Home / Romansa / Kupinang Kau Walau Tak Berayah / Bab 5. Pesona Penjual Cilok Cantik

Share

Bab 5. Pesona Penjual Cilok Cantik

Author: Nick RA
last update Last Updated: 2022-07-20 09:41:15

***

"Kangguru ...," jawab Aira kegirangan sambil melepas satu tangannya yang berpegangan pada setang sepeda dan mengangkat-angkatnya diudarw karena berhasil menjawab pertanyaan sang Ayah.

"Hayo-hayo Bandung ...."

"Terima kasih telah memberiku malaikat kecil ini, Tuhan." Raditya tersenyum simpul mendengarkan Aira menyanyi lagi dengan lantangnya. Tak bisa dipungkiri bakat Mamanya menurun padanya. Banyak orang yang melambaikan tangan ikut tersenyum pada pasangan ayah dan anak itu.

Ya, dengan adanya Aira, Raditya terhibur dan tak terlalu ambil pusing dengan kesendiriannya. Aira selalu bisa menjadi alasan mengapa ia tak jajan di luar sana dan menjadi alasan agar ia cepat pulang. Ia harus bisa menjadi orang tua tunggal yang terbaik untuk Aira. Tak terasa sepeda Raditya sudah masuk ke area taman yang tampak asri dan luas.

"Pa, Aiya pengen ciyok itu ..." Raditya menurunkan Aira yang menunjuk penjual cilok yang dikerubungi pembeli dan menyandarkan sepeda lipatnya di dekat bangku taman.

"Itu?"-Aira mengangguk saat sang Papa bertanya memastikan.-"Aira! Tungguin Papa dong!" teriak Raditya memanggil Aira yang sudah berlari menuju tukang penjual cilok yang tak berapa jauh dari tempat Raditya menaruh sepeda. Dasar bocil. Ugh!

"Akak cantiiik ... Aiya mau ciyoknya doong," teriak Aira yang menerobos masuk barisan paling depan.

Raditya geleng-geleng kepala melihat tingkah putrinya.

"Aira ... antri dulu, Sayang. Nggak boleh main serobot gitu. Maaf ya Mbak, Mas." Mereka yang mengerubungi penjual ciloknya mengangguk, memaklumi.

"Ini adik imut ..." Suara perempuan penjual cilok itu lembut dan ramah, suara khas dari Maira.

"Itu gak pedas kan, Mbak?" tanya Raditya tanpa bisa melihat si penjual.

"Gak, Pak, itu hanya sambal kacang yang gak pedas," jawab Maira dengan sedikit berteriak.

"Makacih, Kaak," ucap Aira dengan senyum sumringahnya dan langsung berbalik keluar dari kerumunan dan menghampiri Raditya dengan membawa seplastik cilok dengan saus kacang.

'Masih banyak orang juga, bayar nanti aja lah," putus Raditya saat ingat ia belum membayar cilok Aira. Tangan basarnya menuntun Aira kebangku disamping sepedanya.

"Ini enyak, Pa. Papa mau?" Raditya menggeleng meski dalam hati ia ngiler juga lihat Aira yang sangat menikmati cilok yang ditusuk itu. 

Untuk mengalihkan keinginannya, Raditya meraih ponsel di saku celana trainingnya mengabadikan momen Aira makan cilok itu. Terlihat sangat bahagia itu bocah. Raditya mengulum senyumnya ikut tertular bahagia sang putri rupanya. Baginya kebahagiaan Aira adalah segalanya.

Entah mengapa tangan Raditya sekarang membidikkan kamera ponselnya pada Maira yang masih melayani beberapa pembeli. Raditya melengkungkan bibirnya keatas melihat wajah Maira yang tampak serius meraih saus dalam botol.

'Dia masih cukup muda tapi tak malu menjual cilok dengan sepeda bututnya. Mengingatkanku saat masih kuliah dulu aku juga ikut jualan serbet ke pasar-pasar. Sekarang? Jangan ditanya lagi! Sebuah supermarket pun sanggup untuk kubeli jika aku menginginkannya.' Raditya terkenang akan masa lalunya. Ia menarik napas dan mengembuskannya cepat.

'Semangat!' teriak Raditya dalam hati memberi semangat pada Maira yang kini bisa ia lihat wajahnya seperti bukan orang Indonesia. Bermata sipit, kulit wajah yang putih tanpa make-up itu nampak kemerah-merahan diterpa sang Surya yang mulai naik ke atas kepala, Bagian kening Maira sebagiannya tertutup topi dan rambut panjangnya dikuncir seperti buntut kuda. Senyum Raditya semakin lebar saat matanya tertuju pada bibir Maira yang merah seperti cherry, naik keatas terlihat alis yang tebal alami, hidung yang lumayan mancung untuk ukuran orang Asia. Tanpa berkedip mata Raditya memandang senyumnya yang tampak begitu manis. Berkali-kali Raditya meneguk salivanya. Jakunnya naik turun. Baru kali ini ia melihat gadis cantik yang berdagang cilok seperti itu.

Rasanya ia tak mau berhenti memandang Maira. Namun, trauma di hatinya tiba-tiba kembali melintas di benaknya. Raditya menelan salivanya dan menggeleng.

"Wanita hanya bisa melukai hati pria!" tegas Raditya.

'Tapi penjual cilok cantik itu lain ..." gumam hati kecilnya.

"Pa, yagi ..." Raditya tersentak saat Aira merengek sambil menarik lengannya. Tak lama Aira kembali berlari ke penjual cilok itu.

"Aduh, putri kecilku itu kenapa jadi tak sabaran begitu." Raditya berdiri dan mengayun langkah menyusul Aira. Menjadi Ayah sekaligus Ibu bagi anak balita memang tak mudah.

"Mbak, aku pesan ciloknya lagi ya. Untuk anak kecil ini." Maira mendongak ke arah Raditya dengan ekspresi datarnya lalu melempar senyum manisnya pada Aira. Raditya dibuat tercengang oleh sikap gadis penjual cilok ditaman itu. 'Kok bisa? Apa lebih mempesona Aira daripada aku? Dasar, cewek belagu!' Raditya mengomel dalam hati.

"Ini, Dek." Suara Maira terdengar ramah dan nyaring di telinga Raditya.

"Berapa?" tanya Raditya dingin lalu menggendong Aira.

"5 ribu, Pak."

"Aku bukan bapakmu. Jadi jangan panggil aku Pak!" protes Raditya dengan kesal.

'Pria muda kayak aku masak dipanggil bapak. Jelas tersinggung lah jiwa mudaku!'

"Maaf, Pak."-Maira langsung mengatupkan mulutnya. Otaknya berpikir.-"Ma-af, Kak."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kupinang Kau Walau Tak Berayah   Chapter 17. Dua Hati Untuk Satu

    ***Zian sudah tak kuat lagi mendengar nestapa Maira. Dengan cepat ia merangkul gadis itu. Ia tak peduli kondisi Maira yang basah kuyup. Kaos oversize yang Maira kenakan sudah menempel dengan badannya karena dilem oleh air hujan yang terus saja mengguyur bumi. Kini pakaiannya juga basah. Tapi masa bodoh. Dalam otaknya ia hanya ingin membuat gadis itu tenang."Siapa orang yang telah menghina kamu seperti itu? Katakan padaku, Mai!" ucap Zian dengan nada yang ditekan penuh amarah. Selama ini dia mengikuti Maira dan menjadi pengagum rahasianya, ia tak pernah menemukan Maira bersama pria manapun. Ia tak pernah menemukan Maira berada di tempat terkutuk itu. Ia akan menghabisi orang yang tega menuduh Maira dengan tuduhan yang tak pernah dilakukannya."Katakan, Mai!" Suara Zian melembut saat menyadari Maira tertunduk diam didadanya."Kakaknya Feni ..." ucap Maira tanpa disadari.Jemari kanan Zian yang memeluk pundak Maira mengepal. Dalam hati ia bersumpah akan membuat perhitungan dengan abang

  • Kupinang Kau Walau Tak Berayah   Chapter 16. Bergemuruh

    ***"Sudah, Maira." Maira membuka pintu disampingnya tanpa merespon perkataan Raditya."Terima kasih kamu telah jadi sahabat yang baik buat aku selama ini, Fen. Ini mungkin yang terakhir kita bertemu sebagai sahabat," ucap Maira sebelum melangkah keluar. Feni tercengang. Tak ada angin tak ada badai kenapa Maira memutuskan persahabatannya? Ia hanya memandang lesu punggung Maira yang mulai menjauh. Apa ini, Tuhan? Tak berapa lama Maira berbalik dan menghampiri pintu mobil Raditya yang masih terbuka."Mai, kamu kembali." Feni tersenyum bahagia. "Ayo naik. Sudah kubilang hujannya masih deras. Ayo sini!" Feni tersenyum saat Maira melongak ke pintu yang masih terbuka."Ini jaket mahal Mas kamu!" Maira meletakkan jaket Raditya dan kembali berjalan menerobos air hujan. Raditya dan Feni dibuat tercengang oleh tingkah Maira."Mas! Apa kamu kenal Maira sebelum ini? Dari tadi ia tak mau merespon kamu sama sekali! Selama 3 tahun bersahabat dengannya dia tak pernah melakukan ini padaku. Ini pasti k

  • Kupinang Kau Walau Tak Berayah   Chapter 15. Salah Paham

    ***Mata Maira merah menahan amarah. Hidungnya kembang kempis dengan deru napas yang naik turun. Namun ia hanya mampu diam dan menunduk. Ia tak mau mengotori mulutnya dengan kata-kata kasar pada pria angkuh dan galak itu. Andai ia bukan kakaknya Feni ia pilih berlari pulang.Hati Maira yang baru saja tertawa melihat tingkah adiknya kini harus tersulut emosi lagi karena abangnya.'Mulut pedasnya itu! Ah! Tapi apa salahnya? Dia mengatakan hal yang benar kan? Memang aku ini hanya penjual cilok. Sabar, Mai! Kenapa harus tersinggung coba?' Dalam kepalanya yang masih menunduk, Maira mencoba menjerang senyumnya meski sulit untuk menguatkan hatinya."Mas Radit gak boleh gitu! Meskipun ia penjual cilok, tapi cantik kan?" ujar Feni untuk mencairkan ketegangan yang semakin menguar.Glek!Raditya menelan salivanya. Memang tidak salah yang dikatakan adiknya. Memang dari tadi pagi ia sudah terpesona pada gadis penjual cilok ini. Ah! Takdir yang manis! Ia bahkan lebih manis dari Aina-mantan istrinya

  • Kupinang Kau Walau Tak Berayah   Chapter 14. Kembali Terluka

    ***Maira tak menghiraukan pandangan Feni yang dari tadi meliriknya. Ia lebih mengkhawatirkan pandangan Nayla yang tak ada dibalik mobil."Pulanglah! Kasihan Nayla sudah menunggu," jawab Maira lirih tapi penuh penekanan membuat Zian kecewa karena jawaban gadis itu tak nyambung dari pertanyaannya. Zian melengos sambil mengusap dadanya. Kecewa? Sudah pasti! Mengapa gadis disampingnya ini selalu menutup diri darinya. Sabar, Zi!Namun saat dirinya ingat aksi nekatnya di mall tadi, seulas senyum tipis menghiasi wajah tampannya.Ia tak mau putus asa. Tak ada perjuangan yang sia-sia. Zian menguatkan tekadnya. Keinginan yang lama ia pendam, bisa dekat dengan Annisa Humaira, mahasiswi pekerja keras yang dari awal melihatnya langsung mencuri hatinya. Satu-satunya gadis acuh dan tak mengindahkan keberadaannya. Jika sampai dirinya melanjutkan studinya ke Amerika dan ia belum juga bisa mengungkapkan cintanya pada Maira ia akan sangat menyesal. 'Aku harus segera mengungkapkan cintaku!'"Aku tunggu

  • Kupinang Kau Walau Tak Berayah   Chapter 13. Bantuan Yang Tak Diharap

    ***~Kediaman Hanni~"Ayo, Mas! Buruan telpon adikmu!" titah Hanni pada Raditya yang baru selesai mandi."Iya-iya, Ibukku tersayang ..." Raditya meraih ponselnya disamping MacBook-nya. Baru menyalakan layar ponselnya, sudah berdering duluan.Raditya melirik Ibunya sembari tersenyum. "Pucuk dicinta ulam pun tiba. Nih, bocah telpon!" Raditya menggeser gagang telpon warna hijau dan wajahnya berubah menjadi serius dan sedikit menegang. Hanni jadi ikut cemas."Share lok! Mas akan jemput kamu!" Tak berapa lama ia memutus panggilannya."Motornya mogok, Buk! Aku akan jemput dia!" Hanni mengangguk cepat dan menoleh kearah Aira yang kini bermain dengan ART-nya."He'em, buruan jemput, Mas! Kasihan adekmu. Mana mendung gelap begini.""Siap, Bu komandan!" Hanni sedikit tersenyum mendengar kekonyolan Raditya. Sudah punya anak juga masih saja bisa menggoda Ibunya.Raditya menaruh ponselnya kesakunya setelah mendapat pesan Wh*tsApp lokasi keberadaan Feni dan temannya.'Mana tega aku biarin Feni susah

  • Kupinang Kau Walau Tak Berayah   Chapter 12. Dia Baik, Tapi ...

    *** Maira kembali gusar saat merasakan deru napas yang naik turun teratur menyapu sela-sela rambutnya, membuat bulu kuduknya merinding. Hatinya berkecamuk berbagai rasa. Darahnya mengalir dengan begitu derasnya. Ingin marah tapi kenapa tak bisa? Ingin menangis tapi kenapa tak lagi meneteskan air mata? Zian memejamkan matanya merasakan setiap sentuhan tangannya dikepala Maira. Aroma shampo dirambut mahasiswi jurusan hukum yang lama dicintainya dalam diam itu menguar dan masuk dalam indra penciumannya. Menenangkan pikirannya. Namun tidak dengan degup jantungnya yang seperti genderang ditabuh sangat cepat membuat darahnya memanas dan mengalir deras. Berbagai rasa membuncah didadanya. 'Ya Tuhan, kenapa dia tak melepasku?' batin Maira mulai was-was lagi. Dalam perasaannya yang semakin membuncah, Zian sadar tak boleh melewati batasan. Ia ingin menjaga gadis yang dicintainya itu tanpa merusaknya. Ia membuka matanya dan melepaskan pelukannya. Ditatapnya Maira dengan tatapan yang dalam, d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status