Aku pikir, semua sudah selesai. Begitu matahari terbit dan burung peliharaan Tante Elin berkicauan, aku bisa memulai hidup baru tanpa bayang-bayang Bang Ayas. Cukup semalaman aku menangis untuk sebuah kehilangan yang tak pernah nyata kugenggam. Namun, ternyata dugaanku salah. Pagi ini, aku menemukan laki-laki itu sudah duduk di lobi. Penghuni kos-kosan pasti sampai bosan dengan kehadiran Bang Ayas. Mereka pasti hafal betul laki-laki itu akan duduk di kursi yang menghadap ke tangga, menunggu di sana. Sebagian penghuni kos-kosan akan cuek. Entah karena tidak mau ikut campur atau karena malas berkomentar. Sebagian lagi turut membujuk agar aku menemui Bang Ayas. "Kasian banget tau mukanya.""Cowok kalo sampe segitunya berarti emang cinta, Va.""Ngobrol aja dulu. Berdua.""Kalian tuh cuma gengsi aja sih sebenernya. Iya, kan?""Percaya deh, Va. Nggak banyak cowok yang kayak pacar kamu itu.""Kasian. Mana ganteng lagi."Sepertinya keputusanku untuk masuk ke dapur adalah salah kaprah. Teli
Aku menatap nanar ke layar ponsel. Lama, tapi tak ada yang berubah. Tampilannya tetap sama. Angka yang tertera tidak bertambah sedigit pun, membuat dadaku sesak dan kepala pusing tujuh keliling. Saldo rekeningku ludes, padahal baru tanggal lima belas. Aku menarik napas panjang, lalu meletakkan ponsel ke meja. Aku menopang dagu sambil berpikir bagaimana caranya bertahan hidup sampai tanggal satu dengan saldo empat puluh tiga ribu yang tidak bisa ditarik? Asli. Selama tinggal di Jakarta dan jauh dari orang tua, baru sekarang aku merasa sangat-sangat fakir. Biasanya, sebokek-bokeknya aku, setidaknya ada lima ratus ribu uang yang mengendap di rekening. Itu pun biasanya aku sudah ketar-ketir, ngirit level akut. Semua ini gara-gara kenal manusia bernama Ayas. Iya. Demi mempertahankan harga diriku di depan keluarga laki-laki itu, uang sepuluh juta yang kutabung selama lebih dari setahun, harus raib dari angan-angan. Dan uang seratus ribu yang kulempar ke wajah bajingan itu adalah penghun
Aku jadi yakin kalau Tio sakti mandraguna. Buktinya, Bang Ayas benar-benar berhenti mengganggu. Entah apa yang dia katakan, tapi selama dua hari belakangan ini, Bang Ayas sama sekali tidak muncul dalam jangkauan mataku. Seharusnya aku senang, kan? Seharusnya aku berterima kasih kepada Tio atas bantuannya itu. Namun, ternyata ada kehampaan yang merayap dalam dada, menikam waktu yang kini hanya terlewat dalam bisu. Ada yang menyayat-nyayat hatiku saat turun ke lobi dan mendapatinya kosong melompong tanpa ada sosok Bang Ayas yang biasanya duduk menunggu sembari menatap ke arah tangga. Tidak ada lagi panggilan darinya yang kemarin-kemarin sangat memuakkan, tapi sekarang rasanya ingin sekali lagi kudengar. Aku tahu. Ini salah. Merindukan orang yang jelas-jelas merendahkan diriku adalah suatu kebodohan. Dan aku berjanji akan segera menyudahi perasaan ini. Aku janji. Aku akan melupakannya. Sejauh ini, aku belum bisa menjumpai Acha. Sejak kemarin lalu, nomornya tidak pernah terlihat onli
Aku masih menggulir layar, mencari tahu harga jam tangan yang sama persis seperti dengan pemberian Tante Fatma. Seperti dugaanku, harganya cukup membuat sesak napas. Terlalu mahal untuk diberikan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak memiliki hubungan dekat. Aku menimbang-nimbang, sempat ingin mengembalikan, tapi mengingat Tante Fatma berkata akan sangat bahagia kalau aku selalu mengenakannya, aku jadi mengurungkan niat itu. Bagiku ini barang mewah, tapi di mata Tante Fatma mungkin ini sama murahnya dengan jam tangan dua puluh lima ribuan di pasar malam. Aku memandangi jam tangan berwarna rose gold ini. Cantik memang, terlihat simpel dan elegan. Sayangnya, benda ini diberikan di saat semuanya sudah hancur berantakan, baik hubunganku dengan Bang Ayas, maupun Acha. "Bagus. Baru, Va?" tanya Tante Elin. Terlalu larut dalam lamunan membuat aku tidak menyadari kehadirannya di dapur. Aku mengangguk. Namun, sesaat kemudian ingat kalau aku sedang kesusahan dalam hal finansial. Jadi, aka
Asli sih, ini parah banget. Sumpah. Bisa-bisanya aku ngaku-ngaku kalau Bang Ayas adalah calon suamiku! Entah kenapa hanya nama itu yang ada di kepalaku saat ingin menyombongkan diri di depan Agam. Padahal tanpa menyebutkan embel-emel 'abangnya Acha' pun Agam pasti tidak akan bertanya dengan detail siapa calon suamiku. Efek potong rambut sepertinya membuat pemikiranku jadi ikut pendek. Sumpah. Nyesel. Mana aku ngomong kayak pakai toa lagi. Benar-benar lepas kontrol! Semoga ya, semoga Tio tidak mendengar pengakuan konyolku itu. Dia pasti akan meledekku habis-habisan karena menganggap aku belum move on. Sampai di kos-kosan, aku masih terus memikirkan hal itu. Bagaimana kalau tadi ada yang iseng merekam, lalu menyebarkan video itu dan sampai ke tangan Bang Ayas? Oh, tidak! Aku meninju bantal, menggigit, dan menenggelamkan wajah. Berharap dengan begitu, semua kekesalanku berkurang. Saat sedang uring-uringan, tiba-tiba ponsel bergetar. Ya Allah. Tio! Bagaimana, dong? Tolong. Siapa
"Kok Ibu nggak bilang?" Aku mencoba memelankan suara meski tetap terdengar ngegas juga. Bagaimana tidak, bisa-bisanya Ibu tidak bilang kalau Bang Ayas datang bersama kedua orang tuanya. Acara lamaran yang seharusnya mengundang keluarga besar, memang dibatalkan. Tidak ada acara seserahan sebagaimana mestinya karena kedatangan Bang Ayas, Tante Fatma, dan Om Adnan sejatinya adalah untuk meminta maaf atas perbuatan Bang Ayas kepadaku. Kata Ibu, Bang Ayas mengakui semua kesalahannya. Dia memohon agar dimaafkan dan tetap diizinkan menjalin hubungan denganku. "Bu ….""Ibu tetap menyerahkan semua keputusan ke kamu kok, Va. Memangnya Ibu salah menyambut tamu dengan baik?"Ya, tidak salah. Tapi kan Bang Ayas jadi kegeeran! Level kepercayaan dirinya meningkat berkali-kali lipat. Sebenarnya yang membuat aku kesal bukan tentang esensipertemuan itu, melainkan kenapa tidak bilang terus terang kalau mereka datang? "Ibu tidak membenarkan apa yang Ayas lalukan sama kamu. Tapi, Ibu juga tidak berh
Jumlah uang dalam amplop cokelat ini masih sama seperti ketika aku memberikannya kepada Bang Ayas. Sepuluh juta. Tidak kurang, dan tidak lebih. Bahkan kertas pengikatnya masih dari bank yang sama, artinya Bang Ayas tidak membuka uang itu, apalagi memakainya. Uang ini dikembalikan Bang Ayas sebagai tanda setuju atas hubungan kami yang beristirahat—kalau memang tak mau dikatakan berakhir. "Pantang bagiku menerima uang dari cewek." Begitu katanya ketika aku menolak. Ya, wajar. Ini hanya sepuluh juta. Sangat kecil bagi Bang Ayas. Sedangkan tabungannya yang ratusan juta dihabiskan Diandra saja tidak diminta kembali. Dan sekarang, sepuluh juta ini berada di tanganku. Entah akan kugunakan untuk apa, karena rasanya terlalu sayang jika dihambur-hamburkan. Aku mengambil dua juta, lalu menyimpan sisanya. Sembari menenteng kebab yang kubeli via GoFood, aku berjalan menuju kediaman Tante Elin. Anak laki-laki Tante Elin yang berusia lima tahun jingkrak-jingkrak begitu tahu aku membawakannya k
"Ngerti sekarang?" Ingin kucakar wajah Bang Ezra karena tingkahnya yang pongah itu. Namun, tentu saja yang kulakukan saat ini hanyalah mengangguk setelah semua informasi yang dia berikan, tanpa terkecuali.Aku seperti baru saja ditampar sebuah kenyataan bahwa selama ini aku terlalu larut dalam kabut tebal, bergelung, tanpa pernah mencari jalan keluar yang sesungguhnya. Betapa aku mudah percaya dengan berita di luaran sana bahwa Bang Ayas menganiaya Agam lebih dulu. Padahal kenyataannya, semua itu dilakukan untuk membela diri. Hari itu, Bang Ayas diminta datang ke kampus oleh Agam yang mengatakan sedang bersamaku. Tidak salah. Bang Ayas memang sempat melihat aku bersama Agam. Dari kejauhan dia menyaksikan ketika aku berselisih dan menampar Agam. Awalnya, Bang Ayas berusaha abai. Namun, setelah aku pergi, Agam kembali mengirim pesan bahwa dia akan membuat perhitungan denganku karena sudah berani menamparnya di tempat umum. Bang Ayas meradang. Tanpa pikir panjang, dia mencegat Agam