Home / Romansa / Kupu-kupu Kertas / Sebuah kesepakatan

Share

Sebuah kesepakatan

Author: Zenkodok
last update Last Updated: 2021-10-21 11:29:46

Sebuah Kesepakatan

Hal pertama yang didapati Milly ketika pintu itu telah terbuka adalah penampilan Elena yang tampak agak berantakan. Rambutnya dicepol sembarangan. Blouse pinknya terlihat compang-camping. Muka temannya itu memerah.

“Maaf aku baru bisa membuka pintu sekarang. Tadi aku sedikit mengatasi sesuatu hal,” jelas Elena ngos-ngosan, membuat Milly mengernyit.

“Apa kau terjatuh?”

Elena tertawa. “Tidak Milly.”

“Aku mendengar suara-”

“Tidak. Tidak ada apa-apa Milly,” potong Elena cepat. Kemudian melebarkan pintunya dan mempersilahkan Milly.

“Masuklah.”

Milly pun masuk ke dalam aparteman sederhana Elena. Ia lalu bertanya pada Elena. “Jadi untuk apa kau memanggilku?” Pandangannya kemudian berhenti pada satu titik. Kepada lelaki yang tadi dilihatnya di kedai.

Lelaki itu sedang duduk di sofa. Membungkukkan punggungnya dengan kedua siku menumpu lulut dan tangan saling bertautan, memandangnya dengan dingin. Rambutnya terlihat awut-awutan. Kemeja merahnya tampak lusuh dan berantakan.

Milly mengerjap bingung.

Kenapa penampilan Elena dan lelaki itu sama-sama terlihat kacau? Apa yang baru saja mereka lakukan? Apa Elena habis mengamuk hebat dengan kekasihnya? Mungkinkah ini ada kaitannya dengan persoalan heboh di kedai?

“Aku ingin mengenalkanmu pada Andez. Kau tadi tidak sempat berkenalan dengannya bukan?”

“Kau akan menikah dengannya?” bisik Milly bertanya pada Elena membuat gadis itu tertawa lagi. Ia mengibaskan tangan di udara.

“Tentu saja tidak Milly. Aku tidak menikah dengannya. Ia hanya membuat lelucon di kedai tadi,” balas Elena berbisik, tapi dapat didengar Fernandez hingga lelaki itu mengangkat sebelah alisnya.

Lalu detik selanjutnya Milly sudah duduk di sofa bersama Elena, berseberangan dengan Fernandez. Tangan Fernandez terangkat lebih dahulu menjabat sebagai awal perkenalan dengan Milly dan langsung disambut ramah oleh Milly.

Tapi Fernandez hanya memasang wajah datar. Mereka kemudian menyebutkan nama lengkap masing-masing setelah itu Elena tersenyum sumringah.

“Aku sering melihatmu di kedai. Kau selalu memakai masker. Apa penyakitmu tidak sembuh-sembuh?” tanya Fernandez tanpa emosi dan sangat tidak sopan di mata Elena hingga Elena memberikan pelototan peringatan padanya.

Berusaha tampak biasa, Milly menjawab dengan alasan yang terpikir di benaknya. “Aku tidak bisa terkena debu.”

Setelah itu Fernandez tidak bertanya lagi. Namun matanya memerhatikan dengan seksama wajah Milly. Bola mata itu sekali lagi memaksanya menerka perihal kemiripan seseorang yang tadi sempat diabaikannya. Tidak butuh waktu lama, di detik Fernandez tersadar, di detik itu pula bola matanya agak terkejut.

Evelyn Blossom. Apa mungkin?

Tapi tunggu…

Fernandez perlu mencari bukti lain lagi. Lalu tiba-tiba otaknya teringat pada satu hal yang disembunyikan Evelyn dari Axton dengan sangat rapat beberapa tahun lalu tepatnya saat mereka masih remaja.

Semua itu terbongkar oleh Fernandez karena dirinya tidak sengaja menyaksikan Evelyn dan Chloe berlomba menghabiskan dua piring udang di sebuah restoran. Gadis itu pemenangnya tapi keselamatannya hampir terancam usai bubarnya acara.

“Kau bodoh,” desis Fernandez.

Evelyn yang terbaring di ranjang rumah sakit menatap sayu Fernandez. “Jika kau sudah tahu ini, kumohon rahasiakan dari Aro.”

“Jadi selama ini kau menutupinya darinya?” sinis Fernandez yang berdiri di sisi ranjang.

“Aku hanya ingin menyukai apa yang Aro sukai. Jadi tolong Andez, jangan beritahu tentang hal ini pada Aro. Lagi pula aku menerima tantangan Chloe karena aku tidak ingin gadis itu terus menganggu hidupku. Kali ini aku melakukannya untuk diriku. Bukan untuk Aro.”

“Kau akan mati jika aku tidak menolongmu,” dengus Fernandez, tapi Evelyn memamerkan senyum lembut dan membalas Fernandez, “Terimakasih, Andez.”

Tersadar dari lamunan, Fernandez lantas menatap lurus Milly, sementara Elena tengah menepuk pundak gadis itu sambil berkata,

“Kurasa aku langsung mengatakannya saja. Aku sudah menceritakan segala hal tentangmu kepada Andez. Ia bisa membantumu mencari siapa pembunuh Ibumu, Milly.”

Dari manik matanya, Fernandez terus mengamati interaksi dua gadis di hadapannya. Terlihat Milly menoleh cepat ke arah Elena yang mengumbar senyum lebar.

“Semua akan baik-baik saja Milly. Tidakkah kau ingin menghukum pria kejam itu?”

Fernandez berdeham membuat dua gadis itu menatap padanya.

“Apa kau alergi udang?” tanyanya pada Milly.

Gadis itu mengerjap dan spontan bertanya, “Kau tahu dari mana?” Karena sebelumnya Clara memang pernah membawa dirinya ke rumah sakit setelah memakan makanan laut itu.

Sedangkan Elena mengernyit pada Fernandez. “Apa maksud pertanyaanmu Andez? Kita sedang berbicara serius tapi kau malah bertanya tentang hal yang—”

“Lupakan kalau begitu,” sela Fernandez masa bodoh. Kemudian samar, senyum sinis terbit di bibirnya. Pandangannya tidak terbaca.

“Kembali ke topik. Aku akan membantumu.”

Milly yang tadi diliputi perasaan heran langsung melengkungkan bibirnya, membentuk senyuman ketika mendengar kata-kata Fernandez.

“Terimakasih Andez,” kata Milly tulus.

Elena kemudian merangkul pundak Milly, mengusap pelan lengannya sambil tersenyum senang.

“Tapi dengan satu syarat.”

Bagai tersambar petir tubuh Milly menjadi kaku. Sedangkan Elena segera memelototi Fernandez dan mengulang, “Syarat?”

Fernandez mengangguk.

“Kau sudah menyetujui akan membantunya Andez,” bantah Elena.

“Elena…” bisik Milly kemudian. Seketika ia diliputi perasaan tidak enak.

“Tidak susah.” Pandangan Fernandez hanya terfokus pada Elena, menyeringai.

“Kau menikah denganku. Tiga hari lagi.”

Milly melirik Elena yang tampak menahan kekesalan.

“Andez. Kau tahu aku tidak siap dengan pernikahan. Lagi pula belum tentu aku satu-satunya wanita yang kau rasa tepat,” sindir Elena.

“Aku menginginkanmu. Di sisiku. Selamanya.”

“Elena kurasa…” Milly hendak menengahi tapi suara Elena lebih dulu angkat bicara.

Terdengar mencemooh dan tertawa sinis, “Itu tidak mungkin. Kau terdengar seperti pria pembual.”

“Jika kau tidak siap tiga hari lagi. Aku bisa mengundurkannya,” tawar Fernandez namun tersirat nada pemaksaan di sana membuat Elena memejamkan mata sejenak.

“Fine. Tapi kita akan menikah dua tahun lagi. Kau harus membantu temanku,” tegas Elena dengan mantap kepada Fernandez membuat lelaki itu tersenyum tipis.2

“1 bulan lagi,” ralat Fernandez membuat Elena mengepalkan tangan. Sementara Milly lagi-lagi ingin menyudahi, merasa Elena tidak perlu melakukan keinginan lelaki itu jika tidak ingin cuma demi dirinya. Ia menghargai niat tulus Elena, tapi Milly rasa ini terlalu berlebihan.

“8 bulan,” ketus Elena bernegosiasi, membatalkan suara Milly keluar.

“2 bulan.” Fernandez tidak mau kalah.

“7 bulan lebih 1 minggu.”

Fernandez menggeleng. “2 bulan lebih 1 minggu.”

“7 bulan pas.”

“Tidak. 2 bulan pas kalau begitu.”

“6 bulan!” tandas Elena beranjak. Kesal.

Fernandez masih tampak tenang di sofa. Menengadah menatap Elena dengan senyum geli. “Deal. 6 bulan.”

Elena terduduk di sofa lemas. Tapi masih dongkol dengan Fernandez. “Apa kau sedang mengerjaiku?”

“Nope. Hanya sedang mengetes batas kesabaranmu.”

Milly yang berada di situasi itu sedari tadi terpaksa cuma bisa terdiam. Tidak tahu harus mengatakan apa. Terlebih ketika Fernandez kini menatapnya, ia hanya bisa memberikan senyum tipis kikuk walau lelaki itu tidak dapat melihatnya sebab mulutnya tertutup masker.

***

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kupu-kupu Kertas   Berhenti berharap

    Gila kamu, Indira!” protes Ava begitu Pak De tak terlihat lagi.Indira hanya menunduk dengan wajah merah padam, menahan malu dan jengah yang menerpa begitu birahinya mereda. Ava sadar, dirinyapun ikut bersalah dalam hal ini, terbawa suasana hingga terlarut dalam persetubuhan yang beresiko itu, tapi tetap saja…“Kalau ketahuan Pak De gimana?! kalau kamu hamil?”“Aku suruh pacarku tanggung jawab,” sahut Indira, lalu memalingkan muka.Angin berhembus masuk ke dalam studio, menghembuskan suatu perasaan yang aneh di dada Ava. Seharusnya ia merasa lega, namun perkataan Indira yang terakhir itu seperti seserpih perih yang menari pelan di permukaan hatinya.“Ava, maaf… nggak seharusnya aku ngelakuin ini sama kamu… dan… umm…” Indira terdiam, seperti hendak tak jadi melanjutkan kata-katanya.“Terus apa?”“Yang tad

  • Kupu-kupu Kertas   On The Night Like This

    Apa istimewanya seorang mas-mas brewokan bernama Mustava Ibrahim? batin Indira berusaha memungkiri. Dewa dan mantan-mantannya yang lain jauh lebih tampan daripada pemuda itu!7 hari sudah berlalu, tapi Indira terus mencoba memahami teka-teki di hatinya sendiri, pun demikian hati wanita memang sulit dimengerti. Tidak hanya bagi laki-laki, tapi juga si wanita itu sendiri. Kehadiran Ava dalam hidupnya benar-benar mengubah tone hidup-nya menjadi lebih berwarna. Berwarna seperti pelangi! Berwarna seperti lukisan! Marah, sedih, benci, bahagia, bercampur seperti palet-palet warna cat minyak yang dibaurkan ke dalam sanubarinya!Indira tertawa mengingat bagaimana ia pertama berjumpa Ava di air terjun, betapa tengik dan menyebalkannya anak itu! Huh! Tapi juga… remaja itu tersipu sendiri hingga pipinya perlahan bersemu.Dalam keheningan malam, Benak Indira kembali mengenang. Bagaimana saat Ava membelanya di Pub minggu lalu. Bagaimana saat Ava menampung isak tangisny

  • Kupu-kupu Kertas   Samsara

    Taksi yang ditumpangi Ava dan Indira melaju di sepanjang Jl. By Pass, jalan besar yang sekilas mengingatkan Ava pada Ringroad di Jogja. Cahaya lampu jalan yang berwarna jingga berpendar di wajah Indira yang duduk di sampingnya.“Ava,” Indira memecah kebisuan.“Ya?”Gadis itu memandangi pipi Ava yang membiru terkena bogem. “Aku beneran nggak nyangka semuanya jadi kaya gini.”Ava tak langsung menjawab.“Yang tadi pagi juga…” Indira menyebut peristiwa di air terjun tadi pagi, di mana ia telah mengata-ngatai Ava sebagai teroris.Bisu menyelinap lagi di antara jarak yang memisahkan tempat duduk mereka. Ava menarik nafas panjang. “Kenapa sih, kamu?” tanya Ava.“Nggak tahu,” jawab Indira pelan. Sungguh, dirinya sendiri pun tidak tahu kenapa ia bisa membenci pemuda itu.Ava mendengus, nafasnya mengembun pada kaca mobil yang dingin. “Pasti gara-gara nam

  • Kupu-kupu Kertas   Streets without signs

    Senja datang menjelang di Kuta yang semakin temaram. Matahari sudah menyembunyikan diri di balik horizon, menyisakan gradasi berwarna biru keunguan yang menyemburat dari balik kaki langit. Jalanan yang tadinya terik segera digantikan dengan riuh rendah dunia malam yang memenuhi setiap sudut jalan. Arus lalu lintas semakin padat merayap, dan trotoar mulai dipenuhi wisatawan asing yang baru pulang berselancar atau hendak keluar mengisi perut.Jalan Legian. Jika kalian kebetulan melancong ke Bali, sempatkanlah mengunjungi tempat ini. Lewat tengah malam, niscaya engkau akan mendapati klub-klub yang menyesaki kiri-dan kanan jalan seolah saling berlomba dan tak mau kalah dalam menarik perhatian setiap calon pengunjung, maka didentamkanlah musik sekeras-kerasnya dan dinyalakan lampu sorot sekilau-kilaunya. Jangan heran jika nanti engkau melihat bule-bule yang berjoget hingga trotoar di antara kemacetan yang berarak-arak.Seorang wanita dengan danda

  • Kupu-kupu Kertas   The pain caver

    Siang itu jalan menuju pantai tampak tidak sanggup lagi menampung volume kendaraan berplat luar kota yang semakin padat dari tahun ke tahun. Beberapa wisatawan asing melintas buru-buru di atas trotoar di kiri dan kanan jalan, menghindari panas matahari di balik baju-baju dan cinderamata yang dipajang bergantung-gantung pada art shop di pinggir jalan.Indira meliuk-liuk dengan skuter matic di antara kemacetan itu. Wajah blasterannya tampak berkerut-kerut melawan terik matahari. Siang itu benar-benar panas, angin yang berhembus juga angin yang benar-benar gersang, mengibarkan dress putih sepaha dan cardigans hitam yang dikenakannya untuk melawan terik.Indira melengguh kesal. Ia benar-benar kesal hari ini. Kesal kepada kemacetan ini, kesal kepada ayahnya, kesal pada Dewa, pacarnya yang tidak bisa dihubungi, kesal kepada semua! Terlebih lebih kepada mas-mas brewokan yang bernama Mustava Ibrahim itu.Sungguh, udara yang panas itu membuat kemarahan di dada Indira men

  • Kupu-kupu Kertas   Menyewa braya

    Hanyalah sesosok pohon beringin yang berdiri angkuh bak raksasa hijau di sekian sisa aroma kematian. Daunnya demikian merimbun, bertumpuk-tumpuk menghalangi jatuh cahaya ke puluhan orang yang berlalu di bawahnya. Ava berjalan dengan takut-takut, menghindari akar gantung yang menjuntai ke sampai tanah. Pohon Beringin itu nampak benar-benar wingit, apalagi dengan kain kotak-kotak hitam-putih yang dilingkarkan di sekelilingnya.Pagi itu hari Minggu, Galeri Pakde tentu tidak buka di hari Minggu. Maka Ava dan Kadek menyanggupi untuk menggantikan Pak De kerja bakti membersihkan areal Pura Dalem, yakni tempat peribadatan yang terletak di sekitar pekuburan untuk pemujaan alam kosmis demi menetralisir kekuatan positif dan negatif.Pekuburan itu nyaris tanpa nisan, karena prosesi pemakaman di tempat ini mengharuskan jenazah si Mati di lebur dalam api –pralina [SUP](1)[/SUP] -dilebur oleh Sang Siwa, sehingga menyisakan bade [SUP](2)[/SUP] -sarkofagus w

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status