Kericuhan
Seminggu kemudian…
“Kemana Elena?” tanya Fernandez kepada gadis yang melayaninya. Bola mata gadis itu terasa familiar di matanya, tapi ia tidak yakin mirip siapa hingga tidak terlalu memusingkan. Terlebih wajahnya sebagian tertutup masker.
“Elena?” suara gadis itu agak teredam karena masker yang dikenakannya. Ekspresinya tampak bingung. Ekor matanya sekilas melirik ke arah pintu yang tertutup tidak jauh dari posisinya berdiri, tepat di sebelah kanan.
“Ya. Ia bekerja di sini dan hanya ia yang tahu jelas seperti apa pesananku.” Alis Fernandez terangkat sebelah dan kedua tangannya berada di saku.
“Aku ingin ia yang berdiri di depanku sekarang.”
“Untuk sementara kau bisa—” Kalimat gadis itu tidak selesai karena pintu itu terbuka lebar dan memunculkan sosok Elena Corrigan yang beruraian air mata. Menarik ingusnya dan menyeka kasar air matanya.
Ketika Elena melewati Fernandez, lelaki itu segera mencegatnya.
“Elena ada apa?” tanyanya. Tapi Elena tidak menjawab dan hanya mengukir senyum pahit singkat.
Tidak lama kemudian kepala Fernandez terfokus pada seorang lelaki gendut yang keluar dari pintu yang sama dilalui Elena. Terlihat kesal dan menatap penuh pengusiran pada Elena.
Fernandez menyipitkan matanya. Lalu bertanya pada Elena tanpa melepaskan tatapan dari lelaki gendut itu.
“Ia adalah Bosmu?”
“Kau ingin satu coffee seperti biasanya?” tanya Elena sekedar mengalihkan, membuat Fernandez menatapnya sekilas. Elena kemudian berseru pada Milly dan memberitahu pesanan biasa yang diorder oleh Fernandez.
“Tidak. Aku tidak ingin minum apapun,” sela Fernandez dingin kepada gadis masker yang bernama Milly itu agar tidak jadi menyiapkan pesanannya.
“Kau dipecat?” tebak Fernandez pada Elena, tapi tatapannya tertuju pada lelaki gendut yang menyorot sinis ke arah mereka.
“Andez. Aku…” Elena seketika terbelalak memandang Fernandez menggeram. Juga tangan lelaki itu yang terkepal kuat.
Sebelum sempat Elena mencegahnya, Fernandez telah menyerang Bosnya, melayangkan tinju tepat di muka hingga lelaki gendut itu tersungkur. Mengakibatkan kehebohan di kedai kopi itu. Para pengunjung yang sedang bersantai mendadak berdiri dari kursi, menyingkir dengan wajah terkejut.
Termasuk Milly yang berdiri di meja kasir membulatkan mata kaget.
“Andez. Apa yang kau lakukan?” bisik Elena panik menarik menjauh Fernandez dari Bosnya yang menjadi tampak marah.
“Kau anak muda sialan. Apa kau sudah gila memukulku?!” murka Bos Elena yang bangkit dan mencengkram kemeja Fernandez tapi hanya tatapan datar yang dilayangkan Fernandez.
“Itu hukuman untukmu karena kau memecat kekasihku. Dan kupastikan besok kedaimu sudah jadi milikku. Jadi kau harus tunduk padaku setelahnya.”
“A-apa?”
Fernandez mengeluarkan kartu namanya dengan santai dari dompet. Menunjukkannya kepada Bos Elena. Membuat cekalan di kerah kemeja itu seketika terlepas. Wajah lelaki gendut itu terkesiap juga begitu cemas.
Lalu tiba-tiba lelaki gendut itu bertanya kepada Elena dengan nyali menciut. “Kau adalah kekasih pria ini Elena?”
“Aku…” Elena seketika menjadi gugup sendiri. Pasalnya seluruh mata tertuju padanya, memerhatikan dengan seksama. Termasuk Bosnya dan teman baiknya yaitu Milly. Gadis yang selalu mengenakan masker dan berada di balik mesin kasir.
Fernandez ikut menatap Elena. Ia berdeham, membuat Elena melanjutkan, “Sejujurnya ya. Tapi entahlah.”
“Dan tiga hari lagi kita akan menikah,” cetus Fernandez menyambung, mengunci bola mata Elena.
Sorakan dan siulan seketika menggema di kedai itu. Suara bisik-bisik terpana juga turut menghiasi ruangan yang cukup luas itu.
Sedangkan Milly bola matanya mengerjap mendengar kata-kata lelaki yang mengaku sebagai kekasih Elena itu. Lalu pandangannya tertuju pada Elena yang ternganga dengan sisa air mata di wajah.
“Kalau begitu… aku minta maaf,” cicit lelaki gendut itu. Ia mendekati Elena dan menjabat tangan. Senyum lebar penuh tekanan terukir di bibir Bosnya itu.
“Kau bisa tetap bekerja di sini. Lupakan semua kemarahanku padamu tadi Elena.” Matanya melirik gentar pada Fernandez, sebelum menatap Elena lagi, melanjutkan dengan suara gemetar.
“Dan khusus hari ini, kau kuliburkan. Jadi berkencanlah bersama kekasihmu.”
***
Sore harinya Milly berada di depan apartemen Elena. Masker masih setia menutupi sebagian wajahnya. Tadi seusai keributan di kedai, Elena tiba-tiba ditarik begitu saja oleh kekasihnya itu dari sana. Kemudian ketika hendak mencapai jam pulang, Elena menghubungi nomor kedai dan memintanya untuk datang.
Entah untuk apa, tapi di sini-lah Milly berdiri. Mengetuk pelan pintu dan memanggil, “Elena.”
Dahi Milly berkerut karena suara grasak-grusuk di balik pintu. Seperti ada perkelahian di dalam sana. Itu membuat kecemasan meliputi wajah Milly.
“Elena… kau baik-baik saja?” seru Milly memastikan walau suaranya agak teredam masker.
Tapi tidak ada jawaban selain suaran benturan keras disusul suara erangan kemudian membuat Milly melotot panik. Apa temannya terluka di dalam sana?
“Elena!” Tangan Milly lantas menggedor pintu heboh itu.
“Apa terjadi sesuatu padamu?!”
***
“Andez, menyingkirlah!” Elena berusaha menyingkirkan Fernandez yang berada di atas tubuhnya di sofa yang sedang mencumbu lehernya. Panas dan liar.
Ia mendengar ketukan serta panggilan Milly, “Elena.”
“Andez!” dorong Elena sekuat tenaga hingga Fernandez terguling, menghasilkan dentuman lembut karena tubuh lelaki itu menghantam karpet. Lalu Elena mulai berdiri, merapikan pakaiannya segera, sementara Fernandez menatapnya datar.
Tepat ketika Elena hendak berjalan mencapai pintu, Fernandez mendadak memeluk pinggangnya, membuatnya terkejut dan makin terkejut ketika jemari lelaki itu menyelinap di bawah rok hitam lipit pendeknya, masuk ke dalamannya lalu menyentuh area pribadinya. Ia mendongak spontan. “And—”
Tapi ucapan Elena terputus sebab Fernandez menutup mulutnya dengan satu tangannya yang bebas. Mata Elena hendak berair akibat gairah karena permainan jemari Fernandez yang melesak di dalam sana. Bergerak dengan tempo cepat.
Elena menggeleng. Fernandez mencumbu telinganya.
“Ahh…” desah Elena saat telapak tangan Fernandez tidak menghalangi mulutnya lagi melainkan menelusup, meremas buah dadanya di balik blouse pink.
“Andez hentikan…” cegah Elena hendak mengeluarkan tangan Fernandez di intinya dan Fernandez menurut membuat Elena bisa lega sedetik walau nafasnya tampak kacau.
“Elena… kau baik-baik saja?” seruan Milly terdengar.
Tapi di detik selanjutnya dengan cepat Fernandez memutar tubuh Elena, mengangkat kedua paha gadis itu melingkarkan di pinggangnya lalu menabrakkan ke dinding menghasilkan dentuman cukup keras. Elena mengerang.
Apalagi tanpa permisi bibir Fernandez telah melahap buah dadanya. Mengulumnya dengan sensual. Entah kapan Fernandez melakukannya, Elena tidak sadar bahwa blouse pinknya telah terangkat ke atas, branya terlepas dan terjatuh di lantai. Ia menjambak rambut Fernandez begitu merasakan lidah lelaki itu memutari putingnya.
“Ah…” desahnya, mengangkat kepalanya terbuai sejenak.
“Elena! Apa terjadi sesuatu padamu?!” Gedoran juga teriakan cemas Milly membuat Elena seketika menoleh ke arah pintu.
Namun tidak dengan Fernandez yang justru sibuk melumat buah dadanya. Bahkan Elena bisa merasakan tonjolan yang digesekkan Fernandez di balik celana pria itu pada miliknya.
“Aku… aku… baik-baik saja Milly!” seru Elena di sisa nafasnya yang tidak teratur.
Kemudian Fernandez mulai menyatukan tubuh mereka usai melucuti pakaian dalam Elena dengan cepat. Elena tersentak dibuatnya. Fernandez lantas menggerakkan pinggulnya dengan pelan yang berubah cepat. Elena hanya pasrah mengikuti ritme itu, dia dia semakin kuat menjambak rambut Fernandez. Itu sukses memicu kenikmatan yang tak tertandingi bagi Fernandez hingga mengerang puas.
“Milly… tunggu…” ucapan Elena tidak selesai sebab Fernandez langsung membungkam bibir ranumnya itu. Menciumnya dengan gairah di sela aksi bercinta mereka.
***
bersambung
Gila kamu, Indira! protes Ava begitu Pak De tak terlihat lagi.Indira hanya menunduk dengan wajah merah padam, menahan malu dan jengah yang menerpa begitu birahinya mereda. Ava sadar, dirinyapun ikut bersalah dalam hal ini, terbawa suasana hingga terlarut dalam persetubuhan yang beresiko itu, tapi tetap saja…Kalau ketahuan Pak De gimana?! kalau kamu hamil?Aku suruh pacarku tanggung jawab, sahut Indira, lalu memalingkan muka.Angin berhembus masuk ke dalam studio, menghembuskan suatu perasaan yang aneh di dada Ava. Seharusnya ia merasa lega, namun perkataan Indira yang terakhir itu seperti seserpih perih yang menari pelan di permukaan hatinya.Ava, maaf… nggak seharusnya aku ngelakuin ini sama kamu… dan… umm… Indira terdiam, seperti hendak tak jadi melanjutkan kata-katanya.Terus apa?Yang tad
Apa istimewanya seorang mas-mas brewokan bernama Mustava Ibrahim? batin Indira berusaha memungkiri. Dewa dan mantan-mantannya yang lain jauh lebih tampan daripada pemuda itu!7 hari sudah berlalu, tapi Indira terus mencoba memahami teka-teki di hatinya sendiri, pun demikian hati wanita memang sulit dimengerti. Tidak hanya bagi laki-laki, tapi juga si wanita itu sendiri. Kehadiran Ava dalam hidupnya benar-benar mengubah tone hidup-nya menjadi lebih berwarna. Berwarna seperti pelangi! Berwarna seperti lukisan! Marah, sedih, benci, bahagia, bercampur seperti palet-palet warna cat minyak yang dibaurkan ke dalam sanubarinya!Indira tertawa mengingat bagaimana ia pertama berjumpa Ava di air terjun, betapa tengik dan menyebalkannya anak itu! Huh! Tapi juga… remaja itu tersipu sendiri hingga pipinya perlahan bersemu.Dalam keheningan malam, Benak Indira kembali mengenang. Bagaimana saat Ava membelanya di Pub minggu lalu. Bagaimana saat Ava menampung isak tangisny
Taksi yang ditumpangi Ava dan Indira melaju di sepanjang Jl. By Pass, jalan besar yang sekilas mengingatkan Ava pada Ringroad di Jogja. Cahaya lampu jalan yang berwarna jingga berpendar di wajah Indira yang duduk di sampingnya.“Ava,” Indira memecah kebisuan.“Ya?”Gadis itu memandangi pipi Ava yang membiru terkena bogem. “Aku beneran nggak nyangka semuanya jadi kaya gini.”Ava tak langsung menjawab.“Yang tadi pagi juga…” Indira menyebut peristiwa di air terjun tadi pagi, di mana ia telah mengata-ngatai Ava sebagai teroris.Bisu menyelinap lagi di antara jarak yang memisahkan tempat duduk mereka. Ava menarik nafas panjang. “Kenapa sih, kamu?” tanya Ava.“Nggak tahu,” jawab Indira pelan. Sungguh, dirinya sendiri pun tidak tahu kenapa ia bisa membenci pemuda itu.Ava mendengus, nafasnya mengembun pada kaca mobil yang dingin. “Pasti gara-gara nam
Senja datang menjelang di Kuta yang semakin temaram. Matahari sudah menyembunyikan diri di balik horizon, menyisakan gradasi berwarna biru keunguan yang menyemburat dari balik kaki langit. Jalanan yang tadinya terik segera digantikan dengan riuh rendah dunia malam yang memenuhi setiap sudut jalan. Arus lalu lintas semakin padat merayap, dan trotoar mulai dipenuhi wisatawan asing yang baru pulang berselancar atau hendak keluar mengisi perut.Jalan Legian. Jika kalian kebetulan melancong ke Bali, sempatkanlah mengunjungi tempat ini. Lewat tengah malam, niscaya engkau akan mendapati klub-klub yang menyesaki kiri-dan kanan jalan seolah saling berlomba dan tak mau kalah dalam menarik perhatian setiap calon pengunjung, maka didentamkanlah musik sekeras-kerasnya dan dinyalakan lampu sorot sekilau-kilaunya. Jangan heran jika nanti engkau melihat bule-bule yang berjoget hingga trotoar di antara kemacetan yang berarak-arak.Seorang wanita dengan danda
Siang itu jalan menuju pantai tampak tidak sanggup lagi menampung volume kendaraan berplat luar kota yang semakin padat dari tahun ke tahun. Beberapa wisatawan asing melintas buru-buru di atas trotoar di kiri dan kanan jalan, menghindari panas matahari di balik baju-baju dan cinderamata yang dipajang bergantung-gantung pada art shop di pinggir jalan.Indira meliuk-liuk dengan skuter matic di antara kemacetan itu. Wajah blasterannya tampak berkerut-kerut melawan terik matahari. Siang itu benar-benar panas, angin yang berhembus juga angin yang benar-benar gersang, mengibarkan dress putih sepaha dan cardigans hitam yang dikenakannya untuk melawan terik.Indira melengguh kesal. Ia benar-benar kesal hari ini. Kesal kepada kemacetan ini, kesal kepada ayahnya, kesal pada Dewa, pacarnya yang tidak bisa dihubungi, kesal kepada semua! Terlebih lebih kepada mas-mas brewokan yang bernama Mustava Ibrahim itu.Sungguh, udara yang panas itu membuat kemarahan di dada Indira men
Hanyalah sesosok pohon beringin yang berdiri angkuh bak raksasa hijau di sekian sisa aroma kematian. Daunnya demikian merimbun, bertumpuk-tumpuk menghalangi jatuh cahaya ke puluhan orang yang berlalu di bawahnya. Ava berjalan dengan takut-takut, menghindari akar gantung yang menjuntai ke sampai tanah. Pohon Beringin itu nampak benar-benar wingit, apalagi dengan kain kotak-kotak hitam-putih yang dilingkarkan di sekelilingnya.Pagi itu hari Minggu, Galeri Pakde tentu tidak buka di hari Minggu. Maka Ava dan Kadek menyanggupi untuk menggantikan Pak De kerja bakti membersihkan areal Pura Dalem, yakni tempat peribadatan yang terletak di sekitar pekuburan untuk pemujaan alam kosmis demi menetralisir kekuatan positif dan negatif.Pekuburan itu nyaris tanpa nisan, karena prosesi pemakaman di tempat ini mengharuskan jenazah si Mati di lebur dalam api pralina [SUP](1)[/SUP] -dilebur oleh Sang Siwa, sehingga menyisakan bade [SUP](2)[/SUP] -sarkofagus w