamu? Seperti Ibumu, hah?"
Deg!
Jantung Maira seperti diremas dan dihentikan paksa karena ucapan Omnya yang tak berperasaan.
"Om jangan pernah menghina Ibu! Mai hanya menginap di rumah teman."
"Ah, sudahlah! Om gak mau tahu apapun yang kamu lakukan. Anak haram pasti kelakuannya juga tak jauh-jauh dari keharaman. Yang penting jangan lakukan itu di rumahku! Sana, masak!"
Dengan berderai air mata Maira melangkah ke dapur dan mencuci beras. Setelah itu ia memotong sawi dan tahu untuk ditumis. Masih dengan air mata yang terus menetes, Maira mengambil ayam ungkep di kulkas.
"Gak usah drama nangis segala! Makanya jangan keluyuran. Kayak kupu-kupu malam aja gak pulang. Hih! Anak sama Ibu sama saja! Cepetan, Mai! Ini mau dibawa mas Andri!" cicit Sofi lalu pergi.
Maira yang sedang memotong bawang merah pun semakin tak bisa menahan air matanya. Batinnya terluka dan menjerit mendengar hinaan Om dan Tantenya. 'Tuhan, beri aku stok kesabaran yang banyak. Aku yakin Engkau tahu kalau aku tak pernah melakukan keharaman yang dituduhkan Om Andri.'
Maira menghembuskan napas kasar. "Jangan cengeng, Mai! Ayo, Semangat! Lebih baik aku konsen masak dan persiapan jualan," pungkas Maira lalu tangannya cekatan menumis bumbu dan disisi kompor yang lain ia menyalakan kompor untuk menggoreng ayam.
***
Dipagi harinya, Feni yang sudah tampak sumringah sedang mengobrol dengan sang Ibu di teras dikejutkan dengan kedatangan mobil sang kakak-Raditya Atmaja.
"Acalamualicum ..." Feni dan Ibunya tertawa lalu menjawab salam Aira sambil merentangkan tangan. Feni mengerucutkan bibirnya saat yang dipilih oleh malaikat kecil keluarga Atmaja itu adalah pelukan Ibunya.
Raditya menyalimi Ibu dan adik perempuan satu-satunya. Lalu kembali ke mobilnya dan menurunkan sepeda lipatnya.
"Hugh! Jangan harap ada traktiran es krim dari Ounty ya?"
"Iya-iya! Cini, Aiya peluk." Tubuh mungil itu berpindah kepelukan sang Tante. Dengan gemas Feni menciumi pipi gembul Aira.
"Yang ti, Aiya hayan-hayan duyu, ya."
"Baru datang langsung mau pergi lagi?"
"Bukan pelgi, cuma hayan-hayan."
"Ya ... Mumpung masih pagi. Buruan sana." Ibu Raditya mengecup kening Aira-cucu pertamanya. Lalu netra bijaknya memandangi Raditya yang sudah siap diatas sepeda lipatnya.
"Aku gak diajak, Mas?" goda Feni.
"Gak! Aku lagi pingin me time sama Aira."
"Heleh! Diajakpun aku juga gak mau, Wek!" Feni menjulurkan lidahnya. "Nonton Drakor lebih asyik." Raditya tak menggubris adiknya yang melenggang masuk ke rumah.
"Ingat pesan Ibu, mas Radit. Move on dan cari Mama baru untuk Aira." Raditya mendengus.
'Lagi-lagi cari Mama baru untuk Aira. Apaan sih Ibu? Kalau saja bukan karena Aira yang minta ke rumah Ibu, aku malas sekali ada disini.'
"Kalau gak, nanti mas Dandi yang akan datang bawa calon untuk jadi Mama Aira," lanjut sang ibu membuat Raditya ingin cepat kabur.
"Buk, itu bahas nanti aja. Okey? Radit mau olahraga malah loyo kalau Ibu paksa cari Mama baru, Mama baru terus. Radit pamit dulu. Assalamualaikum." Raditya memundurkan sepedanya dan meraih tangan Ibunya, mencium punggung tangannya hormat.
Raditya menyayangi Ibunya, walaupun Raditya sering dibuat jengkel karena selalu dipaksa menikah lagi. Raditya belum siap dijodohkan atau dikenalkan dengan wanita pilihan ibu dan kakaknya. 3 tahun ini dia masih betah menyendiri. Sakit hati yang ditorehkan Aina yang lebih memilih karir masih membekas dan ia masih enggan mengenal wanita.
Raditya menaikkan Aira ke tempat duduk rotan yang memang didesain untuk dipasang disetang sepeda. Perlahan kakinya mengayuh sepedanya menyusuri jalan pagi yang lumayan ramai.
"Enak nggak, Sayang?" tanya Raditya pada malaikat kecilnya.
"Enyak, Pa ... Aiya udah yama pingin cepedaan gini cama Papa." Suara Aira-putri kecil Raditya yang berumur hampir 4 tahun itu begitu menggemaskan. Raditya tersenyum sambil terus mengayuh sepedanya menuju taman kota yang tak begitu jauh dari kediaman sang Ibu.
"Pada hayi Minggu kutuyut ayah ke kota ... Naik eylman itimewa kududuk dimuka. Kududut camping pak kusil yang sedang bekelja ... Teyus gimana, Pa?" Raditya menelan salivanya.
'Waduh, aku juga gak hafal!'
"Apa nama binatang yang suka digendong ibunya didepan, ya?" Raditya memberi pertanyaan tentang nama hewan untuk menghindari nyanyian Aira.
***
*** "Kangguru ...," jawab Aira kegirangan sambil melepas satu tangannya yang berpegangan pada setang sepeda dan mengangkat-angkatnya diudarw karena berhasil menjawab pertanyaan sang Ayah. "Hayo-hayo Bandung ...." "Terima kasih telah memberiku malaikat kecil ini, Tuhan." Raditya tersenyum simpul mendengarkan Aira menyanyi lagi dengan lantangnya. Tak bisa dipungkiri bakat Mamanya menurun padanya. Banyak orang yang melambaikan tangan ikut tersenyum pada pasangan ayah dan anak itu. Ya, dengan adanya Aira, Raditya terhibur dan tak terlalu ambil pusing dengan kesendiriannya. Aira selalu bisa menjadi alasan mengapa ia tak jajan di luar sana dan menjadi alasan agar ia cepat pulang. Ia harus bisa menjadi orang tua tunggal yang terbaik untuk Aira. Tak terasa sepeda Raditya sudah masuk ke area taman yang tampak asri dan luas. "Pa, Aiya pengen ciyok itu ..." Raditya menurunkan Aira yang menunjuk penjual cilok yang dikerubungi pembeli dan menyandarkan sepeda lipatnya di dekat bangku taman. "
*** "Oke, aku maafkan. Tadi malaikat kecil ini udah pesen dulu. Ini yang kedua. Berapa totalnya?" "5 ribu, P-pa-k, eh-- Kak ..." ucap Maira menggantung, tampak ragu dan takut. Raditya menahan tawa, demi dilihat si penjual cilok itu seperti ketakutan tak berani menatap matanya yang dari tadi terpaku pada gadis itu. 'Aku galak, ya? Hahaha,' batin Raditya tertawa. "Semua?" Raditya menaikkan alisnya. "Yang pertama saya niatkan sodaqoh." Raditya mengulum senyum tipisnya, tak ingin terlihat rasa bangganya pada gadis itu. Raditya mengeluarkan selembar uang berwarna merah dan ditaruh diatas gerobak Maira. "Kembaliannya, Pak! Eh, Kak!" Raditya yang sudah berjalan meninggalkan Maira. "Dasar orang kaya sombong!" Maira ngedumel sambil mengambil kembalian untuk pria yang tak mau dipanggil bapak itu. Setelah selesai mengambil sejumlah kembalian, dia menghadang langkah Raditya. "Ini kembaliannya, Pak." Napas Maira terengah-engah. Raditya memandangnya cukup lama. 'Gadis yang menggemaskan. Mu
***Sementara itu di rumah Andri tampak putrinya yang bernama Nayla sedang tersenyum manis menyambut kekasihnya yang dari fakultas ekonomi di kampus yang sama dengannya.Namun sebelum Zian Bintoro-nama kekasih Nayla itu menghampiri Nayla, matanya melongok kearah kebun belakang rumah Andri."Nyari apa sih, Yang?" tanya Nayla kesal karena ia tahu kekasihnya pasti mencari keberadaan Maira."Maira ada?" Nayla mencebikkan bibirnya kesal karena Zian selalu saja menanyakan Maira saat ke rumahnya."Aku di sini lho, Yang! Ngapain kamu tanya pembantuku?""Ada apa tidak?" tanya Zian dingin."Gak ada, dia jualan. Udah ah! Jangan bahas dia lagi. Menjadikan mood kita buruk. Lebih baik kamu duduk dulu, aku ambilin kudapan.""Yang buat Maira?" Nayla kesal karena Zian dari tadi hanya bertanya Maira-Maira melulu."Ya iyalah, namanya juga pembantu. Ya tugasnya masakin semuanya buat kita. Bentar, ya?" Zian mengangguk tersenyum karena disaat ia ke rumah Nayla selalu bisa menikmati makanan buatan Maira-mah
***Setiba Maira di halaman rumah Andri-adik dari ibu Maira, mata Maira melihat Nayla-adik sepupunya dan pacarnya tengah ngobrol di teras. Maira mengerem sepedanya dan memasuki halaman rumah Om-nya dengan menuntunnya pelan-pelan ke belakang. Andri menyediakan sebuah kamar kecil dibelakang rumah mewahnya untuk Maira."Maira!" teriak pacar Nayla dan mendekat pada Maira.Deg!"Ya Tuhan, kenapa lelaki itu memanggilku? Bisa habis aku kena marah Nayla nanti," gumam Maira lirih. Maira pura-pura tak mendengar dan terus saja menuntun sepedanya."Maira! Tolong berhenti!" Mendengar kata 'tolong', Maira reflek menghentikan sepedanya.'Aduh bagaimana ini?' Maira bingung saat melirik lelaki itu menghampiri Maira dan disusul langkah Nayla dari belakang lelaki itu."Ciloknya masih?" tanyanya setelah sampai di dekatnya."Habis, Mas." Dia tertawa kecil mendengar jawaban Maira."Kenapa panggil aku 'Mas', hmm? Bukankah sudah aku katakan kita satu kampus?" Maira diam saja, dia lebih takut reaksi Nayla yan
***"Kakinya berdarah," jawab Zian lalu berbalik pergi. Maira yang dari tadi mengintip dari jendela membuka kamar dan hendak mencuci kakinya di kran yang tak jauh dari kamarnya supaya tak ada kuman dan cepat kering lukanya.Betapa kagetnya Maira saat mendapati Zian duduk di kursi kecil yang biasa Maira duduki saat membuat dagangan. "Z-zi-ann??" "Duduklah, Mai. Aku akan mengobati lukamu." Zian mengangkat tubuhnya dan memberikan tempat yang barusan didudukinya."Saya sudah gak apa-apa, kok." Maira menolak halus demi mendapati Nayla yang sudah berdiri didepan Maira dan menyilangkan kedua tangannya didepan dada dengan pandangan tak suka."Nanti kalau gak segera diobati akan infeksi," cetus Zian."Iyakah? Gak semengerikan itu lah, Sayang. Toh hanya luka lecet doang," cicit Nayla."Iya, besok juga kering kok, Zian. Pergilah dan teruskan apel kamu." Maira hendak masuk ke kamar tapi Zian berdiri didepannya."Annisa Humaira! Kapan sih kamu peduli pada dirimu sendiri? Kalau kamu acuh pada diri
***"Tahu! Hati Mas emang bahannya kayaknya beda sama kebanyakan hati manusia pada umumnya deh!" Raditya mencebik merutuki adiknya dalam hati."Terima aja lah Mbak-Mbak temennya mas Dandi keburu bangkotan itu punya Mas. Lagian mereka gak kalah cantik sama Mbak Aina kok," ledek Feni sambil berlari ke kamarnya lagi sebelum Mas-nya itu mengamuknya. Bisa gawat kalau macan tidur Masnya itu bangun."Sialan tuh mulut! Dikuliahin malah ngehina Mas-nya," teriak Raditya tanpa mau mengejar Feni."Kenapa harus temennya mas Dandi jika ada penjual cilok yang mandiri dan menggemaskan? Huft! Sepertinya aku gak bisa berhenti memikirkan gadis cilok tadi." Sesimpul senyum terbit menghiasi wajah Raditya. "Maira ..." Raditya menyugar rambutnya kebelakang. Hatinya berdesir saat mulutnya menyebut nama Maira."Papa ... Aiya mau maem!" Aira menarik lengan Raditya meminta makan."Oke, Sayang!" Tangan Raditya mengusap-usap kepala Aira dengan bibir tersenyum, ia ingat tadi pagi Maira juga mengelus-elus kepala A
***Maira ingin menyentak tangan Zian yang masih menggandeng jemarinya dan ingin berteriak minta tolong. Namun ia masih memikirkan nasib Zian kalau sampai dia dikeroyok massa. Maka namanya juga kampus mereka akan tercoreng.Zian menatap Maira yang tak henti-hentinya menitikkan air mata. 'Apakah dia ketakutan padaku?''Ya Tuhanku! Tolong lindungi aku!' batin Maira tiada berhenti berharap agar mahasiswa ekonomi itu melepaskannya tanpa harus ia berteriak minta tolong.Maira tersentak kaget karena tangan kekar Zian menghapus air bening yang menetes ke pipinya. Maira memejamkan mata, tubuhnya gemetar ketakutan. Keringat dingin mengucur dari setiap pori-porinya. Terlintas kembali dalam benaknya kejadian beberapa tahun silam saat ia dilecehkan oleh Om Bram. Rahang kecilnya mengeras. Semua pria memang brengsek! Hatinya menjerit memanggil nama Ibunya. Lidahnya terasa kaku dan kelu."Maaf, aku membuat kamu ketakutan," desis Zian saat melihat Maira yang begitu ketakutan. Tangan yang tadi menghap
*** Maira kembali gusar saat merasakan deru napas yang naik turun teratur menyapu sela-sela rambutnya, membuat bulu kuduknya merinding. Hatinya berkecamuk berbagai rasa. Darahnya mengalir dengan begitu derasnya. Ingin marah tapi kenapa tak bisa? Ingin menangis tapi kenapa tak lagi meneteskan air mata? Zian memejamkan matanya merasakan setiap sentuhan tangannya dikepala Maira. Aroma shampo dirambut mahasiswi jurusan hukum yang lama dicintainya dalam diam itu menguar dan masuk dalam indra penciumannya. Menenangkan pikirannya. Namun tidak dengan degup jantungnya yang seperti genderang ditabuh sangat cepat membuat darahnya memanas dan mengalir deras. Berbagai rasa membuncah didadanya. 'Ya Tuhan, kenapa dia tak melepasku?' batin Maira mulai was-was lagi. Dalam perasaannya yang semakin membuncah, Zian sadar tak boleh melewati batasan. Ia ingin menjaga gadis yang dicintainya itu tanpa merusaknya. Ia membuka matanya dan melepaskan pelukannya. Ditatapnya Maira dengan tatapan yang dalam, d