Share

2. Pulang ke Rumah

Author: Yani Santoso
last update Last Updated: 2023-05-31 10:00:17

Setelah merasa sedikit tenang, aku berjalan cepat menuju tempat parkir. Yang ada di pikiranku saat itu adalah, ingin secepatnya sampai di rumah dan mencari tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. 

Perjalanan yang biasanya kutempuh selama tiga puluh menit, kini hanya butuh setengah saja. Dan saat mobil perlahan masuk ke halaman rumah, terlihat beberapa orang sedang membongkar tenda dan merapikan beberapa kursi di sana. Bergitu aku turun dari mobil, mereka menatapku dengan pandangan sinis bahkan ada yang mencebik sambil membuang muka.

Kulangkahkan kaki ke dalam rumah yang begitu sepi. Hanna, putri pertamaku yang melihat aku datang berlari menyambut dan memelukku, seolah ingin mengatakan sesuatu padaku. Namun bocah perempuan berusia lima tahun ini hanya diam sambil menyembunyikan wajahnya di dada.

"Hanna, Mama mana?" tanyaku sambil mengusap kepalanya. Namun Hanna hanya diam saja.

Dari dalam, terdengar suara orang berjalan. Dan dari ambang pintu antara ruang tengah dan ruang tamu, kulihat Alya, adik Laila, menatapku dengan pandangan yang menusuk jantung.

"Untuk apa Mas Andra ke sini? Mbak Laila sudah tidak ada lagi di dunia ini, dia sudah meninggal. Mas Andra sekarang pasti sangat bahagia, bukan? Karena tidak akan ada lagi yang melarang untuk datang ke rumah pelacur itu," ucap Alya berapi-api.

Hatiku bergetar saat mendengar ucapan Alya. Apakah selama ini Laila mengetahui hubunganku dengan Sania? 

"Alya, jaga bicaramu. Kamu masuklah," kata seorang wanita paruh baya yang kini sudah berdiri di sebelah Alya. Wanita itu tidak lain adalah ibu mertuaku. Sebelum pergi, Alya kembali menatapku dengan tatapan yang begitu menghujam. Seolah dia ingin mengatakan kalau akulah penyebab kematian Laila.

"Bu ...." kataku lirih.

"Masuklah, kita bicara di dalam," ucapnya. 

Aku mengikuti langkahnya masuk ke dalam, dan di ruang tengah, aku melihat ibu, bapak dan juga Mas Ilham, Kakak iparku, ada di sana. Mereka seolah sedang menunggu kedatanganku.

Dengan perasaan campur aduk, aku duduk di depan mereka dengan kepala tertunduk. Aku bahkan sama sekali tidak berani mendongakkan kepala menatap wajah mereka yang duduk di depanku satu persatu.

Kami terdiam, belum ada seorang pun yang membuka suara. Seolah mereka ingin aku yang berbicara lebih dulu dan mendengarkan alasanku kenapa aku tidak pulang ke rumah kemarin.

"Aku minta maaf ... aku sungguh menyesal karena tidak bisa menemani Laila di akhir hidupnya, bahkan saat dia dikuburkan, aku juga tidak ada di sampingnya. Aku suami jahat dan tidak pantas mendapatkan maaf dari kalian," ucapku sambil berlinang air mata. Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku, bahkan air mata meluncur deras membasahi wajah.

Mas Ilham menarik napas, kakak iparku itu tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menatap sekilas lalu melempar pandangannya ke luar. Sama seperti Alya, yang membuang muka saat aku berbicara.

Hanya ibu mertua dan kedua orang tuaku yang terlihat mendengar semua penuturanku. Setelah aku berhenti menangis, mas Ilham berbicara dengan suara yang berat.

"Apa yang akan kamu lakukan sekarang?" tanyanya.

Aku tercengang, bingung harus menjawab apa. Aku bahkan masih belum bisa meyakinkan diriku sendiri kalau Laia benar-benar telah meninggal dunia. Kini, mas Ilham bertanya padaku apa yang akan aku lakukan selanjutnya.

"Aku ... aku akan mengurus anak-anak, menggantikan tugas Laila," jawabku ragu. Namun Mas Ilham justru tersenyum sinis mendegar jawabanku.

"Kamu yakin bisa melakukannya?" tanya mas Ilham lagi.

"Tentu saja bisa, Mas. Mereka anak-anakku, dan mereka juga tanggung jawabku. Bukan hal yang sulit untuk mengurus mereka. Karena aku adalah ayahnya," jawabku cepat.

"Maksud pertanyaan Masmu bukan begitu, Andra. Tadi sebelum kamu datang, kami sempat berunding masalah anak-anakmu setelah ini. Selama ini, urusan mereka dan rumah, semua ditangani Laila sendiri. Dan sekarang Laila telah tiada, apakah kamu mampu mengasuh dan mengurus anak-anakmu sementara kamu juga harus bekerja?" 

Ibu yang sejak tadi diam, kini angkat bicara. Menjelaskan maksud dari pertanyaan mas Ilham. Aku menarik napas dalam, setelah mendengar penjelasan dari ibu.

Ibu benar, selama ini semua pekerjaan rumah dan anak-anak, diurus sendiri oleh Laila. Walau aku sebenarnya bisa menggaji asisten rumah tangga untuk membantunya mengerjakan pekerjaan rumah. Namun aku tidak melakukan itu dan lebih memilih Laila yang melakukan. Toh dia tidak bekerja. Lagi pula, pasti akan menambah pengeluaran jika aku juga harus menggaji seorang pembantu juga. 

"Saya bisa menggaji pengasuh untuk merawat anak-anak, Bu," jawabku begitu saja.

"Apa kamu yakin, anak-anak akan mau? Karena selama ini, ibunya yang merawat mereka sendiri," sela ibu mertua.

"Hanna sudah besar, Bu. Dia sudah masuk TK," jawabku.

"Lalu, bagaimana dengan Haikal? Dia bahkan masih minum ASI. Apakah kamu bisa menyusuinya?" kata Alya sinis sambil menatapku tajam.

"Aku ...." Kugantung kalimatku, karena aku tidak lagi menemukan kata yang tepat untuk menjawab ucapan Alya.

"Haikal akan ikut bersama kami nanti, karena dia butuh orang terdekat untuk menggantikan ibunya. Karena Haikal sangat dekat dengan Alya, untuk sementara dia akan tinggal bersama kami," kata mas Ilham menengahi.

Aku mendongak, mencoba menantang tatapan matanya.

"Apakah kamu merasa keberatan, Andra?" tanya mas Ilham lagi.

"Andra, ibu yakin ini adalah keputusan yang terbaik untuk anak-anakmu. Dan selama kamu belum mendapatkan pengasuh buat Hanna, ibu akan tinggal di sini untuk beberapa waktu," kata ibu mendukung keputusan keluarga Laila.

Jujur, untuk saat ini aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Jangankan untuk memutuskan mengasuh anak-anak, apa yang akan kulakukan pada mereka pun, aku belum tahu bagaimana.

"Baiklah, jika itu memang terbaik untuk anak-anak," kataku lirih.

Kulihat mereka menghela napas lega, namun berbeda denganku. Aku seperti anak ayam yang ditinggalkan induknya. Walau ada sisi lain di hatiku yang merasa sedih, karena akhirnya Laila meninggal, namun aku juga bahagia, karena impianku untuk bisa hidup bersama dengan Sania terwujud.

Meski masih ada sesuatu yang mengganjal di hati tentang kematian Laila, namun aku takut untuk bertanya pada mereka. Aku tidak ingin, mereka mengetahui kalau aku benar-benar seorang suami brengsek.

Perbincangan kami terhenti oleh tangis Haikal. Anak keduaku yang berumur satu tahun itu sepertinya terbangun dari tidurnya.

"Mama ... Mama ...." Panggil Haikal di antara Isaknya.

Kulihat ibu dan ibu mertua menunduk sambil menahan air mata, sementara Alya bergegas ke kamar dan menggendongnya keluar. Haikal masih menangis, memanggil nama Laila. Mungkin dia kangen dan ingin netek.

Kutatap anakku yang berada dalam gendongan Alya dengan nanar. Gadis belia itu dengan sabar menenangkan Haikal agar dia bersedia minum susu dari botol. Namun dia meronta walaupun akhirnya perlahan dia meminum susu tersebut dan kembali tenang.

Ada perasaan yang tiba-tiba meronta keluar dari dalam hati. Hingga tanpa kusadari, mataku menjadi buram dan panas. Dan tanpa bisa kutahan, aku menangis melihat Haikal yang memanggil nama ibunya.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Isabella
namanya juga nulis kadang keliru wkwkwk
goodnovel comment avatar
Dede Pangry
perjalanan perlu 30 menit skrg hanya setengah jam..bknnya setengah jam n 30 menit itu smaa aj...hmmm.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kusesali Usai Istriku Pergi   110. All Well End Well

    All Well, End Well****Alya menatapku, kedua matanya berkaca-kaca, perlahan, air matanya luruh membasahi pipinya."Kamu menangis, Alya?" Tanyaku sambil mengusap air matanya. "Mas ...." ucapannya lirih, memanggilku.Buru-buru aku merengkuhnya ke dalam pelukan. "Kamu hebat, Alya, kamu sudah menunaikan kewajibanmu sebagai istri di malam pertama, kamu sekarang menjadi wanita dan seorang istri seutuhnya," kataku.Alya menenggelamkan kepalanya dalam pelukan, isaknya masih terdengar."Aku sangat bahagia, Mas," ucapnya lirih."Andai aku tahu, kalau menjadi istri itu senikmat ini, seharusnya kita menikah lebih awal," kata Alya lagi.Aku merenggangkan pelukan, mencoba melihat ekspresi Alya, dia tidak lagi menangis, senyum tipis terukir di bibirnya."Alya ... jangan katakan kalau kamu minta lagi?""Aku tidak bilang begitu," ucapnya sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.Namun ucapan Alya tadi, cukup bagiku untuk kembali membawanya berpacu denganku."Kita lakukan lagi, ayolah, pokoknya

  • Kusesali Usai Istriku Pergi   109. Malam Pertama

    Malam Pertama****Hari ini semua keluarga sudah berkumpul di rumah, aku sendiri, meskipun semalaman tidak bisa tidur karena terlalu gembira dan tidak sabar menunggu hari ini, merasa begitu bersemangat. Tidak merasa ngantuk ataupun lelah.Ibu beberapa kali merapikan baju yang kupakai, sambil sesekali melihat ke luar, kami semua menunggu kedatangan Alya dan keluarganya. Seperti yang telah kami sepakati sebelumnya, kalau kami akan melakukan akad nikah di KUA saja. Dan ternyata, ada beberapa pasangan calon pengantin yang akan melangsungkan pernikahan hari ini. Aku sendiri, mendapatkan nomor urut 3. Tidak apa-apa, aku bahkan bersyukur, dengan begitu, ada waktu untuk belajar mengucapkan ijab kabul."Santai saja, ga perlu tegang begitu. Toh ini bukan pernikahan pertama elu," seloroh Rio yang saat itu memang datang untuk menjadi saksi dalam pernikahan kami."Elo belum ngerasain di posisi gue, coba nanti dah, apakah bakal grogi apa enggak," sungutku.Rio terkekeh, lalu dia kembali berseloroh,

  • Kusesali Usai Istriku Pergi   108. Bertemu Mas Ilham

    Bertemu Mas Ilham****Buru-buru aku mengakhiri panggilan telepon dari ibu dan sebelumnya mengingatkan agar beliau tidak lupa untuk mempersiapkan acara akad nikah nanti.Pelan, mataku mengeja satu persatu huruf yang tertulis di pesan yang dikirim Alya."Ibu dan Mas Ilham setuju." Aku membaca sekali lagi pesan itu, dan kali ini aku berteriak untuk meluapkan rasa bahagiaku."YESS, gue nikah, gue kawin!!"Teriakku sambil mencium ponsel yang kupegang berkali-kali.Dan aku beruntung di rumah tidak ada siapapun, sehingga tidak akan ada orang yang mengira aku telah gila. Meskipun ada yang menganggap ku gila, aku tidak peduli itu.Aku duduk di tepi tempat tidur dengan perasaan yang masih dipenuhi rasa bahagia. Ketika tiba-tiba ponselku kembali berdering dan membuyarkan semua kegembiraanku."Aku ingin berbicara denganmu, datang ke alamat ini." Sebuah pesan yang dikirim oleh Mas Ilham membuatku mengernyit dahi. "Untuk apa Mas Ilham ingin bertemu denganku? Bukankah dia sudah memberikan ijin pa

  • Kusesali Usai Istriku Pergi   107. Memenuhi Wasiat Laila

    Memenuhi Wasiat Laila****Pertemuan dengan Nirmala berjalan lancar, bahkan lebih mudah dari yang kubayangkan. Nirmala meyakinkan Alya kalau dirinya tidak akan meninggalkan Mas Ilham hanya karena selalu menunda rencana pernikahan mereka. Nirmala melakukan semua itu, karena ingin membuat Mas Ilham bisa bersikap lebih tegas dan mengerti posisi dirinya.Sebagai seorang wanita, Nirmala merasa statusnya selalu digantung. Meskipun Mas Ilham selalu meyakinkan dirinya untuk selalu setia dan akan segera menikah dengannya begitu Alya menikah, namun hal itu tidak cukup untuk membuat Nirmala sabar menunggu. Mengingat usianya sudah tidak lagi muda, dan tidak ada yang bisa menjamin jika Mas Ilham akan memenuhi semua janjinya. Selain itu, tekanan dari kedua orang tuanya, semakin membuat Nirmala tidak mempunyai banyak pilihan, selain mendesak Mas Ilham untuk segera menikah dengannya. Untuk hal itu, aku bisa memahaminya. Walau bagaimanapun, Nirmala adalah seorang wanita. Dia bahkan sudah menghabiska

  • Kusesali Usai Istriku Pergi   106. Ini Salahku

    Ini Salahku****Nirmala masih mematung di tempat duduknya, dia terlihat sangat terkejut dengan kehadiran Alya di sana, karena aku sedari awal memang tidak mengatakan padanya kalau Alya juga akan datang. Selain itu, sepertinya ucapan Aly lah yang membuatnya terpaku seolah kehilangan kata-kata.Aku tidak tahu, apa yang telah terjadi di antara mereka berdua, namun melihat bagaimana reaksi Nirmala padaku, juga caranya dia berbicara dengan Mas Ilham yang selalu menyalahkan Alya, seperti dia memang kurang menyukai Alya.Alya menarik kedua sudut bibirnya hingga membuat matanya sedikit menyipit, dia tersenyum manis padaku. Seolah ingin mengatakan padaku kalau dirinya baik-baik saja, dan akan menyelesaikan masalahnya dengan Nirmala."Mbak Nirmala apa kabar?"Tanya Alya beberapa saat setelah dia duduk di sebelahku, ketika Nirmala sudah terlihat lebih tenang dan keterkejutannya hilang dari ekspresi wajahnya. Meskipun dia masih terlihat canggung dan tidak nyaman berada di sana, hal itu jelas ter

  • Kusesali Usai Istriku Pergi   105. Menemui Nirmala

    Menemui Nirmala****Alya sudah terlihat lebih tenang, dia juga sudah tidak lagi menangis. Hal itu membuatku merasa sangat lega, setidaknya, semua berjalan sesuai rencana. Alya menerima lamaran dariku, bahkan dia juga bersedia untuk mempercepat pernikahan kami.Alya memandangku lekat, aku mencoba menantang tatapan matanya hingga pandangan kamu beradu. Kesempatan itu kugunakan untuk bertanya sekali lagi padanya."Aku duda dengan dua orang anak, apakah kamu yakin menerimaku untuk menjadi suamimu?" Tanyaku."Aku, Alya, gadis jutek, manja dan keras kepala, akan menerima Andra Haruki sebagai suami sekaligus ibu sambung bagi kedua anaknya. Akan aku cintai dua anak itu, seperti aku mencintai papanya," jawab Alya.Kedua sudut gadis itu terangkat hingga membentuk senyum yang begitu manis. Senyum yang serta Merta membuat duniaku menjadi berwarna, bahkan jauh lebih berwarna daripada lembayung senja di ufuk barat sana. "Kamu cantik sekali, Alya," pujiku."Aku tahu, Mas Andra sering bilang itu pa

  • Kusesali Usai Istriku Pergi   104. Menikahlah Denganku

    Menikahlah Denganku***"Mas ... kamu ini kenapa, sih?"Alya bertanya, wajahnya terlihat sedikit bingung. Melihat dia yang kebingungan, membuatnya terlihat semakin menggemaskan, terlebih, dengan kedua pipi yang merona merah.Aku mengeluarkan cincin yang kubeli beberapa waktu yang lalu, namun belum sempat memberikan padanya karena menunggu waktu yang tepat, dan sepertinya, waktu itu telah datang untukku memasang cincin itu di jari manisnya."Mas, ini ...."Alya menggantung kalimatnya ketika aku meraih tangannya, serta menyematkan cincin di jari manisnya. "Aku, Andra Haruki, duda dengan dua orang anak. Hari ini memintamu untuk menjadi istriku, maukah kamu menikah denganku?" Tanyaku pada Alya.Mata gadis itu berbinar, wajahnya yang sejak tadi bersemu merah, kini makin merona. Dia memandang tanpa berkedip pada jari manisnya, jari yang baru saja kusematkan cincin di sana. Beberapa kali dia mengerjap, meskipun dia masih belum berkata, namun dari bahasa tubuhnya, bisa kulihat pancaran kebah

  • Kusesali Usai Istriku Pergi   103. Mas Ilham dan Nirmala

    Mas Ilham dan Nirmala****Berkali-kali aku menghela napas dalam, kepalaku kembali berdenyut setiap kali aku mengingat kalimat demi kalimat yang diucapkan Wida tadi.Seumur hidup, aku tidak pernah berpikir untuk melakukan apa yang dia sebarkan tersebut. Bahkan, seandainya diberi kesempatan untuk terlahir kembali pun, aku tetap akan memilih untuk dilahirkan menjadi diriku saat ini, sebagai lelaki normal yang mencintai wanita dan mempunyai anak.Kusandarkan punggungku di sandaran kursi dan memejamkan mata. Pengakuan Wida tadi, membuatku berpikir sejenak tentang apa yang dia katakan. Dia bilang kalau dirinya menaruh perasaan terhadap Rio selama ini, namun yang aku tidak mengerti, kenapa dia tidak pernah mengungkapkan isi hatinya atau setidaknya, menunjukkan rasa sukanya terhadap Rio.Jangan-jangan selama ini aku saja yang tidak peka dengan perubahan sikapnya setiap kali bertemu dengan Rio.Lalu ingatanku melayang pada sebuah kejadian beberapa waktu yang lalu.Seperti biasanya, aku selal

  • Kusesali Usai Istriku Pergi   102. Cemburu Yang Membutakan

    Cemburu Yang Membutakan ***"Apakah saya pernah berbuat suatu kesalahan padamu, Wida?"Aku kembali bertanya pada Wida yang masih bersimpuh di lantai, karena sejak tadi, dia hanya menangis sambil mengucapkan kata maaf tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya kesalahan yang telah dia lakukan. Meskipun sekilas, aku sudah mempunyai gambaran tersendiri. Wida, sudah cukup lama gadis itu bekerja di perusahaan tempat aku bekerja. Sebelum menjadi sekretarisku, dia dulu bekerja di bagian administrasi. Entah bagaimana ceritanya, sehingga dia mendapatkan posisi sebagai sekertaris. Awalnya aku sering salah memanggil namanya, karena dia memiliki nama yang hampir sama dengan sekretaris sebelumnya, Widi, yang mengundurkan diri setelah melahirkan anak pertamanya, iya, nama mereka hanya beda satu huruf saja, Widi, Wida.Aku berjalan menjauh dari Wida, kubuka sedikit pintu untuk melihat ke luar. Aku tidak ingin keributan di dalam ruang kerjaku ada yang menguping, kemudian menyebarkan berita palsu dan tid

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status