‘’Lah, kok nggak ada hpnya? Bukannya sudah kuletakkan lagi di sini?’’ gumamku pelan sambil meraba bawah lemari, mencari-cari ponsel asing yang ternyata sudah tak ada lagi. Aku menghela napas pelan, kembali duduk di tepi tempat tidur.
‘’Atau...Jangan-jangan Mas Deno mencurigaiku, trus dia yang ngambil hp itu? Ahh! Itu bukan urusanku, sekarang yang penting aku udah mendapatkan nomor si Pelakor itu!’’ bisikku, tersenyum sinis. Dengan cepat, aku mengganti kartu SIM yang baru, yang tadi dibelikan oleh Bibi Sum. Pandanganku sekilas menatap putriku yang masih asyik bermain. ‘’Oh iya, nomor si pelakor itu belum aku salin,’’ kataku pada diri sendiri kembali mengganti diri sendiri sambil kembali mengganti kartunya. Setelah beberapa saat, aku berhasil menyalin nomor wanita itu. Saatnya aku menjalankan rencana. ‘’Selamat siang, Mba! Maaf menganggu waktunya. Ini aku sepupunya Mas Deno. Ini Mba Chika, bukan?’’ tulisku cepat. Tak butuh waktu lama, dua centang biru langsung muncul—tanda bahwa pesanku sudah dibaca. P sedang mengetik ‘’Selamat siang juga. Eh, sepupunya yang mana? Kok Mas Deno nggak pernah cerita soal kamu ke aku ya?’’ Jleb! Hatiku terasa diremas. Jadi benar, mereka punya hubungan special. Napasku terasa berat. ‘’Masa sih Mas Deno nggak pernah cerita tentang aku ke Mba? Oh ya, jangan bilang-bilang kalo aku ambil nomor Mba dari hpnya Mas Deno dan jangan bilang juga soal aku menghubungi Mba. Aku takut dimarahin dan aku janji kok akan menutupi semua rahasia kalian, gimana? Kita sepakat?’’ Pesanku masih centang duam belum berubah warna biru. Mungkin si pelakor sedang sibuk di kantor. Aku menoleh, putriku sudah tertidur lelap di tempat tidur. Kembali, aku menatap layar ponsel di tanganku. P sedang mengetik. ‘’Iya, Mas Deno nggak pernah cerita soal kamu, padahal biasanya dia cerita apa pun ke aku, bahkan soal istrinya juga. Oke, aku ngga bakal bilang ke dia, tapi kamu juga harus janji untuk tutup mulut. Jangan sampe si sok suci itu tau kalo aku selingkuhan suaminya. Sebenarnya aku malah beruntung kalo dia tau, tapi ya gimana Mas Deno menyuruh untuk merahasiakan dulu. Lagian kan Mas Deno baru punya satu orang anak sama dia. Nah, makanya setelah dia punya anak cowo. Mas Deno bakalan menceraikan istrinya, karena dia udah muak dan nggak tertarik lagi sama tuh perempuan.’’ Jleb! Astagfirullahal’azim…Dadaku terasa begitu sesak. Air mata jatuh tanpa bisa kubendung. Aku melemparkan ponsel ke tempat tidur, tak sanggup lagi mengenggamnya. Sakit, begitu teganya wanita itu merebut suamiku, padahal dia juga seorang wanita. Apa dia tak berpikir bahwa tindakannya menghancurkan hati sesama perempuan? Atau dia memang tak punya hati? ‘’Ya Allah…Aku kira Mas Deno lelaki yang setia. Aku kira dia suami yang baik, ternyata apa? Begitu teganya dia berkhianat di belakangku. Dan lebih menyakitkan lagi, dia akan menceraikanku setelah mendapatkan anak laki-laki dariku? Dasar lelaki brengsek! Lihat aja apa yang aku lakukan sebelum kamu menceraikanku, Mas!’’ Suaraku lirih, namun amarah sudah memuncak di ubun-ubun. Air mataku mengalir deras. ’’Lelaki brengsek seperti dia ngga pantas dipertahankan. Kamu harus kuat, Nel! Jangan jadi wanita lemah!’’ gumamku. mencoba membangkitkan semangat yang tersisa. Untuk apa mempertahankan lelaki yang telah berkhianat selama empat tahun? Aku tak yakin bahwa kelakuannya itu akan berubah begitu saja. Ternyata sikap romantis itu hanya sebagai penutup aibnya saja. Aku segera bangkit, meraih ponsel yang tadi kulemparkan. Untung saja tidak rusak. ‘’Nama kamu siapa? Eh, kenapa cuma diread aja? Kamu nggak suka sama aku?’’ Aku menghela napas berat. Air mata tak hentinya menetes, aku menyekanya dengan kasar. Aku harus kuat, lelaki sepertinya tidak pantas ditangisi. Air matamu terlalu berharga untuk menangisi lelaki pengkianat seperti dia, Nelda. ‘’Namaku, Imelda. Maaf Mba, tadi aku dipanggil temenku. Sudah baca pesan Mba, eh nggak sempat balas,’’ ketikku dengan tangan yang gemetar. Aku mencoba menahan rasa sesak yang membuncah di dada. ‘’Ya Allah! Tolong berikan aku kekuatan untuk melewati semua ini. Jangan biarkan aku rapuh,’’ doaku lirih, penuh harap. Semuanya sudah terbongkar. Chika memang pelakor yang selama ini menghancurkan pernikahanku. Kini aku hanya tinggal menjalankan rencanaku. Dengan cepat, aku mengganti kartu SIM lagi, menyembunyikan yang satunya di bawah kasur. Napasku terasa berat saat menatap putriku yang tertidur pulas. Sudah lama kami menanti kehadiran seorang anak, hingga Allah menghadirkan Naisya. Aku bersyukur sekali telah dianugerahi putri cantik. ‘’Mama beruntung punya kamu, Sayang,’’ bisikku pelan, lalu mengecup keningnya dengan penuh kasih. Namun di balik kebahagiaan itu, hatiku teriris oleh pengkhianatan Mas Deno. Semudah itu dia berpaling, setelah semua yang kuberikan. Apa yang ada di pikirannya? Aku tak tahu lagi. Kini rasa kantuk mulai menyerang karena tubuh dan pikiranku yang amat lelah. ‘’Baiknya aku istirahat dulu.’’ Aku langsung membaringkan tubuh di samping putriku yang sudah terlelap. *** ‘’Yang, Sayang! Hei! Bangun dong, udah jam berapa nih?’’ Suara samar terdengar olehku. Dia menepuk pipiku lembut. Mataku terasa berat, sulit untuk terbuka. ‘’Kamu sakit, Yang?’’ Suara yang begitu aku rindukan, namun kali ini terasa menjengkelkan. ‘’Basi tahu nggak!’’ batinku kesal. Aku mengusap mata pelan dan berusaha membuka kelopak mataku. ‘’Ka…kamu sudah pulang, Mas?’’ tanyaku dengan suara serak khas bangun tidur. Dengan pelan aku duduk, mencoba mengumpulkan kesadaran. ‘’Nel, kamu sakit?’’ Dia mengulangi pertanyaannya dan duduk di sampingku. ‘’Iya, aku sakit. Sakit hati, Mas. Semua itu karena ulahmu!’’ batinku. Ingin rasanya mengucapkan itu, tapi aku hanya menggigit bibir, menahan diri. ‘’A—aku nggak apa-apa, Mas. Cuma kecapekan aja,’’ kilahku, berbohong. ‘’Kita ke rumah sakit aja, ya?’’ Dia mendekat, sementara aku langsung bergeser menjauh. Pedih! Ibaratkan luka yang disirami air garam. Aku menggeleng cepat. ‘’Berapa kali pun kamu membawaku ke rumah sakit, nggak akan bisa sembuh, Mas. Karena kamu yang bikin aku sakit, Mas!’’ batinku menjerit. Ingin sekali aku mengeluarkan semua kata-kata yang pantas dia dengar, tapi aku masih mencoba bersabar. Rencana balas dendamku belum sempurna dan aku tak mau menghancurkannya dengan terburu-buru. ‘’Mas nggak mau kamu kenapa-kenapa.’’ Dia menatapku dengan cemas, tapi aku malah memalingkan muka. Muak rasanya menatap wajah lelaki yang sudah menghancurkan kepercayaanku. ‘’Nel, kok kamu gitu mukanya? Kamu marah sama, Mas?’’ ‘’E—enggak kok, kamu ini bicara apa sih, Mas? Mending ganti baju dulu deh, seragam kerja kamu udah kotor.’’ Aku mencoba mengalihkan pembicaraan, berusaha agar dia tak mencurigai apapun. Mas Deno bangkit dan mulai mengganti pakaiannya. Namun, tatapannya masih tertuju padaku, membuatku semakin resah. Sejak terbongkar perselingkuhannya, aku selalu merasa tak nyaman di dekatnya. ‘’Aku mau nanya sama kamu nih,’’ ucap Mas Deno sambil melepas dasi yang terpasang di lehernya. Apa ya? Atau jangan-jangan…Setelah bersalaman dengan mertua, sahabat, dan juga anakku. Saatnya kami berdua menaiki pelaminan. Lelakiku itu mengenggam erat tanganku untuk melangkah menuju pelaminan. Para tamu undangan pun langsung mengucapkan selamat dan bersalaman dengan kami berdua.‘’MaasyaaAllah. Mba Nelda? Akhirnya bertemu dengan Penulis favoritku.’’ Wanita yang kuperkirakan umurnya dua puluhan itu bergegas memelukku.‘’Alhamdulillah. Senang banget bertemu, Kakak.’’ Kami melepaskan pelukan. Matanya berbinar menatapku.‘’Semoga langgeng sampe Kakek Nenek yah, Mba.’’‘’Aamiin Ya Allah. Makasih banyak loh.’’Ternyata ada banyak pembaca yang kuundang hingga membuat kami tak bisa duduk beristirahat di kursi pelaminan karena menjabat tangan mereka satu-persatu.‘’Tapi kok Naisya belum ketemu sama aku sejak tadi?’’ Mataku sibuk mencari keberadaan si kecil.‘’Mama! Papa!’’ teriaknya yang membuat aku tertawa, anakku bergegas memelukku. Ternyata dia bersama Fani.‘’Duuh sayangnya Mama nih.’’ Aku memeluknya dengan era
Seminggu kemudian, hari yang kutunggu-tunggu pun tiba. Semua persiapan pernikahanku Fani dan teman-temannya yang mengurus. Aku tengah duduk di depan cermin. MaasyaaAllah, aku terlihat begitu cantik dan anggun dengan polesan make up tipis dari Sang Perias.‘’Akhirnya aku melepas masa jandaku. Semoga ini adalah pernikahan terakhirku seumur hidup dan semoga Reno imam terbaik untuk aku, juga jadi Papa sambung buat anakku.’’ Aku tersenyum memandangi bayangan wajahku di pantulan cermin.Ini adalah pernikahanku yang kedua kalinya. Sebelumnya tak pernah terniat di hatiku untuk menikah lagi, aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Namun, apalah daya. Allah berkehendak lain. Lelaki itu selingkuh selama empat tahun lamanya. Menyisakan trauma dan luka yang mendalam. Hingga akhirnya datang seseorang yang dengan pelan-pelan bisa mengobati rasa luka dan traumaku. Dialah yang akan jadi calon imamku. Harapanku semoga ini adalah pernikahan terakhir dalam hidupku.‘’Cie-cie ada yang senyam-senyum
‘’Happy birth day, Om Reno.’’ Kali ini Naisya yang mengucapkan.‘’Makasih, Dik. Sayangnya Om Reno nih.’’ Tangannya mengelus kepala Naisya.‘’Ini kadonya dari aku, Om.’’ Anakku bergegas menyodorkan kado yang membuat para tamu undangan tersenyum.‘’Wah, ini Adik yang membungkus kadonya? Bagus banget. Makasih ya.’’ Lelaki itu langsung mengambil kado dari tangan Naisya lalu memandangi kado yang bersampul panda itu.‘’Bibi yang menyiapkan, Om. Dan uang untuk membeli kadonya minta ke Mama,’’ katanya dengan polos, berhasil membuat para tamu tertawa.Begitu juga dengan Reno dan orangtuanya. Aku memberi kode agar si Bibi memberikan kado yang tengah dipegangnya sedari tadi. Bibi langsung memberikannya padaku.‘’Dan ini dari aku ya, Ren. Jangan dilihat dari harganya. Tapi lihatlah siapa yang memberikannya.’’ Senyumannya mengembang lalu bergegas mengambil kado yang kusodorkan.‘’Makasi ya,’’ kata lelaki itu dengan suara lembut. Entah kenapa hatiku jadi tersentuh.***Tak ada acara hembus lilin. H
Setahun kemudian..Hari ini adalah ulang tahun Reno, lelaki yang selama ini kukira tidak baik. Lelaki yang selama ini aku ragukan ketulusan hatinya. Ternyata dia memang lelaki yang baik dan peduli padaku, terutama pada Naisya. Dia banyak sekali berkorban untukku dan juga anakku. Akibat kepeduliannya itu membuat sikap dinginku lenyap, apalagi Naisya sangat senang bermain dengan lelaki itu. Hingga sosok almarhum Papanya bisa digantikan oleh Reno. ‘’Udah setahun lebih tanpa kehadiran Mas Deno di sisiku dan juga Naisya. Semoga kamu tenang di alam sana ya, Mas. Dan diampuni segala dosa-dosamu,’’ lirihku sambil mematut diri di cermin.Ya, sudah setahun lebih lamanya aku menjanda. Sedangkan sahabatku Fani sudah menikah duluan dengan Fahmi, lelaki pilihan Mamanya. Yang ternyata dia adalah lelaki baik.Seiring berjalannya waktu rasa luka masa lalu itu dengan pelan mulai sembuh, disembuhkan oleh lelaki baik yang bernama Reno. Malaikat yang dititipkan Allah untukku.‘’Ma, yuk kita jalan sekaran
Dua hari kemudian..Anak semata wayangku sudah bisa dibawa pulang, Alhamdulillah panasnya sudah turun. Ya, walaupun dia sering memanggil nama Papanya. Terutama di saat tengah tertidur pulas. Sesuai prediksi Dokter Nira, anakku itu kemungkinan tengah merindu berat pada Papanya. Ditambah dia kekurangan istirahat, dia sering begadang karena tak bisa tidur beberapa hari kemarin.Aku pun sudah mencoba menghubungi nomor kontak Mas Deno, tapi nihil. Lelaki itu malah mereject telepon dariku, bahkan sudah berulangkali aku hubungi namun sekali pun tak diangkatnya. Apa dia tak kepikiran Naisya di sana? Apa dia tak mengalami hal yang sama seperti Naisya yang tengah rindu berat padanya? Atau karena dia sedang asyik bersama si pelakor itu? Jadi lupa sama anaknya? Aku menghela napas lega. Biarkan saja lelaki itu, toh dia tak kan mau peduli pada anakku. Biarkan saja aku yang membesarkan dan mendidik Naisya.****Hari ini aku bersyukur sekali, karena anakku bisa dibawa pulang. Aku mengusap kepala putr
Tanpa berkata apapun aku bergegas berpindah posisi duduk. Aku memeluk putriku di kursi belakang. Sedangkan lelaki yang bernama Reno itu langsung melajukan si roda empat. Ya, kali ini aku tak boleh egois. Yang paling penting sekarang Naisya tiba di rumah sakit dan mendapatkan perawatan dari dokter. Aku terus saja mengecup kening putriku yang tengah dalam pangkuan. Kubelai rambutnya.‘’Sayang, Adik pasti kuat. Yang sabar ya, Nak. Sebentar lagi kita pasti akan sampe di rumah sakit,’’ kataku lirih.Kuraba kepalanya, membuat aku semakin cemas. Panas anakku malah semakin naik.‘’Ya Allah! Kuatkan anakku. Sembuhkan dia.’’‘’Nel, kamu yang tenang ya. Banyakin berdo’a,’’ kata lelaki yang tengah fokus menyetir itu sesekali melirik ke belakang lewat kaca spion.Entah kenapa kali ini membuat hatiku lebih tenang. Ada apa denganku?Tak berselang lama mobilku sudah tiba di depan rumah sakit. Lelaki itu bergegas turun. Aku yang akan membuka pintu mobil membuat tanganku terhenti. Karena lelaki itu sud