Ibu Datang Sania Meradang***Sania berdiri kaku di depan pintu, dia bahkan tidak meneruskan kalimatnya. Dia sesekali mencuri pandang ke arahku, mungkin memintaku untuk menolongnya keluar dari situasi seperti itu. Jangankan untuk menolongnya keluar dari situasi seperti itu, aku sendiri bahkan tidak tahu apa yang akan kulakukan jika nantinya ibu mengetahui siapa Sania sebenarnya."Andra, bisa kamu jelaskan siapa wanita ini?" tanya ibu sambil memandangku."Bu, dia ini ... pembantu yang bekerja di sini," kataku ragu. Karena hanya itu kalimat yang terlintas di pikiranku saat itu."Apa?!"Ibu melotot menatapku, beliau yang sebelumnya berdiri di dekat meja makan kini berjalan mendekati Sania dan mulai memerhatikan Sania dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lalu ibu menarik napas dalam dan membuangnya kasar. Beliau kembali menatapku setelah merasa cukup memerhatikan Sania."Andra ... ibu tidak salah dengar, kan, kalau dia ini pembantu baru di rumahmu?" Ibu berkata dengan suara berat, aku bis
Alya Pamit Pulang ***Rasa canggung tiba-tiba datang setelah Sania meninggalkan kami dan hanya tinggal kami berdua saja.Alya mengangkat kedua bahunya, sebelum akhirnya dia berjalan untuk mengambil keranjang baju yang tadi diletakkan di kursi ketika melihat Sania.Dia berjalan pelan menuju kamar yang tidak jauh dari kamar Sania. Biasanya kamar itu digunakan saat ada saudara yang menginap."Biar aku bantu membawa keranjangnya," kataku sambil mengambil keranjang dari tangan Alya."Tidak usah, Mas, aku bisa membawanya sendiri," ujarnya sambil berusaha mengambil kembali keranjang dari tanganku."Tidak apa-apa, kamu pasti sangat capai setelah seharian menjaga Hanna dan Haikal, belum lagi harus membersihkan rumah dan memasak untuk kami.""Aku tidak lelah, kan ada mbak Suci yang membantu," jawabnya berusaha menutupi kejadian yang sebenarnya.Aku tersenyum miris, mungkin Alya dan Laila memiliki karakter yang berbeda, namun mereka memiliki satu kesamaan, sama-sama pandai menyembunyikan sesuat
Sania Membuat Ibu Meradang ***Selepas ashar, sebuah mobil berhenti di depan rumah. Seorang pria muda keluar, disusul seorang wanita cantik yang mengikuti dari belakang. Dia adalah mas Ilham, rupanya dia datang bersama dengan tunangan, Nirmala.Alya menyambut kedatangan mereka, matanya berbinar saat melihat Nirmala datang bersama kakaknya, mas Ilham."Mbak Mala kok bisa bareng mas Ilham, gimana ceritanya?" tanyanya."Aku sengaja ikut tadi, kangen sama Haikal," jawab Nirmala sambil mencubit pipi Haikal yang ada di gendongan Alya."Kalian tidak ingin masuk dulu? ibu ada di dalam," kataku. Dan di saat bersamaan, ibu yang berada di dalam kamar keluar."Wah, ada tamu rupanya, ayo masuk semua, jangan berdiri di depan pintu begitu," ucap ibu.Rumah terasa begitu hidup, Alya, Nirmala dan mas Ilham saling sahut-sahutan ketika berbicara. Berbeda denganku, yang hanya jadi pendengar tanpa bisa mengimbangi obrolan mereka. Aku bahkan tidak tahu topik yang sedang mereka bicarakan. Bagaimana bisa me
Sania Berubah ****"Mas, kamu telah berubah. Apakah kehadiran bocah itu di rumah ini yang telah mempengaruhi pikiranmu sehingga kamu tega melakukan semua itu padaku?" tanya Sania dengan suara gusar."Sania, kamu salah paham dengan ucapanku. Lagipula, yang berubah itu kamu, Sania. Kamu begitu berbeda dengan Sania yang selama ini aku kenal, sehingga aku hampir tidak bisa mengenalimu lagi," jawabku mencoba meredakan emosi sekaligus menenangkan Sania."Mas ... kamu keterlaluan," desisnya sambil melipat kedua tangan di depan dada."Kamu yang keterlaluan, sudah berapa kali aku mengingatkanmu agar belajar untuk menyukai keluargaku, anak-anakku. Tapi nyatanya, selama kamu berada di sini, kesempatan itu tidak kamu pergunakan dengan baik. Justru kamu membuat semua berantakan," ucapku putus asa. Aku benar-benar kehabisan kata-kata dan tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya agar memahami situasiku saat itu."Apakah ini ada hubungannya dengan bocah itu? Maksudku mantan adik iparmu?" selidik
Kejutan Dari Rio***"Mas, apakah benar yang dikatakan ibumu tadi kalau Alya akan tinggal di sini lagi?" tanya Sania ketika ibu dan Hanna sudah masuk kamar. Wajahnya yang tadi sempat terlihat bahagia, kini menjadi cemas."Iya, dia hanya mampir Sania. Kamu kan, dengar sendiri tadi." Aku mencoba menjelaskan.Sania mendengkus, melipat kedua tangannya di depan dada sambil menyandarkan punggungnya ke dinding. Dia sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Hal itu terlihat jelas dari raut wajahnya, dahinya berkerut serta dia beberapa kali menarik napas dalam."Sania ... terima kasih," kataku, hingga membuat wanita itu mengalihkan pandangan ke arahku."Untuk apa, Mas?" tanyanya sambil mengernyitkan dahi, lalu kedua bola matanya membulat penuh."Karena kamu sudah berusaha dengan baik hari ini, kamu juga sudah membuatkan kopi untukku. Kurasa, kamu berhak mendapatkan apresiasi dan ucapan terima kasih dariku," jawabku lirih, aku mencoba mengulas senyum untuknya, meskipun senyum itu kurasa sedikit kak
Menjadi Makcomblang***Aku masih mendengar cerita Rio tentang Alya, bagaimana dia yang saat itu merasa salut dan kagum kepada gadis itu, karena rela menyisihkan waktu luangnya untuk menjaga keponakannya. Juga saat dia melihat Alya begitu telaten merawat Laila ketika sakit.Ingin sekali aku menghentikan Rio agar tidak lagi meneruskan cerita tentang Laila, namun di sisi lain, aku juga ingin tahu apa saja yang dialami Laila di rumah sementara aku sebagai suaminya tidak menyadari apa yang saat itu terjadi pada Laila, karena mengabaikannya dan memilih untuk mengejar kesenangan di luar bersama Sania."Andra, aku pernah mengantar Laila ke klinik. Dia terjatuh di kamar mandi saat itu. Saat aku bertanya padanya, kenapa dia bisa sampai terjatuh, Laila mengatakan kalau saat itu dia sedang mengganti bola lampu yang mati. Kursi tempat dia berpijak jatuh hingga membuat nya jatuh dan kepalanya membentur dinding. Alya menelepon dan memintaku untuk mengantarnya ke klinik, saat itu dia tidak bisa perg
Sania Cemburu*****"Sudah berapa lama kamu mengenal Rio?" tanyaku penasaran, aku ingin tahu apakah jawaban Alya sama seperti yang diceritakan Rio padaku."Sudah lama, mamanya langganan katering ibu. Kenapa Mas Andra bertanya tentang hal itu?" selidiknya, sebelah alisnya naik hingga membuat keningnya sedikit berkerut."Ah ... tidak, hanya sekedar ingin tahu saja," jawabku sekenanya.Suasana kembali hening setelahnya. Alya lebih memilih menyibukkan diri dengan ponselnya, dan aku tidak ingin mengganggunya. Padahal ingin sekali aku mengatakan padanya kalau dia terlihat anggun saat mengenakan kerudung dibanding sebelumnya, namun kalimat itu hanya kubiarkan mengambang begitu saja. "Tante bilang, mbak Suci sekarang sudah bisa masak, ya, Mas?" Alya bertanya tentang Suci. Sepertinya ibu juga sudah memberitahu pada padanya tentang perubahan Sania, dan bukan tidak mungkin, ibu juga menceritakan banyak hal tentang Sania pada Alya.Ah ... kenapa aku harus sibuk memikirkan apa yang mereka bicara
Ketahuan Alya****"Maaf."Hanya itu kalimat yang keluar dari mulutku, aku berdiri lalu membawa bekas piring makananku menuju tempat cuci piring. Aku berinisiatif untuk membantunya, setidaknya mencuci bekas piringku sendiri.Akan tetapi, yang terjadi sungguh di luar dugaan. Alya justru pergi meninggalkanku dengan setumpuk piring kotor, hal itu membuatku melongo. Apakah dia berpikir kalau aku di sini karena ingin mencuci semua ini? Kuremas spon pencuci piring hingga membuat busanya keluar.Bergegas kuselesaikan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh Sania. Ah ... wanita itu, kenapa dia begitu bebal dan seolah tidak merasa takut pada ibu? Apakah dia sengaja melakukan semuanya agar aku marah? Tapi untuk apa? Aku menggelengkan kepala lemah.Kuusap keringat yang membasahi dahi dengan punggung tangan. Hanya mencuci piring saja, sudah cukup membuat tubuhku dibanjiri keringat.Terdengar seseorang mengaduk gelas dengan ritme cepat, sontak aku menoleh. Alya berdiri di ujung meja sambil menga