Setelah merasa sedikit tenang, aku berjalan cepat menuju tempat parkir. Yang ada di pikiranku saat itu adalah, ingin secepatnya sampai di rumah dan mencari tahu apa yang sebenarnya telah terjadi.
Perjalanan yang biasanya kutempuh selama tiga puluh menit, kini hanya butuh setengah saja. Dan saat mobil perlahan masuk ke halaman rumah, terlihat beberapa orang sedang membongkar tenda dan merapikan beberapa kursi di sana. Bergitu aku turun dari mobil, mereka menatapku dengan pandangan sinis bahkan ada yang mencebik sambil membuang muka.
Kulangkahkan kaki ke dalam rumah yang begitu sepi. Hanna, putri pertamaku yang melihat aku datang berlari menyambut dan memelukku, seolah ingin mengatakan sesuatu padaku. Namun bocah perempuan berusia lima tahun ini hanya diam sambil menyembunyikan wajahnya di dada.
"Hanna, Mama mana?" tanyaku sambil mengusap kepalanya. Namun Hanna hanya diam saja.
Dari dalam, terdengar suara orang berjalan. Dan dari ambang pintu antara ruang tengah dan ruang tamu, kulihat Alya, adik Laila, menatapku dengan pandangan yang menusuk jantung.
"Untuk apa Mas Andra ke sini? Mbak Laila sudah tidak ada lagi di dunia ini, dia sudah meninggal. Mas Andra sekarang pasti sangat bahagia, bukan? Karena tidak akan ada lagi yang melarang untuk datang ke rumah pelacur itu," ucap Alya berapi-api.
Hatiku bergetar saat mendengar ucapan Alya. Apakah selama ini Laila mengetahui hubunganku dengan Sania?
"Alya, jaga bicaramu. Kamu masuklah," kata seorang wanita paruh baya yang kini sudah berdiri di sebelah Alya. Wanita itu tidak lain adalah ibu mertuaku. Sebelum pergi, Alya kembali menatapku dengan tatapan yang begitu menghujam. Seolah dia ingin mengatakan kalau akulah penyebab kematian Laila.
"Bu ...." kataku lirih.
"Masuklah, kita bicara di dalam," ucapnya.
Aku mengikuti langkahnya masuk ke dalam, dan di ruang tengah, aku melihat ibu, bapak dan juga Mas Ilham, Kakak iparku, ada di sana. Mereka seolah sedang menunggu kedatanganku.
Dengan perasaan campur aduk, aku duduk di depan mereka dengan kepala tertunduk. Aku bahkan sama sekali tidak berani mendongakkan kepala menatap wajah mereka yang duduk di depanku satu persatu.
Kami terdiam, belum ada seorang pun yang membuka suara. Seolah mereka ingin aku yang berbicara lebih dulu dan mendengarkan alasanku kenapa aku tidak pulang ke rumah kemarin.
"Aku minta maaf ... aku sungguh menyesal karena tidak bisa menemani Laila di akhir hidupnya, bahkan saat dia dikuburkan, aku juga tidak ada di sampingnya. Aku suami jahat dan tidak pantas mendapatkan maaf dari kalian," ucapku sambil berlinang air mata. Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku, bahkan air mata meluncur deras membasahi wajah.
Mas Ilham menarik napas, kakak iparku itu tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menatap sekilas lalu melempar pandangannya ke luar. Sama seperti Alya, yang membuang muka saat aku berbicara.
Hanya ibu mertua dan kedua orang tuaku yang terlihat mendengar semua penuturanku. Setelah aku berhenti menangis, mas Ilham berbicara dengan suara yang berat.
"Apa yang akan kamu lakukan sekarang?" tanyanya.
Aku tercengang, bingung harus menjawab apa. Aku bahkan masih belum bisa meyakinkan diriku sendiri kalau Laia benar-benar telah meninggal dunia. Kini, mas Ilham bertanya padaku apa yang akan aku lakukan selanjutnya.
"Aku ... aku akan mengurus anak-anak, menggantikan tugas Laila," jawabku ragu. Namun Mas Ilham justru tersenyum sinis mendegar jawabanku.
"Kamu yakin bisa melakukannya?" tanya mas Ilham lagi.
"Tentu saja bisa, Mas. Mereka anak-anakku, dan mereka juga tanggung jawabku. Bukan hal yang sulit untuk mengurus mereka. Karena aku adalah ayahnya," jawabku cepat.
"Maksud pertanyaan Masmu bukan begitu, Andra. Tadi sebelum kamu datang, kami sempat berunding masalah anak-anakmu setelah ini. Selama ini, urusan mereka dan rumah, semua ditangani Laila sendiri. Dan sekarang Laila telah tiada, apakah kamu mampu mengasuh dan mengurus anak-anakmu sementara kamu juga harus bekerja?"
Ibu yang sejak tadi diam, kini angkat bicara. Menjelaskan maksud dari pertanyaan mas Ilham. Aku menarik napas dalam, setelah mendengar penjelasan dari ibu.
Ibu benar, selama ini semua pekerjaan rumah dan anak-anak, diurus sendiri oleh Laila. Walau aku sebenarnya bisa menggaji asisten rumah tangga untuk membantunya mengerjakan pekerjaan rumah. Namun aku tidak melakukan itu dan lebih memilih Laila yang melakukan. Toh dia tidak bekerja. Lagi pula, pasti akan menambah pengeluaran jika aku juga harus menggaji seorang pembantu juga.
"Saya bisa menggaji pengasuh untuk merawat anak-anak, Bu," jawabku begitu saja.
"Apa kamu yakin, anak-anak akan mau? Karena selama ini, ibunya yang merawat mereka sendiri," sela ibu mertua.
"Hanna sudah besar, Bu. Dia sudah masuk TK," jawabku.
"Lalu, bagaimana dengan Haikal? Dia bahkan masih minum ASI. Apakah kamu bisa menyusuinya?" kata Alya sinis sambil menatapku tajam.
"Aku ...." Kugantung kalimatku, karena aku tidak lagi menemukan kata yang tepat untuk menjawab ucapan Alya.
"Haikal akan ikut bersama kami nanti, karena dia butuh orang terdekat untuk menggantikan ibunya. Karena Haikal sangat dekat dengan Alya, untuk sementara dia akan tinggal bersama kami," kata mas Ilham menengahi.
Aku mendongak, mencoba menantang tatapan matanya.
"Apakah kamu merasa keberatan, Andra?" tanya mas Ilham lagi.
"Andra, ibu yakin ini adalah keputusan yang terbaik untuk anak-anakmu. Dan selama kamu belum mendapatkan pengasuh buat Hanna, ibu akan tinggal di sini untuk beberapa waktu," kata ibu mendukung keputusan keluarga Laila.
Jujur, untuk saat ini aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Jangankan untuk memutuskan mengasuh anak-anak, apa yang akan kulakukan pada mereka pun, aku belum tahu bagaimana.
"Baiklah, jika itu memang terbaik untuk anak-anak," kataku lirih.
Kulihat mereka menghela napas lega, namun berbeda denganku. Aku seperti anak ayam yang ditinggalkan induknya. Walau ada sisi lain di hatiku yang merasa sedih, karena akhirnya Laila meninggal, namun aku juga bahagia, karena impianku untuk bisa hidup bersama dengan Sania terwujud.
Meski masih ada sesuatu yang mengganjal di hati tentang kematian Laila, namun aku takut untuk bertanya pada mereka. Aku tidak ingin, mereka mengetahui kalau aku benar-benar seorang suami brengsek.
Perbincangan kami terhenti oleh tangis Haikal. Anak keduaku yang berumur satu tahun itu sepertinya terbangun dari tidurnya.
"Mama ... Mama ...." Panggil Haikal di antara Isaknya.
Kulihat ibu dan ibu mertua menunduk sambil menahan air mata, sementara Alya bergegas ke kamar dan menggendongnya keluar. Haikal masih menangis, memanggil nama Laila. Mungkin dia kangen dan ingin netek.
Kutatap anakku yang berada dalam gendongan Alya dengan nanar. Gadis belia itu dengan sabar menenangkan Haikal agar dia bersedia minum susu dari botol. Namun dia meronta walaupun akhirnya perlahan dia meminum susu tersebut dan kembali tenang.
Ada perasaan yang tiba-tiba meronta keluar dari dalam hati. Hingga tanpa kusadari, mataku menjadi buram dan panas. Dan tanpa bisa kutahan, aku menangis melihat Haikal yang memanggil nama ibunya.
***
"Andra, tolong bereskan baju-baju Haikal. Ibu akan membantu mertuamu menyiapkan sarapan," kata ibu saat aku baru keluar dari kamar mandi.Aku termangu di depan pintu beberapa saat lamanya. Baju Haikal? Pasti Laila menyimpannya di lemari anak-anak, pikirku .Aku bergegas menuju kamar anak-anak, dan membuka lemari baju bermaksud mengambil baju Haikal, seperti permintaan ibu. Tapi di dalam lemari, aku hanya menemukan beberapa baju bayi yang sudah usang dan beberapa selimut mereka. Kuedarkan pandangan ke laci, lalu membukanya satu per satu. Namun, tidak ada baju Haikal di sana. Hanya ada beberapa mainan mereka yang tertata rapi. Aku mengacak rambut kasar, sambil mendengkus kesal. Karena aku tidak bisa menemukan baju anak bungsuku.Tok tok tok ....Aku menoleh saat pintu diketuk, ibu berdiri di ambang pintu sambil menggendong Haikal, dia memandangku aneh."Sudah kamu siapkan baju Haikal?" tanyanya."Bu ... aku tidak tahu di mana Laila menyimpannya," kataku lirih. Kutundukkan kepala saat i
Saat keluarga Laila membawa Haikal, aku sengaja tidak ingin melihat kepergiannya. Entah kenapa, hatiku begitu sakit ketika melihat mereka membawa Haikal keluar dari rumah. Begitu sakitnya hingga aku memilih untuk menyandarkan tubuh ke dinding dan membiarkannya melorot ke lantai.Aku tidak pernah dekat dengan anak-anak, namun saat aku tidak melihat keberadaan mereka di rumah saat aku pulang kerja, hal itu membuat sesuatu terasa ada yang kurang. Lalu kini, Haikal harus meninggalkan rumah ini karena dia butuh kasih sayang seorang ibu. Ingin sekali aku protes pada keluarga Laila agar tidak membawa anakku bersama mereka, namun kata-kataku hanya sampai sebatas angan-angan saja. Bagiamana bisa, Haikal menganggap Alya sebagai pengganti ibunya, sementara dia sendiri masih seorang pelajar SMA, yang lebih suka menghabiskan waktunya bersama teman-temannya.Aku menarik napas, menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Semua yang terjadi di rumah ini begitu cepat da tiba-tiba."Papa ... Hanna mau
"Aku ada urusan kantor sebentar, Bu," jawabku berbohong. Aku tidak ingin ibu bertanya lebih banyak lagi."Tidak bisakah urusannya ditunda sebentar? Kamu kan, masih cuti," ucapnya."Ya tidak bisa, dong Bu. Aku kan pimpinan di sana."Kulihat ibu menarik napas dalam, lalu melihat ke arah Hanna kemudian menggeleng."Andra ... apakah kamu yang memakaikan baju Hanna? Ini terbalik," ujarnya sambil membuka baju Hanna.Aku menepuk jidat. Setelah ibu mambalik bajunya, Hanna tersenyum. Ah, pantesan tadi dia terlihat seperti tercekik lehernya, karena bagian belakang aku taruh di depan."Jadi ... enggak apa-apa kan, Bu, kalau kutinggal sebentar?" pintaku hati-hati."Pergilah. Tapi jangan lama-lama, karena ibu sedang membereskan kamar Hanna. Sebentar lagi dia akan tidur di sini bersama dengan baby sitter nya nanti," ujarnya.Kutinggalkan Hanna bersama ibu. Perasaan terasa begitu lega ketika kakiku telah melangkah keluar rumah. Ah ... tentu saja aku merasa lega, karena tidak lagi harus melihat bayan
Hana Sakit ****Kutinggalkan begitu saja mi yang sedang kumakan dan bergegas mencari kunci mobil. Yang ada di kepalaku saat itu, aku harus secepatnya pulang agar kejadian yang menimpa Laila tidak terulang.Kutatap Sania yang masih tertidur pulas, rasanya tidak tega untuk membangunkannya serta memberi tahu kalau aku akan pulang dan memilih meninggalkan sebuah pesan yang kutulis dalam selembar kertas lalu meninggalkannya di atas meja.Jalanan kota masih cukup ramai, karena belum terlalu malam. Masih sekitar pukul 11 malam, mungkin aku tadi yang tidur terlalu awal, hingga merasa waktu berjalan lambat. Ketika mobil memasuki halaman rumah, terlihat ibu mondar-mandir di teras sambil menggendong Hanna."Bu, bagaimana keadaan Hanna?" tanyaku sambil memegang keningnya. Terasa sangat panas."Panasnya belum turun, malah makin tinggi. Kamu kenapa baru mengangkat telepon, padahal ibu sudah menghubungimu sejak sore tadi," oceh ibu dengan nada panik."Bu, kita bahas nanti saja. Sekarang, kita ba
Mencari Babysitter ****"Laila." Aku kembali memanggil namanya berharap dia akan mendatangiku seperti yang selalu dilakukan setiap kali aku memanggilnya.Akan tetapi, jangankan mendatangiku, Laila bahkan sama sekali tidak menoleh. Dia terus berjalan lurus seolah menembus dinding."Laila!" Aku kembali meneriakkan nama Laila."Andra, sadar ... Laila sudah meninggal. Apa yang kamu lakukan di sini?"Aku tergagap, buru-buru menoleh ke belakang dan kudapati ibu telah berdiri di belakangku sambil menepuk pundakku. Ibu memandangku dengan tatapan aneh. Atau mungkin berpikir kalau aku sedang bermimpi sambil berjalan."Ibu, Laila ... dia ke sana," kataku sambil menunjuk ke arah Laila menghilang.Ibu menarik napas dalam, dan kembali menepuk-nepuk pundakku. "Apakah kamu bermimpi bertemu Laila?" tanyanya. Benar sekali dugaanku, ternyata ibu mengira aku bermimpi."Entahlah, Bu," ujarku lirih. Kuusap wajahku kasar, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hening. Hanya denting jam di dinding yang
Kami tiba di rumah sakit di mana Rahma dirawat. Saat kami datang, hanya ada bapak yang duduk di luar, beliau tertidur sambil menyandarkan punggungnya di tembok."Pak, Pak ...." Ibu menepuk pundak bapak pelan. Tergagap, beliau terbangun sambil mengucek matanya."Rahma mana, bagaimana keadaannya?" tanya ibu lagi saat kesadarannya sudah terkumpul penuh."Dia baru saja tertidur, dokter baru saja memberinya obat.""Lalu, keadaannya bagaimana? Apakah lukanya serius?" cecar ibu lagi.Bapak menarik napas sebelum beliau menjawab pertanyaan ibu."Rahma hanya luka ringan dan patah tulang. Dia tadi menghindari anak kecil yang tiba-tiba menyeberang, lalu dia membelokkan motornya mendadak hingga dia masuk ke dalam selokan." Bapak menjelaskan."Astaghfirullah ...." ucap ibu. Setelah itu beliau mendorong pelan pintu ruangan di mana Rahma dirawat. Di atas tempat tidur, Rahma tampak tertidur pulas, sementara kaki kirinya diperban.Bapak meletakkan bobot tubuhnya di atas kursi yang ada di sebelahku, sem
Setelah membuka gerbang, aku menggendong Hanna untuk masuk. Dan di sinilah aku, berdiri mematung di depan pintu. Sementara di dalam, terlihat begitu sepi. Kuangkat tangan untuk mengetuk pintu, namun kuurungkan. Kenapa aku harus mengetuk pintu? Ini rumahku sendiri dan aku mempunyai kunci serepnya.Klek!Pintu telah kubuka, pelan kudorong agar terbuka lebar."Kamu siapa?!" Tanyaku dengan suara tinggi saat kulihat seorang pria yang sedang duduk membelakangiku bangkit dari duduknya dan melihat ke arahku dengan wajah kaget."Aku bertanya padamu, apa yang kamu lakukan di rumahku?!" Kembali aku bertanya dengan menahan amarah.Entah kenapa, melihat seorang laki-laki yang tidak kukenal berada di rumahku di saat aku tidak bersama Sania, membuat darahku mendidih. Pikiran negatif langsung memenuhi kepala. Sementara dia, lelaki muda yang mungkin umurnya tidak lebih dari 25 tahun, berdiri dengan gugup. Wajahnya terlihat cemas, dan hal itu bisa kulihat dengan jelas saat dia beberapa kali melempar pa
Mas, kok malah diam?" tanya Sania saat aku tidak kunjung merespon ucapannya.Kurubah posisi tidur, dengan meletakkan tangan di bawah kepala sebagai pengganti bantal. Menatap langit-langit kamar, jujur, aku tidak bisa memberi jawaban apapun pada Sania.Kutarik napas dalam, memandang wajah ayu Sania yang bersandar di dadaku."Kita bahas lain kali saja, Sania. Beri aku waktu," kataku beberapa saat kemudian.Sania bangkit, dia duduk sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ada rona kekesalan dan kekecewaan di wajahnya."Kenapa Mas, bukankah selama ini kamu yang selalu menginginkanku untuk menjadi pendampingmu? Kamu selalu bilang kalau aku lebih pantas untuk kamu pamerkan kepada teman-temanmu, karena aku supel dan pandai bergaul dan lebih cantik dibanding Laila. Tapi kenapa sekarang kamu berubah pikiran?" cerca Sania.Ada sesuatu di dada yang seolah meronta ketika Sania kembali membandingkan dirinya dengan Laila."Sania, Laila sudah tiada. Tolong jangan kamu ungkit sesuatu tentan