"Air hangat untuk mandi udah siap, Mas. Mandi dulu biar seger," ucap Nilam saat menyambut suaminya pulang ke rumah, yang dibalas Keenan dengan anggukan dan memberikan tas kerjanya kepada Nilam, setelah wanita itu menyalami sang suami dengan mencium punggung tangannya.
"Oke."
Keenan menjawab singkat lalu berjalan ke kamar mandi, membersihkan diri.
Sementara Keenan mandi, Nilam menyiapkan makanan di meja makan untuk disantap sang suami.
Tak terasa, kini hampir setengah tahun sudah Nilam menjadi istri sah dari Keenan.
Dulu saat awal-awal menikah, Nilam hampir saja menyerah dari pernikahan mereka karena Keenan yang terus memperlakukan dirinya dengan kasar, dan saat melakukan hubungan badan, selalu membayangkan sedang melakukannya dengan Jihan, mantan istri suaminya.
Namun, pada akhirnya, Nilam lebih memilih untuk mempertahankan pernikahan ini, dan setelah bersabar beberapa bulan mendapatkan perlakuan kasar dari Keenan, akhirnya kesabarannya membuahkan hasil.
Sikap Keenan mulai sedikit lembut padanya dan saat melakukan ibadah suami istri, Keenan tak lagi menyuruh atau membayangkan Nilam sebagai Jihan.
Sebenarnya, keberuntungan yang dibawa Nilam juga ikut andil, karena semenjak Keenan menikah dengan Nilam, pekerjaannya berjalan lancar, bahkan baru sebulan ini Keenan naik jabatan.
"Pekerjaanmu lancar hari ini, Mas?"
Nilam bertanya sambil menyerahkan sepiring nasi yang tadi dia ambil dari rice cooker kepada Keenan yang telah selesai mandi.
"Ya, seperti biasanya."
Keenan menjawab sambil mengambil lauk pauk di meja.
"Makasih," ucap Keenan saat Nilam memberikan dirinya segelas air putih.
"Sama-sama, Mas."
Nilam yang duduk di samping Keenan, menemani dirinya makan, tersenyum.
Yah, memang kehidupan pernikahan mereka tidaklah semanis orang-orang, tapi melihat sikap Keenan yang seperti ini, Nilam sudah merasa besyukur dan nyaman.
Mereka sekarang sudah pindah rumah, tidak bersama orang tua Keenan lagi, dan Nilam selalu merasa senang setiap kali suaminya yang masih sedikit dingin itu pulang tepat waktu.
"Kamu tambah cantik hari ini, rupanya skincare yang aku beli untukmu berguna juga, ya?"
Keenan yang sedang meneguk air putih pemberian Nilam, berkomentar. Membuat pipi Nilam yang kini berwarna putih susu, memerah.
"Aku rajin memakainya demi kamu, Mas," jawab Nilam, tersenyum malu-malu karena dipuji cantik oleh suaminya.
Keenan memang membelikan banyak produk skincare untuk Nilam, agar wanita itu sedikit glowing dan kulitnya tidak kusam.
Awalnya tujuan Keenan menyuruh Nilam melakukan perawatan, karena dia ingin memiliki kenyamanan saat mereka ber cinta, di mana dia tidak harus menyentuh kulit kasar dan kering milik Nilam.
Namun, hasilnya cukup mengejutkan. Setelah beberapa bulan rutin memakai skincare, perubahan Nilam cukup drastis. Seperti itik buruk rupa yang berubah menjadi angsa cantik.
Kini kulitnya tidak hanya lembut, tapi juga berwarna putih susu, Keenan mengakui bahwa istrinya ini perempuan yang sebenarnya cukup cantik.
Hal itu membuat Keenan mulai menerima Nilam sebagai istrinya, apalagi istrinya yang polos ini selalu patuh dengan apa pun yang dia perintahkan.
"Kamu istri yang baik ternyata. Apa kamu juga udah mempelajari video yang aku kirim siang tadi?" tanya Keenan dengan nada menggoda.
Tadi siang, untuk meredakan stressnya bekerja, Keenan iseng-iseng mengirim video doggy style kepada istrinya dan menyuruh wanita itu mempelajari video tersebut, karena dia akan mempraktikkan hal itu malam ini.
"U-udah, Mas."
Nilam menjawab dengan wajah memerah, malu. Sedangkan Keenan malah menjadi bersemangat untuk segera melakukan hal itu dengan sang istri.
"Kalo gitu habis ini kita praktekin. Kamu harus tahu aku paling nggak suka lihat orang bodoh."
"I-iya, Mas."
Nilam patuh seperti biasa dan itu membuat Keenan senang, begitu makan selesai, dia bersantai sebentar, sementara Nilam berdandan dengan begitu cantik untuk dilahap sang suami.
"Apa kamu mau sekarang, Mas?"
Nilam bertanya dengan malu-malu setelah dia berdandan, membuat Keenan gemas dan mengajak wanita itu ke kamar.
Meski sifatnya pemalu, Nilam begitu lihai melayani Keenan di atas ranjang, dan membuat Keenan selalu puas.
Malam ini, doggy style yang mereka lakukan, sukses besar.
"Kamu makin jago aja ngelayanin suami, Nilam. Nih, buat kamu."
Keenan yang merasa terpuaskan dengan pelayanan sang istri, sebelum tidur, memberi beberapa lembar uang jajan kepada Nilam.
"Makasih, Mas."
Nilam menerima uang itu dengan wajah sumringah, sementara Keenan yang kelelahan setelah olahraga malam mereka, beberapa saat kemudian tertidur.
Ekspresi Nilam berubah saat melihat suaminya tertidur, senyum di wajahnya menghilang berganti dengan helaan napas panjang.
"Nggak papa. Meski aku cuman memiliki tubuhnya, nggak papa. Seenggaknya sekarang dia nggak melecehkan aku lagi," gumam Nilam, beranjak dari ranjang dan menyimpan uang itu dalam dompet.
Meski mungkin tidak ada cinta dalam hubungan mereka, tapi Nilam merasa kehidupan seperti ini terasa damai.
Suaminya juga loyal saat suasana hatinya sedang baik seperti tadi, jadi Nilam merasa tidak keberatan menjalani kehidupan pernikahan seperti ini, di mana sang suami menunjukkan kasih sayangnya, hanya saat mereka ber cinta.
***
Namun, rupanya kehidupan damai itu hanya sebentar.
"Mas, lama nggak ketemu."
Seseorang menyapa Keenan saat pria itu baru saja keluar dari sebuah butik.
Saat perjalanan pulang kerja, Keenan tiba-tiba ingin membelikan istrinya beberapa potong baju karena melihat Nilam yang hanya memakai pakaian sederhana. Kejutan ini pasti akan membuat Nilam senang.
Keenan tak sabar untuk sampai rumah dan disambut senyum manis istrinya yang menunggu dia pulang kerja setiap hari, tapi sebelum dia pulang, Keenan bertemu dengan seseorang yang tak terduga.
"Eh, Jihan. Gimana kabar kamu? Kamu keliatan lebih kurus," ucap Keenan, yang sudah beberapa bulan ini tidak bertemu mantan istrinya tersebut.
Pertemuan terakhir mereka adalah di kafe beberapa bulan lalu saat Keenan malam malam dengan Nilam, waktu itu Jihan pamit akan tinggal ke luar kota karena pekerjaan. Keenan tidak menyangka akan bertemu dengan Jihan di sini.
"Iya, Mas. Sebenarnya.... "
Jihan yang tadi menyapa Keenan dengan ramah, tiba-tiba menangis terisak-isak. Itu membuat Keenan bingung dan mengajaknya ke kafe terdekat.
Di sana Jihan langsung menumpahkan perasaannya kepada Keenan, di mana selama beberapa bulan ini ternyata dia hidup dengan begitu menyedihkan di luar kota, karena pacar yang menjanjikan pekerjaan padannya, ternyata seorang penipu.
Melihat berapa menyedihkankan kondisi Jihan, Keenan pun berusaha menghibur wanita itu.
"Kamu nggak usah sedih dan bingung harus numpahin perasaan kamu ke siapa, kamu bisa cerita ke aku, Jihan. Jangan disimpen sendiri kayak gini dan bikin badan kamu rusak. Aku selalu bisa jadi temen kamu, ngerti?"
"Beneran kah, Mas, aku bisa curhat ke kamu setiap kali ada masalah?" tanya Jihan dengan mata berkaca-kaca, pipinya yang putih itu kini sedikit memerah sebab menangis.
"Beneran. Kamu ini udah kayak sama siapa aja. Kamu nggak usah sungkan sama aku, Jihan," jawab Keenan tanpa ragu.
"Tapi istrimu, Mas.... "
Jihan dengan sengaja menggantung ucapannya, dengan ekspresi takut-takut.
Keenan tiba-tiba teringat istrinya yang begitu lembut dan selalu tersenyum padanya, lalu segera menggeleng santai.
"Dia pasti ngerti, lagian kita kan sebelum nikah juga temenan, istriku nggak bakal ngelarang aku ketemu teman aku."
Ya, Keenan yakin Nilam pasti mengerti. Toh dia tak ada hubungan apa-apa dengan Jihan. Keenan menawari Jihan untuk curhat padanya, karena wanita itu mengatakan bahwa tak ada orang yang bisa dia ajak berbagi cerita selain Keenan. Teman yang sudah dia kenal sejak mereka SMA.
"Sungguh, Mas?"
"Ya, dia itu istri yang sangat pengertian, juga lembut dan nggak pernah marah," jawab Keenan tanpa ragu.
"Istrimu sangat baik, Mas.... "
Jihan mengatakan hal itu, sambil tersenyum lembut memuji kebaikan Nilam, meski diam-diam dia mengepalkan tangan erat-erat di bawah meja, karena tak terima ada wanita lain yang dipuji oleh Keenan.
Dari SMA sampai kapan pun, seharusnya mata Keenan hanya melihat dirinya, hanya dia. Tidak ada perempuan lain. Lalu kenapa sekarang....
Mata Jihan berkilat dengan penuh kebencian, pada wanita bernama Nilam.
"Aku akan merebut Keenan lagi, dia nggak boleh jadi milik orang lain selain aku," gumam Jihan dalam hati dengan penuh tekad.
Setahun kemudian...Kota Jakarta tetap sibuk. Gedung-gedung baru menjulang, bisnis-bisnis silih berganti, dan waktu berjalan seperti biasa. Tapi ada satu sudut kota—di sebuah lantai atas gedung kecil lima lantai, dengan logo sederhana bertuliskan RE:VIVE—yang menyimpan cerita tak biasa.Gallen membuka pintu kantor pagi itu, mengenakan hoodie dan celana jeans biasa. Ia bukan lagi direktur gelap, bukan kaki tangan mafia korporat, bukan bayangan dari masa lalu siapa pun. Ia hanya pria yang memulai ulang hidupnya... pelan-pelan.“Pagi, Bos Gallen,” sapa seorang staf muda yang lewat.“Udah berapa kali kubilang, jangan panggil aku bos,” sahut Gallen sambil menyeruput kopi instan.Staf itu hanya tertawa dan pergi.Gallen masuk ke ruangan kecilnya yang lebih mirip studio kerja dibanding kantor. Di dinding, beberapa blueprint dan peta bisnis digital terpampang. Di meja, ada dua laptop terbuka, dan di tengah ruangan, duduk Nilam... dengan rambut diikat tinggi dan ekspresi kusut.“Kamu nggak tid
Tiga hari setelah insiden di rooftop, Jakarta kembali terlihat normal dari luar. Tapi di balik keheningan itu, gelombang baru mulai bergerak. Berkas-berkas kejahatan Jason sudah diproses. Media mulai mengendus skandal besar Mahendra Corp, dan nama Nilam—yang dulunya hanya bayangan—kini muncul di berbagai artikel utama sebagai “pemegang kunci kebangkitan.”Namun, di ruang rawat rumah sakit tempat Gallen terbaring, suasana jauh dari sorotan. Tidak ada wartawan. Tidak ada keramaian. Hanya sunyi... dan rasa lelah yang belum tuntas.“Udah kubilang, aku nggak perlu dirawat inap,” gerutu Gallen pelan, meski bahunya masih diperban.“Kamu pingsan dua kali sejak kemarin. Dan kamu pikir kamu bisa pulang?” sahut Nilam ketus dari kursi sebelah tempat tidur.Gallen tersenyum. “Kamu marah ya?”“Bukan marah. Kesel.”“Beda tipis,” Gallen tertawa kecil. “Tapi tetap aja, kamu di sini.”Nilam melipat tangan di dada. “Karena aku belum selesai sama kamu.”Gallen menatapnya lekat. “Kalau soal masa lalu... k
Sirene digital berdengung dari layar laptop, diikuti deretan kode merah yang berkedip di monitor utama Mahendra Corp. Di ruang pusat keamanan, staf mulai panik.“Semua sistem diretas!”“Ini bukan sekadar pembobolan. Ini… pembekuan otoritas!”Keenan berdiri di balkon ruang VIP gedung utama, sedang bersiap untuk konferensi pers merger.Salah satu asistennya datang tergesa. “Pak! Ada gangguan besar di server pusat. Saham Anda—dibekukan.”“Apa?!” Keenan menoleh tajam.“Asal pembekuan... dari akun lama. Atas nama Nilam Anggraini.”“Dia?” Keenan mencengkeram pagar besi balkon.**Di tempat lain, Jason menatap monitor dengan wajah gelap.“Dia menekan tombol itu,” desisnya. “Gallen benar-benar sudah berubah haluan.”Elisa menelan ludah. “Apa kita langsung serang balik?”Jason mengambil jasnya, berdiri, lalu meraih pistol kecil dari laci. “Tidak. Kita datangi langsung.”**Di rooftop, Gallen dan Nilam masih duduk menatap layar laptop. Notifikasi masuk satu demi satu. Data pengalihan saham berh
Langit Jakarta tampak mendung siang itu, seolah ikut menyerap kekacauan dalam hati Nilam. Ia berdiri di pelataran parkir Mahendra Corp, menarik napas panjang sambil menatap ponselnya. Tidak ada pesan dari Gallen. Tidak juga dari Keenan. Semuanya hening… setelah ledakan emosi barusan. “Kalau kamu benar-benar tulus… buktikan.” Kata-katanya sendiri terus menggema di kepala. Tapi sekarang, ia justru bertanya dalam hati—siapa yang akan benar-benar membuktikan sesuatu? Atau tidak ada satu pun dari mereka yang bisa dipercaya? Brak! Pintu mobil terbuka kasar dari sisi kanan. Nilam menoleh cepat, waspada. “Naik,” kata suara yang sangat ia kenal. Gallen. “Terlalu banyak mata kalau kita ngobrol di sini.” “Aku nggak mau ikut kamu.” Gallen tidak menjawab. Hanya menatapnya—dan untuk pertama kalinya, tatapan itu tidak penuh kemarahan atau dominasi. Melainkan... kesedihan. “Kamu bener. Aku salah karena nutupin semuanya. Tapi aku di sini bukan buat bela diri. Aku di sini buat nganter ka
Ruang kerja Keenan Mahendra tidak berubah sejak terakhir Nilam datang ke sini. Meja kaca besar, sofa abu di sudut, dan aroma kayu cendana yang dulu selalu membuatnya nyaman—kini malah menyesakkan.“Miss Nilam,” suara asisten Keenan terdengar lembut. “Silakan masuk. Beliau sedang menunggu.”Menunggu?Nilam melangkah pelan, dan begitu pintu terbuka, pria itu berdiri dari kursinya.Keenan.Dengan setelan jas hitam dan ekspresi yang tak bisa ditebak. Tatapannya langsung menelusuri wajah Nilam seolah ingin memastikan wanita di depannya bukan ilusi.“Kamu datang,” katanya pelan.Nilam mengangguk. “Kita perlu bicara.”Keenan menyilakan duduk, tapi tak satupun dari mereka menyentuh kursi.“Langsung saja,” ucap Nilam, suaranya lebih tenang dari hatinya. “Kamu lagi selidiki sesuatu... soal Gallen?”Keenan menyipitkan mata. “Jadi kamu udah tahu.”Nilam tak menjawab. Tapi sorot matanya cukup sebagai konfirmasi.Keenan menarik napas berat. “Aku dapat laporan dia berhubungan dengan seseorang yang j
Pintu penthouse tertutup rapat. Tapi di dalam sana, dada Nilam masih bergemuruh tak karuan.Jason.Nama itu seperti hantu dari masa lalu, atau mungkin... awal dari sesuatu yang jauh lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan.Ponsel Gallen masih di meja. Layar sudah gelap, tapi isi pesannya tadi seperti terus berputar di kepala Nilam."Keenan mulai curiga...""Semua masih sesuai rencana...""Instruksi selanjutnya..."Tangannya terulur, hampir menyentuh ponsel itu lagi. Tapi detik berikutnya ia menariknya kembali."Apa aku... cuma pion?" bisiknya nyaris tanpa suara.Seketika, suara ketukan di pintu menggema.“Miss Nilam? Saya dari layanan kamar, membawakan sarapan,” ucap seorang wanita dari luar.Nilam buru-buru bangkit, menyembunyikan keresahan di balik senyum palsu. “Ya, silakan taruh di meja.”Pelayan itu masuk, meletakkan nampan makanan dan dua cangkir kopi hangat. “Tuan Gallen minta agar Anda menikmati sarapannya di dalam kamar.”Nilam mengangguk singkat. “Terima kasih.”Begitu pin