Share

3. Kaget

Author: Yani Santoso
last update Last Updated: 2023-05-31 10:01:29

"Andra, tolong bereskan baju-baju Haikal. Ibu akan membantu mertuamu menyiapkan sarapan," kata ibu saat aku baru keluar dari kamar mandi.

Aku termangu di depan pintu beberapa saat lamanya. Baju Haikal? Pasti Laila menyimpannya di lemari anak-anak, pikirku .

Aku bergegas menuju kamar anak-anak, dan membuka lemari baju bermaksud mengambil baju Haikal, seperti permintaan ibu. Tapi di dalam lemari, aku hanya menemukan beberapa baju bayi yang sudah usang dan beberapa selimut mereka. 

Kuedarkan pandangan ke laci, lalu membukanya satu per satu. Namun, tidak ada baju Haikal di sana. Hanya ada beberapa mainan mereka yang tertata rapi. Aku mengacak rambut kasar, sambil mendengkus kesal. Karena aku tidak bisa menemukan baju anak bungsuku.

Tok tok tok ....

Aku menoleh saat pintu diketuk, ibu berdiri di ambang pintu sambil menggendong Haikal, dia memandangku aneh.

"Sudah kamu siapkan baju Haikal?" tanyanya.

"Bu ... aku tidak tahu di mana Laila menyimpannya," kataku lirih. Kutundukkan kepala saat ibu menatapku tajam. 

Terdengar helaan napas ibu, lalu beliau masuk dan duduk di tepi tempat tidur. Cukup lama ibu duduk sambil berdiam diri.

"Apakah kamu tidak pernah membantu Laila mengerjakan pekerjaan rumah, hingga kamu tidak tahu di mana istrimu menyimpan baju-baju anakmu?" Ibu bertanya dengan suara lirih.

Pertanyaan ibu begitu menohok, hingga membuat dadaku sesak. Bahkan hati ikut nyeri. Aku memang tidak pernah membantu Laila mengurus rumah, karena bagiku, itu adalah tugas seorang istri. 

Tiba-tiba bayangan Laila muncul, dia dengan mengenakan daster yang terlihat kebesaran berlari ke luar saat melihat hujan mulai turun.

"Mas, Hanna sedang mandi. Tolong tunggu dia sebentar, aku akan mengangkat jemuran," ucap Laila sambil berlari ke belakang.

Aku mendengkus, namun masih belum beranjak dari tempat dudukku dan asik melanjutkan obrolan dengan Sania.

Bruuk ....

Suara benda jatuh dari kamar mandi di susul jeritan Hanna dari dalam sana.

"Hanna, kamu kenapa? Ayo cepat keluar," kataku dengan santai.

"Mama ... Mama ....!" Teriak Hanna dari dalam kamar mandi.

Laila yang baru selesai mengangkat jemuran, melemparkan keranjang jemuran begitu saja dan langsung lari ke kamar mandi. Detik berikutnya, dia keluar sambil membopong Hanna yang beriak kesakitan. Bibir Hanna berdarah.

"Mas ... kenapa Hanna ditinggalkan sendirian? Aku tadi memintamu untuk menjaganya sebentar," protes Laila.

Dia terlihat panik dan berusaha menenangkan Hanna yang masih menangis. Tangannya dengan cekatan membersihkan tubuh Hanna, lalu dia berlari mengambil kotak obat.

"Ini tidak sakit, tahan sebentar, ya? Dalam hitungan ke tiga, semua akan baik-baik saja."

 Laila berkata sambil menempelkan plester ke bibir Hanna. Tidak berapa lama, anak itu berhenti menangis.

"Lain kali, kalau anak-anak masih ada di dalam kamar mandi, jangan ditinggalkan sendirian. Lihat apa yang terjadi pada Hanna akibat keteledoranmu!? ucapku emosi. 

Laila menatapku bingung, tapi bagiku, apa yang terjadi pada Hanna karena kelalaiannya. Dan kulihat Laila menarik napas dalam, tanpa berani membantah perkataanku. Dia memilih pergi dengan membawa Hanna masuk ke dalam kamar.

"Andra, kenapa hanya diam saja? Apakah pertanyaan ibu benar, kalau selama ini kamu tidak pernah membantu Laila melakukan pekerjaan rumah dan membiarkannya mengurus anak-anakmu, juga mengurus dirimu seorang diri tanpa bantuan pembantu? Ibu benar-benar malu dengan keluarga Laila," ucap ibu dengan suara serak.

"Bu, kenapa mengungkit hal itu? Laila sudah meninggal."

Ibu melotot ke arahku, lalu mata ibu berubah menjadi sendu.

"Apakah kamu senang istrimu telah tiada? Apakah kamu tahu, kenapa istrimu meninggal?" tanya Ibu.

"Bu ...."

 Hanya itu kalimat yang keluar dari mulutku. Karena faktanya memang aku tidak tahu penyebab kematian Laila, aku juga tidak pernah membantu mengerjakan apapun. 

Ibu beranjak keluar, meninggalkanku yang masih terpekur di sisi tempat tidur.

"Papa ... kapan Mama pulang?"

Aku kembali tersentak dan melihat Hanna, anakku yang ternyata masih berdiri di depanku. Bocah lima tahun itu menatapku penuh tanya. 

"Mama ... tidak akan pernah pulang, Nak," jawabku lirih. Lalu merengkuh tubuh mungilnya ke dalam pelukanku.

"Kenapa Mama tidak pulang, Pa? Mama janji akan membawa Hanna naik bianglala. Mama pasti pulang, Papa jangan bohong," kata Hanna. Dia berusaha melepaskan pelukanku. Hanna, bocah lima tahun itu menatapku tajam, aku bisa melihat kesedihan dari sorot matanya.

"Papa bohong, Mama pasti pulang," ucapnya lagi.

Entah sihir dari mana dan kesalahan apa yang kulakukan di kehidupan sebelumnya, sehingga aku tiba-tiba begitu mudah untuk menitikkan air mata. Terlebih ketika melihat anak-anakku mencari mamanya dan menyebut nama Laila berulang-ulang. Apakah ini hukuman buatku, karena selama ini sering mengabaikannya hingga aku merasa begitu sakit setiap kali mereka memanggil nama Laila?

***

Aku berjalan keluar kamar, di ruang tengah, keluarga sudah berkumpul.

Alya yang baru pulang sekolah dan masih mengenakan seragam putih abu-abu, menggendong Haikal. Dia terlihat lebih tenang dari sebelumnya dan sudah jarang menangis. Di sudut ruangan, sebuah tas tergelak di sana, mungkin itu adalah baju-baju Haikal yang akan dibawa.

"Kita menunggu Ilham dulu. Dia yang akan menjemput kami nanti," ucap ibu mertua.

"Andra, kalau bisa, kamu secepatnya mencari pengasuh buat Hanna. Supaya kamu bisa bekerja dengan tenang dan Hanna ada yang mengurus," lanjutnya.

"Iya, Bu," jawabku pelan.

Alya yang duduk di sofa sambil memangku Haikal memandangku sekilas, lalu membuang pandangannya. Entah kenapa, anak itu terlihat begitu membenciku. Dia bahkan beberapa kali menyindirku Soal perselingkuhanku dengan Sania. Hingga membuatku yakin, kalau dia sebenarnya mengetahui hubungan terlarangku dengan Sania. Namun aku tidak tahu, seberapa banyak yang dia ketahui.

"Kalau bisa, nanti pengasuh Hanna cari yang sudah berumur saja. Jangan sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan," ujar Alya.

"Apa maksudmu, apa kamu pikir aku ini ...."

"Aku hanya mengingat dan memberi saran, tidak perlu marah begitu. Lagipula, Mas Andra itu statusnya duda. Jangan sampai orang-orang berpikir negatif karena melihat baby sitter Hanna masih muda," sahut Alya cepat.

Aku menahan napas beberapa saat ketika gadis itu berbicara. Kulihat ibu, beliau seolah membenarkan ucapan bocah ingusan itu. 

"Ibu setuju dengan Alya. Sebaiknya kamu mencari pengasuh yang sudah berumur, semua itu untuk menghindari fitnah, Andra," ucap ibu mengamini pendapat Alya.

Kubuang pandangan ke luar, andai aja dia bukan adik dari Laila, mungkin aku sudah memberinya pelajaran. Entah kenapa, Laila dan Alya sikapnya begitu berbeda. Laila dengan segala kelembutannya, sementara Alya ... dia begitu ceplas-ceplos bahkan terkesan kurang sopan setiap berbicara denganku. Bahkan sejak aku menikah dengan Alya, dia seolah menaburkan permusuhan denganku. 

"Sering-seringlah kamu menjenguk Haikal ke rumah ibu nanti. Tunjukkan kasih sayangmu padanya, meski dia harus kehilangan ibunya di usia yang masih kecil, jangan sampai dia kehilangan kasih sayang ayahnya," ucap ibu mertua.

Bagai diiris belati, kurasakan hatiku tiba-tiba terasa begitu perih. Kualihkan pandangan pada Haikal, bocah itu sedang asik bermain dengan Alya, dia bahkan tidak tahu kalau hidupnya telah berubah sejak kepergian ibunya.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
nah Alya betul .... km nya aja yg bodoh
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kusesali Usai Istriku Pergi   110. All Well End Well

    All Well, End Well****Alya menatapku, kedua matanya berkaca-kaca, perlahan, air matanya luruh membasahi pipinya."Kamu menangis, Alya?" Tanyaku sambil mengusap air matanya. "Mas ...." ucapannya lirih, memanggilku.Buru-buru aku merengkuhnya ke dalam pelukan. "Kamu hebat, Alya, kamu sudah menunaikan kewajibanmu sebagai istri di malam pertama, kamu sekarang menjadi wanita dan seorang istri seutuhnya," kataku.Alya menenggelamkan kepalanya dalam pelukan, isaknya masih terdengar."Aku sangat bahagia, Mas," ucapnya lirih."Andai aku tahu, kalau menjadi istri itu senikmat ini, seharusnya kita menikah lebih awal," kata Alya lagi.Aku merenggangkan pelukan, mencoba melihat ekspresi Alya, dia tidak lagi menangis, senyum tipis terukir di bibirnya."Alya ... jangan katakan kalau kamu minta lagi?""Aku tidak bilang begitu," ucapnya sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.Namun ucapan Alya tadi, cukup bagiku untuk kembali membawanya berpacu denganku."Kita lakukan lagi, ayolah, pokoknya

  • Kusesali Usai Istriku Pergi   109. Malam Pertama

    Malam Pertama****Hari ini semua keluarga sudah berkumpul di rumah, aku sendiri, meskipun semalaman tidak bisa tidur karena terlalu gembira dan tidak sabar menunggu hari ini, merasa begitu bersemangat. Tidak merasa ngantuk ataupun lelah.Ibu beberapa kali merapikan baju yang kupakai, sambil sesekali melihat ke luar, kami semua menunggu kedatangan Alya dan keluarganya. Seperti yang telah kami sepakati sebelumnya, kalau kami akan melakukan akad nikah di KUA saja. Dan ternyata, ada beberapa pasangan calon pengantin yang akan melangsungkan pernikahan hari ini. Aku sendiri, mendapatkan nomor urut 3. Tidak apa-apa, aku bahkan bersyukur, dengan begitu, ada waktu untuk belajar mengucapkan ijab kabul."Santai saja, ga perlu tegang begitu. Toh ini bukan pernikahan pertama elu," seloroh Rio yang saat itu memang datang untuk menjadi saksi dalam pernikahan kami."Elo belum ngerasain di posisi gue, coba nanti dah, apakah bakal grogi apa enggak," sungutku.Rio terkekeh, lalu dia kembali berseloroh,

  • Kusesali Usai Istriku Pergi   108. Bertemu Mas Ilham

    Bertemu Mas Ilham****Buru-buru aku mengakhiri panggilan telepon dari ibu dan sebelumnya mengingatkan agar beliau tidak lupa untuk mempersiapkan acara akad nikah nanti.Pelan, mataku mengeja satu persatu huruf yang tertulis di pesan yang dikirim Alya."Ibu dan Mas Ilham setuju." Aku membaca sekali lagi pesan itu, dan kali ini aku berteriak untuk meluapkan rasa bahagiaku."YESS, gue nikah, gue kawin!!"Teriakku sambil mencium ponsel yang kupegang berkali-kali.Dan aku beruntung di rumah tidak ada siapapun, sehingga tidak akan ada orang yang mengira aku telah gila. Meskipun ada yang menganggap ku gila, aku tidak peduli itu.Aku duduk di tepi tempat tidur dengan perasaan yang masih dipenuhi rasa bahagia. Ketika tiba-tiba ponselku kembali berdering dan membuyarkan semua kegembiraanku."Aku ingin berbicara denganmu, datang ke alamat ini." Sebuah pesan yang dikirim oleh Mas Ilham membuatku mengernyit dahi. "Untuk apa Mas Ilham ingin bertemu denganku? Bukankah dia sudah memberikan ijin pa

  • Kusesali Usai Istriku Pergi   107. Memenuhi Wasiat Laila

    Memenuhi Wasiat Laila****Pertemuan dengan Nirmala berjalan lancar, bahkan lebih mudah dari yang kubayangkan. Nirmala meyakinkan Alya kalau dirinya tidak akan meninggalkan Mas Ilham hanya karena selalu menunda rencana pernikahan mereka. Nirmala melakukan semua itu, karena ingin membuat Mas Ilham bisa bersikap lebih tegas dan mengerti posisi dirinya.Sebagai seorang wanita, Nirmala merasa statusnya selalu digantung. Meskipun Mas Ilham selalu meyakinkan dirinya untuk selalu setia dan akan segera menikah dengannya begitu Alya menikah, namun hal itu tidak cukup untuk membuat Nirmala sabar menunggu. Mengingat usianya sudah tidak lagi muda, dan tidak ada yang bisa menjamin jika Mas Ilham akan memenuhi semua janjinya. Selain itu, tekanan dari kedua orang tuanya, semakin membuat Nirmala tidak mempunyai banyak pilihan, selain mendesak Mas Ilham untuk segera menikah dengannya. Untuk hal itu, aku bisa memahaminya. Walau bagaimanapun, Nirmala adalah seorang wanita. Dia bahkan sudah menghabiska

  • Kusesali Usai Istriku Pergi   106. Ini Salahku

    Ini Salahku****Nirmala masih mematung di tempat duduknya, dia terlihat sangat terkejut dengan kehadiran Alya di sana, karena aku sedari awal memang tidak mengatakan padanya kalau Alya juga akan datang. Selain itu, sepertinya ucapan Aly lah yang membuatnya terpaku seolah kehilangan kata-kata.Aku tidak tahu, apa yang telah terjadi di antara mereka berdua, namun melihat bagaimana reaksi Nirmala padaku, juga caranya dia berbicara dengan Mas Ilham yang selalu menyalahkan Alya, seperti dia memang kurang menyukai Alya.Alya menarik kedua sudut bibirnya hingga membuat matanya sedikit menyipit, dia tersenyum manis padaku. Seolah ingin mengatakan padaku kalau dirinya baik-baik saja, dan akan menyelesaikan masalahnya dengan Nirmala."Mbak Nirmala apa kabar?"Tanya Alya beberapa saat setelah dia duduk di sebelahku, ketika Nirmala sudah terlihat lebih tenang dan keterkejutannya hilang dari ekspresi wajahnya. Meskipun dia masih terlihat canggung dan tidak nyaman berada di sana, hal itu jelas ter

  • Kusesali Usai Istriku Pergi   105. Menemui Nirmala

    Menemui Nirmala****Alya sudah terlihat lebih tenang, dia juga sudah tidak lagi menangis. Hal itu membuatku merasa sangat lega, setidaknya, semua berjalan sesuai rencana. Alya menerima lamaran dariku, bahkan dia juga bersedia untuk mempercepat pernikahan kami.Alya memandangku lekat, aku mencoba menantang tatapan matanya hingga pandangan kamu beradu. Kesempatan itu kugunakan untuk bertanya sekali lagi padanya."Aku duda dengan dua orang anak, apakah kamu yakin menerimaku untuk menjadi suamimu?" Tanyaku."Aku, Alya, gadis jutek, manja dan keras kepala, akan menerima Andra Haruki sebagai suami sekaligus ibu sambung bagi kedua anaknya. Akan aku cintai dua anak itu, seperti aku mencintai papanya," jawab Alya.Kedua sudut gadis itu terangkat hingga membentuk senyum yang begitu manis. Senyum yang serta Merta membuat duniaku menjadi berwarna, bahkan jauh lebih berwarna daripada lembayung senja di ufuk barat sana. "Kamu cantik sekali, Alya," pujiku."Aku tahu, Mas Andra sering bilang itu pa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status