Share

Bab 5. Pesona Penjual Cilok Cantik

***

"Kangguru ...," jawab Aira kegirangan sambil melepas satu tangannya yang berpegangan pada setang sepeda dan mengangkat-angkatnya diudarw karena berhasil menjawab pertanyaan sang Ayah.

"Hayo-hayo Bandung ...."

"Terima kasih telah memberiku malaikat kecil ini, Tuhan." Raditya tersenyum simpul mendengarkan Aira menyanyi lagi dengan lantangnya. Tak bisa dipungkiri bakat Mamanya menurun padanya. Banyak orang yang melambaikan tangan ikut tersenyum pada pasangan ayah dan anak itu.

Ya, dengan adanya Aira, Raditya terhibur dan tak terlalu ambil pusing dengan kesendiriannya. Aira selalu bisa menjadi alasan mengapa ia tak jajan di luar sana dan menjadi alasan agar ia cepat pulang. Ia harus bisa menjadi orang tua tunggal yang terbaik untuk Aira. Tak terasa sepeda Raditya sudah masuk ke area taman yang tampak asri dan luas.

"Pa, Aiya pengen ciyok itu ..." Raditya menurunkan Aira yang menunjuk penjual cilok yang dikerubungi pembeli dan menyandarkan sepeda lipatnya di dekat bangku taman.

"Itu?"-Aira mengangguk saat sang Papa bertanya memastikan.-"Aira! Tungguin Papa dong!" teriak Raditya memanggil Aira yang sudah berlari menuju tukang penjual cilok yang tak berapa jauh dari tempat Raditya menaruh sepeda. Dasar bocil. Ugh!

"Akak cantiiik ... Aiya mau ciyoknya doong," teriak Aira yang menerobos masuk barisan paling depan.

Raditya geleng-geleng kepala melihat tingkah putrinya.

"Aira ... antri dulu, Sayang. Nggak boleh main serobot gitu. Maaf ya Mbak, Mas." Mereka yang mengerubungi penjual ciloknya mengangguk, memaklumi.

"Ini adik imut ..." Suara perempuan penjual cilok itu lembut dan ramah, suara khas dari Maira.

"Itu gak pedas kan, Mbak?" tanya Raditya tanpa bisa melihat si penjual.

"Gak, Pak, itu hanya sambal kacang yang gak pedas," jawab Maira dengan sedikit berteriak.

"Makacih, Kaak," ucap Aira dengan senyum sumringahnya dan langsung berbalik keluar dari kerumunan dan menghampiri Raditya dengan membawa seplastik cilok dengan saus kacang.

'Masih banyak orang juga, bayar nanti aja lah," putus Raditya saat ingat ia belum membayar cilok Aira. Tangan basarnya menuntun Aira kebangku disamping sepedanya.

"Ini enyak, Pa. Papa mau?" Raditya menggeleng meski dalam hati ia ngiler juga lihat Aira yang sangat menikmati cilok yang ditusuk itu. 

Untuk mengalihkan keinginannya, Raditya meraih ponsel di saku celana trainingnya mengabadikan momen Aira makan cilok itu. Terlihat sangat bahagia itu bocah. Raditya mengulum senyumnya ikut tertular bahagia sang putri rupanya. Baginya kebahagiaan Aira adalah segalanya.

Entah mengapa tangan Raditya sekarang membidikkan kamera ponselnya pada Maira yang masih melayani beberapa pembeli. Raditya melengkungkan bibirnya keatas melihat wajah Maira yang tampak serius meraih saus dalam botol.

'Dia masih cukup muda tapi tak malu menjual cilok dengan sepeda bututnya. Mengingatkanku saat masih kuliah dulu aku juga ikut jualan serbet ke pasar-pasar. Sekarang? Jangan ditanya lagi! Sebuah supermarket pun sanggup untuk kubeli jika aku menginginkannya.' Raditya terkenang akan masa lalunya. Ia menarik napas dan mengembuskannya cepat.

'Semangat!' teriak Raditya dalam hati memberi semangat pada Maira yang kini bisa ia lihat wajahnya seperti bukan orang Indonesia. Bermata sipit, kulit wajah yang putih tanpa make-up itu nampak kemerah-merahan diterpa sang Surya yang mulai naik ke atas kepala, Bagian kening Maira sebagiannya tertutup topi dan rambut panjangnya dikuncir seperti buntut kuda. Senyum Raditya semakin lebar saat matanya tertuju pada bibir Maira yang merah seperti cherry, naik keatas terlihat alis yang tebal alami, hidung yang lumayan mancung untuk ukuran orang Asia. Tanpa berkedip mata Raditya memandang senyumnya yang tampak begitu manis. Berkali-kali Raditya meneguk salivanya. Jakunnya naik turun. Baru kali ini ia melihat gadis cantik yang berdagang cilok seperti itu.

Rasanya ia tak mau berhenti memandang Maira. Namun, trauma di hatinya tiba-tiba kembali melintas di benaknya. Raditya menelan salivanya dan menggeleng.

"Wanita hanya bisa melukai hati pria!" tegas Raditya.

'Tapi penjual cilok cantik itu lain ..." gumam hati kecilnya.

"Pa, yagi ..." Raditya tersentak saat Aira merengek sambil menarik lengannya. Tak lama Aira kembali berlari ke penjual cilok itu.

"Aduh, putri kecilku itu kenapa jadi tak sabaran begitu." Raditya berdiri dan mengayun langkah menyusul Aira. Menjadi Ayah sekaligus Ibu bagi anak balita memang tak mudah.

"Mbak, aku pesan ciloknya lagi ya. Untuk anak kecil ini." Maira mendongak ke arah Raditya dengan ekspresi datarnya lalu melempar senyum manisnya pada Aira. Raditya dibuat tercengang oleh sikap gadis penjual cilok ditaman itu. 'Kok bisa? Apa lebih mempesona Aira daripada aku? Dasar, cewek belagu!' Raditya mengomel dalam hati.

"Ini, Dek." Suara Maira terdengar ramah dan nyaring di telinga Raditya.

"Berapa?" tanya Raditya dingin lalu menggendong Aira.

"5 ribu, Pak."

"Aku bukan bapakmu. Jadi jangan panggil aku Pak!" protes Raditya dengan kesal.

'Pria muda kayak aku masak dipanggil bapak. Jelas tersinggung lah jiwa mudaku!'

"Maaf, Pak."-Maira langsung mengatupkan mulutnya. Otaknya berpikir.-"Ma-af, Kak."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status