Semenjak video call sialan itu, aku berusaha lebih keras untuk tidak berinteraksi dengan manusia bernama Ayas. Jangankan mampir ke rumah, jalan bersama Acha ke parkiran kalau pulang kuliah pun aku tidak mau. Untuk jaga-jaga, aku selalu pulang lebih lambat dari gadis itu.
Tentu saja Acha tidak tahu perihal apa yang terjadi seminggu lalu. Sebelum dia bangun, aku lebih dulu menghapus riwayat panggilan dan chat kurang ajar dari Bang Ayas. Kalau Acha sampai tahu, mau ditaruh di mana mukaku ini? Hari ini, sebelum pulang, aku memutuskan untuk pergi ke kantin terlebih dahulu. Aku berjalan sendirian, melintasi meja-meja yang hampir keseluruhannya terisi penuh. Maklum, ini adalah kantin lintas jurusan yang bisa dipastikan selalu ramai. Jadi, butuh effort yang lumayan untuk menemukan meja kosong. Biasanya sih aku tidak perlu susah payah karena pasti ada saja yang menawari bergabung, terutama kaum Adam. Bukan sok artis, tapi aku pernah bilang kan kalau aku cukup populer di kampus? Oke. Kembali ke persoalan meja. Entah kenapa hari ini tidak ada yang menawariku untuk bergabung. Padahal kalaupun ditawari pun aku tidak serta merta bergabung. Gengsi, dong biar tidak terkesan murahan.Dari ekor mata, aku bisa menangkap beberapa mahasiswa melirik, tapi buru-buru menunduk. Wahai kaum Adam, apa kalian telah sadar bahwa itu adalah zina mata dan kalian langsung tobat? Wah kalau benar begitu, ini sih namanya kemajuan! Sembari membawa es boba, aku masih celingukan mencari meja kosong. Dan pada akhirnya aku menemukannya di pojokan. Untuk mencapai ke sana, aku perlu melintasi tiga meja yang berisi gerombolan anak-anak teknik. Sebenarnya ada kantin yang lebih dekat dengan fakultas teknik, tapi entah kenapa mereka malah jauh-jauh kemari. Kalau dari rumor yang beredar sih, di sini muara para buaya mencari mangsa. Seperti … Galih. Iya. Galih. Aku melihat pemuda itu duduk di antara teman-temannya yang sedang asyik main kartu. Tiba-tiba dia mendongak setelah disikut oleh temannya. Tatapan kami sempat berserobok sekian detik sebelum akhirnya dia memalingkan wajah dan buru-buru pergi, lalu diikuti oleh yang lainnya. Galih berjalan tergesa-gesa seperti baru melihat setan. Padahal lebam di wajahnya sepenuhnya sudah hilang. Jadi kenapa dia sebegitu takutnya bertemu denganku? Aku berusaha mengenyahkan rasa penasaran itu. Mungkin saja waktu itu Galih hanya taruhan dengan temannya karena selama ini aku sering menolak mereka. Setelah berhasil membuat aku menyanggupi ajakannya, Galih membatalkan seenak udelnya sendiri. Huh! Dia pikir, dia paling ganteng? Jujur walaupun tidak ada rasa suka di dalam hatiku untuk Galih, tapi dipermainkan seperti ini cukup membuat aku merasa dilecehkan. Terlebih ketika dia membuang muka, seolah aku adalah makhluk menjijikan yang tak pantas untuk dipandang. Setelah duduk di meja paling pojok, aku mengeluarkan laptop dan memeriksa tugas yang harus dikumpulkan besok siang. Sebenarnya sudah selesai, tapi aku ingin memastikan kalau tidak ada yang terlewat agar mendapatkan nilai terbaik. Aku sibuk memindai layar laptop. Sesekali menyesap es boba. Ingar bingar dari para pengunjung kantin sama sekali tidak mengganggu aktivitasku. Toh aku memang tidak sedang membutuhkan konsentrasi tinggi sehingga memilih kantin yang notabene bukan tempat khusus untuk belajar. Semua orang bebas melakukan apa pun di sini. Jangankan tertawa, makan sambil kayang pun sangat diperbolehkan asal piring dan gelas tidak berantakan. Beberapa orang yang hilir mudik pun tidak membuatku mengalihkan pandangan dari layar laptop. Namun, begitu kursi di depanku berderit karena ditarik seseorang, aku mendongak. Aku melongo. Masih belum percaya kalau manusia yang barusan duduk di depanku adalah Bang Ayas. Tampangnya yang sedatar papan triplek membuat aku kesulitan menelan boba, dan hampir tersedak. Bisa-bisanya makhluk astral itu menemukan aku di sini. Mau apa coba? Cari jodoh? Memangnya siapa yang mau sama om-om jelek seperti dia? Aku menoleh ke kanan kiri, berharap tidak ada yang melihat aku dihampiri oleh Bang Ayas. Bisa-bisa, orang akan mengira kalau aku terlambat membayar cicilan motor dan didatangi debt collector. Sayangnya, beberapa mahasiswi justru menoleh ke meja yang aku tempati. Mereka berbisik dan senyum-senyum, tampak senang sekali seperti melihat ondel-ondel. "Mana Acha?" "Acha?" tanyaku sembari menatapnya, tapi buru-buru memutus kontak mata. Takut belekan kalau memandangnya terlalu lama. "Saya mencari Acha," kata Bang Ayas dengan pelan. "Bukan kamu.""Dih." Aku mencibir, lalu meraih es boba dan menyesapnya untuk mengurai rasa gugup. Bukan gugup, sih, tapi biar tidak terlalu pahit karena Bang Ayas seperti bratawali. Aku yang sedang menatap layar laptop sambil menggigit sedotan, sedikit berjengkit ketika Bang Ayas mengetuk meja menggunakan jarinya. "Acha mana?" Dia bertanya lagi setelah sekian menit aku abaikan. "Pergi ke toko buku," jawabku cepat-cepat dengan harapan Bang Ayas segera minggat. Terserah dia akan mencari ke toko buku mana asal enyah dari hadapanku. "Sama siapa?""Sama Tyas. Iya Tyas." Entah kenapa aku malah melontarkan nama Tyas yang notabene adalah teman kos-kosanku, bukan teman Acha. Bang Ayas mengedikkan dagu, lalu berkata, "Telefon sekarang. Tanya mereka di mana."Kedua tanganku sekarang saling bertautan di bawah meja. Aku berpikir keras untuk menolak perintahnya itu. Aku menggigit bibir sembari terus berpikir. "Mmm …." Aku nyengir. "Hape aku lowbat."Di luar dugaanku, Bang Ayas mengetuk dua kali layar ponselku yang berada di meja. Detik itu juga layar ponselku menyala dan menampilkan wallpaper fotoku sendiri. "Lowbat?" Bang Ayas tersenyum sinis. Kemudian di mengedarkan pandangan ke sekitar, sebelum akhirnya kedua matanya berhenti untuk menatapku. "Tadi Acha bilang dia pergi sama kamu. Terus, di mana dia sekarang?" Ya ampun, Acha … kalau mau bohong harusnya briefing dulu! Sumpah, selama bertahun-tahun berteman dengan Acha, baru kali ini aku dicecar oleh keluarganya. Biasanya, Tante Fatma hanya menelpon untuk menanyakan keberadaan Acha. Beliau akan langsung percaya dengan apa yang aku ucapkan meski sebenarnya adalah dusta demi menutupi kesalahan Acha. Acha memang sering menjadikan aku alasan ketika hendak berpacaran. Orang tuanya menganggap aku sebagai anak baik-baik sehingga mereka percaya bahwa Acha tidak akan macam-macam jika denganku. Dan biasanya, orang tua Acha baru akan menelepon jika menjelang malam Acha belum pulang, bukan siang bolong seperti sekarang ini. Aku tahu, sebagai anak perempuan satu-satunya, Acha sangat dimanja dan dijaga oleh orang tua dan kakak-kakaknya. Tapi, dia kan sudah besar, bisa menjaga diri sendiri. Dia bukan anak TK yang langsung dicari jika pukul tiga sore belum pulang ke rumah. "Acha punya pacar?" Pertanyaan Bang Ayas membuat aku refleks mengatupkan bibir rapat-rapat. Aku sudah berjanji kepada Acha untuk tidak memberitahu keluarganya bahwa dia mempunyai kekasih. "Siapa namanya?" tanya Bang Ayas seperti wartawan. Aku menggeleng sembari menunduk. Daripada beradu tatap dengan Bang Ayas dan ketahuan bohong, lebih baik aku menekuri keyboard laptop. "Nggak mau jujur sama saya?" "Saya nggak tau," jawabku dengan lirih. "Bohong."Seperti kebanyakan cewek lainnya, aku pun mengeluarkan jurus andalan. Sembari mematikan laptop, aku berujar, "Terserah mau percaya apa enggak.""Kalau nggak bohong, kenapa nggak berani lihatin mata saya?" Bang Ayas terkekeh singkat. "Takut terpesona?"Acha, ya Allah. Kakak kamu mengidap narsistik, ya? Kasihan sekali. Saking enggak lakunya, dia sampai berhalusinasi kalau tampangnya ganteng. Padahal aku tidak mau menatapnya karena takut kesurupan. Tidak lucu kan kalau aku tiba-tiba ngereog di sini? "Lihat sini kalau berani," titahnya lagi. Malas-malasan, aku pun akhirnya mendongak dan menatap kedua bola mata yang teduh itu. Memang tidak ada senyum yang menghiasi wajah Bang Ayas, tapi entah kenapa … stop, Resva! Jangan diteruskan. Takut terhipnotis dan uang jajan yang ditransfer Ibu tadi siang dikuras Bang Ayas sampai habis. "Bohong, kan?" Untuk kesekian kalinya Bang Ayas menuduh setelah aku kembali menunduk. "Jujur saja sama saya. Nanti saya belikan Burger King. Kebetulan ada promo."Sebentar. Ya Allah, Acha, aku boleh nangis nggak, sih? Kenapa begitu berat hidup hamba, ya Allah. Kenapa hamba dipertemukan dengan manusia seperti Bang Ayas? Pantas saja dia tidak laku-laku, pelitnya kebangetan! Masa iya mau traktir orang hanya karena ada diskonan?! "Gimana?" Mungkin dia pikir tawaran itu menarik dan bisa membuat aku berubah pikiran. Aku mengemasi laptop ke dalam tas. "Maaf ya, Bang. Harga diriku nggak sebatas promo Burger King!" Setelahnya, aku mencangklong tas dan bangkit. Namun, belum sempat melangkah pergi, Bang Ayas mengatakan sesuatu yang membuat aku mendadak terpaku. "Kamu pilih jujur, atau pilih jadi istri saya?"***Bab. 6Perempuan bodoh mana yang mau sama bujang lapuk seperti Bang Ayas? Aku yakin sepuluh dari sepuluh wanita yang ditawari pun akan serempak menolak jika ditawari untuk menjadi istri Bang Ayas. Dan aku adalah orang yang tentu saja menolak paling keras tanpa berpikir dua kali, walaupun pada akhirnya Acha ngambek tiga hari tiga malam karena rahasianya kubongkar. Ya, bagaimana, daripada aku harus menjadi istri Bang Ayas. Akibat dari kejujuranku, Acha dimarahi habis-habisan oleh Bang Ayas. Gadis itu dilarang membawa mobil sendiri ke kampus dan ke mana-mana harus diantar. Penjagaannya lebih ketat ketimbang tahanan korupsi kasus proyek E-KTP. Aku sudah meminta maaf ribuan kali, tapi Acha belum juga mau bicara. Dia masih diam seribu bahasa walaupun kami bersama selama di kampus. "Sumpah, Cha. Bang Ayas pinter banget jebaknya biar aku jujur." Entah tampangku seperti apa di depan Acha. Mungkin mirip dengan emak-emak yang membujuk anaknya untuk makan siang. "Cha …." Aku mengguncang bahu
Bab 7Tolong jangan membayangkan akan ada adegan romantis atau apa pun itu yang membuat kesan bahwa aku dan Bang Ayas sudah akur. Tidak. Suara lembutnya adalah awal dari perseteruan kami yang berujung pada saling menyalahkan satu sama lain. Sudah tahu aku ini pemula dan sedang belajar menyetir, eh Bang Ayas malah mengganggu konsentrasiku. "Bukan begitu. Yang benar begini." Sebenarnya tidak apa-apa kalau hanya berkata demikian, tapi tolong itu tangan dikondisikan! Tidak perlu pegang-pegang tanganku! Memang ya, laki-laki itu makhluk yang membahayakan. Ada kesempatan sedikit saja langsung beraksi. Pegang tangan, pundak, dan …. "Dipangku aja apa gimana?"Kontan saja aku melotot. Mana ada sih orang latihan mobil dipangku? Dikira aku ini anak kecil? Kukira kalem. Ternyata mesum! Bang Ayas menghela napas. "Jangan kaku, jadi nggak gugup injek gas atau remnya.""Bodo, ah!" Karena pada dasarnya keinginan untuk bisa mengemudi sudah hilang, maka aku sama sekali tidak antusias. Kalau bukan
Bab 8Sekarang giliran aku yang ngambek kepada Acha. Pokoknya aku kapok membantunya jika harus mengalihkan perhatian Bang Ayas. Pria itu terlalu buas untuk dijinakkan. Sayangnya, begitu aku cerita kalau Bang Ayas membawa aku masuk ke KUA, Acha malah tergelak. "Jangan baper, Va. Bang Ayas emang bercandanya suka kelewatan."Aku menghela napas. Kalau memang kemarin hanya bercanda, sumpah itu tidak lucu sama sekali. Coba kalian bayangkan, bagaimana malunya aku saat diseret ke KUA, dipegangi erat-erat, dan diakui sebagai calon istri. Tidak hanya itu, Bang Ayas juga menanyakan persyaratan apa saja jika hendak menikah dengan perempuan yang berasal dari luar daerah. Dengan seksama lelaki itu menyimak penjelasan petugas KUA, sama sekali tidak menghiraukan aku yang menginjak kakinya berkali-kali. Itu yang dinamakan bercanda? Atau Bang Ayas sedang menguji apakah aku baper atau tidak diperlakukan seperti itu? Mohon maaf. Aku tidak baper. Kalau jengkel setengah mati sih, iya. "Tenang aja, Va.
Bab 9Kehangatan di ruang makan seketika lenyap tepat setelah Bang Ayas memujiku di depan keluarga dan perempuan yang dijodohkan dengannya. Aku yang tak menduga akan dipuji oleh Bang Ayas, rasa-rasanya ingin sekali menghilang, tenggelam ke dasar bumi dan tak pernah muncul lagi. Denting sendok yang dihempaskan ke piring membuat aku menggigit bibir kuat-kuat. Tante Windi menatapku lebih tajam dari siapa pun. Sorot matanya berkilat-kilat seakan hendak mengulitiku hidup-hidup. Aku menahan napas ketika perempuan itu berdiri dan meninggalkan meja makan tanpa permisi. Kemudian, diikuti oleh Clarisa dan kedua orang tuanya yang sempat berpamitan dengan terburu-buru. Sepeninggal tamu-tamu itu, aku masih belum berani untuk mendongak. Kedua tanganku yang sedingin es kini hanya bisa saling bertaut di bawah meja. "Ayas." Baru kali ini aku mendengar suara Tante Fatma jauh dari kata lembut dan ramah. "Iya, Ma?"Sahutan itu sama sekali tidak mencerminkan rasa bersalah dari seseorang yang telah m
Lemas, mual, menggigil, sakit kepala, dan berhalusinasi adalah beberapa gejala dari penyakit rabies. Sialnya, sekarang aku merasakan itu semua setelah digigit Bang Ayas. Aku curiga, di kehidupan sebelumnya, Bang Ayas adalah seekor anjing gila. Buktinya aku langsung demam begitu diantar dia pulang malam itu. Entahlah. Ini efek digigit Bang Ayas atau efek diajak memutari Kota Jakarta hingga pagi buta. Iya. Laki-laki itu tidak langsung mengantar aku pulang, melainkan jalan tanpa tujuan. Tolong kalian jangan membayangkan kalau aku dan Bang Ayas menghabiskan perjalanan dengan gelak tawa atau minimal senyum malu-malu. Tidak. Kami justru saling membisu dan duduk dengan kaku. Ketika aku protes untuk segera diantar ke kos-kosan, dia hanya bergumam tak jelas. Gara-gara kejadian itu pula, aku sampai diinterogasi satpam kos-kosan. Bang Ayas yang pada akhirnya menjelaskan. Aku tidak tahu bagaimana dia pada akhirnya meyakinkan petugas keamanan karena aku lebih dulu disuruh masuk ke kamar. "Resv
Karena tahu kalau Acha akan ada acara keluarga malam ini, jadi aku tidak berani mengajaknya hangout sepulang kuliah. Dia juga sepertinya buru-buru sekali ketika berjalan ke parkiran. "Bang Ayas udah nunggu. Duluan ya, Va!"Aku hanya mengangguk saja ketika gadis itu melambaikan tangan sembari berlari. Beberapa saat kemudian, aku melihat sebuah notifikasi di ponsel. Ada sebuah pesan balasan dari Agam untuk Acha. Belakangan ini Acha memang sering meminjam ponselku untuk berkomunikasi dengan pacarnya. Itu adalah cara teraman bagi Acha agar hubungan mereka bisa langgeng karena Bang Ayas masih saja menyadap handphone-nya. Dengan sangat terpaksa, aku membalas pesan Agam dan mengatakan kalau Acha baru saja pulang. Seharusnya, pemuda itu tak perlu mengirim chat lagi, tapi anehnya dia malah bertanya, "Bisa ketemuan?""Aku Resva," balasku agar dia tidak lupa bahwa aku bukanlah Acha. Selang beberapa detik kemudian, Agam kembali mengirim pesan. "Iya, tau. Gue mau minta tolong. Bisa ketemuan?"
Bab 12Menikah bukanlah tujuan utamaku saat ini. Masih banyak impian yang ingin aku wujudkan agar bisa membahagiakan Ibu. Jadi, kalau ditanya kapan menikah, aku tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Namun, aku berkeinginan akan menikah jika sudah berumur dua puluh lima tahun, bahkan bisa lebih dari itu. Setidaknya masih ada waktu tiga tahun bagiku untuk meraih mimpi; lulus kuliah, berbisnis, dan tentunya meningkatkan value diriku sendiri sebagai perempuan. Kata Ibu, perempuan harus punya value agar tidak diremehkan laki-laki. Perempuan harus mandiri agar tetap bisa berdikari jika sewaktu-waktu ditinggal suami. Perempuan harus bisa membahagiakan dirinya sendiri agar tidak mencuri kebahagiaan orang lain. Dua tahun menjanda rupanya membuat Ibu mendapatkan banyak sekali pembelajaran penting tentang hidup. Beliau yang dulunya sangat bergantung pada Ayah, akhirnya sadar bahwa perempuan harus mandiri meski bersuami. Aku pernah mendapati Ibu menangis, meraung-raung sambil memeluk baju Ayah.
"Va, beneran nggak papa?" Untuk kesekian kalinya, Acha memastikan aku baik-baik saja setelah turun dari mobil Tante Windi. "Nggak papa." Aku berkata seceria mungkin, berusaha melupakan kata-kata Tante Windi yang rasanya nylekit sampai ke tulang-tulang. Kami sedang dalam perjalanan ke gedung fakultas Ekonomi karena sebentar lagi akan ada kelas. Dan sepanjang itu pula, Acha menjelaskan peran Tante Windi di dalam keluarganya kenapa terlalu banyak ikut campur dalam perjodohan Bang Ayas. Tante Windi adalah adik bungsu Om Adnan. Sebagai alpha female, dia lebih suka mengatur dan tak terima bila mendapat penolakan, termasuk dalam urusan keluarga besar. Perempuan berusia empat puluh lima tahun itu tidak dikaruniai anak. Oleh karenanya, dia menganggap anak-anak kakaknya sebagai anaknya juga. Keluarga besar tidak ada yang mempermasalahkan hal itu. Namun, semakin ke sini Tante Windi mulai melampaui batas, mengatur perjodohan untuk Bang Ayas. Bagi Tante Windi, Clarisa adalah perempuan yang di