Share

3. Kaget

"Andra, tolong bereskan baju-baju Haikal. Ibu akan membantu mertuamu menyiapkan sarapan," kata ibu saat aku baru keluar dari kamar mandi.

Aku termangu di depan pintu beberapa saat lamanya. Baju Haikal? Pasti Laila menyimpannya di lemari anak-anak, pikirku .

Aku bergegas menuju kamar anak-anak, dan membuka lemari baju bermaksud mengambil baju Haikal, seperti permintaan ibu. Tapi di dalam lemari, aku hanya menemukan beberapa baju bayi yang sudah usang dan beberapa selimut mereka. 

Kuedarkan pandangan ke laci, lalu membukanya satu per satu. Namun, tidak ada baju Haikal di sana. Hanya ada beberapa mainan mereka yang tertata rapi. Aku mengacak rambut kasar, sambil mendengkus kesal. Karena aku tidak bisa menemukan baju anak bungsuku.

Tok tok tok ....

Aku menoleh saat pintu diketuk, ibu berdiri di ambang pintu sambil menggendong Haikal, dia memandangku aneh.

"Sudah kamu siapkan baju Haikal?" tanyanya.

"Bu ... aku tidak tahu di mana Laila menyimpannya," kataku lirih. Kutundukkan kepala saat ibu menatapku tajam. 

Terdengar helaan napas ibu, lalu beliau masuk dan duduk di tepi tempat tidur. Cukup lama ibu duduk sambil berdiam diri.

"Apakah kamu tidak pernah membantu Laila mengerjakan pekerjaan rumah, hingga kamu tidak tahu di mana istrimu menyimpan baju-baju anakmu?" Ibu bertanya dengan suara lirih.

Pertanyaan ibu begitu menohok, hingga membuat dadaku sesak. Bahkan hati ikut nyeri. Aku memang tidak pernah membantu Laila mengurus rumah, karena bagiku, itu adalah tugas seorang istri. 

Tiba-tiba bayangan Laila muncul, dia dengan mengenakan daster yang terlihat kebesaran berlari ke luar saat melihat hujan mulai turun.

"Mas, Hanna sedang mandi. Tolong tunggu dia sebentar, aku akan mengangkat jemuran," ucap Laila sambil berlari ke belakang.

Aku mendengkus, namun masih belum beranjak dari tempat dudukku dan asik melanjutkan obrolan dengan Sania.

Bruuk ....

Suara benda jatuh dari kamar mandi di susul jeritan Hanna dari dalam sana.

"Hanna, kamu kenapa? Ayo cepat keluar," kataku dengan santai.

"Mama ... Mama ....!" Teriak Hanna dari dalam kamar mandi.

Laila yang baru selesai mengangkat jemuran, melemparkan keranjang jemuran begitu saja dan langsung lari ke kamar mandi. Detik berikutnya, dia keluar sambil membopong Hanna yang beriak kesakitan. Bibir Hanna berdarah.

"Mas ... kenapa Hanna ditinggalkan sendirian? Aku tadi memintamu untuk menjaganya sebentar," protes Laila.

Dia terlihat panik dan berusaha menenangkan Hanna yang masih menangis. Tangannya dengan cekatan membersihkan tubuh Hanna, lalu dia berlari mengambil kotak obat.

"Ini tidak sakit, tahan sebentar, ya? Dalam hitungan ke tiga, semua akan baik-baik saja."

 Laila berkata sambil menempelkan plester ke bibir Hanna. Tidak berapa lama, anak itu berhenti menangis.

"Lain kali, kalau anak-anak masih ada di dalam kamar mandi, jangan ditinggalkan sendirian. Lihat apa yang terjadi pada Hanna akibat keteledoranmu!? ucapku emosi. 

Laila menatapku bingung, tapi bagiku, apa yang terjadi pada Hanna karena kelalaiannya. Dan kulihat Laila menarik napas dalam, tanpa berani membantah perkataanku. Dia memilih pergi dengan membawa Hanna masuk ke dalam kamar.

"Andra, kenapa hanya diam saja? Apakah pertanyaan ibu benar, kalau selama ini kamu tidak pernah membantu Laila melakukan pekerjaan rumah dan membiarkannya mengurus anak-anakmu, juga mengurus dirimu seorang diri tanpa bantuan pembantu? Ibu benar-benar malu dengan keluarga Laila," ucap ibu dengan suara serak.

"Bu, kenapa mengungkit hal itu? Laila sudah meninggal."

Ibu melotot ke arahku, lalu mata ibu berubah menjadi sendu.

"Apakah kamu senang istrimu telah tiada? Apakah kamu tahu, kenapa istrimu meninggal?" tanya Ibu.

"Bu ...."

 Hanya itu kalimat yang keluar dari mulutku. Karena faktanya memang aku tidak tahu penyebab kematian Laila, aku juga tidak pernah membantu mengerjakan apapun. 

Ibu beranjak keluar, meninggalkanku yang masih terpekur di sisi tempat tidur.

"Papa ... kapan Mama pulang?"

Aku kembali tersentak dan melihat Hanna, anakku yang ternyata masih berdiri di depanku. Bocah lima tahun itu menatapku penuh tanya. 

"Mama ... tidak akan pernah pulang, Nak," jawabku lirih. Lalu merengkuh tubuh mungilnya ke dalam pelukanku.

"Kenapa Mama tidak pulang, Pa? Mama janji akan membawa Hanna naik bianglala. Mama pasti pulang, Papa jangan bohong," kata Hanna. Dia berusaha melepaskan pelukanku. Hanna, bocah lima tahun itu menatapku tajam, aku bisa melihat kesedihan dari sorot matanya.

"Papa bohong, Mama pasti pulang," ucapnya lagi.

Entah sihir dari mana dan kesalahan apa yang kulakukan di kehidupan sebelumnya, sehingga aku tiba-tiba begitu mudah untuk menitikkan air mata. Terlebih ketika melihat anak-anakku mencari mamanya dan menyebut nama Laila berulang-ulang. Apakah ini hukuman buatku, karena selama ini sering mengabaikannya hingga aku merasa begitu sakit setiap kali mereka memanggil nama Laila?

***

Aku berjalan keluar kamar, di ruang tengah, keluarga sudah berkumpul.

Alya yang baru pulang sekolah dan masih mengenakan seragam putih abu-abu, menggendong Haikal. Dia terlihat lebih tenang dari sebelumnya dan sudah jarang menangis. Di sudut ruangan, sebuah tas tergelak di sana, mungkin itu adalah baju-baju Haikal yang akan dibawa.

"Kita menunggu Ilham dulu. Dia yang akan menjemput kami nanti," ucap ibu mertua.

"Andra, kalau bisa, kamu secepatnya mencari pengasuh buat Hanna. Supaya kamu bisa bekerja dengan tenang dan Hanna ada yang mengurus," lanjutnya.

"Iya, Bu," jawabku pelan.

Alya yang duduk di sofa sambil memangku Haikal memandangku sekilas, lalu membuang pandangannya. Entah kenapa, anak itu terlihat begitu membenciku. Dia bahkan beberapa kali menyindirku Soal perselingkuhanku dengan Sania. Hingga membuatku yakin, kalau dia sebenarnya mengetahui hubungan terlarangku dengan Sania. Namun aku tidak tahu, seberapa banyak yang dia ketahui.

"Kalau bisa, nanti pengasuh Hanna cari yang sudah berumur saja. Jangan sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan," ujar Alya.

"Apa maksudmu, apa kamu pikir aku ini ...."

"Aku hanya mengingat dan memberi saran, tidak perlu marah begitu. Lagipula, Mas Andra itu statusnya duda. Jangan sampai orang-orang berpikir negatif karena melihat baby sitter Hanna masih muda," sahut Alya cepat.

Aku menahan napas beberapa saat ketika gadis itu berbicara. Kulihat ibu, beliau seolah membenarkan ucapan bocah ingusan itu. 

"Ibu setuju dengan Alya. Sebaiknya kamu mencari pengasuh yang sudah berumur, semua itu untuk menghindari fitnah, Andra," ucap ibu mengamini pendapat Alya.

Kubuang pandangan ke luar, andai aja dia bukan adik dari Laila, mungkin aku sudah memberinya pelajaran. Entah kenapa, Laila dan Alya sikapnya begitu berbeda. Laila dengan segala kelembutannya, sementara Alya ... dia begitu ceplas-ceplos bahkan terkesan kurang sopan setiap berbicara denganku. Bahkan sejak aku menikah dengan Alya, dia seolah menaburkan permusuhan denganku. 

"Sering-seringlah kamu menjenguk Haikal ke rumah ibu nanti. Tunjukkan kasih sayangmu padanya, meski dia harus kehilangan ibunya di usia yang masih kecil, jangan sampai dia kehilangan kasih sayang ayahnya," ucap ibu mertua.

Bagai diiris belati, kurasakan hatiku tiba-tiba terasa begitu perih. Kualihkan pandangan pada Haikal, bocah itu sedang asik bermain dengan Alya, dia bahkan tidak tahu kalau hidupnya telah berubah sejak kepergian ibunya.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
nah Alya betul .... km nya aja yg bodoh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status