Benar saja, Acha tertawa terbahak-bahak begitu mengetahui aku gagal kencan dengan Galih. Kedua matanya sampai basah dan wajahnya memerah karena dari tadi tak kunjung berhenti tergelak.
"Sumpah, Va …." Dia mengguncang lenganku. "Apa kabar mental kamu?" Wah, jangan tanya mental. Tentu saja harga diriku sangat terluka. Bukan karena gagal berduaan dengan Galih, bukan. Itu sih bodo amat. Tapi, karena aku diabaikan waktu memanggil pemuda itu. Banyak mahasiswa yang menyaksikan Galih lari terbirit-birit waktu kupanggil. Bayangkan! Apa yang mereka pikirkan tentang aku? Pasti mereka berasumsi macam-macam. Parahnya lagi kalau ada yang menduga aku naksir Galih. Atas dasar itu pula, karena takut Acha mendengar gosip yang bukan-bukan, aku memilih untuk jujur kepadanya hari ini. Lagi pula kalau belum cerita ke siapa pun, rasanya belum plong. Acha masih tertawa sembari merebah di kasur kos-kosanku. Dia baru berhenti setelah tersedak ludah sendiri dan terbatuk berkali-kali. "Kualat, sih," gerutuku sembari menyodorkan gelas berisi air putih."Iya, iya. Maaf," kata Acha setelah batuknya reda dan meminum air putih pemberianku. Kemudian, dia kembali berbaring sambil memeluk bantal. Tidak ada jejak penyesalan dari wajah gadis itu. Malahan dia lanjut tertawa sendiri. "Menurut kamu, Galih berantem sama siapa, Cha?" tanyaku. Buang-buang energi saja kalau harus menyuruh Acha berhenti ketawa. Acha mengedikkan bahu. "Tawuran kali," jawabnya asal. "Anak STM kali tawuran," sungutku. Acha memang terkadang suka ngawur. Galih itu cowok cool, mustahil urakan dan berkelahi untuk hal-hal sepele.Aku tidak terlalu mengenal Galih, tapi sepertinya dia bukan orang yang anarkis. Ya … walaupun setelah diabaikan, aku berharap ada orang yang membuatnya lebih babak belur lagi. Seiring menit yang melaju, kamar menjadi hening. Tawa Acha sudah lenyap. Rupanya dia sudah terlelap.Hari ini kami tidak ada kelas. Dan Acha sengaja datang ke kos-kosanku demi menikmati mie instan nyemek buatanku yang katanya mirip seperti masakan abang-abang kaki lima. Sebagai anak kos, tentu aku terlalu sering makan mie instan sampai terkadang bosan. Namun, karena Acha yang meminta, jadi tadi aku terpaksa mengkonsumsi mie lagi untuk kesekian kali minggu ini. Maklum tanggal tua dan Ibu belum mentransfer uang jajan. Sebenarnya, aku tidak sekere itu. Uang dari Ibu selalu cukup untuk aku makan layak selama di Jakarta. Hanya saja, aku harus belajar hidup prihatin karena keuangan Ibu tidak stabil semenjak kepergian Ayah dua tahun lalu. Iya, Ayah meninggal ketika aku awal-awal kuliah. Bisnis ayam geprek yang baru dirintis satu tahun di Jakarta pun bangkrut karena Ibu tidak bisa mengelola. Jadi, setelah menjual ruko yang sebelumnya kami tempati, Ibu memutuskan untuk pulang ke Semarang dan membuka usaha laundry di sana. Sementara aku harus tetap tinggal di sini sampai nanti selesai kuliah. Sebenarnya, sangat berat bagiku hidup seorang diri di Jakarta. Walaupun semua fasilitas terjamin, tapi aku sering merasa kesepian setiap kali di kos-kosan sendirian. Kalau saja Ayah masih ada mungkin nasibku tidak semenyedihkan ini. Atau seandainya beliau pergi sebelum kami pindah ke Jakarta, tentu aku kuliah di Semarang dan menemani Ibu berjuang. Bukannya tidak mau membantu. Aku pernah beberapa kali mencoba kerja sambilan untuk membiayai diri sendiri dan meringankan beban Ibu. Namun, ternyata hal itu membuat Ibu meradang. Wanita itu menyuruhku berhenti bekerja dan hanya fokus kuliah. Perhatianku dari layar laptop tersita begitu mendengar getaran ponsel di kasur. Acha yang tertidur pulas sepertinya sama sekali tidak terganggu. Karena terus bergetar, maka mau tak mau aku pun mengambil ponsel itu dan mengangangkat panggilan dari sebuah kontak bernama Komandan. Aku dan Acha memang sedekat itu. Kami terbiasa menggunakan ponsel satu sama lain. Apalagi jika sekiranya panggilan dari keluarga, kami wajib untuk mengangkat karena takut ada hal penting. Aku mengernyit sejenak. Seingatku Acha tidak menamai kontak ayahnya dengan sebutan komandan. Tapi, bisa saja kan kalau Acha sudah mengganti nama Om Adnan? "Dek, kamu di mana?" Suara di seberang telepon sungguh tidak asing di telingaku meski jelas itu bukan suara Om Adnan. Aku berdeham sembari melirik Acha. Sumpah nyesel banget. Harusnya tadi aku biarkan saja ponsel Acha bergetar sampai berhenti sendiri. "Dek?" "Acha lagi tidur," sahutku pelan. "Di mana?" Suara Bang Ayas yang tadinya terdengar lembut, tiba-tiba terkesan dingin. Sepertinya laki-laki itu mendadak masuk ke dalam freezer. "Di kosanku." Aku juga tidak kalah ketus. Untuk apa beramah tamah kepada Bang Ayas. "Saya tidak percaya."Terserah! "Video call," kata Bang Ayas. "Buat apaan?"Samar-samar, Bang Ayas berdecak. "Saya ingin memastikan kalau Acha di tempat yang aman."Tarik napas. Tahan. Tahan! Rasanya ingin ngomel, tapi takut kualat. Tahu sendiri kan lawan bicaraku sekarang adalah bapak-bapak? Tanpa menunggu persetujuanku, Bang Ayas video call. Aku pun segera menerimanya agar urusan dengannya cepat selesai. Seketika layar ponsel Acha dipenuhi oleh potret wajah seorang laki-laki yang … sebentar, sebentar, ini kenapa aku lupa cara bernapas? Bang Ayas terlihat lain. Rambut yang biasanya disisir rapi, kali ini tampak berantakan, tapi justru terkesan … stop, Resva! Stop! Ingat, Resva. Bang Ayas itu jelek dan bangkotan! Aku mengerjap setelah mendengar Bang Ayas berdeham. Sialnya, pipiku tiba-tiba memanas. Semoga saja tidak semerah tomat karena itu pasti akan sangat memalukan sekali. Bodohnya, aku baru mengganti kamera depan ke kamera belakang setelah melihat Bang Ayas mengulum senyum. Sekarang, laki-laki itu bisa melihat adiknya yang sedang tertidur"Udah percaya?" tanyaku. Posisi kamera masih menyorot Acha yang sedang tidur. "Nggak sopan," kata Bang Ayas. Posisi tidur Acha memang setengah telungkup sambil memeluk bantal. Karena tadi sempat kepanasan, dia hanya mengenakan tank top dan hot pants. Apa karena itu dia dianggap tidak sopan? "Saya ngomong sama kamu!" Dengan malas, aku mengganti kamera depan sehingga akhirnya bisa bertatap muka lagi dengan Bang Ayas. "Katanya tadi mau lihat Acha," ucapku. "Siapa yang bilang?""Anda." Aku bersungut-sungut. "Saya nggak bilang."Sumpah. Ngeselin banget nih orang. Aku mendekatkan wajah ke layar sembari melotot. "Terserah!"Saking kesalnya, aku menyentil layar ponsel Acha dan memutus panggilan video. Semakin lama berbicara dengan Bang Ayas bisa membuat aku gila. Heran. Kok ada, ya, manusia berjenis kelamin laki-laki seperti Bang Ayas? Usianya sih tua, tapi kelakuan sebelas dua belas sama bocah TK! Ponsel Acha kembali bergetar. Nama Komandan terpampang di layar. Bang Ayas melakukan panggilan video lagi. Aku menjulurkan lidah ke arah ponsel Acha tanpa berniat menyambungkan panggilan. Biar saja abang bangkotan itu kesal sendiri. Aku sudah tidak punya urusan apa pun sama dia. Namun, baru berniat akan meletakkan ponsel Acha ke kasur, sebuah pesan masuk dari Bang Ayas. "Angkat telefonnya."Dih, maksa! Situ ngebet banget mau ngomong sama saya? Hanya berselang sekian detik, Bang Ayas kembali mengirim pesan. "Kalau telefonnya tidak diangkat, berarti kamu setuju jadi calon istri saya."Najis! Amit-amit jabang bayi! Maka tanpa ba bi bu lagi, aku langsung menekan tombol video. Dan sialnya, seperti balas dendam, Bang Ayas malah tidak langsung mengangkat panggilan. Barulah pada percobaan kedua, wajahnya muncul di layar ponsel. "Bentar, Bro. Calon bini gue telefon."Sumpah serapah yang sudah berada di ujung lidah, terpaksa kutelan kembali karena bersamaan dengan ucapan Bang Ayas, beberapa wajah laki-laki turut nimbrung di layar ponsel. "Wah, akhirnya …."Aku tidak menghiraukan apa yang dikatakan oleh orang-orang di sekitar Bang Ayas karena aku hanya fokus ke wajah menyebalkan yang saat ini sedang mengulum senyum. Kemudian, laki-laki bangkotan yang tidak tahu diri itu berkata, "Kenapa? Kangen?"Siapa pun, tolong panggilkan Malaikat Izrail untuk mencabut nyawa manusia bernama Ayas bin Adnan! Aku rela mengampuni dosa-dosanya asal Bang Ayas meninggal sekarang ya, Allah ….***Semenjak video call sialan itu, aku berusaha lebih keras untuk tidak berinteraksi dengan manusia bernama Ayas. Jangankan mampir ke rumah, jalan bersama Acha ke parkiran kalau pulang kuliah pun aku tidak mau. Untuk jaga-jaga, aku selalu pulang lebih lambat dari gadis itu. Tentu saja Acha tidak tahu perihal apa yang terjadi seminggu lalu. Sebelum dia bangun, aku lebih dulu menghapus riwayat panggilan dan chat kurang ajar dari Bang Ayas. Kalau Acha sampai tahu, mau ditaruh di mana mukaku ini? Hari ini, sebelum pulang, aku memutuskan untuk pergi ke kantin terlebih dahulu. Aku berjalan sendirian, melintasi meja-meja yang hampir keseluruhannya terisi penuh. Maklum, ini adalah kantin lintas jurusan yang bisa dipastikan selalu ramai. Jadi, butuh effort yang lumayan untuk menemukan meja kosong. Biasanya sih aku tidak perlu susah payah karena pasti ada saja yang menawari bergabung, terutama kaum Adam. Bukan sok artis, tapi aku pernah bilang kan kalau aku cukup populer di kampus? Oke. Kembali
Bab. 6Perempuan bodoh mana yang mau sama bujang lapuk seperti Bang Ayas? Aku yakin sepuluh dari sepuluh wanita yang ditawari pun akan serempak menolak jika ditawari untuk menjadi istri Bang Ayas. Dan aku adalah orang yang tentu saja menolak paling keras tanpa berpikir dua kali, walaupun pada akhirnya Acha ngambek tiga hari tiga malam karena rahasianya kubongkar. Ya, bagaimana, daripada aku harus menjadi istri Bang Ayas. Akibat dari kejujuranku, Acha dimarahi habis-habisan oleh Bang Ayas. Gadis itu dilarang membawa mobil sendiri ke kampus dan ke mana-mana harus diantar. Penjagaannya lebih ketat ketimbang tahanan korupsi kasus proyek E-KTP. Aku sudah meminta maaf ribuan kali, tapi Acha belum juga mau bicara. Dia masih diam seribu bahasa walaupun kami bersama selama di kampus. "Sumpah, Cha. Bang Ayas pinter banget jebaknya biar aku jujur." Entah tampangku seperti apa di depan Acha. Mungkin mirip dengan emak-emak yang membujuk anaknya untuk makan siang. "Cha …." Aku mengguncang bahu
Bab 7Tolong jangan membayangkan akan ada adegan romantis atau apa pun itu yang membuat kesan bahwa aku dan Bang Ayas sudah akur. Tidak. Suara lembutnya adalah awal dari perseteruan kami yang berujung pada saling menyalahkan satu sama lain. Sudah tahu aku ini pemula dan sedang belajar menyetir, eh Bang Ayas malah mengganggu konsentrasiku. "Bukan begitu. Yang benar begini." Sebenarnya tidak apa-apa kalau hanya berkata demikian, tapi tolong itu tangan dikondisikan! Tidak perlu pegang-pegang tanganku! Memang ya, laki-laki itu makhluk yang membahayakan. Ada kesempatan sedikit saja langsung beraksi. Pegang tangan, pundak, dan …. "Dipangku aja apa gimana?"Kontan saja aku melotot. Mana ada sih orang latihan mobil dipangku? Dikira aku ini anak kecil? Kukira kalem. Ternyata mesum! Bang Ayas menghela napas. "Jangan kaku, jadi nggak gugup injek gas atau remnya.""Bodo, ah!" Karena pada dasarnya keinginan untuk bisa mengemudi sudah hilang, maka aku sama sekali tidak antusias. Kalau bukan
Bab 8Sekarang giliran aku yang ngambek kepada Acha. Pokoknya aku kapok membantunya jika harus mengalihkan perhatian Bang Ayas. Pria itu terlalu buas untuk dijinakkan. Sayangnya, begitu aku cerita kalau Bang Ayas membawa aku masuk ke KUA, Acha malah tergelak. "Jangan baper, Va. Bang Ayas emang bercandanya suka kelewatan."Aku menghela napas. Kalau memang kemarin hanya bercanda, sumpah itu tidak lucu sama sekali. Coba kalian bayangkan, bagaimana malunya aku saat diseret ke KUA, dipegangi erat-erat, dan diakui sebagai calon istri. Tidak hanya itu, Bang Ayas juga menanyakan persyaratan apa saja jika hendak menikah dengan perempuan yang berasal dari luar daerah. Dengan seksama lelaki itu menyimak penjelasan petugas KUA, sama sekali tidak menghiraukan aku yang menginjak kakinya berkali-kali. Itu yang dinamakan bercanda? Atau Bang Ayas sedang menguji apakah aku baper atau tidak diperlakukan seperti itu? Mohon maaf. Aku tidak baper. Kalau jengkel setengah mati sih, iya. "Tenang aja, Va.
Bab 9Kehangatan di ruang makan seketika lenyap tepat setelah Bang Ayas memujiku di depan keluarga dan perempuan yang dijodohkan dengannya. Aku yang tak menduga akan dipuji oleh Bang Ayas, rasa-rasanya ingin sekali menghilang, tenggelam ke dasar bumi dan tak pernah muncul lagi. Denting sendok yang dihempaskan ke piring membuat aku menggigit bibir kuat-kuat. Tante Windi menatapku lebih tajam dari siapa pun. Sorot matanya berkilat-kilat seakan hendak mengulitiku hidup-hidup. Aku menahan napas ketika perempuan itu berdiri dan meninggalkan meja makan tanpa permisi. Kemudian, diikuti oleh Clarisa dan kedua orang tuanya yang sempat berpamitan dengan terburu-buru. Sepeninggal tamu-tamu itu, aku masih belum berani untuk mendongak. Kedua tanganku yang sedingin es kini hanya bisa saling bertaut di bawah meja. "Ayas." Baru kali ini aku mendengar suara Tante Fatma jauh dari kata lembut dan ramah. "Iya, Ma?"Sahutan itu sama sekali tidak mencerminkan rasa bersalah dari seseorang yang telah m
Lemas, mual, menggigil, sakit kepala, dan berhalusinasi adalah beberapa gejala dari penyakit rabies. Sialnya, sekarang aku merasakan itu semua setelah digigit Bang Ayas. Aku curiga, di kehidupan sebelumnya, Bang Ayas adalah seekor anjing gila. Buktinya aku langsung demam begitu diantar dia pulang malam itu. Entahlah. Ini efek digigit Bang Ayas atau efek diajak memutari Kota Jakarta hingga pagi buta. Iya. Laki-laki itu tidak langsung mengantar aku pulang, melainkan jalan tanpa tujuan. Tolong kalian jangan membayangkan kalau aku dan Bang Ayas menghabiskan perjalanan dengan gelak tawa atau minimal senyum malu-malu. Tidak. Kami justru saling membisu dan duduk dengan kaku. Ketika aku protes untuk segera diantar ke kos-kosan, dia hanya bergumam tak jelas. Gara-gara kejadian itu pula, aku sampai diinterogasi satpam kos-kosan. Bang Ayas yang pada akhirnya menjelaskan. Aku tidak tahu bagaimana dia pada akhirnya meyakinkan petugas keamanan karena aku lebih dulu disuruh masuk ke kamar. "Resv
Karena tahu kalau Acha akan ada acara keluarga malam ini, jadi aku tidak berani mengajaknya hangout sepulang kuliah. Dia juga sepertinya buru-buru sekali ketika berjalan ke parkiran. "Bang Ayas udah nunggu. Duluan ya, Va!"Aku hanya mengangguk saja ketika gadis itu melambaikan tangan sembari berlari. Beberapa saat kemudian, aku melihat sebuah notifikasi di ponsel. Ada sebuah pesan balasan dari Agam untuk Acha. Belakangan ini Acha memang sering meminjam ponselku untuk berkomunikasi dengan pacarnya. Itu adalah cara teraman bagi Acha agar hubungan mereka bisa langgeng karena Bang Ayas masih saja menyadap handphone-nya. Dengan sangat terpaksa, aku membalas pesan Agam dan mengatakan kalau Acha baru saja pulang. Seharusnya, pemuda itu tak perlu mengirim chat lagi, tapi anehnya dia malah bertanya, "Bisa ketemuan?""Aku Resva," balasku agar dia tidak lupa bahwa aku bukanlah Acha. Selang beberapa detik kemudian, Agam kembali mengirim pesan. "Iya, tau. Gue mau minta tolong. Bisa ketemuan?"
Bab 12Menikah bukanlah tujuan utamaku saat ini. Masih banyak impian yang ingin aku wujudkan agar bisa membahagiakan Ibu. Jadi, kalau ditanya kapan menikah, aku tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Namun, aku berkeinginan akan menikah jika sudah berumur dua puluh lima tahun, bahkan bisa lebih dari itu. Setidaknya masih ada waktu tiga tahun bagiku untuk meraih mimpi; lulus kuliah, berbisnis, dan tentunya meningkatkan value diriku sendiri sebagai perempuan. Kata Ibu, perempuan harus punya value agar tidak diremehkan laki-laki. Perempuan harus mandiri agar tetap bisa berdikari jika sewaktu-waktu ditinggal suami. Perempuan harus bisa membahagiakan dirinya sendiri agar tidak mencuri kebahagiaan orang lain. Dua tahun menjanda rupanya membuat Ibu mendapatkan banyak sekali pembelajaran penting tentang hidup. Beliau yang dulunya sangat bergantung pada Ayah, akhirnya sadar bahwa perempuan harus mandiri meski bersuami. Aku pernah mendapati Ibu menangis, meraung-raung sambil memeluk baju Ayah.