Share

Pertemuan

Author: diara_di
last update Last Updated: 2022-02-22 17:55:59

Keesokan pagi, dapur Umi diramaikan oleh santri yang tengah membantu mempersiapkan sajian untuk menyambut calon menantu Abah.

Nur juga ada di sana sedang menyiangi sayuran. Ammar yakin kalau gadis itu tengah menyimpan luka akibat dirinya sudah dijodohkan.

Ammar duduk di sofa depan televisi, ia menyetel berita terkini. Namun, mata Ammar sebentar-sebentar berlari ke dapur yang kebetulan terlihat dari ruang keluarga.

Semua sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ada yang membersihkan karpet dari debu, menyapu halaman, dan sebagian santri perempuan membuat masakan.

"Gus, kok belum mandi? Ini sudah jam sepuluh, lho. Kata Umi, sebentar lagi Mbak Dia datang," seru Fatma adik nomor dua.

"Hm." Ammar hanya bergumam, tak juga menoleh ke arah Fatma.

Fatma berlalu, sepertinya gadis bertubuh kecil itu turut sibuk menerima perintah dari Umi.

"Adam, pasang karpetnya, ya. Dia sudah hampir sampai." Suara Umi mengganggu indra pendengaran Ammar. Entah kenapa Ammar kesal sendiri.

"Siap, Mi." Adam menjawab dengan gerakan hormat.

Umi masuk rumah, tetapi tak serta merta meminta Ammar untuk bersiap. Umi memberi kesan cuek pada putra sulungnya.

Ammar pun pura-pura fokus pada acara berita di televisi. Padahal ujung matanya melirik sampai ia kepayahan untuk melihat lagi.

"Adam, bantuin para santriwati siapin minum. Dia sudah sampai perempatan."

"Baik, Umi." Adam pun melewati ruangan tersebut untuk sampai ke dapur. Ia pun bersikap sama dengan Umi, seolah tak mengetahui keberadaan Ammar di sana.

Ammar memasang telinga tajam, ia benar-benar ingin mendengar percakapan orang-orang di depan.

"Kak, Mbak Dia ternyata cantik bgt, lho. Coba, Kakak ke depan. Salaman dulu." Adu Fatma pada Najma.

Najma pun tak kalah antusias, ia segera berlari menuju ruang tamu.

Kebetulan yang tak di sengaja, Ayudia duduk tepat di balik dinding Ammar menyandarkan punggung.

"Mbak Dia, kenalin, aku Najma. Adik Mas Ammar yang pertama."

"Ayudia," jawab Ayudia singkat padat. Setelahnya ia duduk dengan tenang.

Samar-samar Ammar mendengar suara Ayudia yang selembut sutra.

"Najma, coba ajak Mbak Dia keliling pondok."

"Baik, Mi." Najma menjawab singkat.

Dua gadis berparas mendekati kata sempurna itu, menghambur keluar rumah. Berjalan melewati gang sempit samping rumah. Bertepatan di dekat jendela kaca yang menembus hingga ke ruang keluarga. Ayudia dan Najma bertemu Adam.

"Mau kemana, Dik?" Adam bertanya pada Najma, Adam belum mengetahui siapa gerangan gadis yang bersama dengan Najma. Ia pun melempar sebuah pertanyaan tanpa melihat ke arah dua perempuan itu.

"Ngajak Mbak Dia keliling pondok, Mas." Najma menjawab dengan datar. Ia pun tak berkeinginan memperkenalkan Ayudia pada Adam. Karena itu memang tidak perlu.

Dengan reflek terkejut, Adam mengangkat kepala. Menatap gadis cantik dengan hidung bak prosotan itu dengan seksama.

"Ini, Ayudia? Kenalin, aku Adam." Pria tersebut sekonyong-konyong mengulurkan tangan kanan.

Ayudia secara ramah menyambut perkenalan dari Adam. Menampakkan senyum manis yang ia rasa masih dalam taraf wajar.

Namun, dari dalam, ternyata Ammar menonton adegan yang bukan sebuah film itu.

"Ayudia." Setelah mengenalkan nama dengan bersalaman, Ayudia menarik tangannya.

Dari dalam, Ammar ngedumel tanpa bisa dicegah.

"Dasar, cewek genit. Kaya gitu mau dijodohkan sama aku. Tetap Nur tiada dua kalemnya," gerutu Ammar.

Walau egonya menang, tapi nuraninya menuntut untuk lebih jauh melihat ke luar. Ya, karena Ayudia membelakangi jendela yang menyembunyikan tubuh gagah Ammar. Sehingga Ammar tak mampu melihat keanggunan dan kemanisan yang melekat di wajah Ayudia.

"Ya sudah, Mas. Najma kesana dulu ya." Pamit adik dari Ammar.

Ammar sampai berdiri dan membuka lebar-lebar gorden jendela tersebut, dengan ia tetap bersikap waspada.

Kemudian Ammar berlari menuju kamar Fatma, tujuannya tetap jendela yang di kamar itu. Sepertinya hari itu bukan keberuntungan Ammar, ia tak berhasil mendapati wajah imut-imut nan menggemaskan dari Ayudia.

"Gus, ngapain masuk kamarku!" teriak Fatma sedikit kencang. Fatma merupakan adik kedua Ammar, anak ketiga dari Abah Ahmad dan Umi Aida. Usianya 19 tahun, sudah mengerti urusan cinta.

Ammar serta merta berlari membekap mulut besar sang adik. Fatma pun meronta, ia berhasil melepaskan diri. Seketika Fatma melompat ke jendela, memastikan ada apakah Ammar sampai berdiri penuh misteri di balik gorden.

"Oohh, ternyata, Gus ngintip, ya?" Fatma menggoda, suaranya yang melengking cukup mengusik ego Ammar. 

Ketika Ammar hendak kembali membungkam mulut Fatma, gadis tersebut justru telah mengambil ancang-ancang lebih dahulu untuk kabur dari terkaman sang Kakak.

Sebelum menutup pintu kamar, Fatma sekali lagi menggoda Ammar.

"Bilang aja, pengen liat wajah Mbak Dia." Fatma menjulurkan lidah, lalu ia menutup pintu dan pergi.

"Dasar, bocah." Ammar mengepalkan tangannya. Ia pergi menuju kamar yang di khususkan untuk menaruh baju belum di setrika, ia mengambil sehelai kaos dan celana dasar hitam.

Dari sana ia berjalan ke kamar mandi yang ada di dekat dapur, ia mengguyur tubuhnya di sana. Kamarnya yang terletak diantara ruang tamu, tak memungkinkan untuk Ammar mengambil baju licin dari sana.

Ammar sukses mengurung egonya, setelah berpakaian rapi dan bersih, Ammar menghambur dengan para tamu yang berada di ruang depan.

"Eh, Ammar. Sini, Nak." Kyai Lutfi memanggil.

Ammar membungkuk dan duduk di sana, setelah menyalami tamu yang tak banyak itu.

Ammar tahu, di sana tak ada orang tua dari Ayudia. Hanya kakek, nenek dan paman Ayudia. Tak ada anak kecil. Pikiran Ammar melanglang buana. Tentang siapa Ayudia, statusnya apa dan banyak lagi.

"Nak Ammar, Atuk ingin berterima kasih pada, Nak Ammar. Terima kasih karena sudah menerima, Dia sebagai calon istri. Atuk mohon, Nak Ammar jaga Dia. Dia itu cucu Atuk satu-satunya sekaligus kesayangan Uti. Dia sudah ndak punya orang tua sejak kecil."

Satu fakta Ammar dapatkan tanpa perlu menyinggung sebuah pertanyaan ke arah sana. Ingin sekali Ammar mengatakan sejujurnya, tetapi yang keluar justru anggukan setuju.

"Iya, Atuk. Insyaallah, Ammar jaga dengan baik, Ayudia."

Ammar merutuki sendiri mulutnya yang lancar mengucapkan kalimat tersebut. Bisa-bisanya ia mengatakan hal yang bertolak belakang dengan hatinya.

Semua yang ada di ruangan tersebut tersenyum penuh kelegaan. Termasuk Abah Ahmad yang kemudian merangkul pundak putranya itu.

Umi pun turut mengusap punggung Ammar. Ammar berpamitan untuk ke belakang. Kala di dapur, Ammar menemukan Adam yang sedang menyeduh kopi hitam sembari senyum-senyum sendiri di depan jendela dapur.

Jendela dapur tanpa terhalang kaca, Adam bebas menerbangkan pupilnya sejauh yang mampu dicapai.

Ammar penasaran, ia pun berdiri di belakang Adam. Matanya bergerak mengikuti pupil Adam.

"Zina mata, Dam." Sengaja Ammar menyapukan telapak tangannya ke wajah Adam.

"Astaghfirullah, setan!" Adam terkaget, kopinya sampai tumpah mengenai telunjuk.

"Panas, Am," keluh Adam.

"Jaga mata, Dam. Dosa, bukan mahrom," tegas Ammar.

"Aku cuma memandang jodohku, Am. Lihat, Ayudia cantik banget." Seketika Adam mendapat pukulan keras di bahunya.

"Katanya kamu ndak mau, Am. Biar Ayudia sama aku aja," lanjut Adam tak kapok.

Dengan wajah masam, Ammar meninggalkan sahabatnya itu tanpa jawaban.

Sebenarnya, ia pun masih ingin berada di dapur untuk menuntaskan rasa penasaran terhadap wajah Ayudia.

Entah kenapa, Ammar kesal setiap kali Adam mengatakan dirinya akan menggantikan posisinya sebagai calon suami. Padahal, Ammar meyakini jika hatinya hanya untuk Nur seorang.

Ayudia menolehkan kepala ke sana-kemari, bukan melihat gedung-gedung pondok terkenal itu. Melainkan, mencari calon imamnya. Ayudia penasaran, ingin melihat sosok Muammar dari jarak dekat. Sejak tadi, gadis itu tersenyum sendiri. Mengkhayalkan pertemuannya dengan Ammar. Pasti Ammar lebih tampan dari grup penyanyi pria dari Korea itu. Batin Ayudia sudah menggila, hatinya berbunga-bunga.

Akan tetapi, sampai waktunya berpamitan pulang, ia tak juga menemukan sosok yang mirip Liminho itu.

Akhirnya Ayudia membungkus rasa penasarannya, untuk kembali dibawa pulang.

Jangan lupa tinggalkan jejak ya.

* *

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Khaira
Jadi buat apa datang kalo ga di pertemukan? Masa calon pengantin cuma tau wajah calon pasangannya dr foto aja. Agak krg masuk akal deh
goodnovel comment avatar
Anggra
laahh kirain mirip Eun wo kan imut² gimana gituu si Ammar anehhh..GK suka tapi keppo...
goodnovel comment avatar
Yanti Keke
ammar, kepo kn sm wajh calon....
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kupinang Mantan Istriku    Extra part

    Tiga hari sudah Ammar menjabat sebagai suami dari Ayudia Prasasti. Ia sangat menikmati perannya tersebut. Ia ingin menjadi suami yang terbaik untuk Ayudia, tidak akan mengulang kesalahan dahulu, atau bisa fatal akibatnya. Selama tiga hari, Ammar senantiasa membantu Ayudia dalam hal apapun. Ia cekatan merawat Fa dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci piring dan mencuci pakaian. Ammar juga memutuskan untuk tidak pergi ke luar kota, dalam waktu yang tidak bisa ditentukan. Sementara hanya menerima pekerjaan dari rumah, agar bisa menghabiskan banyak waktu bersama.Hari ini, Ammar mengajak Ayudia untuk pindah ke rumah baru mereka. Tempat yang akan menaungi hari-hari keluarga kecil Ammar ke depan. Rumah yang berhasil Ammar wujudkan dalam kurun waktu satu bulan. Ia mendesain sendiri rumah itu. Berkonsep minimalis dan estetik. Sengaja Ammar hanya memberi dua kamar pada rumah tersebut, dengan alasan agar Ayudia tidak kelelahan membereskan pekerjaan rumah saat ia sedang ke luar k

  • Kupinang Mantan Istriku    73. Ikrar Cinta (Ending)

    Ayudia mematut dirinya di depan cermin, memandang dan menatap detail tubuhnya yang terbalut gamis berwarna navy dengan kerudung senada, menutup sampai di bawah perut. Pakaian sederhana berbahan brukat tanpa pernak-pernik apapun. Namun, aura kecantikan tetap memancar dari wajah ayu itu. Ia memoles bedak dan lipstik. Tidak perlu foundation, tidak perlu eyeliner, blashon dan lain sebagainya. Ayudia pikir, hanya lamaran, tak perlu tampak berlebihan juga.Fa juga terlihat tampan dengan kemeja abu, pakaian yang Ammar belikan. Bocah kecil itu anteng sekali sejak tadi, seakan ia paham benar suasana hati sang ibu. Bahagia. Sudah pukul delapan malam, Ammar juga sudah mengabarkan jika ia sudah berjalan dengan rombongan menuju rumah Ayudia. Akan tetapi, sudah lebih dari sepuluh menit belum juga sampai."Mbak, ayo keluar. Mas Ammar sudah datang. Biar Fa, aku yang gendong.""Sudah sampai? Kok ndak kedengeran suara mobil?"Najma tersenyum, "Ya ndak, orang jalan kaki."Ayudia membelalak, kurang yakin

  • Kupinang Mantan Istriku    72. Kupinang Mantan Istriku

    Dua hari kemudian Ammar baru menanyakan lagi perihal jawaban Ayudia. Sebab ... semakin ditunggu, Ayudia justru semakin kelihatan menjauh, membuat Ammar dilanda kegalauan. Dengan amat sangat terpaksa, Ammar membuang urat malu dan melapisi wajahnya dengan tembok, Ammar menagih jawaban Ayudia. Dengan santai dan hanya dalam sebuah pesan singkat. Ayudia menjawab dengan Jawaban yang masih sama. Tetap iya, membuat Ammar merasa bingung akibat tak mau terlalu percaya diri dulu dan akhirnya kecewa. Lalu ia desak lagi agar menuliskan jawaban yang jelas menggunakan kalimat, bukan sekedar satu kata. [Iya, Dia mau kembali dengan Kakak.] Pesan yang Ayudia kirim barusan, Ammar pandangi sampai lama, sampai seluruh kepingan jiwa dan kewarasannya kembali. Lalu ... "Yey! Yes! Alhamdulillah ya Allah ...! Alhamdulillah! Hore ... Umi ... Dia mau, Dia mau, Mi ....!" Umi tidak heran, sebab beliau begitu paham dengan tabiat anaknya yang memuja Ayudia. Janggal jikalau Ammar tidak jingkrak-jingkrak. Jika sud

  • Kupinang Mantan Istriku    71. Ingin Rujuk

    Ayudia memanggil-manggil Umi dan Abah. Sayangnya tidak ada sahutan. Albi lalu meninggalkan Ammar di kursi saja, dan pergi keluar. Fatma malah meringkuk dengan Fa, tidak mungkin Ayudia membangunkan, yang ada Fa akan kaget. Akhirnya ia sendiri yang menangani Ammar."Kak, Dia siapkan air hangat untuk mandi ya? Tapi di kamar mandi belakang, Kakak ambil bajunya dulu di kamar.""Ndak kuat, Dia ... tolong sekalian."Meski ragu-ragu, Ayudia tetap membuka pintu kamar Ammar, lalu menghidupkan lampu kamar."Dia ..." Panggil Ammar,Ayudia terlonjak, "Ya.""Ehm, itu ... itunya ... ndak usah."Ayudia berbalik dan mendekati Ammar. Ia tidak mengerti apa yang sedang Ammar bicarakan. "Itu itunya itu apa sih, Kak?""Ya itu, ndak usah. Di belakang ada."Ayudia menggeleng, masih tidak paham ia melengos dan masuk ke kamar lalu membuka lemari. Barulah saat pupilnya menangkap segitiga berkerut, bulu kuduknya meremang. Ia baru memahami ucapan Ammar tadi. Mengalihkan pandangan lalu menarik satu kaos dan celana

  • Kupinang Mantan Istriku    70. Temaram

    Pukul sebelas malam, Ayudia dan Ammar baru saja akan pulang dari bidan Diva. Fa tidak perlu pengobatan serius karena memang hanya mau pilek biasa. Kegelapan menemani sepanjang perjalanan mereka, tak nampak sepercik sinar kehidupan dari rumah-rumah warga, semua gelap dan mencekam.Cuaca memang sering tidak terduga, bulan yang seharusnya menjadi musim panas, tiba-tiba terguyur hujan lebat. Biasa begitu kalau lama tidak hujan, giliran hujan petir tampil paling garang. Ayudia yang terkantuk-kantuk sambil mengepuk-ngepuk paha Fa, memaksa buka suara untuk menemani Ammar yang tengah menyetir."Kak ... nanti langsung pulang ke rumah Kak Ammar saja, Dia biar pulang sendiri. Baju Kak Ammar kan basah, takut masuk angin."Ammar mengangguk dalam temaram. Entah terlihat atau tidak. Bibirnya sudah tidak mampu lagi mengatup, dingin yang menyeruak sampai ke tulang sumsum, membuat pria itu menekan gigi-giginya untuk menahan getaran pada tubuh. Rasanya Ammar sudah ingin ambruk, akan tetapi ... dua malai

  • Kupinang Mantan Istriku    69. Penuh Arti

    Semua aktivitas sudah berjalan seperti sediakala. Ayudia sudah terlepas dari bayang-bayang trauma. Ia fokus mengasuh Fa dan mengelola rumah semai bersama Najma. Sedang Ammar juga sibuk sendiri dengan proyek yang membanjiri peminat jasanya. Ya, Ammar memutuskan untuk berhenti mengajar, karena merasa bosan dan itu memang bukan bidangnya. Sudah hampir sepuluh hari Ayudia tidak melihat wajah teduh pria yang semakin sering membayangi dirinya. Selama itu juga Ammar hanya beberapa kali mengirim pesan. Terakhir kemarin siang, pesan yang menanyakan kesehatannya dan Fa. Namun, saat Ayudia membalas, pesan hanya centang satu abu-abu ... sampai hari ini. Ingin bertanya kepada Najma, namun Ayudia sedikit malu. Seakan ia tidak bisa menahan rindu yang menggunung. Iapun hanya pasrah menanti kepulangannya. Kadang terbersit prasangka buruk; apakah Ammar benar-benar dengan perasaan dan pernyataannya? Atau sekedar menghibur dirinya yang kesepian? Ayudia tidak paham. Tetapi, lebih dari seminggu tanpa kab

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status