Share

Bab 4. Si Pendiam dan Si Periang

***

"Terima kasih, Fen! Kamu sahabat terbaik aku," ucap Maira ditengah perjalanannya menuju pasar tradisional yang tak jauh dari rumah Feni.

Kaos lengan panjang dan celana plisket yang Maira kenakan tak mampu menahan hawa dingin dari sapuan angin yang terasa begitu menusuk kulit.

'Brrr!' bibir Maira bergetar. Giginya saling bergemelutuk. Matanya fokus menatap jalanan yang diterangi oleh lampu putih disepanjang pinggirnya. Ini pertama kalinya ia belanja sepagi itu.

"Hidup harus terus berlanjut, Mai! Angin dingin ini tak boleh mengalahkan kamu!" cicit Maira memberi semangat pada dirinya sendiri.

"Tuh kan? Pasar sudah sangat ramai ...," gumam Maira sambil memarkirkan sepedanya. Lalu mengubah posisi tas selempangnya ke depan sebagai bentuk kewaspadaan dari tangan jahat. Ia menuju toko sembako untuk membeli bahan cilok. Selanjutnya ia menuju penjual plastik dan terakhir ke penjual snak kiloan dan memesan beberapa snak.

'Alhamdulillah, kalau masih pagi buta begini belum terlalu antri ...,' batin Maira tersenyum saat melirik plastik-plastik belanjaan sudah memenuhi tangannya.

"Tumben pagi banget belanjanya, Mbak?" tanya penjual snak seraya menimbang snak pesanan Maira.

"Iya, Bu," jawab Maira yang pendiam ini dengan singkat.

"Ini snak baru, Mbak. Gak ambil? Di tempat yang lain ini laris lho, Mbak," ucap penjual snak sambil memberikan sampel snak agar Maira cicipi.

"Yang itu saya minta setengah kilo, ya, Bu," pinta Maira setelah merasakan rasa gurih yang dirasa cocok dilidah semua umur dari snak dengan bentuk ulir itu.

"Siiplah. Moga laris juga ya, Mbak." Maira mengangguk dan mengaminkan dalam hati. Lalu ia membayar dan bergegas pergi.

Ia ingat pesan sahabatnya untuk mencari sarapan. Maira menuju penjual sate lontong. Ia menarik sebelah bibirnya keatas. Apakah dengan sebungkus sate lontong ini ia akan siap meladeni sepupunya yang selalu mencari gara-gara dengannya?

***

"Mai! Cepat sini!" Panggil Andri dari arah dapurnya saat mendengar suara gemericik air kran dari arah luar tempat kamar Maira berada. Rupanya gadis itu sedang mandi setelah menyelesaikan shalat subuhnya.

"Ada apa, Om?" tanya Maira setelah mendatangi Andri yang sedang menyesap kopinya.

"Kamu jangan lelet dong! Ayo cepat kamu bantuin Tante kamu masak. Dan ingat! Kalau sampai kamu keluyuran malam lagi, lebih baik gak usah pulang sekalian! Udah ditampung juga, masih aja cari hiburan malam. Mau jadi apa kamu? Seperti Ibumu, hah?"

Deg!

Jantung Maira seperti diremas dan dihentikan paksa karena ucapan Omnya yang tak berperasaan.

"Om jangan pernah menghina Ibu! Mai hanya menginap di rumah teman."

"Ah, sudahlah! Om gak mau tahu apapun yang kamu lakukan. Anak haram pasti kelakuannya juga tak jauh-jauh dari keharaman. Yang penting jangan lakukan itu di rumahku! Sana, masak!"

Dengan berderai air mata Maira melangkah ke dapur dan mencuci beras. Setelah itu ia memotong sawi dan tahu untuk ditumis. Masih dengan air mata yang terus menetes, Maira mengambil ayam ungkep di kulkas.

"Gak usah drama nangis segala! Makanya jangan keluyuran. Kayak kupu-kupu malam aja gak pulang. Hih! Anak sama Ibu sama saja! Cepetan, Mai! Ini mau dibawa mas Andri!" cicit Sofi lalu pergi.

Maira yang sedang memotong bawang merah pun semakin tak bisa menahan air matanya. Batinnya terluka dan menjerit mendengar hinaan Om dan Tantenya. 'Tuhan, beri aku stok kesabaran yang banyak. Aku yakin Engkau tahu kalau aku tak pernah melakukan keharaman yang dituduhkan Om Andri.'

Maira menghembuskan napas kasar. "Jangan cengeng, Mai! Ayo, Semangat! Lebih baik aku konsen masak dan persiapan jualan," pungkas Maira lalu tangannya cekatan menumis bumbu dan disisi kompor yang lain ia menyalakan kompor untuk menggoreng ayam.

***

Dipagi harinya, Feni yang sudah tampak sumringah sedang mengobrol dengan sang Ibu di teras dikejutkan dengan kedatangan mobil sang kakak-Raditya Atmaja.

"Acalamualicum ..." Feni dan Ibunya tertawa lalu menjawab salam Aira sambil merentangkan tangan. Feni mengerucutkan bibirnya saat yang dipilih oleh malaikat kecil keluarga Atmaja itu adalah pelukan Ibunya.

Raditya menyalimi Ibu dan adik perempuan satu-satunya. Lalu kembali ke mobilnya dan menurunkan sepeda lipatnya.

"Hugh! Jangan harap ada traktiran es krim dari Ounty ya?"

"Iya-iya! Cini, Aiya peluk." Tubuh mungil itu berpindah kepelukan sang Tante. Dengan gemas Feni menciumi pipi gembul Aira.

"Yang ti, Aiya hayan-hayan duyu, ya."

"Baru datang langsung mau pergi lagi?"

"Bukan pelgi, cuma hayan-hayan."

"Ya ... Mumpung masih pagi. Buruan sana." Ibu Raditya mengecup kening Aira-cucu pertamanya. Lalu netra bijaknya memandangi Raditya yang sudah siap diatas sepeda lipatnya.

"Aku gak diajak, Mas?" goda Feni.

"Gak! Aku lagi pingin me time sama Aira."

"Heleh! Diajakpun aku juga gak mau, Wek!" Feni menjulurkan lidahnya. "Nonton Drakor lebih asyik." Raditya tak menggubris adiknya yang melenggang masuk ke rumah.

"Ingat pesan Ibu, mas Radit. Move on dan cari Mama baru untuk Aira." Raditya mendengus.

'Lagi-lagi cari Mama baru untuk Aira. Apaan sih Ibu? Kalau saja bukan karena Aira yang minta ke rumah Ibu, aku malas sekali ada disini.'

"Kalau gak, nanti mas Dandi yang akan datang bawa calon untuk jadi Mama Aira," lanjut sang ibu membuat Raditya ingin cepat kabur.

"Buk, itu bahas nanti aja. Okey? Radit mau olahraga malah loyo kalau Ibu paksa cari Mama baru, Mama baru terus. Radit pamit dulu. Assalamualaikum." Raditya memundurkan sepedanya dan meraih tangan Ibunya, mencium punggung tangannya hormat.

Raditya menyayangi Ibunya, walaupun Raditya sering dibuat jengkel karena selalu dipaksa menikah lagi. Raditya belum siap dijodohkan atau dikenalkan dengan wanita pilihan ibu dan kakaknya. 3 tahun ini dia masih betah menyendiri. Sakit hati yang ditorehkan Aina yang lebih memilih karir masih membekas dan ia masih enggan mengenal wanita.

Raditya menaikkan Aira ke tempat duduk rotan yang memang didesain untuk dipasang disetang sepeda. Perlahan kakinya mengayuh sepedanya menyusuri jalan pagi yang lumayan ramai.

"Enak nggak, Sayang?" tanya Raditya pada malaikat kecilnya.

"Enyak, Pa ... Aiya udah yama pingin cepedaan gini cama Papa." Suara Aira-putri kecil Raditya yang berumur hampir 4 tahun itu begitu menggemaskan. Raditya tersenyum sambil terus mengayuh sepedanya menuju taman kota yang tak begitu jauh dari kediaman sang Ibu.

"Pada hayi Minggu kutuyut ayah ke kota ... Naik eylman itimewa kududuk dimuka. Kududut camping pak kusil yang sedang bekelja ... Teyus gimana, Pa?" Raditya menelan salivanya.

'Waduh, aku juga gak hafal!'

"Apa nama binatang yang suka digendong ibunya didepan, ya?" Raditya memberi pertanyaan tentang nama hewan untuk menghindari nyanyian Aira.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status