Share

Rayuan Perawan

Bab. 6

Perempuan bodoh mana yang mau sama bujang lapuk seperti Bang Ayas? Aku yakin sepuluh dari sepuluh wanita yang ditawari pun akan serempak menolak jika ditawari untuk menjadi istri Bang Ayas. Dan aku adalah orang yang tentu saja menolak paling keras tanpa berpikir dua kali, walaupun pada akhirnya Acha ngambek tiga hari tiga malam karena rahasianya kubongkar. Ya, bagaimana, daripada aku harus menjadi istri Bang Ayas. 

Akibat dari kejujuranku, Acha dimarahi habis-habisan oleh Bang Ayas. Gadis itu dilarang membawa mobil sendiri ke kampus dan ke mana-mana harus diantar. Penjagaannya lebih ketat ketimbang tahanan korupsi kasus proyek E-KTP. 

Aku sudah meminta maaf ribuan kali, tapi Acha belum juga mau bicara. Dia masih diam seribu bahasa walaupun kami bersama selama di kampus. 

"Sumpah, Cha. Bang Ayas pinter banget jebaknya biar aku jujur." Entah tampangku seperti apa di depan Acha. Mungkin mirip dengan emak-emak yang membujuk anaknya untuk makan siang. 

"Cha …." Aku mengguncang bahu Acha. Tapi, seperti mannequin, Acha tetap bergeming. Bibirnya mengerucut, siap dikuncir menggunakan karet nasi bungkus. 

"Besok-besok kalo mau bohong, bilang dulu ya, Cha, biar aku ngilang." Kalau perlu aku akan semedi di kos-kosan agar tidak bisa ditemukan Bang Ayas. 

Tiba-tiba saja Acha menoleh ke arahku secepat kilat. Wajah yang masih merengut itu perlahan menatapku penuh selidik. "Jangan bilang kalo kamu udah naksir Bang Ayas."

"Ya ampun, Cha!" Aku mengetuk lantai gazebo sebanyak tiga kali sambil berkata, "Amit-amit jabang bayi."

Mumpung Acha sudah mulai bicara, maka aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku memegangi kedua bahu Acha, lalu berkata, "Pokoknya, kejadian kayak gini nggak akan keulang lagi. Oke?"

Sayangnya, Acha menggeleng lemah. Dia berdecak dengan lesu. "Bang Ayas tuh …."

Mungkin sebenarnya Acha juga makan hati menjadi adik Bang Ayas. Aku yang jarang bertemu saja gedek setengah mati, apalagi dia yang setiap hari bertemu, beuh … tidak terbayangkan, deh! 

"Nomor Agam sampe diblokir sama Bang Ayas." Ada helaan napas lelah yang Acha embuskan setelah berujar barusan. 

"Tapi, kamu kan bisa hubungin Agam, bisa buka blokirannya kalo di kampus, Cha."

Acha memejam. Dia menggeleng. Sudut matanya basah. Ada air mata yang merembes dan pada akhirnya jatuh ke pipi. 

"Hapeku disadap." Gadis itu menyeka air matanya. 

"Serius?" Aku tidak menyangka Bang Ayas seposesif itu. Apa ini alasan dia masih melajang? Mungkin pacar-pacarnya juga dikekang sehingga memilih hengkang. Ya, siapa juga yang mau diperlakukan seperti itu? Bukankah setiap manusia punya hak atas kebebasan dirinya sendiri? 

Serius, manusia seperti Bang Ayas itu mengerikan sekali. Orang lain juga protektif ke keluarga, tapi aku yakin mereka tidak sekejam Bang Ayas. Ini sih sudah keterlaluan.

Jujur, aku cukup kaget karena ternyata Bang Ayas terlalu mengekang Acha. Padahal, dulu Acha selalu membanggakan abang sulungnya itu. Dia sampai mengatakan kalau Bang Ayas adalah pria idaman. Makanya, waktu belum bertemu Bang Ayas, aku berekspektasi tinggi dan membayangkan laki-laki itu adalah orang yang menyenangkan. 

Ekspektasiku semakin tinggi ketika Acha mewanti-wanti agar aku tidak menyukai Bang Ayas. Secara, dia tahu betul seleraku terhadap lelaki. Ganteng itu relatif, tapi kepribadian yang baik adalah nomor satu. 

"Va …," panggil Acha. 

"Ya?"

Dia menghela napas. "Kamu mau bantuin aku buat ketemuan sama Agam, kan?"

***

Memang benar adanya bahwa terkadang sifat kakak beradik bisa sebelas dua belas. Seperti halnya Bang Ayas dan Acha. Mereka sama-sama suka sekali menjebak diriku ke dalam situasi yang sulit. 

Demi bisa bertemu dengan Agam tanpa sepengetahuan kakak sulungnya, Acha memintaku untuk menjinakkan Bang Ayas. Ini bukan gila lagi, tapi keterlaluan. Memangnya tidak ada cara lain untuk main kucing-kucingan? Seperti loncat dari jendela kamar waktu malam hari misalnya. 

Ups! Aku lupa kamar Acha ada di lantai dua. Loncat dari sana sama saja bunuh diri. Siapa pun akan berpikir ulang sebelum melakukannya. 

Tapi, ya, Acha sama sekali tidak memikirkan perasaanku yang tertekan setengah mati setiap kali bertemu dengan Bang Ayas. Selain itu, harga diriku juga anjlok karena tiba-tiba minta tolong Bang Ayas untuk diajari menyetir mobil. 

Iya. Belajar nyertir mobil. Ide gila itu muncul setelah perdebatan panjangku dengan Acha yang tak kunjung menemukan alasan untuk menahan Bang Ayas agar tetap bersamaku selama beberapa jam ke depan.

Telanjur berjanji akan membantu dan untuk menebus rasa bersalahku karena sudah membocorkan rahasianya kepada Bang Ayas, aku pun dengan sangat terpaksa akhirnya menuruti perintah Acha. 

Begitu Bang Ayas menjemput, Acha langsung mengajakku ikut masuk mobil. Dalam perjalanan pulang, barulah Acha menyampaikan maksud dan tujuannya mengapa aku turut serta dengan mereka. 

Bang Ayas sempat menoleh ke belakang sesaat setelah mendengar ucapan Acha. Dia seperti ingin memastikan dan mengonfirmasi hal itu kepadaku. Sembari mengulas senyum kaku, aku pun mengangguk ragu. 

"Abang sibuk," kata Bang Ayas beberapa saat kemudian. Dia tetap mengemudi meski sesekali melirikku. 

"Kasian Resva, Bang." Acha merengek, menjual harga diriku hingga terkesan nelangsa sekali. 

Aku memang tidak bisa menyetir. Ayah lebih dulu meninggal sebelum sempat mengajari putri semata wayangnya ini mengemudi. Padahal, dulu beliau pernah berjanji akan memperbolehkan aku membawa mobil sendiri kalau sudah dua puluh tahun. 

Sepeninggal Ayah, keinginanku untuk bisa menyetir perlahan menguap karena mobil satu-satunya milik Ayah dijual untuk modal usaha Ibu. Dan sepertinya kami belum bisa membelinya lagi dalam waktu dekat. 

"Emangnya Abang nggak kasian sama Resva?" Acha berjuang untuk membujuk Bang Ayas. 

Karena pendirian Bang Ayas sepertinya tidak tergoyahkan, maka aku pun mengeluarkan jurus andalan, "Nggak apa-apa, Cha. Aku ke tempat kursus aja."

"Va …." Acha menoleh dengan wajah memberengut. Pasti dia mengira kalau aku ingkar janji. Gadis itu mengernyit ketika aku mengedipkan mata. 

Beruntungnya, Acha bisa menangkap kode yang aku berikan. Masih menoleh ke belakang, dia berkata, "Mahal, Va. Mending duitnya buat bayar kos-kosan."

Tiba-tiba saja Bang Ayas menyeletuk, "Nanti habis ini."

"Beneran, Bang?" Wajah Acha langsung sumringah. Dia memegangi lengan kiri kakaknya yang sedang mengemudi. 

"Abang baik, deh!" Acha kegirangan, sedangkan aku mulai siap-siap uji kesabaran.

Setelah berhasil membujuk Bang Ayas agar mau mengajari aku menyetir, Acha kemudian berakting sakit perut lantaran tamu bulanan. Dia meringkuk di jok depan dan minta diantar ke rumah, mengaku ingin beristirahat sehingga tidak bisa ikut menemani aku dan Bang Ayas. 

Agar tidak mencurigakan, aku pun pura-pura keberatan kalau harus berdua saja dengan Bang Ayas. Aku berkata ingin membatalkan rencana latihan mengemudi. 

"Udah pergi aja, Va. Lagian Bang Ayas juga telanjur izin sama Papa," kata Acha. 

Untuk melancarkan skenario, aku pun tidak beradu argumen dengan Acha. Sikap Bang Ayas yang lebih banyak diam, sedikit memberi keuntungan. Dia seakan-akan manut saja atas titah dari adik tersayang. 

Maka, di sinilah aku sekarang. Duduk di bangku depan, bersebelahan dengan Bang Ayas yang mengemudikan mobil, meninggalkan komplek perumahan tempat tinggalnya setelah tadi menurunkan Acha. 

Ada hening yang menjebak aku dan Bang Ayas dalam satu kabin. Sampai akhirnya mobil berhenti di pertigaan lampu merah dan Bang Ayas mengecek ponselnya. 

"Kalian merencanakan apa?" tanya Bang Ayas tanpa menoleh. 

"Hah?" Aku yang sebelumnya menatap ke luar jendela mobil, refleks menoleh. 

"Kalian membohongi saya, kan?"

Wah, ini orang ternyata cenayang. Bisa-bisanya dia tahu telah dibohongi.

"Enggak, kok." Aku mengangkat kedua jari, membentuk huruf V. "Sumpah."

Lampu merah telah berganti hijau. Mobil kembali melaju. Bang Ayas menggerutu, tapi aku bisa mendengarnya meski lamat-lamat. Intinya, dia curiga karena aku tiba-tiba minta diajari menyetir.

"Saya emang udah niat dari lama, kok," kilahku. "Kalau Bang Ayas keberatan, nggak apa-apa. Saya turun di sini aja."

Mati aku kalau Bang Ayas benar-benar menurunkan aku di pinggir jalan. Sekarang kami sudah jauh, baik dari rumah Acha maupun kos-kosanku. 

Mobil terus melaju, bertambah cepat dari sebelumnya. Sampai akhirnya memelan dan berhenti di sebuah jalan yang lengang. 

"Saya cuma ingin tau alasan kamu."

"Alasan apa?" Aku melirik ke bangku pengemudi. 

"Kenapa minta diajari saya?"

Aku rasa itu adalah pertanyaan jebakan. Bang Ayas sudah curiga, dan aku tidak boleh menyerah lagi seperti waktu itu. 

Mengesampingkan ego dan gengsi, aku memaksakan diri untuk tersenyum. "Yakin mau tau alasannya?"

Bang Ayas diam saja sehingga aku menyimpulkannya sebagai tanda setuju. Jadi, walaupun dia tak merespons, aku tetap memberitahu. 

"Biar nanti bisa antar jemput anak kalo mereka sekolah." Setelahnya, aku menggigit ujung lidah. Penasaran dengan reaksinya. 

"Anak siapa?" tanya Bang Ayas dengan dingin. Kedua tangannya masih memegangi kemudi meski mobil sudah berhenti. 

Aku mengulum bibir sejenak sebelum nekat berkata, "Anak kita."

Bang Ayas memalingkan wajah sembari mengepalkan tangan kanan ke bibir. Walau begitu, aku bisa melihat dengan jelas bahwa telinga lelaki itu memerah. 

"Tapi, kalo Bang Ayas nggak mau, ya udah." Aku melepas sabuk pengaman, pura-pura ingin turun. 

Ketika aku beringsut, tiba-tiba Bang Ayas menahan tanganku. Tentu saja aku kaget dan menoleh ke arahnya. 

Kami sempat bertatapan sekian detik. Dan aku menjadi pihak pertama yang memutus kontak mata. 

Bang Ayas melepaskan tanganku. Dia berdehem, lalu berkata, "Ayo."

Tunggu! Kenapa suara Bang Ayas terdengar lebih lembut? 

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
gue cengir cengir wkkwkw
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status