Tidak Butuh Maafmu****Alya sedikit menjauh dariku begitu dia mendengar apa yang baru saja dikatakan Sania. Bahkan Alya yang tadi terlihat santai saat turun dari mobil, kini terlihat tegang. Dia terlihat sekali sedang menahan amarah, kedua tangannya terkepal.Melihat hal itu, aku merasa tidak enak hati dengan Alya. Karena akulah yang memintanya bahkan bisa dibilang sedikit memaksa untuk menemaniku ke sini."Sania, jangan seperti itu. Kedatangannya ke sini bermaksud baik, dia turut prihatin atas apa yang menimpamu," ucapku berusaha membuat Sania tenang.“Andra….” Seorang wanita paruh baya muncul dari dalam rumah dan berjalan mendekatiku.“Tante Muti,” ucapanku sambil tangannya bermaksud menyalaminya.Wanita paruh baya itu menyambut uluran tangan meski sedikit enggan."Bicaralah di dalam, jangan di luar seperti ini. Meskipun rumah kami tidak lagi sebagus dan semewah dulu, kami tetap ingin menghargai tamu yang datang," ucap Tante Muti sinis. Entah apa tujuannya berkata seperti itu, mung
Ketahuan ****Sania masih menunggu jawabanku, namun aku tidak ingin memberitahu padanya tentang status hubunganku dengan Alya. Aku tidak ingin emosinya semakin tidak stabil, terlebih di saat dia seperti itu. Entah terbuat dari apa sebenarnya hati dan perasaan wanita, sebaik apapun aku menyimpan rapi suatu perasaan, mereka selalu bisa mengetahuinya, termasuk Sania yang mencium hubungan spesialku dengan Alya."Aku akan membawamu masuk sekalian pamit dengan tante Muti," kataku sambil mendorong pelan kursi rodanya.Sania terlihat kecewa dan protes dengan jawaban yang kuberikan, namun aku harus melakukan itu semua demi kebaikannya. Setidaknya, sampai dia benar-benar siap untuk mengetahui semuanya. Karena, cepat atau lambat, dia juga harus tahu tentang hubunganku dengan Alya."Kenapa terburu-buru sekali Andra?" Tanya tante Muti saat aku pamit dengannya."Seringlah datang ke sini, Sania butuh seseorang yang bisa membuatnya kembali bersemangat untuk hidup," ucap tante Muti lagi ketika belia
Restu----Aku yang masih belum bisa mencerna seutuhnya pembahasan kami malam ini, berusaha tetap tenang meskipun jantung berdegup kencang terlebih ketika bu Ima mulai menyinggung tentang pernikahan, bahkan kurasakan punggungku mulai basah oleh keringat dingin.Aku mengalihkan pandangan mata dari Alya yang masih memandangku dengan tatapan cemas.Kutarik napas dalam sebelum aku mulai berbicara. Aku yakin saat ini Alya pasti merasakan hal yang sama sepertiku, tidak tahu harus berbuat apa.“Maksud Ibu, apa?” tanyaku memecah keheningan.Ibu terlihat menarik napas dalam sebelum beliau menjawab pertanyaanku.“Ibu sudah tahu semuanya, meskipun kalian mencoba menyembunyikan semuanya dari ibu,” ucapnya.“Maksud ibu … apa?!” tanya Alya dengan mata terbelalak, ada keterkejutan dari sorot matanya.Bu Ima tersenyum sambil memandang Alya dengan tatapan teduh.“Kamu itu anak ibu, tanpa bertanya pun, ibu sudah tahu apa yang sedang terjadi padamu. Ibu juga tahu kalau selama ini kamu diam-diam memendam
Atas Nama Persahabatan ----- "Maafkan aku, Sania," kataku lirih.Sania tidak menjawab, sejenak suasana menjadi hening dan terasa begitu kaku. Hal itu membuatku ingin mengakhiri percakapan kami. Namun belum sempat aku berkata, terdengar Sania memanggilku lirih.“Mas … kamu benar-benar ingin membantuku?" Tanya Sania lirih.“Iya Sania, tentu saja aku akan membantumu, seperti yang kukatakan padamu saat itu.” Aku berkata cepat.Kudengar Sania menarik napas dalam, aku bahkan bisa mendengar dengan jelas tarikan napasnya. Apakah dia senang dan bahagia saat ini karena saya bersedia membantunya? Entahlah.Setelah memberikan beberapa kalimat motivasi untuk Sania, saya mengakhiri telepon dan meletakkan kembali ponsel di atas meja. Kusandarkan punggung ke sofa, sementara pikiran mengembara entah ke mana. Hingga lamunanku buyar ketika ponselku kembali berbunyi. Sebuah pesan yang dikirim Alya.“Mas, apakah minggu ini kamu punya waktu? Saya ingin mengajak anak-anak keluar, sudah lama sekali saya ti
Memberi Harapan***“Sania!!” teriakku dan tante Muti bersamaan.Aku berlari ke arah Sania yang masih duduk di sudut kamar sambil menatap pergelangan tangannya dengan pandangan kosong. Tante Muti terisak di sebelahku sambil sesekali menggumamkan sesuatu yang tidak bisa kudengar dengan jelas.“Apa yang kamu coba lakukan, Sania? Ini bukanlah satu-satunya jalan untuk mengatasi masalah, namun justru akan membuatmu berada dalam masalah baru,” kataku sambil menyobek kain yang ada di sana lalu membalut pergelangan tangannya yang terluka. Sania tidak menjawab dan membiarkanku mengangkat tubuhnya yang ringkih ke atas tempat tidur.“Tante, saya minta air bersih dan juga obat atau apa saja yang bisa untuk menobati lukanya,” pintaku pada tante Muti.Wanita paruh baya itu bergegas keluar kamar, sementara itu, Sania masih diam. Entah apa yang dia pikirkan. “Kenapa kamu tidak membiarkan aku mati saja,” kata Sania lirih.“Apakah kamu pikir setelah mati, semua akan berakhir? Pernahkah kamu memikirkan
Rio Kembali***"Kemarin Mas ketemu Sani." Aku mengulang kalimatku.Aku mencoba menatap Alya, meski sepintas, bisa melihat keterkejutan dari sorot matanya saat mendengar aku menyebut nama Sania. Namun hal itu tidak berlangsung lama, wajah gadis yang duduk di depanku ini dengan cepat berubah tanpa ekspresi, bahkan datar."Oh, iya kah? Bagaimana keadaan Sania, apakah dia baik-baik saja?" Tanyanya dengan senyum yang mengembang di kedua sudut.Ah... Alya, kenapa kamu harus menyembunyikan perasaanku di depanku? Padahal, aku akan lebih senang jika kamu memarahiku atau memakiku secara langsung. Jika kamu terus menunjukkan sikap seperti ini padaku, hal itu malah membuatku semakin tidak bisa berkutik di depanmu."Dia...baik-baik saja Alya," kataku lirih. Meskipun sebenarnya aku ingin sekali menceritakan apa yang terjadi pada Sania kemarin, tapi urung. Ketika melihat reaksi Alya yang enggan membahas lebih lanjut tentang Sania."Alya, apa kamu benar bertemu dengan Rio kemarin?" Tanyaku pada Alya
Rahma***Sudah beberapa kali saya berputar dan berkeliling di tempat saya melihat Rahma tadi, namun keberadaannya tetap tidak terlihat.Dengan kesal, saya mengeluarkan ponsel dari dalam saku dan mencoba menghubungi nomornya. Akan tetapi, hal itu justru membuatku semakin merasa kesal, karena nomor ponsel Rahma tidak aktif."Siap, bisa-bisanya bocah itu mematikan ponselnya." Aku mengumpat, sebelum akhirnya memutuskan untuk pulang.Meski telah berusaha untuk membayar dengan tenang, namun tetap saja, bayangan wajah Rahma saat dia menoleh ke arahku begitu mengganggu. Aku yakin, dia sedang tidak baik-baik saja. Memperbaiki aku menelepon ibu, untuk memastikan keadaannya."Halo Bu... apakah Rahma ada di rumah?" Tanyaku pada ibu, begitu sambungan telepon terhubung."Rahma, kamu ingin berbicara dengannya?" Tanya ibu balik.Ah, kenapa tidak langsung menjawab pertanyaanku saja, sih? "Bu, apakah Rahma saat ini ada di rumah?" Aku mengulang pertanyaan, namun kali ini dengan nada yang lebih lembut
Rahma Pergi Dari Rumah****Ada rasa sesal ketika mengingat apa yang terjadi, terlebih ketika mengetahui kalau Rahma ternyata kabur dari rumah selama satu minggu. Sementara aku tadi tanpa sengaja melihat keberadaannya bersama dengan seoran pria yang tidak kukenal. Hal itu benar-benar membuatku kesal, terlebih kedua orang tuaku menutupi semua itu dariku.“Siapa laki-laki itu, Bu?” tanyaku kemudian .Kuhela napas panjang untuk melegakan dadaku yang terasa begitu sesak.“Katakan saja, Bu. Tidak ada manfaatnya menyembunyikan dari Andra,” bapak menimpali.“Apakah Bapak dan Ibu tetap akan merahasiakan semua yang terjadi di rumah ini seandainya Andra tidak datang ke sini?” tanyaku lagi.“Ibu tidak bermaksud untuk menyembunyikan darimu, Ndra. Ibu hanya tidak ingin menambah beban pikiranmu, terlebih saat ini kamu ….”“Selama ini ibu anggap Andra ini apa? Jangan membuatku semakin terlihat menyedihkan dan tidak berguna, Bu. Sampai-sampai untuk menjaga adikku saja tidak bisa.” Aku berkata dengan