Share

Kecurigaan Semakin Besar

Bab 2

Malam harinya aku sampai tidak bisa tidur memikirkan test pack positif itu. Sudah jelas bukan milik orang lain, tidak lucu jika seseorang menitipkan test pack itu pada suamiku.

Dari dengkurannya aku bisa pastikan mas Hasbi sudah tertidur lelap. Ponselnya tergeletak begitu saja di atas nakas. Dengan gerakan pelan kucoba meraih benda pipih itu. Ingin memeriksa apakah ada jejak perselingkuhan yang dilakukannya.

Selama ini aku tidak pernah curiga, makanya aku sama sekali tidak ada niat melihat atau memeriksa isi ponsel suamiku.

Tidak ada yang mencurigakan. Riwayat pesan di ponselnya hanya ada dari beberapa karyawan dan juga teman mas Hasbi yang tentunya aku kenal juga.

Sudah kulihat, semua aplikasi pesan dan juga sosial media miliknya tapi tetap aku tidak mendapatkan sesuatu yang mencurigakan.

Apa aku tidak sakit hati? Soal itu jangan ditanyakan lagi. Aku hanya sedang mencoba untuk menguasai diri agar tidak gegabah. Emosi semakin kuat menekan dada saat mengingat bagaimana perlakuan mas Hasbi padaku.

Mengingat sikap manisnya malah membuatku semakin merana. Lelaki idamanku itu ternyata diam-diam berkhianat.

Ponsel itu kembali disimpan di tempat semula. Aku tertidur dengan membelakangi mas Hasbi. Mataku tertutup tapi air mata merembes keluar, hatiku seperti diremas kuat.

Ya Allah … aku masih berharap semua ini hanya kesalahpahaman saja. Jika memang mas Hasbi berselingkuh, berikan aku petunjuk.

***

Seperti hari-hari biasanya, aku memasak, menyiapkan sarapan untuk mas Hasbi. Kantor kami tidak searah, aku dan mas Hasbi memiliki mobil masing-masing. Mobil yang dipakai mas Hasbi itu pemberian dari ayahku.

Saat istirahat makan siang, aku menyempatkan untuk mengurus kartu ATM yang hilang. Tidak mungkin kubiarkan begitu saja.

Ting!

Ponselku bergetar, aku saat ini masih menunggu antrian di bank.

[Sayang, hari ini ada acara syukuran di rumah Mbak Tyas. Bisa pulang lebih awal?] Pesan dari mas Hasbi.

Dengan cepat aku mengetik pesan balasan. [Iya, Mas. Akan aku usahakan pulang lebih awal.]

Kembali kusimpan benda pipih itu tanpa menunggu lagi balasan darinya.

Selesai dengan urusan di bank, aku kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaan yang tadi tertunda. Sesuai janjiku tadi, harus pulang lebih cepat.

"Bu Ambar. Berkas yang dari Pak Yanto tadi sudah selesai?" tanya Karina.

"Sebentar lagi, nanti saya berikan langsung pada Pak Yanto," jawabku saat berpapasan dengan Karina di lift.

Tadinya aku berniat mengerjakannya di rumah tapi sepertinya tidak bisa. Beginilah resiko seorang karyawan. Apa yang aku pilih harus aku jalankan, aku menolak untuk mengurus bisnis ayah karena ingin mandiri dan membangun karir sendiri.

Bekerja keras dari bawah tentu akan sangat berkesan saat nanti sudah ada di puncak kesuksesan daripada melanjutkan kerja keras ayah yang sekarang bisnisnya sudah berjaya.

***

Telat satu jam dari yang dijanjikan. Selain karena pekerjaan, kondisi jalanan yang macet menghambatku saat perjalanan menuju rumah kakak ipar.

Sampai di rumahnya aku bisa melihat ada beberapa mobil dan motor yang terparkir di depan rumah. Aku juga melihat mobil mas Hasbi ada di sana. Tapi aku tidak melihat adanya pengajian.

Sepertinya aku memang terlambat, aku turun dari mobil.

Kutebak jika pengajian ini pasti sudah selesai. Aku merasa malu juga pada Mbak Tyas karena terlambat datang sampai tidak ada saat acara inti dimulai.

Dari kejauhan aku melihat mas Hasbi tertawa lepas bersama dengan beberapa keponakannya yang jelas aku juga kenal. Tapi ada satu orang yang baru kali ini aku melihatnya.

Wanita itu memang tidak berdekatan dengan mas Hasbi tapi sedang bicara dengan Mbak Tyas.

"Assalamualaikum." Aku mengucap salam membuat tatapan semua orang kini mengarah padaku.

"Waalaikumsalam."

Aku langsung menghampiri mbak Tyas dan mencium tangannya lalu melempar senyum pada wanita yang tidak kukenal. Aku taksir usianya dua puluh tahunan, hanya berbeda beberapa tahun dari keponakan mas Hasbi paling besar.

"Maaf ya, Mbak. Aku telat datang, di jalan juga tadi sangat macet," ucapku.

Mbak Tyas tersenyum. "Tidak apa-apa, Mbar. Kamu datang saja Mbak sudah senang."

Aku kembali melirik mas Hasbi yang sedang memangku Ziva, keponakannya yang berusia tiga tahun. Semua keponakan mas Hasbi memang sangat dekat pada lelaki itu apalagi suamiku sangat menyukai anak-anak.

"Vivi, ini jusnya, Nak."

Aku bisa mendengar suara ibu mertua, tapi tidak kulihat keberadaannya.

Wanita yang ada di samping Mbak Tyas langsung beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah dapur. Aku jadi penasaran siapa dia.

"Mbak, dia siapa?" tanyaku.

"Vivi, dia yang membantu Mbak menyiapkan acara syukuran," jelas Mbak Tyas.

Aku hanya mengangguk. Sudah dipastikan wanita bernama Vivi itu orang terdekat juga karena aku tadi mendengar ibu mertua memanggilnya dengan begitu akrab.

Setelah mengobrol dengan Mbak Tyas, aku mendekati mas Hasbi.

"Pengajiannya selesai dari tadi ya, Mas?" tanyaku.

"Iya. Setengah jam sebelum kamu ke sini pengajian sudah selesai," jawab mas Hasbi.

"Kalian menginap saja disini. Mas Angga harus pergi malam ini, Mbak tidak ada teman. Sedangkan ibu nanti dibawa ke rumah Anggun."

Anggun adalah adik bungsu mas Hasbi. Dia baru saja menikah tiga bulan lalu dan sekarang sedang hamil satu bulan. Wajar jika ibu mertua ada di rumahnya karena Anggun tidak pernah bisa berjauhan dengan wanita yang sudah melahirkannya itu.

Aku melirik mas Hasbi, sebenarnya merasa tidak enak untuk menolak tapi kembali lagi pada suamiku. Jika dia mau ya aku ikut saja.

"Boleh, lagi pula besok tanggal merah," ujar mas Hasbi.

"Memang besok tanggal merah?" Aku bertanya dengan dahi berkerut.

"Iya, memang kamu tidak melihat tanggal?"

Aku menggelengkan kepala.

"Berarti kamu memang harus menginap di sini, Mbar. Sekalian kamu temenin Mbak di kamar, kamu juga bisa latihan urus bayi. Siapa tahu kamu juga cepat dikasih momongan."

Deg!

Hatiku rasanya ngilu mendengar itu. Kembali kuingat test pack bergaris dua yang membuat pikiranku tidak tenang. Itu jelas bukan milik Anggun, untuk apa mas Hasbi menyimpan test pack adiknya.

Dengan senyum terpaksa aku membalas ucapan Mbak Tyas. "Aamiin. Semoga saja aku cepat menyusul ya, Mbak."

***

Aku benar-benar tidur di kamar Mbak Tyas. Di tengah-tengah kami ada bayi mungil yang baru dua minggu dilahirkan.

Mas Hasbi juga tidak keberatan jika tidur sendiri. Satu jam yang lalu ibu sudah pulang bersama dengan Anggun dan suaminya.

"Haus lagi." Aku melirik nakas tapi tidak ada air minum di sana.

Meski mata mengantuk, aku bangkit dengan perlahan berharap tidak menimbulkan suara yang akan membangunkan dua orang itu.

Tanpa menghidupkan lampu, aku berjalan ke arah dapur. Masih ada cahaya remang-remang yang menerangi jalanku.

Apa Mas Hasbi belum tidur?

Aku melihat lampu kamar yang ditempati suamiku masih menyala.

Dengan langkah pelan aku mendekat. Memegang daun pintu berniat memutarnya tapi tanganku rasanya langsung kaku mendengar suara dari dalam. Aku menajamkan pendengaran dan menempelkan telinga pada pintu.

"Mas … jangan nakal ah!"

Deg!

Jantungku seperti berhenti berdetak saat dengan jelas aku mendengar suara des*han wanita dari dalam. Aku masih diam ingin mendengar kelanjutannya meski hati ini rasanya perih. Itu jelas bukan suara dari ponsel, itu suara asli. Memang pelan tapi aku dengan sangat jelas mendengarnya.

"Mas tidak bisa tahan kalau sedang berdekatan seperti ini. Salah sendiri kenapa mancing-mancing pakai baju seksi segala."

Itu suara mas Hasbi. Aku tidak mungkin salah mengenali suara suamiku sendiri.

"Aku hanya mencobanya saja, ini 'kan mas sendiri yang membelikan. Di rumah ada istri kamu. Memang kamu tidak pernah dilayani olehnya?"

"Saat aku bericint* dengannya, wajah kamu yang terbayang. Bagaimana mungkin aku bisa menikmati."

Tanganku mengepal dengan kuat hingga buku-buku jari memutih. Nafasku memburu, semuanya sudah sangat jelas. Telingaku masih berfungsi dengan baik.

Tok! Tok! Tok!

Dengan nafas yang memburu aku mengetuk pintu kamar itu.

"Mas, buka pintunya!" seruku.

Pintunya terkunci, aku tidak bisa masuk begitu saja.

"Mas!" Aku kembali memanggilnya tapi pintu masih belum terbuka.

Tok! Tok! Tok!

Cklek!

Pintu terbuka, dengan cepat aku mendorongnya. Mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar, aku tidak melihat siapapun.

"Ada apa?" tanyanya.

"Mana wanita itu?" Aku menyahut sambil membuka kamar mandi yang ternyata kosong.

"Wanita siapa?"

"Aku tadi dengan jelas mendengar kamu bicara dengannya."

Sekarang kubuka lemari tapi tidak ada orang di dalamnya. Melihat jendela tapi masih tertutup dengan rapat, langsung aku menggesernya untuk melihat keluar.

"Kamu kenapa sih? Kamu mimpi?" tanya mas Hasbi.

Aku melihat mata suamiku itu memerah dengan rambut acak-acakan. Ia duduk di tepi ranjang dengan mata sayu. Tatapanku kini malah turun melihat bagian terlarang suamiku yang sekarang ditutupi oleh bantal.

"Dimana wanita itu?!" Aku sudah kehilangan kesabaran dan berteriak padanya.

"Jangan berteriak seperti itu. Kita di rumah Mbak Tyas!" tegurnya.

"Kamu pikir aku peduli? Sekarang, aku minta penjelasan soal test pack bekas pakai yang ada di tas kamu, Mas! Itu punya siapa?"

Mas Hasbi langsung gelagapan. Wajahnya pucat pasi, ia sepertinya tidak menyangka aku menemukan benda itu.

Bersambung ….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status