Trevor Miller
Fernandez menunggu di lorong rumah sakit, menanti Dokter keluar. Duduk dengan kedua tangan saling bertautan, sikunya bertumpu pada lutut. Kepalanya agak tertunduk.
Ingatannya terhempas pada insiden dimana Elena terkena tembakan. Sosok di rooftop itu, walau ia tidak dapat melihat jelas wajahnya, tapi simbol laba-laba yang tercetak di belakang jaket hitam yang dikenakan sosok itu terasa tidak asing bagi Fernandez.
Tidak salah lagi. Simbol itu memang merupakan identitas kelompok mafia Roger.
Seketika rahang Fernandez mengetat. “Roger…”
Namun begitu mendengar suara pintu terbuka, perhatian Fernandez teralihkan. Ia segera berdiri, matanya sekilas bergulir pada name tag di jas putih itu sebelum menatap Dokter tersebut.
“Jadi, Dokter Stacy bagaimana keadaannya?”
Dokter Stacy langsung memberitahu Fernandez, “I
Dua Garis MerahDua minggu kemudian, Wella menanti dengan bahagia di pintu kamar mandi. Kemudian saat pintu itu terbuka, senyum sumringah terpatri di bibir Wella, matanya berbinar-binar menatap Milly.“Jadi bagaimana?” desak Wella tidak sabar, sementara Milly berdiri kaku dengan wajah pucat. Memar-memar di wajahnya mulai memudar, nyaris tidak lagi terlihat. Selain itu, rambut coklat panjangnya yang tergerai indah, membuat Wella tidak menyadari bekas benturan di pelipisnya.Memaksakan senyum, Milly mengangsurkan test pack itu kepada Wella.Thomas berdeham. Ia juga berada di sana, di dekat Wella dan kini sudut matanya ikut melirik test pack yang ada di tangan Wella.“Kau… positif?” Wella membekap mulutnya usai menatap test pack itu, memberikan benda itu begitu saja pada Thomas. Setelahnya ia memekik girang, menjabat tangan Milly.“Kau akan menjadi seorang Ibu dan aku akan menjadi seorang Nenek.”
Strategi RogerRoger terkekeh setelah menyiram wajah Milly dengan air. Mata gadis itu kini terbuka. “Apa kau sedang memimpikanku, manis?” Pria tua itu lalu melempar botol plastik yang isi airnya telah kosong ke sembarang arah.Mata Milly mulai menjelajah isi ruangan. Ia tidak tahu dimana dirinya berada sekarang. Tempat ini terlihat seperti gudang. Minim ventilasi dan udara di sekitar terasa pengap. Bahkan penerangan hanya di dapat dari lubang-lubang kecil ventilasi itu. Tampak beberapa kardus yang entah isinya apa berjejer, cukup banyak di sekelilingnya.Lalu tiba-tiba ingatan Milly terhempas pada Wella yang mencoba melindunginya, lantas tatapannya nanar tertuju pada blouse biru muda lengan panjang dan rok circle putih sebatas lutut yang dikenakannya, di mana ada bekas cipratan darah Wella di sana.Seketika mata Milly memanas.Detik berikutnya, ia bergidik saat tangan menjijikkan Roger bergerak, menyisihkan beberapa helai rambut di sekita
Akhir dari SegalanyaRoger terkekeh mesum saat menanggalkan satu per satu kancing Milly, sementara Milly terus berteriak walau suaranya teredam, meronta panik. “Mmm—hmpp…,” hingga dentingan borgol itu bergema lantang di ruangan itu. Air matanya terus berurai dan ia begitu ketakutan.Namun baru dua kancing, ponsel Roger tiba-tiba berbunyi hingga ia menghentikan aktifitasnya.“Oh, sepertinya aku baru mendapatkan satu pesan, manis. Dan mungkin, ini tentang pria pahlawanmu itu.” Roger tersenyum nakal dan meremas kecil payudara Milly membuat gadis itu meronta dan kembali berteriak yang berujung sia-sia.“Mmm—hmmmp…,” dan lagi-lagi borgol itu hanya beradu menciptakan gema berulang tanpa bisa terlepas, sementara Roger tertawa keras saat membaca pesan dari Robby di ponsel.Bos semua sudah beres. Aku sudah membunuhnya.&
Menu Favorit AxtonSatu bulan kemudian telah berlalu sejak kejadian di rumah sakit itu dan kini di sinilah Milly sekarang, menunduk di wastafel dan memuntahkan sesuatu yang sia-sia, sementara Elena berdiri di sebelahnya mengusap punggungnya pelan dengan ekspresi cemas.“Apa seburuk itu?” tanyanya pada Milly yang kini menyalakan kran air untuk membasuh mulut.“Ya, dan aku ingin sekali mengugurkannya tapi…” Milly menyelipkan beberapa helai rambut ke telinga, mengangkat wajah lelahnya dan mematut dirinya di cermin sambil tersenyum getir.“Jika aku melakukannya, aku akan menjadi Ibu terburuk di dunia.”Lalu ia menoleh pada Elena yang tidak bisa menyembunyikan rasa harunya saat mendengar kalimat Milly berikutnya, “Seorang Ibu yang baik tidak akan pernah menyesal melahirkannya. Kurasa aku ingin ia bangga padaku suatu hari nanti.”Elena tidak bisa menyembunyikan rasa harunya.Milly pun pasra
Permintaan Maaf AxtonMilly membungkuk, memutar kran air di wastafel dapur, membiarkan air itu mengalir. Kepalanya terasa pusing. Entah tidak terhitung berapa kali ia mengalami hal seperti ini. Napasnya terengah-engah. Gejolak di perutnya yang terasa tidak nyaman dan begitu mendesak—minta dikeluarkan—membuat ia berada di sini, alih-alih kamar mandi.“Kau baik-baik saja?”Segera Milly berbalik dan mematikan kran air saat merasa suara itu berada di belakangnya. Ia terkejut melihat Axton berdiri di tengah ruangan. Wajah lelaki itu mengeras dengan bola mata yang memercikkan kecemasan.“Apa yang kaulakukan di sini?” ketus Milly yang justru balik bertanya.“Hanya ingin memandangmu lebih dekat.” Axton lalu berjalan ke arah gadis itu pelan, tidak menggubris sorot permusuhan yang kentara di mata Milly.“Berhenti di situ,”
Ungkapan Kebencian MillyMilly mendekat ke cermin di kamar, rambutnya tergerai dengan indah. Saat mematut dirinya dan memandang perutnya yang belum terlalu membesar, Milly bergumam,“Mommy janji akan menjagamu dengan baik. Dan di sini bukan tempat yang baik untukmu dan Mommy.”Ia tahu bahwa Axton telah pulih. Bahkan dua jam lalu, ia sempat melihat lelaki itu masuk ke mobil bersama Thomas dari jendela kamarnya. Entah pergi kemana, Milly merasa tidak perlu memikirkannya.Kepala Milly lalu menoleh ke segala arah, mengamati lekat setiap sudut di kamar ini.Sekarang, ia hanya perlu pergi dari rumah ini. Karena ia sudah tidak memiliki hutang budi apapun dengan lelaki itu.***Milly menggenakan atasan t-shirt lengan panjang berwarna kuning dan bawahan rok putih mekar sebatas lutut senada dengan flatshoesnya. Ia berusaha mengatur napasnya di ambang pintu rumah A
Cara Kerja WaktuAxton setengah berlutut di pemakaman Wella, satu tangannya memegang sebuket mawar merah. Sendu ia memandang nisan yang bertuliskan nama serta tanggal wafat Ibunya.“Apa yang harus kulakukan Mom? Aku sudah berbuat banyak kesalahan dengannya,” gumam Axton, mencurahkan rasa frustrasinya namun hanya dibalas oleh kesunyian di siang hari.“Milly… gadis yang kukenalkan padamu… ia adalah Eve, Mom.”Axton lalu meletakkan sebuket bunga mawar di dekat nisan Wella. “Sekarang, ia sangat membenciku.”Lagi-lagi sunyi. Namun hembusan angin mulai menerpa rambut Axton. Menelan ludah kasar, Axton kembali berbicara pada makam Wella, suaranya berbisik lirih.“Maafkan aku Mom. Jika saja, aku tidak terlambat menolongmu, kau takkan berada di sini. Aku sangat menyayangimu Mom. Selalu.”Setelah itu A
Pangeran Tampan7 tahun kemudian…Suara musik berdentum keras di sekeliling. Lampu yang menyerupai bola besar berputar, memancarkan cahaya warna-warni, makin menambah suasana hingar-bingar di Club itu. Axton mengambil kursi di sisi Fernandez.Ia memandang Bartender di depannya dengan datar, dan sang Bartender langsung memberikan minuman biasa yang dikonsumsi Axton. Bahkan Axton tidak perlu membayar karena ini adalah Club miliknya.“Jadi kau sudah bertemu dengannya?” Fernandez melirik Axton di tengah menenggak minumannya.“Aku masih belum yakin.”Fernandez mendengkus dan meletakkan gelas sloki ke meja yang langsung diisi oleh bartender dengan yang baru.“Lalu untuk apa kau menyuruhku kemari.”“Sengaja agar kau tidak terus berduaan dengan istrimu.”Fernandez