Share

Bab 6. Gadis Belagu Yang Menarik Hati

***

"Oke, aku maafkan. Tadi malaikat kecil ini udah pesen dulu. Ini yang kedua. Berapa totalnya?"

"5 ribu, P-pa-k, eh-- Kak ..." ucap Maira menggantung, tampak ragu dan takut. Raditya menahan tawa, demi dilihat si penjual cilok itu seperti ketakutan tak berani menatap matanya yang dari tadi terpaku pada gadis itu.

'Aku galak, ya? Hahaha,' batin Raditya tertawa.

"Semua?" Raditya menaikkan alisnya.

"Yang pertama saya niatkan sodaqoh." Raditya mengulum senyum tipisnya, tak ingin terlihat rasa bangganya pada gadis itu.

Raditya mengeluarkan selembar uang berwarna merah dan ditaruh diatas gerobak Maira.

"Kembaliannya, Pak! Eh, Kak!" Raditya yang sudah berjalan meninggalkan Maira.

"Dasar orang kaya sombong!" Maira ngedumel sambil mengambil kembalian untuk pria yang tak mau dipanggil bapak itu.

Setelah selesai mengambil sejumlah kembalian, dia menghadang langkah Raditya. "Ini kembaliannya, Pak." Napas Maira terengah-engah.

Raditya memandangnya cukup lama. 'Gadis yang menggemaskan. Muka putihnya kini semakin kemerah-merahan.'

"Ambil saja," dengus Raditya setelah kesadarannya kembali sambil menurunkan Aira dari gendongannya.

Maira tersinggung saat mata Raditya terus menatapnya aneh. Gegas ia memberikan uang kembalian dalam lembaran yang banyak pada Aira. "Ini, Dek. Kasihkan kakak kamu." 

"Makacih, Kak." Maira menahan kekesalannya pada pria menyebalkan itu, tersenyum pada Aira dan mengusap kepalanya, lalu kembali ke sepeda bututnya.

"Dasar cewe belagu!" omel Raditya kesal sambil memandangi Maira.-"Tapi kamu baik dan jujur." Bibirnya tak bisa tidak meluncurkan pujian melihat sifat penjual cilok yang cukup menyita perhatiannya.

'Seberapa enak sih ciloknya sampai pada ngantri gitu?' Raditya memandangi cilok yang dari tadi Aira makan dengan begitu lahapnya. Raditya menelan salivanya.

'Sepertinya aku juga ingin mencicipi cilok gadis belagu itu.'

***

Sementara itu Maira tersenyum karena dandang ciloknya telah bersih. "Alhamdulillah, walaupun berangkatnya siangan daganganku habis."

"Aku harus segera pulang dan mengemas snak," putus Maira sambil beberes pulang.

"Kaak ... macih?" tanya anak kecil yang sudah dua kali membeli cilok Maira.

"Maaf, Dek, habis. Kalau ini mau gak?" tanya Maira sambil menyodorkan sebungkus permen kaki yang didapatnya dari kembalian saat aku membeli air mineral.

"Jangan menerima apapun dari orang yang tak dikenal, Sayang. Maaf, ya, Mbak ... Jangan kasih anak saya barang begituan, gak sehat." Maira langsung merapatkan kedua bibirnya serapat mungkin. Antara merasa bersalah dan kesal.

'Ya Tuhan ..., kebanyakan orang kaya memang mulutnya pedas melebihi cabai rawit setan.' Maira menelan salivanya cepat. Takut? Sepertinya ...

"Pa, cekali-cekali boyeh, kata Ounty Fen." Raditya mendengus menatap Maira dengan tatapan anehnya.

"Saya minta maaf, Pak. Saya tidak akan mengulangi." Janji Maira dengan suara menyesal, kapok berurusan dengan pria kaku seperti Raditya.

"Sudah kubilang jangan panggil aku 'Pak'! Aku bukan bapakmu. Apa wajahku sudah seperti bapak-bapak, hmm?" Maira menggeleng cepat.

Dengan takut-takut Maira menelisik wajah Raditya. 'Memang dia masih cukup muda, mungkin masih kuliah, dan punya anak ... apa anak kecil ini anak diluar nikah? Sama seperti aku? Bedanya aku tak punya ayah, dia tak punya ibu, begitukah? Hii,' batin Maira bergidik ngeri saat membayangkan dirinya dan gadis kecil periang itu. Maira sudah tidak konsen pada Aira karena pria itu masih memandanginya kesal.

"Kaak, boyeh kenayan gak?" Maira melirik pria itu diam saja dan masih memandangnya.

'Mau menolak, pasti gadis kecil itu akan kecewa.'

"Boleh, nama adik siapa?" tanya Maira sambil berjongkok untuk menyamakan posisinya agar sama tinggi dengan gadis kecil yang minta kenalan itu.

"Aiya ..." Maira tersenyum kecut saat melihat senyum Aira manis sekali, tanpa beban hidup.

'Tuhan ... Dia nampak bahagia sekali. Pasti dia dilahirkan dari pasangan halal yang bahagia. Tidak seperti aku. Ugh! Sabar, Maira!' Maira menahan air mata yang sudah berkumpul dipelupuk matanya agar tak keluar. Dengan cepat ia menempelkan handuk kecil dibahunya ke arah mata.

"Kakak ciapa?" Suara kecil itu membuyarkan lamunan Maira.

"Nama kakak, Maira. Kamu Aiya ya? Mirip, ya, nama kita ...," gumam Maira sambil tersenyum. Ia melepas topi yang menutupi kepalanya. Tampak anak rambutnya saling menempel ke dahi yang dilem oleh peluh. Dia mengusap dahinya dengan handuk kecil dipundaknya. Raditya speechless melihat tingkah Maira yang tampak mengagumkan dimatanya.

"Bukan Aiya! tapi, AIYYA ..." Maira tak mengerti kenapa dia protes dengan nada penuh penekanan. Namun gadis yang penuh peluh itu tersenyum bingung padanya. Sepintas ia melirik pria kaku dan galak yang tak mau dipanggil bapak itu.

"Namanya Aira, bukan Aiya," ucap Raditya yang dari tadi diam saja.

"Owh? Kamu Aira?" Gadis kecil itu mengangguk dan meraih jemari Maira.

"Nanti akak cantik kacih aku ciyok yagi, ya. Enyak." Maira tersenyum mengangguk meski agak kesulitan mencerna kata-kata Aira yang menggemaskan itu.

"Iya, insya Allah. Biasanya sore kakak jualan disini. Kamu ajak kakak kamu kesini. Nanti kakak kasih." Raditya melotot tak percaya penjual cilok bernama Maira itu menyangka dirinya adalah kakak Aira.

'Hehe, kemudaan kalau dipanggil kakak, Nona!' batin Raditya kesal campur gemas pada Maira. Apakah traumanya kini benar-benar sudah menguar karena Maira yang terlihat menggemaskan dimata Raditya?

"Hoyee!" Sorak Aira kegirangan dengan kedua tangan diangkat-angkat keatas. Tanpa sadar Maira tersenyum kecut. Gadis kecil ini beruntung sekali dia punya kakak yang baik walaupun kaku dan galak. Dia seperti tak punya beban hidup. Lain sekali dengan dirinya. Hidup hanya berdua dengan Ibu yang jarang tersenyum padanya. Tak punya kakak atau saudara lainnya untuk bisa sekedar menjajakannya cilok seperti ini.

"Kakak udah yama ya jualan ciyok?" tanya Aira masih dengan nada penasaran sambil melompat-lompat melihat dandang cilok.

"Lumayan, sejak awal kuliah ..." Maira tak sadar kalau ia menjawab pertanyaan anak kecil. Pikirannya melayang membayangkan tingkah Aira yang nampak begitu bahagia. Andai ia bisa seperti Aira.

Raditya yang mendengar jawaban Maira tersenyum. Gadis kuliahan tapi mau bersusah payah berjualan cilok ..., sungguh menarik hati Raditya. Dia memperhatikan Maira yang tampak melamun. Terlihat banyak beban yang dipendam gadis itu.

'Apakah dia punya masalah yang begitu rumit?' batin Raditya penasaran.

***

*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status