Bab 1
Senyumku merekah melihat sosok lelaki yang turun dari mobil, wajahnya terlihat lelah. Aku berjalan mendekat dan mencium tangannya.
"Mau mandi atau makan dulu, Mas?"
"Mandi saja dulu. Badanku rasanya lengket, gerah. Tolong buatkan kopi ya," jawabnya dengan senyum.
Cup!
Hatiku menghangat mendapat ciuman mesra di kening. Suamiku ini memang selalu romantis meski kondisi kelelahan seperti ini.
Kami berjalan dengan saling merangkul menuju ke kamar. Aku membantunya melepas jas dan membuka kancing kemejanya.
"Maaf ya, aku tidak sempat membelikan oleh-oleh," ujarnya dengan wajah merasa bersalah.
"Tidak apa, Mas. Yang penting sekarang kamu sudah pulang, kamu seminggu di sana rasanya setahun," balasku sambil pura-pura memasang wajah kesal.
Ibu jarinya mengelus pipiku lembut. "Aku di sana kerja, Ambar sayang. Kondisimu juga sedang tidak sehat kalau ikut kesana," ujarnya lalu membuka lemari untuk mengambil handuk.
Aku sebenarnya bekerja juga untuk mengisi waktu, mas Hasbi tidak melarang karena merasa kasihan jika melihatku sepanjang hari hanya di rumah saja. Menjadi manajer di sebuah perusahaan batubara, sedangkan mas Hasbi sendiri mengurus bisnis properti milik ayahku yang kini cabangnya sudah ada di beberapa kota.
"Mas mau makan apa?" tanyaku sebelum dia masuk ke kamar mandi.
"Pesan saja biar kamu tidak perlu memasak," jawab mas Hasbi masih dengan senyum manisnya lalu melangkah masuk kamar mandi.
Aku menaruh bajunya di keranjang baju kotor. Baru saja akan mengambil tas kantor mas Hasbi, ponselku yang ada di atas nakas berdering.
Nama Resti terlihat di layar, aku langsung menggeser tombol untuk mengangkatnya.
"Kenapa, Res?"
"Mbar, aku sedang di atm. Coba kirimkan nomor rekeningmu. Aku mau mengembalikan uang yang kupinjam," ujar Resti.
"Kamu 'kan tahu dompetku kemarin kecopetan, atm ku di sana dan belum diurus karena sekarang hari sabtu."
"Ya sudah, berikan saja nomor rekening suamimu. Aku sudah ditunggu ini," balasnya.
"Iya, sebentar."
Mencari ponsel mas Hasbi di tas kerjanya. Aku tentu tahu kata sandi ponselnya, begitupun sebaliknya. Kami tidak pernah saling menyembunyikan apapun.
Dengan cepat aku membuka m-banking, sebelah alisku terangkat saat aplikasi terbuka langsung terlihat riwayat transfer dengan nilai yang lumayan besar.
"Lima juta," gumamku.
"Mbar!"
"Eh, iya. Sebentar."
Suara Resti membuatku tersadar, dengan cepat aku mencari nomor rekeningnya dan langsung mengirimkan ke nomor Resti lewat ponsel mas Hasbi.
"Oke, sudah ada nomor rekeningnya. Aku kirim sekarang ya," tutur.
Sambungan telepon terputus. Aku yang penasaran melihat kembali riwayat transfer tadi.
"Nafisha Anjani."
Rasanya nama itu asing untukku. Mas Hasbi juga tidak memiliki teman bernama Nafisha. Tidak ingin terlalu memikirkan itu, aku percaya suamiku tidak akan berbuat macam-macam. Pasti ini soal pekerjaan.
"Ambar!"
Brak!
"Astaghfirullah!" Aku kaget mendengar suara mas Hasbi, ponselnya sampai terjatuh dan sedikit retak.
Aku langsung berjongkok dan mengambilnya, sudut mataku menangkap sebuah dus kecil yang mengintip di balik tas kerja suamiku.
"Ambilkan sampo, sampo di sini habis." Mas Hasbi kembali berteriak.
"Iya. Mas." Aku menjawab tapi tangan ini bergerak untuk menarik dus kecil berwarna biru itu. Aku hanya melihat bagian tulisannya, dus itu tidak aku keluarkan sepenuhnya.
Test pack. Aku tersenyum getir melihatnya. Mas Hasbi pasti sangat ingin memiliki anak, aku merasa bersalah karena belum bisa memberikan buah hati. Dus itu kembali kumasukkan ke dalam tas dan juga ponsel di tanganku. Penasaran juga kenapa dia repot-repot membelikan test pack untukku.
Aku memang tidak pernah menyimpan test pack di rumah, beberapa kali melakukan tes dan hasilnya selalu negatif itu yang membuatku malas untuk menyimpan stok. Takut kecewa lagi, karena biasa saat telat datang bulan beberapa hari saja langsung melakukan tes dan berharap melihat garis dua.
***
Makanan yang dipesan baru saja sampai, aku langsung menatanya di meja. Sebuah tangan besar melingkar di perut disusul dengan kecupan di pipi.
Mataku membulat sempurna saat merasakan sesuatu yang dipasangkan mas Hasbi di leherku. Refleks aku menunduk menatap kalung yang kini sudah terpasang dengan sempurna.
"Mas …."
"Aku memang tidak membawakan oleh-oleh tapi aku membawa hadiah," ujarnya sambil terkekeh.
Perlakuan mas Hasbi memang selalu berhasil membuatku semakin jatuh hati. Pernikahan yang sudah berjalan dua tahun ini juga rasanya tidak pernah membosankan, aku selalu merasa menjadi pengantin baru karena perlakuan hangat dan romantis dari mas Hasbi. Aku memang tidak salah memilih pasangan. Perjuanganku mendapatkannya tidak sia-sia.
"Terima kasih, Mas."
"Kembali kasih, sayang."
Langsung ku siapkan sepiring nasi beserta lauk pauknya. Aku mengingat nama tadi yang mengganggu pikiranku, lebih baik tanyakan saja.
"Mas, Nafisha itu siapa?" tanyaku.
Mas Hasbi terlihat masih makan dengan santai. "Nafisha?"
"Iya, Nafisha Anjani," terangku.
"Dia partner bisnisku," jawabnya.
Mas Hasbi menjawab dengan ekspresi yang wajar. Jika memang dia berbohong pasti akan terlihat dari ekspresi wajahnya.
"Aku tadi melihat riwayat transfer dari m-banking."
Mas Hasbi terlihat mengambil gelas lalu diminum isinya hingga sisa setengah.
"Meja yang dikirimkan rusak jadi aku kembalikan uangnya."
Aku mengangguk mengerti, tidak ingin bertanya terus-menerus karena itu sudah cukup untukku. Tapi soal test pack di tasnya masih belum aku tanyakan, dalam kondisi lelah dan membahas soal masalah tentunya sangat tidak menyenangkan.
"Tadi Resti mengembalikan uang yang dipinjam lewat rekening kamu, Mas," jelasku.
Selesai makan, Mas Hasbi berjalan menuju gazebo untuk merokok sedangkan aku langsung membersihkan piring-piring kotor. Kami memang tidak pernah berniat mencari asisten rumah tangga. Dengan adanya orang asing di rumah tentunya akan merasa tidak nyaman.
Aku kembali ke kamar karena tadi mas Hasbi meminta untuk diambilkan ponselnya.
Melihat posisi tasnya masih seperti tadi, membuatku tergerak untuk membereskannya. Kutarik keluar dus test pack itu berniat menyimpannya di laci.
Pluk!
Kaget, ternyata dusnya sudah terbuka. Test pack itu terjatuh dengan posisi terbalik. Hatiku bergemuruh saat mengambil benda pipih itu dan melihat garis dua dengan sangat jelas.
I–ini be–kas … pakai?
Tanganku bergetar membuat test pack itu kembali terjatuh. Air mata langsung berdesakan untuk keluar.
"Ambar, mana ponselnya!"
Dengan cepat kuhapus air mata yang sudah membasahi pipi, kuambil kembali benda itu dan memasukkan ke tempatnya.
Perasaanku sudah tidak karuan saat ini. Kepercayaan yang tadi ada dalam hatiku kini berubah menjadi kecurigaan. Siapa yang tidak akan curiga melihat test pack bergaris dua di tas kerja suaminya.
Saat keluar dari kamar, mas Hasbi ternyata menyusul mungkin karena aku terlalu lama. Aku bersikap biasa, tidak ingin bertanya secara langsung. Tidak ada maling yang mau mengaku bukan?
Maka dari itu lebih baik aku mencari tahu sendiri daripada nanti mendapat pengakuan penuh kebohongan dari mas Hasbi.
"Kenapa lama?" tanyanya.
Aku menyerahkan ponsel itu padanya.
"Maaf, ponselnya tidak sengaja terjatuh." Aku tidak berbohong sepenuhnya karena ponselnya memang terjatuh tadi saat pertama kali dikeluarkan.
"Tidak apa, hanya retak sedikit," ujarnya.
Ia menarik tanganku menuju ruang tengah, duduk di sofa dan merangkul bahuku dengan mesra.
Apa semua keromantisan ini hanya kedok saja, Mas? Kalau sampai kamu benar selingkuh, aku akan membuatmu sadar. Apa yang kamu miliki saat ini adalah pemberian dari ayahku. Semua fasilitas yang kamu nikmati sekarang akan hilang!
Bersambung …..
Bab 2Malam harinya aku sampai tidak bisa tidur memikirkan test pack positif itu. Sudah jelas bukan milik orang lain, tidak lucu jika seseorang menitipkan test pack itu pada suamiku.Dari dengkurannya aku bisa pastikan mas Hasbi sudah tertidur lelap. Ponselnya tergeletak begitu saja di atas nakas. Dengan gerakan pelan kucoba meraih benda pipih itu. Ingin memeriksa apakah ada jejak perselingkuhan yang dilakukannya.Selama ini aku tidak pernah curiga, makanya aku sama sekali tidak ada niat melihat atau memeriksa isi ponsel suamiku.Tidak ada yang mencurigakan. Riwayat pesan di ponselnya hanya ada dari beberapa karyawan dan juga teman mas Hasbi yang tentunya aku kenal juga.Sudah kulihat, semua aplikasi pesan dan juga sosial media miliknya tapi tetap aku tidak mendapatkan sesuatu yang mencurigakan.Apa aku tidak sakit hati? Soal itu jangan ditanyakan lagi. Aku hanya sedang mencoba untuk menguasai diri agar tidak gegabah. Emosi semakin kuat menekan dada saat mengingat bagaimana perlakuan
Bab 3"A–aku tidak tahu!"Aku tertawa mendengar itu. "Tidak tahu? Bagaimana mungkin kamu tidak tahu apa isi tasmu sendiri?!" geramku.Kamu pikir istrimu sebod*h itu, Mas?"Mungkin temanku salah memasukkannya, karena istrinya memang sedang hamil. Aku juga belum memeriksa lagi tas kerja."Dia bicara seperti sedang bicara pada anak ingusan saja. Mas Hasbi mulai berbohong. Aku memutuskan untuk tidak memperpanjang pembicaraan, bukan karena aku percaya padanya tapi aku tidak ingin mendengar kebohongan lagi darinya. Lebih baik mencari bukti sendiri, daripada aku lelah terus mendesaknya."Saat ini aku percaya sama kamu tapi kalau sampai kamu ketahuan selingkuh, kamu akan tahu akibatnya!" Ucapanku ini tidak main-main, aku akan membuatnya menyesal.Aku mengalah untuk maju lebih jauh lagi. Kamu jangan senang dulu, Mas!Dia menarikku ke dalam pelukannya. "Maafkan aku ya. Aku membuat kamu curiga seperti ini, sungguh aku tidak selingkuh."Tanganku dengan berat terangkat membalas pelukannya, untuk s
Bab 4Mereka berdua sudah tidak terlihat lagi, aku terlalu larut dalam lamunan. Pintu rumahnya juga terkunci dengan rapat. Semua itu hanya khayalanku saja, tidak tahu apa yang mereka lakukan di dalam.Aku tidak ingin gegabah, bodohnya aku karena tadi tidak sempat mengabadikan momen itu. Setidaknya itu bisa aku jadikan bahan untuk mempermalukan wanita itu.Bagaimana mungkin aku mengingat untuk menyimpan bukti, hatiku saja begitu perih melihat dengan mata kepala sendiri apa yang selama ini Mas Hasbi sembunyikan.Di mataku dia lelaki alim, romantis dan sangat penyayang. Tapi ternyata dibalik sikapnya dia sama dengan lelaki lain di luaran, bajing*n!Aku tidak terima ini, Mas. Aku akan membuatmu berlutut dan menyesali apa yang sudah kamu lakukan padaku.Lututku rasanya masih lemas tapi aku harus segera pergi dari sini. Setidaknya sudah kukantongi alamat rumahnya. Aku bersumpah akan membuat lont* itu malu, di depan keluarga dan teman-temannya.Apa Mbak Tyas tahu kalau wanita yang dekat deng
Tenang? Aku bahkan tidak bisa tenang setelah apa yang terjadi. Bisa-bisanya dia bicara seperti itu. Tidakkah dia tahu hancurnya perasaanku. Dadaku bahkan masih terasa begitu sesak.Tidak. Aku tidak boleh memperlihatkan keterpurukan dan emosiku di depan mereka, itu sama saja memperlihatkan jika aku kalah. Untuk kali ini aku akan mengalah tapi bukan berarti memaafkannya, kesalah yang Mas Hasbi lakukan itu sungguh tidak bisa dimaafkan karena dia selingkuh selama usia pernikahan kami.Wanita itu juga pasti akan senang melihatku langsung mundur. Harta, itu pasti yang diinginkannya. Tidak ada wanita manapun yang ingin dimadu atau menjadi madu, aku yakin dia bahkan tidak mencintai Mas Hasbi.Beberapa hari ini aku membuat diriku pulih dulu karena memang setelah kejadian itu tidak bohong, aku jatuh sakit. Terdengar lemah memang, tapi wanita mana yang akan menerima begitu saja saat tahu suaminya diam-diam memiliki istri lain.Setiap hari Mas Hasbi mengantarkan makanan tapi tidak pernah sekalipu
“Sayang ….” Mas Hasbi seperti sulit untuk menentukan.“Pilihan ada ditanganmu, jangan berpikir jika aku memaksa, Mas. Silahkan saja pilih sesuai isi hatimu.” Meliriknya sekilas sebelum melanjutkan sarapan.Meski tidak pernah memiliki nafsu makan tapi setidaknya aku jangan sampai tumbang lagi karena hal ini. Beberapa hari sampai tidak bekerja. Memang kehidupanku jadi kacau tapi takkan kubiarkan berlarut seperti ini.“Aku … akan meninggalkan Nafisha. Tapi tunggu sampai dia melahirkan.”“Terserahmu.”Rasaku pada Mas Hasbi bahkan tidak langsung hilang meski dia sudah jelas berkhianat. Kecewa dan benci sudah pasti ada tapi tidak mudah menghilangkan begitu saja cintaku padanya.“Apa boleh aku kembali.”“Kalau kau datang sendiri pintu rumahku terbuka.” Kursi berderit saat aku berdiri, menaruh piring di tempat cucian kotor. Dia tidak mengekori saat aku masuk ke dalam kamar.Rasanya masih tidak percaya dengan badai besar yang menerjang rumah tanggaku. Kenapa harus ada cobaan seberat ini? Siapa
“Oh, temannya Mbak Tyas.”Kemarin Mbak Tyas mengatakan jika wanita ini adalah orang yang membantunya menyiapkan acara syukuran. Aku jadi mencurigai Mbak Tyas.Ada dua kemungkinan. Bisa jadi Mbak Tyas tahu dan mencoba menutupi atau dia tidak tahu dan sama denganku yang dibodohi oleh Mas Hasbi. Tidak mungkin juga menuduh tanpa bukti, jika tidak benar jatuhnya fitnah.Tidak boleh gegabah dan menciptakan masalah baru.“Vivi sudah mau pulang?”“Iya, Bu. Mungkin beberapa hari tidak kesini karena suamiku pulang,” ucapnya lalu melirik sekilas pada Mas Hasbi yang memalingkan wajahnya ke arah lain.“Aku antar Vivi dulu ya, Bu.”Aku masih diam melihat Mbak Tyas dan wanita itu keluar. Mas Hasbi berdiri mematung di tempatnya. Mungkin jika aku tidak datang dia yang akan mengantarkan istrinya itu pulang.“Kasihan ya suaminya kerja di luar kota. Kenapa dia tidak ikut saja? Sedang hamil pasti tidak mudah tinggal sendirian.”“Makanya biasa ibu memintanya datang kesini, kasihan kalau sendirian di rumahn
“Tidak, bukan seperti itu maksudku.”“Kamu juga ingin aku merawat anak itu? Kamu pikir hatiku ini batu hah?”Apa yang dipikirkannya itu? Sungguh tidak masuk akal. meski bayinya memang tidak bersalah tapi aku tidak akan pernah mau merawat bayi itu. Ibunya masih ada, kenapa harus aku yang merawatnya.Dia pikir hal ini akan membuatku luluh? Aku bahkan semakin marah.“Siapa tahu dengan mengasuh bayi bisa memancing agar dirimu bisa cepat hamil. Maaf kalau aku membuatmu tersinggung.”Sebelah sudut bibiku terangkat, “Tidak perlu.” Kusodorkan kertas yang berada di atas nakas.Setelah melakukan pemeriksaan sebelum ke kantor tadi, aku tahu alasan tubuhku belakangan ini begitu lemas. Bukan hanya karena masalah dengan Mas Hasbi tapi karena memang kondisiku. Mungkin jika ketahuan lebih awal Mas Hasbi tidak akan membawa wanita itu dan aku akan semakin lama dibohonginya.“Ka-kamu ha-mil, sayang.” Wajahnya terlihat syok, detik berikutnya dia menarikku ke dalam pelukannya.Entah harus bahagia atau tid
Aku menggigit bibir menahan tawa melihat wajah ketakutan Mas Hasbi, dia pasti tahu jika ucapan ayah tidak pernah main-main. Ayah selalu bersikap tegas, dulu saja Mas Hasbi tidak mudah mendapatkan restu ayah dan sekarang dia memperlakukanku seperti ini.“Mana mungkin, mana mungkin aku berani menyakiti Ambar. Aku akan menjaganya, Yah.”“Ayah percaya padamu. Sebentar lagi statusmu akan bertambah.”“Sudah, Yah. Ayah datang-datang langsung menceramahi Mas Hasbi. Ayo duduk dulu, aku buatkan minum.”“Biar aku saja yang buatkan, sayang. Ayah mau teh atau kopi?” Mas Hasbi begitu sigap.Lihat saja, sejauh apa aku membalasmu, Mas. Aku bukan orang penyabar yang menunggumu mendapatkan balasan atas kesalahan yang telah kau perbuat. Tidak ada larangan membalas perbuatanmu itu, sah sah saja. Tapi memang lebih baik membalas kejahatan dengan kebaikan namun sayang hatiku sepertinya tidak selapang itu.“Teh saja, tidak usah pakai gula.”Ayah tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihat Mas Hasbi yang su