Share

2. Pulang ke Rumah

Setelah merasa sedikit tenang, aku berjalan cepat menuju tempat parkir. Yang ada di pikiranku saat itu adalah, ingin secepatnya sampai di rumah dan mencari tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. 

Perjalanan yang biasanya kutempuh selama tiga puluh menit, kini hanya butuh setengah saja. Dan saat mobil perlahan masuk ke halaman rumah, terlihat beberapa orang sedang membongkar tenda dan merapikan beberapa kursi di sana. Bergitu aku turun dari mobil, mereka menatapku dengan pandangan sinis bahkan ada yang mencebik sambil membuang muka.

Kulangkahkan kaki ke dalam rumah yang begitu sepi. Hanna, putri pertamaku yang melihat aku datang berlari menyambut dan memelukku, seolah ingin mengatakan sesuatu padaku. Namun bocah perempuan berusia lima tahun ini hanya diam sambil menyembunyikan wajahnya di dada.

"Hanna, Mama mana?" tanyaku sambil mengusap kepalanya. Namun Hanna hanya diam saja.

Dari dalam, terdengar suara orang berjalan. Dan dari ambang pintu antara ruang tengah dan ruang tamu, kulihat Alya, adik Laila, menatapku dengan pandangan yang menusuk jantung.

"Untuk apa Mas Andra ke sini? Mbak Laila sudah tidak ada lagi di dunia ini, dia sudah meninggal. Mas Andra sekarang pasti sangat bahagia, bukan? Karena tidak akan ada lagi yang melarang untuk datang ke rumah pelacur itu," ucap Alya berapi-api.

Hatiku bergetar saat mendengar ucapan Alya. Apakah selama ini Laila mengetahui hubunganku dengan Sania? 

"Alya, jaga bicaramu. Kamu masuklah," kata seorang wanita paruh baya yang kini sudah berdiri di sebelah Alya. Wanita itu tidak lain adalah ibu mertuaku. Sebelum pergi, Alya kembali menatapku dengan tatapan yang begitu menghujam. Seolah dia ingin mengatakan kalau akulah penyebab kematian Laila.

"Bu ...." kataku lirih.

"Masuklah, kita bicara di dalam," ucapnya. 

Aku mengikuti langkahnya masuk ke dalam, dan di ruang tengah, aku melihat ibu, bapak dan juga Mas Ilham, Kakak iparku, ada di sana. Mereka seolah sedang menunggu kedatanganku.

Dengan perasaan campur aduk, aku duduk di depan mereka dengan kepala tertunduk. Aku bahkan sama sekali tidak berani mendongakkan kepala menatap wajah mereka yang duduk di depanku satu persatu.

Kami terdiam, belum ada seorang pun yang membuka suara. Seolah mereka ingin aku yang berbicara lebih dulu dan mendengarkan alasanku kenapa aku tidak pulang ke rumah kemarin.

"Aku minta maaf ... aku sungguh menyesal karena tidak bisa menemani Laila di akhir hidupnya, bahkan saat dia dikuburkan, aku juga tidak ada di sampingnya. Aku suami jahat dan tidak pantas mendapatkan maaf dari kalian," ucapku sambil berlinang air mata. Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku, bahkan air mata meluncur deras membasahi wajah.

Mas Ilham menarik napas, kakak iparku itu tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menatap sekilas lalu melempar pandangannya ke luar. Sama seperti Alya, yang membuang muka saat aku berbicara.

Hanya ibu mertua dan kedua orang tuaku yang terlihat mendengar semua penuturanku. Setelah aku berhenti menangis, mas Ilham berbicara dengan suara yang berat.

"Apa yang akan kamu lakukan sekarang?" tanyanya.

Aku tercengang, bingung harus menjawab apa. Aku bahkan masih belum bisa meyakinkan diriku sendiri kalau Laia benar-benar telah meninggal dunia. Kini, mas Ilham bertanya padaku apa yang akan aku lakukan selanjutnya.

"Aku ... aku akan mengurus anak-anak, menggantikan tugas Laila," jawabku ragu. Namun Mas Ilham justru tersenyum sinis mendegar jawabanku.

"Kamu yakin bisa melakukannya?" tanya mas Ilham lagi.

"Tentu saja bisa, Mas. Mereka anak-anakku, dan mereka juga tanggung jawabku. Bukan hal yang sulit untuk mengurus mereka. Karena aku adalah ayahnya," jawabku cepat.

"Maksud pertanyaan Masmu bukan begitu, Andra. Tadi sebelum kamu datang, kami sempat berunding masalah anak-anakmu setelah ini. Selama ini, urusan mereka dan rumah, semua ditangani Laila sendiri. Dan sekarang Laila telah tiada, apakah kamu mampu mengasuh dan mengurus anak-anakmu sementara kamu juga harus bekerja?" 

Ibu yang sejak tadi diam, kini angkat bicara. Menjelaskan maksud dari pertanyaan mas Ilham. Aku menarik napas dalam, setelah mendengar penjelasan dari ibu.

Ibu benar, selama ini semua pekerjaan rumah dan anak-anak, diurus sendiri oleh Laila. Walau aku sebenarnya bisa menggaji asisten rumah tangga untuk membantunya mengerjakan pekerjaan rumah. Namun aku tidak melakukan itu dan lebih memilih Laila yang melakukan. Toh dia tidak bekerja. Lagi pula, pasti akan menambah pengeluaran jika aku juga harus menggaji seorang pembantu juga. 

"Saya bisa menggaji pengasuh untuk merawat anak-anak, Bu," jawabku begitu saja.

"Apa kamu yakin, anak-anak akan mau? Karena selama ini, ibunya yang merawat mereka sendiri," sela ibu mertua.

"Hanna sudah besar, Bu. Dia sudah masuk TK," jawabku.

"Lalu, bagaimana dengan Haikal? Dia bahkan masih minum ASI. Apakah kamu bisa menyusuinya?" kata Alya sinis sambil menatapku tajam.

"Aku ...." Kugantung kalimatku, karena aku tidak lagi menemukan kata yang tepat untuk menjawab ucapan Alya.

"Haikal akan ikut bersama kami nanti, karena dia butuh orang terdekat untuk menggantikan ibunya. Karena Haikal sangat dekat dengan Alya, untuk sementara dia akan tinggal bersama kami," kata mas Ilham menengahi.

Aku mendongak, mencoba menantang tatapan matanya.

"Apakah kamu merasa keberatan, Andra?" tanya mas Ilham lagi.

"Andra, ibu yakin ini adalah keputusan yang terbaik untuk anak-anakmu. Dan selama kamu belum mendapatkan pengasuh buat Hanna, ibu akan tinggal di sini untuk beberapa waktu," kata ibu mendukung keputusan keluarga Laila.

Jujur, untuk saat ini aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Jangankan untuk memutuskan mengasuh anak-anak, apa yang akan kulakukan pada mereka pun, aku belum tahu bagaimana.

"Baiklah, jika itu memang terbaik untuk anak-anak," kataku lirih.

Kulihat mereka menghela napas lega, namun berbeda denganku. Aku seperti anak ayam yang ditinggalkan induknya. Walau ada sisi lain di hatiku yang merasa sedih, karena akhirnya Laila meninggal, namun aku juga bahagia, karena impianku untuk bisa hidup bersama dengan Sania terwujud.

Meski masih ada sesuatu yang mengganjal di hati tentang kematian Laila, namun aku takut untuk bertanya pada mereka. Aku tidak ingin, mereka mengetahui kalau aku benar-benar seorang suami brengsek.

Perbincangan kami terhenti oleh tangis Haikal. Anak keduaku yang berumur satu tahun itu sepertinya terbangun dari tidurnya.

"Mama ... Mama ...." Panggil Haikal di antara Isaknya.

Kulihat ibu dan ibu mertua menunduk sambil menahan air mata, sementara Alya bergegas ke kamar dan menggendongnya keluar. Haikal masih menangis, memanggil nama Laila. Mungkin dia kangen dan ingin netek.

Kutatap anakku yang berada dalam gendongan Alya dengan nanar. Gadis belia itu dengan sabar menenangkan Haikal agar dia bersedia minum susu dari botol. Namun dia meronta walaupun akhirnya perlahan dia meminum susu tersebut dan kembali tenang.

Ada perasaan yang tiba-tiba meronta keluar dari dalam hati. Hingga tanpa kusadari, mataku menjadi buram dan panas. Dan tanpa bisa kutahan, aku menangis melihat Haikal yang memanggil nama ibunya.

***

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Isabella
namanya juga nulis kadang keliru wkwkwk
goodnovel comment avatar
Dede Pangry
perjalanan perlu 30 menit skrg hanya setengah jam..bknnya setengah jam n 30 menit itu smaa aj...hmmm.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status