"Mbak kenal saya?" tanyaku.Aku benar-benar tidak mengenalinya sama sekali, tapi sepertinya dia sangat tidak senang bertemu denganku disituasi seperti ini, wajahnya sangat tergambar jelas ketidak sukaannya."Kamu Yumna, istri Attar, kan?" tanyanya lagi, tanpa menjawab pertanyaanku.Benar dugaanku, dia salah satu teman Mas Attar. mata wanita itu menelisik penampilanku dari atas hingga bawah, lalu satu sudut bibirnya dia tarik, membentuk lingkaran sabit. Senyum yang terukir, bukan senyum bahagia, tapi senyum ejekan. Bahkan, matanya terlihat menyipit dan terdengar dengkusan darinya."Bukan istri, Mbak. Tepatnya mantan istri, kami sudah lama berpisah!" celetukku. "Permisi, saya pamit dulu," ujarku kemudian."Apa karena Attar bangkrut, kamu meninggalkan Attar?" cibirnya, membuatku menarik napas panjang. "Jadi cewek jangan terlalu matre, kasian yang jadi suaminya," tambahnya, membuat kaki diam terpaku."Tahu apa mbak, tentang keluarga saya?" tanyaku dengan nada kesal.Kemudian dia berdecih
"Woy, jangan kabur!" teriak seseorang."Kejar! Kejar!" timpal yang lain.Aku tidak menghiraukan mereka, mencoba menyingkirkan motor yang menimpa kakiku. Rasa sakit mulai menjalar tiba-tiba di tangan dan kakiku, tapi masih bisa kutahan."Kamu baik-baik saja?" tanya seorang ibu-ibu, yang menghampiriku.Aku hanya meringis, menahan sakit karena belum bisa menyingkirkan motor yang ada di atas kakiku. Datang beberapa orang dan langsung membantuku, barulah motorku dapat disingkirkan dari atas kaki."Aduh! Ini harus di bawa ke rumah sakit!" celetuk seorang wanita, kulihat dia memakai seragam rumah sakit."Siapa yang tanggung jawab?" tanya yang lain."Saya tidak apa-apa kok, saya bisa mengurus diri sendiri," ujarku, yang melihat wajah-wajah kebingungan di depanku.Saat aku akan berdiri, rasa sakit yang teramat sangat terasa di kaki yang tadi tertimpa motor dan hal itu membuat mereka yang melihatku makin mengiba."Saya akan mengantarnya," ujar sesorang dari balik kerumunan.Aku mengenali suara
Jangankan aku, perawat lelaki yang ada di bawah kakikupun terkejut karena mendengar suara Hilman yang menggelegar. Dengan ragu, perawat itu maju mendekati Hilman. "Ada apa, Pak?" tanya perawat itu dengan pandangan aneh. "Eh--i ... itu," jawab Hilman gelagapan. Perawat itu, menatap tidak percaya pada lelaki yang berdiri dengan tidak tenang di sampingku itu, kemudian dia mengernyitkan dahinya. Lalu, terdengar suaranya yang sumbang dan aku tahu, dia sedang mengejek Hilman. "Enggak boleh pegang istri anda?" tanya perawat itu dengan senyum dikulum. Mendengar tanya dari perawat tersebut, timbul rasa haru dan membuatku tersenyum kaku, tidak menyangka reaksi Hilman sedemikiannya padaku. Padahal perawat itu hanya menjalankan tugasnya semata. "Apa tidak ada perawat wanita?" tanya Hilman dengan pandangan menunduk. Perawat itu sepertinya mengerti akan kegusaran dari Hilman, kemudian dia memanggil suster untuk memeriksa keadaan kakiku. Sekilas kulirik Hilman, yang diam dan menghadap ke arah
Seminggu dirawat, dengan begitu banyak cinta dan perhatian dari semua orang yang aku sayangi. Termasuk Hilman, dan juga keluarganya. Namun, aku berusaha sebaik mungkin untuk tidak memperlihatkan kebahagiaanku. "Mbak, sudah boleh pulang hari ini," ujar Radit dengan wajah semringah, begitu pula kedua orang tuaku yang menemaniku hari ini, sedangkan Aqila dititipan ke mantan mertuaku dan Mbak Naura yang memilih berdiam di rumah. Untuk urusan usahanya masih di handle, tapi tidak dilakukan seorang diri. "Kamu pinjam mobil Mbak Naura, untuk membawa mbakmu pulang, ya," titah bapak dan diangguki oleh Radit. Saat Radit akan keluar dan memenuhi apa yang diminta bapak, pintu kamar terbuka dan suara yang sangat kukenal terdengar oleh kami. "Apa boleh saya saja yang mengantar kalian?" tanyanya masih di balik pintu. Ingin mengutuk, tapi hanya bisa berdiam diri. Pasti dia selalu dibela oleh bapak, dan ibu. Sudah kuminta untk tidak datang lagi, tapi apa ini! Aku membuang muka ke arah lain, malas
Aku duduk termenung di depan jendela, memikirkan keputusan apa yang harus aku ambil. Haruskah menerima Hilman dalam hidupku, apakah aku egois jika melakukannya, lalu bagaimana dengan wanita-wanita yang menginginkannya?"Aku harus apa, ya Allah!" lirihku.Dadaku terasa sesak, bayangan kebersamanku dengan Mas Attar selalu saja terlintas di dalam pikiranku. Selama tujuh tahun lamanya, kami tidak pernah ada masalah berarti dalam mengarungi kehidupan bahtera rumah tangga. Tiba-tiba seorang gadis magang mengubah duaniaku, dari yang sangat bahagia menjadi terluka dan menderita. Aku tidak berani memulai hubungan baru dengan siapapun, meski sudah ada banyak yang mendukung."Apa aku harus pergi dari sini, ya! Merantau mungkin?" gumamku.Benar-benar dilema saat ini, apa yang harus aku jalani. Meningalkan Aqila aku tidak tega, dekat dengan Hilman aku takut terluka."Boleh ibu masuk?" tanya ibu dari luar kamar, yang pintunya sengaja tidak kututup."Iya, Bu." jawabku.Ibu masuk dengan membawa Aqila
Hari ini, Aqila berulang tahun. Usianya sudah menginjak tahun kedua. Dia sudah pandai berjalan dan berlari kecil, selalu saja memanggilku dengan berteriak, MAMA! Inilah kebahagiaan yang tidak terkira yang kurasakan di balaik rasa gusar yang sedang melanda."Sudah jam berapa ini, kamu belum mandi juga?" tegur bapak."Sedikit lagi ini, Pak." Aku membereskan hadiah untuk anak-anak seusia Aqila.Membagikan sedikit harta Aqila untuk sesama, aku ingin mengajarkan pada anakku untuk berbagi sedini mungkin. Agar kelak, saat sudah dewasa tangannya sudah terbiasa berbagi untuk sesamaa."Beres!" ucapku senang.Lalu, mengibas-ibaskan kedua tangan yang terasa sangat pegal. Semua sudah tertata rapih, dan juga jumlah parselnya sudah melebihi dari undangan yang disebar. Aku melangkah ke kamar untuk membersihkan diri dan mengganti penampilan yang lebih sopan. Aku menajamkan telinga, ketika di depan terdengar suara riuh orang-orang. Tidak mungkin, kan para tamu sudah datang sedangkan sekarang masih ter
Pesta sederhana Aqila yang kuharapkan akan meriah, malah membuatku bermuram durja. Wajah-wajah tegang dan tidak bersahabat, nampak sangat jelas. Terlebih mantan mertuaku yang diam saja, setelah aku berkata cukup keras padanya. Aku tahu aku salah, tapi tidak bisakah mereka mengerti apayang ada dalam hatiku. Apakah mereka tidak tahu betapa sakitnya hatiku, setelah dikhianati oleh Mas Attar."Acara sudah selesai berhari-hari, tapi kamu masih bersikap seperti ini!" ujar bapak yang membuat lamunanku buyar."Tapi aku tidak ingin menikah lagi, Pak!" ujarku lirih."Apa ada yang memaksamu untuk segera menikah?" tanya bapak dengan wajah datarnya.Aku menggelengkan kepala,, setelah dipikir-pikir, tidak ada satupun yang memaksaku untuk kembali merajut benang kehidupan berumah tangga. Apa aku yang terlalu overthinking, sehingga apa yang mereka bicaralkan selalu saja kukaitkan dengan permintaan mereka, agar aku cepat menikah. Atau ini karena lamaran Hilman yang selalu terpikirkan olehku?"Semua ora
"Maaf?" tanyaku. "Maaf buat apa, Tan?" imbuhku bingung.Bagai mana tidak terkejut, tiba-tiba Tante Rumi duduk di sampingku dan langsung memegang erat tanganku. Matanya sudah berkaca-kaca, dan bibirnya bergetar."Ada apa sih, Tan?" tanyaku makin bingung dengan tingkahnya."Ibu kamu sudah menceritakan semuanya, dan apa yang kamu rasakan saat Hilman di rumah sakit, juga sikap tante yang terkesan mengabaikanmu. Tante tidak mengabaikanmu, Yumna. Tante hanya terlalu fokus dengan satu hal, tidak bisa dibagi dalam waktu yang bersamaan. Tante ingin berbicara denganmu waktu itu, tapi kondisi yang tidak memungkinkan. Saat tante siap, kamu gantian yang terbaring tidak berdaya di rumah sakit!" terang Tante Rumi, membuatku sedikit lega, tapi juga sesak.Tidak, aku tidak mengharapkan ada pembahasan ini lagi. Harusnya aku menepati janjiku pada bapak dan ibu, untuk memperbaiki semuanya."Udahlah, Tan. Aku juga udah lupain masalah itu!" Yakinku.Tante Rumi terlihat tidak senang dengan jawabanku, dia me