Alya Sakit***Aku memutar tubuhku dan menjauh dari mereka dan memutuskan untuk pulang. Karena sudah ada Rio di sana dan aku yakin dia akan menjaga Alya. Selain itu, aku tidak ingin kehadiranku di sana akan menggangu momen kebersamaan antara Rio dan Alya.Setidaknya, akhirnya Rio bisa dekat dengan Alya, mungkin, inilah saat yang tepat bagi Rio agar dia bisa mengambil hati gadis itu.Aku masih duduk di belakang setir, sambil menimbang apakah akan langsung pulang ke rumah atau pergi ke suatu tempat untuk menenangkan pikiran.Kukeluarkan ponsel dari saku dan memutuskan untuk mengirim sebuah pesan pada Rio."Bro, titip Alya, ya? Setelah dari klinik, tolong antar dia pulang dan jangan mampir ke mana-mana." Tulisku.Aku tersenyum ketika membaca ulang pesan yang akan kukirimkan pada Rio. Aku yakin dia paham maksudku."Jangan khawatir, aku akan menjaga Alya dan memastikan dia pulang dengan selamat sampai di depan pintu rumah." Tulis Rio dalam pesan balasannya. Pesan Rio membuatku tersenyum le
Terkena Demam Berdarah****"Alya, Alya ... kamu bisa mendengarku?" tanyaku. Namun tidak ada respon dari Alya, dia diam sementara itu tubuhnya menggigil.Perlahan aku meletakkan punggung tangan ke dahinya dan begitu kaget. Suhu tubuhnya panas sekali, lalu aku membuka selimut yang membungkus tubuhnya, meraih tangannya, juga terasa panas."Suci, tolong kamu jaga Hanna di rumah. Aku akan membawa Alya ke rumah sakit. Jika ada apa-apa, segera hubungi aku," kataku.Suci mengangguk dan menggandeng tangan Hanna untuk keluar dari kamar Alya."Pa, Tante Alya kenapa?" Tanya Hanna, wajahnya terlihat sangat khawatir."Hanna di rumah sama Mbak Suci, ya? Papa akan membawa tante Alya berobat ke rumah sakit," kataku berusaha menenangkan Hanna.Segera kubopong tubuh Alya keluar dan membawanya ke dalam mobil. Terdengar Alya merintih pelan, mungkin dia merasa kesakitan namun tidak mampu berkata."Alya, jika terjadi sesuatu padamu, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri," gumamku sambil melajukan mobil.
Alya Pulang ke Rumahnya****“Cinta akan memberi cerita semasa kita hidup, dan akan menjadi kenangan setelah tiada”------Entah sudah berapa lama aku duduk di kursi yang ada di depan ruangan ini. Beberapa orang yang tadinya ada di sana, satu persatu telah pergi dan hanya menyisakan aku dan seorang pria separuh baya yang sedang menunggui istrinya di ruangan sebelah.Aku kembali menyandarkan punggung sambil merenung. Dari tadi aku hanya diam membuatku di dalam ruangan ber AC dengan pakaian seperti ini, membuatku merasa sedikit kedinginan. Aku berdiri untuk meregangkan otot dan bermaksud membeli minuman di kantin.Baru saja hendak melangkah, seseorang memanggilku dari arah samping dan suara itu aku begitu mengenalnya. Seketika aku menoleh, Rio berjalan cepat menghampiriku. Melihat wajah Rio yang tampak khawatir, justru membuatku merasa sangat geram. Entah kenapa, aku berpikir reaksi Rio itu sangat berlebihan."Andra ... bagaimana keadaan Alya?" tanyanya dengan gusar.Aku yang masih gera
Wanita Dewasa*** Perasaan campur aduk ketika Alya memintaku untuk ikut liburan bersama keluarganya akhir pekan nanti. Meski aku pernah pergi bersama keluarganya, namun aku yakin suasananya tidak akan sama seperti saat Laila masih ada, terlebih setelah rangkaian peristiwa yang telah terjadi di dalam keluarga kami. Akan tetapi, aku tidak bisa menolaknya begitu saja, karena ibu juga memintaku untuk membawa Hanna berlibur. Bukankah ini waktu yang tepat untuk membangun hubungan baik antara dua keluarga yang sempat renggang?"Baiklah, aku akan ikut bersama kalian dan tentu saja dengan Hanna juga pengasuhnya," jawabku setelah mempertimbangkannya secara matang.Dan dalam beberapa detik, balasan pesanku sudah dibaca oleh Alya. Setelah itu, tidak ada pesan lagi, padahal aku berharap dia akan membalas pesanku lagi.Kuhela napas dalam, lalu mengembuskannya pelan, bersama rasa kecewa karena dia tidak membalas pesanku lagi. Ah ... mungkin dia menghubungiku hanya ingin memberitahu hal itu saja, ja
Apakah Itu Aku?***"Mas Andra bareng mobilnya mas Ilham?" Tanyanya, seolah ingin memastikan kalau aku memilih satu mobil dengan mas Ilham."Iya," jawabku singkat. "Titip anak-anak,ya?" Aku kembali berkata sambil berusaha menghindari tatapan matanya."Iya, baiklah. Ada mbak Suci yang akan membantuku," ujar Alya kemudian.Setelah itu, Alya mengajak anak-anak masuk ke dalam mobil.Bapak dan ibu mertua sudah duduk di jok belakang, menungguku dan mas Ilham masuk. Rasanya sedikit aneh dan canggung berada dalam satu mobil dengan keluarga Laila. Meski pernah menjadi menantu mereka selama enam tahun, namun baru kali ini aku melakukan perjalanan bersama dan berada dalam satu mobil. Karena selama ini, jika ada kegiatan keluarga, mereka bersama mas Ilham sementara aku berada dalam satu mobil bersama Laila dan anak-anak. Namun kini, saat aku tidak lagi menjadi menantu mereka, aku justru berada satu mobil dengan mereka. Dan ini membuatku merasa begitu canggung dan tidak nyaman.Kami sudah cukup ja
Apakah Itu Aku? (2)***Ini gila, benar-benar gila!Ada apa dengan pikiranku? Kenapa aku justru membuat kesimpulan kalau lelaki yang dimaksud Alya adalah diriku. Ini konyol, dan aku harus membuang jauh-jauh pikiran gilaku itu.Akan tetapi, semakin aku mencoba untuk melupakan pikiranku semakin liar. "Oh, shit!" Umpatku.Aku mengacak rambut kasar dan bergegas bangkit dari tempat tidur. Aku harus melakukan sesuatu agar pikiran gila itu keluar dari dalam kepalaku.Alya memang pernah mengatakan padaku kalau dia membenciku, bahkan dia juga ingin membalas sakit hati karena perbuatanku terhadap Laila. Dia mengatakan padaku bukan hanya sekali, namun berkali-kali di setiap kesempatan dia selalu mengatakan hal itu. Jadi, ketika dia bilang kalau menyukai seseorang yang seharusnya dia benci, maka tidak salah jika aku berpikir kalau itu adalah aku. Tapi ... apakah aku adalah satu-satunya orang yang dibencinya?Aarrgghh!!!Kusambar jaket yang tergeletak di atas tempat tidur, bergegas aku keluar kam
Kemarahan Rio***Aku memandangi wajah putri kecilku dengan perasaan tidak menentu, haru dan sedih bercampur jadi satu. Sisa air mata masih menggenang di pelupuk matanya. Melihat hal itu, sungguh tidak mungkin jika aku harus menolak keinginannya."Tapi nanti di rumah nenek, ditemani mbak Suci saja, ya? Karena papa masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan," kataku kemudian.Hanna mengangguk cepat, tangan mungilnya mengusap sisa air matanya. Hingga menampakkan binar dari bola matanya dengan jelas."Iya, Hanna mau," jawabnya cepat sambil menganggukkan kepala."Ternyata Hanna di sini sama pak Pak Andra, saya sampai panik mencari ke mana-mana karena dia tidak ada di kamar." Suci datang sambil berkata di antara napasnya yang ngos-ngosan. Sepertinya dia baru saja mencari keberadaan Hanna."Ayo Hanna, sama mbak Suci dulu," ucap Suci sambil meminta agar Hanna turun dari gendonganku. Namun sepertinya Hanna enggan untuk turun dari gendonganku, dia bahkan makin merapatkan pelukannya."Hanna s
Sejak Kapan?****Aku masih terpaku di tempatku, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Bahkan masih logikaku pun, masih belum bisa mencerna seutuhnya.Untuk beberapa saat, kubiarkan pikiran melayang, hingga kurasakan tubuhku limbung, bahkan seandainya harus tersungkur, aku tidak peduli. Kutekan pelan dadaku yang tiba-tiba terasa nyeri, bukan karena merasa sakit hati atas ucapan Rio tadi. Bukan itu. Dan rasa nyeri itu semakin terasa ketika bersamaan dengan hadirnya bayang-bayang Laila yang seolah berlarian di depan pelupuk mata, disusul dengan sosok Alya yang mengejar dari belakang.Mereka berkejaran seperti ombak di pantai, datang silih berganti dan tidak ada habisnya.Aku memegang kepala yang berdenyut, apakah aku sudah gila?Setelah beberapa saat terombang-ambing dalam bayangan Laila dan Alya, aku kembali mendapatkan kesadaranku secara utuh. Rio sudah tidak lagi terlihat, mungkin dia pergi karena merasa marah sekaligus kecewa padaku.Tidak kuhiraukan tatapan dari or