Rumah ini begitu besar, apalagi saat aku sedang sendirian. Tapi kali ini, begitu kakiku menginjak lantai ruang tamu, langkah kaki kecil yang berlari diiringi tawa riang Revan, kehangatan langsung menjalar sampai ke dalam hati.“Papa!” teriak Revan kegirangan begitu melihat Kak Rafael, lalu tertawa riang saat Rafael membungkuk dan mengangkat tubuh mungil itu ke pelukannya.“Lihat, Papa bawain mainan baru buat Revan,” kata Rafael sambil memperlihatkan kotak mobil remot yang baru saja dibelinya. Revan berdecak kagum, bibirnya melengkungkan senyum, matanya berbinar, dan mulai tidak sabar ingin memainkannya."Kita buka sama-sama, ya," ajak Kak Rafael. Membawa tubuh Revan duduk di atas sofa.Kak Rafael membuka kemasan dengan telaten, memasang baterai, dan mencoba menggerakkannya di atas meja."Nah, sudah siap!"Kak Rafael mengarahkan mobil itu meluncur ke arah Revan saat kaki kecilnya menuruni sofa. Revan pun langsung mengejar dengan tawa riang. Suara kecil mobil menyusuri lantai teras yang
Aku membuka pintu kamar itu perlahan. Engselnya masih mengeluarkan bunyi lirih yang sama seperti dulu, seolah menyambutku kembali… atau memperingatkanku. Langkahku masuk terasa berat, seakan udara di ruangan itu lebih padat dari biasanya. Cahaya sore yang masuk melalui sela tirai membentuk bayangan lembut di dinding, membungkus kamar ini dengan keheningan yang tak asing. Kamar ini… dulunya penuh dengan tawa, bisik-bisik kecil di malam hari, dan pelukan hangat setelah hari panjang yang melelahkan. Kupandangi sekeliling. Tak ada lagi foto kami di dinding. Tak ada baju miliknya di lemari. Selimut yang dulu jadi rebutan pun sudah diganti. Sesuai permintaanku setelah rumah ini diambil alih oleh Kak Ravin. Tapi tetap saja, semuanya masih terasa ada. Aroma samar parfumnya, jejak-jejak keberadaannya yang entah tertinggal di mana. Seperti debu kenangan yang menempel di sudut-sudut ruangan dan tak bisa disapu begitu saja. Aku duduk di tepi ranjang. Ranjang yang pernah jadi saksi perdebatan
Aku mengerjap pelan. Tatapanku terfokus pada Mas Evan. Dengan sisa-sisa kegugupan dan debaran jantung yang belum kembali normal, aku menjawab, "I-iya... dia... dia adalah putraku."Seketika ada perasaan lega setelah jawaban itu keluar begitu saja tanpa membawa nama Kak Rafael di dalamnya. Ada senyum tipis dan kilatan kebahagiaan dari sorot matanya yang mulai beralih fokus menatap Revan. Entah sadar atau tidak, kakinya mulai melangkah maju. Tangannya terangkat, seolah hendak menyentuh. Detak jantungku yang belum sepenuhnya tenang, kini kembali cepat dan membuat tubuhku terasa panas. Bimbang kembali datang, antara menahan atau membiarkannya menyentuh Revan."Apa yang ingin kamu lakukan, Mas?" tanyaku cepat. Menarik mundur langkahku sebelum Revan berhasil disentuh.Aku cukup terkejut dengan tindakanku sendiri. Namun, entah apa yang sebenarnya aku takutkan, aku benar-benar tak tahuTak hanya aku, tapi Mas Evan pun cukup terkejut. Sampai-sampai dia memandangi tangannya sendiri dengan tat
Senyum bahagia mengembang di bibir Mas Evan. Seolah ada perasaan lega karena dia berhasil menemukan tempat tinggalku yang sekarang. Sementara aku masih memasang wajah syok melihat Mas Evan sudah berdiri di depan apartemenku. Namun, cepat-cepat aku mengubah ekspresi wajahku menjadi datar dan dingin. Bahkan tatapan sinis kulayangkan padanya saat ini."Ada apa? Bagaimana kamu bisa ada di sini?" tanyaku dingin."Senang rasanya bisa mengetahui lagi tempat tinggal kamu, Dinara," jawabnya masih dengan senyum tipis yang mengembang di bibirnya."Tidak usah basa-basi, Mas. Dari mana kamu tahu tempat tinggalku ini?" desakku agar Mas Evan jujur dan tidak banyak membuang waktu.Mas Evan terdiam sejenak. Dia menunduk, seolah ragu untuk mengucapkan sesuatu yang mungkin membuatku semakin kecewa padanya. Tapi akhirnya dia menarik napas dalam dan berkata, "Aku... sempat memasang GPS di mobil kamu."Aku membelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar."Kamu... kamu pasang GPS diam-diam di m
Benar seperti dugaanku. Suara itu ternyata adalah pasangan suami istri yang memuakkan, Mas Evan dan Vania.Jujur aku tak habis pikir dengan apa yang ingin dilakukan Vania di perusahaan ini. Dia terus saja mengusik kehidupanku yang bahkan sudah lepas dari Mas Evan. Entah ada dendam tersembunyi apa hingga dia tak pernah puas setelah mendapatkan apa yang diinginkannya."Lalu mau kamu sekarang apa? Apa kamu mau aku resign dari tempat ini dan mencari pekerjaan di tempat lain? Memangnya kamu pikir cari kerja itu gampang?""Kalau kamu serius berusaha, aku yakin kamu mudah diterima kerja di perusahaan manapun kok, Mas. Apalagi dengan pengalaman kerja kamu jadi CEO itu," jawab Vania yang seolah berusaha menghasut Mas Evan."Mudah? Setelah kedekatan hubungan kita mencuat ke permukaan, dan setelah Dinara kembali ke perusahaan, kamu pikir perusahaan lain mau menerimaku tanpa petimbangan? Astaga, Vania! Memangnya apa salahnya, sih, kalau aku tetap bekerja di sini? Jadi kepala HRD juga bukan hal ya
Meski ada raut kesedihan di wajahnya, tapi Selina berusaha menutupinya dengan senyum. Tipis tapi masih cukup untuk membuatnya terlihat baik-baik saja. Langkahnya mendekat lalu menyerahkan sebuah dokumen padaku."Kalau Pak Ravin sudah bersama wanita lain, ya itu artinya dia memang bukan jodoh saya, Bu Dinara," jawabnya.Setelah menandatangani dokumen, aku tak langsung mengembalikannya pada Selina. Kupeluk dokumen itu sambil menatap intens ke wajahnya."Sel, jujur sama aku. Sebenarnya kamu ada perasaan ke kakakku atau tidak? Apa benar kamu menolaknya hanya karena kamu berasal dari keluarga yang sederhana?" tanyaku langsung pada intinya.Selina terdiam. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, seperti menahan gemetar yang tak terlihat. Sementara tatapannya mengarah pada dokumen yang kupegang, tapi terlihat jelas jika pikirannya sedang berperang."Saya... saya takut, Bu Dinara. Saya merasa tidak pantas untuk bersanding dengan Pak Ravin," jawabnya sambil menunduk."Tapi kamu menyukainya, 'k