Share

Chapter 7

Mayang berusaha merapatkan pintu begitu ia mengetahui siapa tamunya. Sungguh, setitik debu pun ia tidak menduga kalau Mahesa bisa muncul di depan pintu rumahnya. Namun Mahesa lebih gesit. Ia mengganjal pintu dengan kaki kirinya. 

"Jangan menutup pintu dulu, Mayang. Mari kita bicara baik-baik. Mas mohon."

"Saya tidak tertarik mendengar puisi pembelaanmu, Mas. Karena apapun yang Mas ucapkan, tidak akan membawa pengaruh lagi dalam kehidupan saya sekarang. Pulanglah, Mas." Mayang bersikeras mendorong pintu. Tetapi ia kalah tenaga. Mahesa dengan mudah melebarkan daun pintu. Pintu akhirnya terbuka, dan Mahesa melangkah masuk. 

Menyadari kalau penampilannya tidak pantas dalam menerima tamu, Mayang bergegas ke kamar. Mayang melepas daster pudarnya. Menggantinya dengan kemeja bercorak polkadot dan bawahan kulot lebar. Tidak lupa, Mayang juga mengenakan penutup dadanya. Mayang menatap cermin di meja rias. Pantulan di cermin memperlihatkan muka bantalnya yang sembab. Mayang mencuci wajahnya agar terlihat lebih segar, dan cocok untuk berperang. Rambut ikal panjangnya ia cepol asal, tanpa tambahan kosmetik apapun. Mayang tidak ingin Mahesa besar kepala. Mengira bahwa ia ingin kembali mengajuk hati Mahesa, dengan berdandan cantik. Sungguh, Mayang tidak lagi memiliki rasa apapun pada Mahesa atau laki-laki mana pun. Mayang sudah lama mati rasa terhadap para laki-laki.

Setelah menenangkan perasaannya sejenak, Mayang melangkah menuju ruang tamu. Setelah dipikir-pikir, Mayang merasa ada baiknya juga pertemuan ini. Selama ini, ia telah membawa-bawa sampah busuk di punggungnya selama sembilan tahun. Mungkin inilah saatnya ia membuang semua sampah-sampahnya, berikut dengan orang yang memberinya sampah-sampah tersebut. Ia ingin hidup tenang sekarang. 

Mayang mendapati Mahesa duduk tercenung di ruang tamu sederhananya. Melihat kedatangannya, Mahesa buru-buru berdiri, dan duduk kembali setelah melihatnya duduk. Lihatlah, betapa canggungnya sikap mereka satu sama lain saat ini. Padahal di waktu lalu, mereka berdua pernah sedekat nadi.

"Bicaralah. Setelah itu pergilah," ucap Mayang datar.

Mahesa menatap Mayang dengan pandangan berkabut. Mayang pada saat berusia tujuh belas tahun dan kini dua puluh enam tahun, tidak berubah sama sekali. Wajahnya tetap ayu dan sendu. Dulu ia jatuh cinta setengah mati melihat keindahan kedua bola mata Mayang. Mata Mayang itu berbicara lebih banyak dari bibirnya. Dan saat ini, Mahesa juga melihat hal yang sama. Sorot mata Mayang begitu dingin. Mengisyaratkan keengganan untuk sekedar bertegur sapa. Sekian detik, Mahesa tidak mampu bersuara. Ia hanya menatapi kedua mata Mayang yang memperlihatkan luka menganga. Sungguh, Mahesa miris melihatnya.

"Ceritakan apa yang terjadi padamu, Mayang. Ceritakan semuanya. Jangan ada yang tertinggal. Mas siap mendengarkannya semalaman jikalau perlu."

"Untuk apa, Mas? Apakah dengan saya menceritakan semuanya, keadaan akan berubah? Tidak 'kan, Mas?" cetus Mayang datar. 

"Memang tidak Mayang. Tapi setidaknya Mas tau, apa yang membuat kamu seperti ini. Mas dulu dua kali ke kampung mencarimu. Tetapi kamu tidak ada lagi di sana. Mas hanya bertemu dengan adikmu yang kala itu masih SD. Kalau tidak salah namanya Arfan. Ia mengatakan kalau kamu mencari pekerjaan di Jakarta. Mas juga pernah mencarimu ke pabrik. Keterangan dari Bu Henny juga sama. Kamu sudah ke Jakarta dan tidak pernah kembali ke Banjarnegara.

"Mas dua kali ke kampung? Kapan itu Mas?" Mayang sama sekali tidak menduga kalau Mahesa ternyata benar-benar kembali ke kampung.

"Empat bulan setelah Mas kembali ke Jakarta. Dan bulan berikutnya juga.

Terlambat. Walau Mahesa kembali ke kampung dan mereka bertemu pun, status Mahesa sudah menjadi suami orang. 

"Untuk apa Mas masih mencari saya? Mas 'kan sudah menikah dengan ibunya Nia waktu itu?" 

Mahesa tampak kaget saat mendengar pertanyaannya. Mayang tersenyum masygul. Mahesa pasti tidak mengira kalau ia telah mengetahui semuanya. Baiklah. Ia akan menceritakan semuanya. Tetapi ia menunggu cerita Mahesa terlebih dahulu. Setelah tahu posisinya ada di mana dalam hati Mahesa, barulah ia akan menceritakan semuanya. Membahas masa lalunya itu tidak mudah. Ia seakan-akan dipaksa untuk mengingat semua kepahitan-kepahitan kelam yang sangat ingin ia lupakan.

"Bagaimana kamu tau kalau Mas sudah... sudah... menikah dengan ibunya Nia?" Mahesa bingung. Sekonyong-konyong satu pemikiran singgah di benaknya. Kedua mata Mahesa membesar.

"Jangan bilang kalau kamu... kamu... menyusul Mas ke Jakarta?" Mahesa ngeri sendiri membayangkan kemungkinan itu. Mayang hanya tersenyum sinis. Ternyata Mahesa tidak mengira kalau dirinya benar-benar menyusulnya ke Jakarta.

"Begini saja, biar adil dan kita sama-sama puas, Mas ceritakan saja apa yang terjadi sembilan tahun lalu. Setelah itu, gantian saya yang bercerita. Saya mau membuang sampah, Mas. Dan sebelum saya buang semuanya, akan saya pilih-pilih dulu. Mana sampah yang bisa saya daur ulang, dan mana sampah-sampah yang sudah seharusnya saya buang. Silahkan dimulai saja, Mas." Mayang menggeser pinggulnya. Mencari posisi duduk paling nyaman untuk mendengar penjelasan Mahesa. 

Mahesa berdeham sejenak. Sungguh perasaannya kacau balau memikirkan kemungkinan Mayang mengetahui soal pernikahannya dengan Amaya. Namun Mahesa menyadari, cepat atau lambat masalah ini pasti akan terkuak juga. Sebaiknya ia ceritakan saja semuanya. Masalah Mayang memaafkannya atau tidak, itu di luar kuasanya.

"Pada awalnya, Mas pulang ke Jakarta memang karena tugas magang Mas sudah selesai. Namun saat Mas kembali ke rumah, keadaan sangat kacau. Ayah Mas masuk rumah sakit karena gagal ginjal. Untuk itu ayah Mas harus menjalani operasi pemasangan alat untuk cuci darah, sekaligus hemodialisa seminggu sekali. Masalahnya kami semua tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan itu semua. Singkat cerita, atasan ayah Mas, bersedia menalangi biaya operasi, termasuk biaya hemodialisa atau cuci darah selama seminggu sekali. Tetapi ada syaratnya."

Sampai di sini Mahesa terdiam. Pandangan Mahaesa menerawang. Mungkin Mahesa sedang membayangkan kejadian-kejadian itu di waktu itu. 

"Dan syaratnya adalah, Mas harus menikahi Amaya Dananjaya. Putri sulung Candra Dananjaya yang hamil di luar nikah. Perjanjiannya, Mas hanya menikahi Maya sementara saja. Sampai Maya melahirkan, agar anaknya mempunyai seorang ayah. Karena saat itu Maya tengah hamil tua dan ayah anaknya entah berada di mana. Pertama Mas tidak mau, Mayang. Mas memikirkan janji Mas padamu. Tetapi Mas juga tidak mungkin membiarkan ayah Mas mati karena keegoisan Mas. Mas akhirnya menerima pernikahan itu, dengan syarat, Mas akan bercerai dengan Maya begitu anaknya lahir. Mas pun menikah dengan Maya yang tengah hamil delapan bulan waktu itu. Waktu berjalan hingga akhirnya Maya melahirkan bulan berikutnya. Namun sayangnya bayi yang dilahirkannya meninggal. Mas waktu itu merasa antara sedih dan gembira. Sedih karena bayi Maya meninggal, dan gembira karena akhirnya Mas bebas dari keharusan menjadi seorang suami. Demi kemanusian Mas menunggu sampai Maya sedikit tegar, baru Mas bermaksud menceraikannya. Maya sudah tahu tentangmu. Mas sudah menceritakan tentang hubungan kita." Mahesa menggosok-gosok tangannya di pangkuan. Ciri khas Mahesa kalau ia sedang gelisah. 

"Dua bulan berikutnya, Mas mencarimu ke kampung. Di rumahmu, Mas hanya bertemu dengan Arfan yang masih berseragam merah putih. Arfan bilang kalau mbaknya sudah bekerja di Jakarta. Saat Mas menanyakan alamatmu pada Arfan, adikmu bilang kalau ia tidak tau. Mas pun kembali ke Jakarta dengan kecewa. Karena sedih Mas mabuk-mabukan dan... dan... Mas melakukan hubungan suami istri dengan Maya karena terjebak keadaan. Mas tidak sadar. Tetapi Maya sadar. Saat Mas meminta maaf pada Maya keesokkan harinya, Maya mengatakan tidak apa-apa. Lupakan saja, katanya.

Bulan berikutnya Mas kembali ke kampung. Kali ini Mas ke pabrik dan mencari Bu Henny. Jawaban dari Bu Henny juga sama. Kamu sudah bekerja di Jakarta dan tidak pernah lagi kembali ke kampung katanya. Mas pun kembali ke Jakarta dengan tangan hampa. Bulan berikutnya saat Mas ingin ke kampung, Maya menahan Mas dengan berurai air mata. Ternyata Maya hamil dan Maya tidak ingin bercerai dengan Mas. Maya mengatakan mungkin saja kamu sudah betah di mana pun itu, dan bisa juga kamu sudah menikah. Jadi untuk apa lagi Mas mencarimu, sementara ada istri dan calon anak yang akan lahir katanya. Mas pikir, Maya benar juga. Mana mungkin Mas tega meninggalkan Maya yang sedang mengandung anak Mas bukan?"

Tapi Mas tega meninggalkan anak Mas yang lain! Hingga akhirnya anak Mas itu mati merana!

Mayang memejamkan matanya. Dadanya berdenyut nyeri. Anak Maya, dipertimbangkan kehadirannya oleh Mahesa. Tetapi anaknya tidak! Bahkan kehadirannya pun sama sekali tidak diprediksi oleh Mahesa. Mahesa lupa kalau ia pernah menanamkan benih di rahimnya. Malang sekali nasibmu, anakku!

"Waktu berlalu. Maya melahirkan seorang anak perempuan yang cantik. Dan tanpa berpikir panjang, Mas menamainya Kania Putri Heryanto. Mas ingin kenangan darimu ada dalam kehidupan Mas selamanya. Singkat cerita, Maya berubah dari seorang perempuan yang suka hura-hura, menjadi seorang istri yang baik. Mayang merawat Nia dengan baik. Menjaga ayah dan ibu Mas yang sakit-sakitan dengan sepenuh hati, hingga ayah Mas meninggal. Pengorbanannya sampai sejauh ini, mana mungkin Mas tega meninggalkannya bukan?"

"Cukup! Saya tidak ingin mendengar cerita Mas lagi," potong Mayang dengan napas tersengal. Mayang tahu, ia telah kalah! Dari awal Mahesa cerita pun, sesungguhnya ia sudah tau kalau Mahesa tidak mencintainya lagi. Mahesa mencarinya, hanya karena janjinya. Bukan karena cintanya. Mahesa tidak tega melihat pengorbanan istrinya, tetapi ia tega mengorbankan seorang anak remaja yang telah ia nodai. Mahesa melupakan anak bau kencur itu, dengan kalimat penghibur diri ; mungkin saja si anak bau kencur itu telah bahagia entah di mana. Bayangkan, entah di mana! Kalimat Mahesa sangat menyakiti hatinya.

Mayang mulai menangis. Dulu sebenarnya ia pernah menyimpan setitik harapan. Bahwa suatu hari nanti, Mahesa akan datang padanya dan membalut kesedihannya. Dulu, sewaktu ia terlentang dan melayani tamu-tamunya sambil menahan menangis, ia masih berharap bahwa Mahesa pasti akan datang menolongnya suatu hari nanti. Mahesa bilang kalau ia mencintainya bukan? Tapi apa lacur. Di saat ia terus berharap, ternyata Mahesa tengah bahagia-bahagianya dengan istri dan anaknya yang baru. Mayang merasa sangat bodoh! 

Tanpa Mahesa mengucapkan sepatah kata cinta untuk Maya, Mayang sudah tau kalau sesungguhnya Mahesa itu mencintai istrinya. Mahesa hanya merasa tidak enak saja mengatakan semua itu di depan hidungnya.

Malangnya nasibmu Mayang. Kamu hanya korban janji manis laki-laki, yang bahkan tidak pernah mencintaimu! Kamu mengorbankan segalanya untuk orang yang salah. Kesucianmu, harga dirimu, bahkan seluruh hidupmu. Tapi apa yang kamu dapat? Kesengsaraan seumur hidup! Kamu bodoh Mayang! Bodoh!

Mayang menutup kedua telinganya. Ia berusaha meredam suara tawa-tawa sinis yang mengejek kebodohannya. Ia tidak sadar kalau saat ini ia tengah meraung-raung karena terluka. Selama sembilan tahun, ia tidak pernah menangis sekeras ini. Sepedih ini. Dan terutama semenyesal ini. Kini semua perasaannya bercampur aduk. Demi Tuhan, ia merasa hancur berkeping-keping saat ini. Hancur tak bersisa!

Mahesa melompat memegangi Mayang yang kini memeluk dirinya sendiri sambil meraung-raung. Deraian air mata dan tangisan kerasnya menyadarkan Mahesa. Betapa kalimat-kalimatnya tadi menyakiti Mayang. 

"Mayang, maafkan Mas. Maafkan ya? Mas tidak tau apa yang terjadi padamu di ibukota ini? Tidak ada satu orang pun yang bisa Mas mintai alamatnya. Mas tidak tau kamu ada di mana saat itu?" Mahesa memeluk erat Mayang dalam posisi bersimpuh di depan sofa. Merasakan gemetarnya seluruh tubuh Mayang, Mahesa bermaksud mengeratkan pelukannya. Namun Mayang mendorong tubuhnya kasar. Mahesa nyaris terjengkang, kalau ia tidak segera menggapai sudut meja.

"Jangan menyentuh-nyentuh saya! Saya jijik melihat Mas!" geram Mayang dalam deraian air mata.

"Apa Mas tau, kenapa saya ke Jakarta? Karena saya hamil Mas! Hamil anak Mas dan saya tidak tau mencari Mas ke mana!"

"Astaga! Apa? Kamu hamil? Bagaimana--" Mahesa kehilangan kata-kata. Dalam posisi yang kini terduduk di ubin karena kaget, ia mulai bisa menyimpulkan kenapa Mayang sehisteris ini mendengar cerita Mayang Mahesa merasa matanya memanas seketika. Ia sudah bersikap begitu tidak adil pada Mayang.

"Dengan uang pas-pasan saya menyusul Mas ke Jakarta. Tapi kata tetangga Mas, Mas sudah menikah dengan anak atasan ayah Mas. Saya menunggu di depan rumah Mas sampai magrib. Di tengah derasnya hujan, Mas. Saya terus menunggu sambil berharap Mas akan pulang. Apa Mas tahu itu!"

Mahesa tidak menjawab. Ia hanya menutupi wajahnya yang telah berderai air mata. Menyadari bahwa ia telah menciptakan mimpi buruk pada anak berumur tujuh belas tahun sendirian di ibukota.

"Karena Mas tidak pulang-pulang, saya kembali ke terminal. Saya ingin pulang kampung. Tetapi saya tidak punya uang, Mas. Sampai seorang ibu berjanji akan mengantar saya pulang ke Banjarnegara. Tapi ibu itu menipu saya, Mas. Bukannya di antar pulang, saya malah di jual pada Mami Elsye."

"Maafkan Mas, Mayang. Maaf! Demi Tuhan, Mas sama sekali tidak tau kalau kamu mengalami kejahatan seperti itu. Mas minta maaf, Mayang. Maaf!" Mahesa menubruk Mayang. Ia sungguh-sungguh menyesal. Dadanya sesak membayangkan betapa ketakutannya Mayang kala itu. Dan lagi-lagi, Mayang menepisnya.

"Saya keguguran di hari pertama, saat saya disetubuhi dengan brutal oleh para tamu Mami Elsye. Anak Mas yang sana hidup bahagia, tapi anak yang ini mati, Mas. Mati karena keadaan! Apa Mas tau itu!" teriak Mayang parau. Suaranya nyaris hilang karena terus berteriak dan menangis. 

"Mas pikir kenapa saya melacur? Itu karena saya tidak punya pilihan, Mas. Setiap saya ingin melarikan diri, pengawal-pengawal Mami Elsye memukuli saya, sampai saya tidak bisa berjalan karenanya. Mengerti, Mas? Dua tahun saya hidup seperti di neraka sebelum akhirnya Pak Xander menolong saya. Sekarang Mas tahu 'kan, siapa orang yang telah membuat hidup saya seperti ini? Orang itu kamu, Mas. Tidak mau sekalian bunuh diri saja, Mas?!" 

"Maaf, Mayang. Maaf 'kan, Mas," hiba Mahesa berulang-ulang. Telinganya berdenging. Kata-kata

anak mas yang sana hidup bahagia, tapi anak yang ini mati, menggedor hati nuraninya. Dirinya telah melukai Mayang begitu dalam. Mulai hari ini, Mahesa berjanji pada dirinya sendiri, kalau ia akan memperjuangkan Mayang. Walaupun ia tau kalau untuk meyakinkan orang yang telah mati rasa seperti Mayang ini, tidak akan mudah. Namun ia akan terus berusaha. Ia tidak akan melepaskan Mayang, kecuali Mayang yang ingin lepas darinya. Demi Mayang, ia akan berkorban apa saja sekarang. Apa saja.

"Pulanglah, Mas. Sekarang Mas sudah tau 'kan apa penyebab saya menjadi seperti ini? Oleh sebab itu, saya minta. Mulai hari ini dan seterusnya, enyahlah dari hadapan saya. Saya muak melihat wajah, Mas!" 

Mayang segera berlari masuk ke dalam kamar. Ia tidak ingin Mahesa melihat tangis kekalahannya. Sesaat kemudian, Mayang mendengar Mahesa pamit dengan suara serak, dan pintu yang ditutup. Air mata Mayang mengalir deras, seiring suara mobil yang menjauhi rumah. 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Martinabakir Artina
............
goodnovel comment avatar
Siti Bue Azzam
Ya Allah nyesek bngett dengar cerita mayang...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status