Home / Romansa / Kutukan Perjaka Tua / Doa Perawan yang Terkutuk

Share

Doa Perawan yang Terkutuk

Author: Julli Nobasa
last update Last Updated: 2022-12-20 16:17:47

Benar saja, Acha tertawa terbahak-bahak begitu mengetahui aku gagal kencan dengan Galih. Kedua matanya sampai basah dan wajahnya memerah karena dari tadi tak kunjung berhenti tergelak. 

"Sumpah, Va …." Dia mengguncang lenganku. "Apa kabar mental kamu?" 

Wah, jangan tanya mental. Tentu saja harga diriku sangat terluka. Bukan karena gagal berduaan dengan Galih, bukan. Itu sih bodo amat. Tapi, karena aku diabaikan waktu memanggil pemuda itu. 

Banyak mahasiswa yang menyaksikan Galih lari terbirit-birit waktu kupanggil. Bayangkan! Apa yang mereka pikirkan tentang aku? Pasti mereka berasumsi macam-macam. Parahnya lagi kalau ada yang menduga aku naksir Galih. Atas dasar itu pula, karena takut Acha mendengar gosip yang bukan-bukan, aku memilih untuk jujur kepadanya hari ini. Lagi pula kalau belum cerita ke siapa pun, rasanya belum plong. 

Acha masih tertawa sembari merebah di kasur kos-kosanku. Dia baru berhenti setelah tersedak ludah sendiri dan terbatuk berkali-kali. 

"Kualat, sih," gerutuku sembari menyodorkan gelas berisi air putih.

"Iya, iya. Maaf," kata Acha setelah batuknya reda dan meminum air putih pemberianku. Kemudian, dia kembali berbaring sambil memeluk bantal. Tidak ada jejak penyesalan dari wajah gadis itu. Malahan dia lanjut tertawa sendiri. 

"Menurut kamu, Galih berantem sama siapa, Cha?" tanyaku. Buang-buang energi saja kalau harus menyuruh Acha berhenti ketawa. 

Acha mengedikkan bahu. "Tawuran kali," jawabnya asal. 

"Anak STM kali tawuran," sungutku. Acha memang terkadang suka ngawur. Galih itu cowok cool, mustahil urakan dan berkelahi untuk hal-hal sepele.

Aku tidak terlalu mengenal Galih,  tapi sepertinya dia bukan orang yang anarkis. Ya … walaupun setelah diabaikan, aku berharap ada orang yang membuatnya lebih babak belur lagi. 

Seiring menit yang melaju, kamar menjadi hening. Tawa Acha sudah lenyap. Rupanya dia sudah terlelap.

Hari ini kami tidak ada kelas. Dan Acha sengaja datang ke kos-kosanku demi menikmati mie instan nyemek buatanku yang katanya mirip seperti masakan abang-abang kaki lima. 

Sebagai anak kos, tentu aku terlalu sering makan mie instan sampai terkadang bosan. Namun, karena Acha yang meminta, jadi tadi aku terpaksa mengkonsumsi mie lagi untuk kesekian kali minggu ini. Maklum tanggal tua dan Ibu belum mentransfer uang jajan. 

Sebenarnya, aku tidak sekere itu. Uang dari Ibu selalu cukup untuk aku makan layak selama di Jakarta. Hanya saja, aku harus belajar hidup prihatin karena keuangan Ibu tidak stabil semenjak kepergian Ayah dua tahun lalu. 

Iya, Ayah meninggal ketika aku awal-awal kuliah. Bisnis ayam geprek yang baru dirintis satu tahun di Jakarta pun bangkrut karena Ibu tidak bisa mengelola. Jadi, setelah menjual ruko yang sebelumnya kami tempati, Ibu memutuskan untuk pulang ke Semarang dan membuka usaha laundry di sana. Sementara aku harus tetap tinggal di sini sampai nanti selesai kuliah. 

Sebenarnya, sangat berat bagiku hidup seorang diri di Jakarta. Walaupun semua fasilitas terjamin, tapi aku sering merasa kesepian setiap kali di kos-kosan sendirian. 

Kalau saja Ayah masih ada mungkin nasibku tidak semenyedihkan ini. Atau seandainya beliau pergi sebelum kami pindah ke Jakarta, tentu aku kuliah di Semarang dan menemani Ibu berjuang. 

Bukannya tidak mau membantu. Aku pernah beberapa kali mencoba kerja sambilan untuk membiayai diri sendiri dan meringankan beban Ibu. Namun, ternyata hal itu membuat Ibu meradang. Wanita itu menyuruhku berhenti bekerja dan hanya fokus kuliah. 

Perhatianku dari layar laptop tersita begitu mendengar getaran ponsel di kasur. Acha yang tertidur pulas sepertinya sama sekali tidak terganggu. Karena terus bergetar, maka mau tak mau aku pun mengambil ponsel itu dan mengangangkat panggilan dari sebuah kontak bernama Komandan. 

Aku dan Acha memang sedekat itu. Kami terbiasa menggunakan ponsel satu sama lain. Apalagi jika sekiranya panggilan dari keluarga, kami wajib untuk mengangkat karena takut ada hal penting. 

Aku mengernyit sejenak. Seingatku Acha tidak menamai kontak ayahnya dengan sebutan komandan. Tapi, bisa saja kan kalau Acha sudah mengganti nama Om Adnan? 

"Dek, kamu di mana?" Suara di seberang telepon sungguh tidak asing di telingaku meski jelas itu bukan suara Om Adnan. 

Aku berdeham sembari melirik Acha. Sumpah nyesel banget. Harusnya tadi aku biarkan saja ponsel Acha bergetar sampai berhenti sendiri. 

"Dek?" 

"Acha lagi tidur," sahutku pelan. 

"Di mana?" Suara Bang Ayas yang tadinya terdengar lembut, tiba-tiba terkesan dingin. Sepertinya laki-laki itu mendadak masuk ke dalam freezer. 

"Di kosanku." Aku juga tidak kalah ketus. Untuk apa beramah tamah kepada Bang Ayas. 

"Saya tidak percaya."

Terserah! 

"Video call," kata Bang Ayas. 

"Buat apaan?"

Samar-samar, Bang Ayas berdecak. "Saya ingin memastikan kalau Acha di tempat yang aman."

Tarik napas. Tahan. Tahan! 

 

Rasanya ingin ngomel, tapi takut kualat. Tahu sendiri kan lawan bicaraku sekarang adalah bapak-bapak? 

Tanpa menunggu persetujuanku, Bang Ayas video call. Aku pun segera menerimanya agar urusan dengannya cepat selesai. Seketika layar ponsel Acha dipenuhi oleh potret wajah seorang laki-laki yang … sebentar, sebentar, ini kenapa aku lupa cara bernapas? 

Bang Ayas terlihat lain. Rambut yang biasanya disisir rapi, kali ini tampak berantakan, tapi justru terkesan … stop, Resva! Stop! 

Ingat, Resva. Bang Ayas itu jelek dan bangkotan! 

Aku mengerjap setelah mendengar Bang Ayas berdeham. Sialnya, pipiku tiba-tiba memanas. Semoga saja tidak semerah tomat karena itu pasti akan sangat memalukan sekali. 

Bodohnya, aku baru mengganti kamera depan ke kamera belakang setelah melihat Bang Ayas mengulum senyum. Sekarang, laki-laki itu bisa melihat adiknya yang sedang tertidur

"Udah percaya?" tanyaku. Posisi kamera masih menyorot Acha yang sedang tidur. 

"Nggak sopan," kata Bang Ayas. 

Posisi tidur Acha memang setengah telungkup sambil memeluk bantal. Karena tadi sempat kepanasan, dia hanya mengenakan tank top dan hot pants. Apa karena itu dia dianggap tidak sopan? 

"Saya ngomong sama kamu!" 

Dengan malas, aku mengganti kamera depan sehingga akhirnya bisa bertatap muka lagi dengan Bang Ayas. 

"Katanya tadi mau lihat Acha," ucapku. 

"Siapa yang bilang?"

"Anda." Aku bersungut-sungut. 

"Saya nggak bilang."

Sumpah. Ngeselin banget nih orang. 

Aku mendekatkan wajah ke layar sembari melotot. "Terserah!"

Saking kesalnya, aku menyentil layar ponsel Acha dan memutus panggilan video. Semakin lama berbicara dengan Bang Ayas bisa membuat aku gila. 

Heran. Kok ada, ya, manusia berjenis kelamin laki-laki seperti Bang Ayas? Usianya sih tua, tapi kelakuan sebelas dua belas sama bocah TK! 

Ponsel Acha kembali bergetar. Nama Komandan terpampang di layar. Bang Ayas melakukan panggilan video lagi. 

Aku menjulurkan lidah ke arah ponsel Acha tanpa berniat menyambungkan panggilan. Biar saja abang bangkotan itu kesal sendiri. Aku sudah tidak punya urusan apa pun sama dia. Namun, baru berniat akan meletakkan ponsel Acha ke kasur, sebuah pesan masuk dari Bang Ayas. 

"Angkat telefonnya."

Dih, maksa! Situ ngebet banget mau ngomong sama saya? 

Hanya berselang sekian detik, Bang Ayas kembali mengirim pesan. "Kalau telefonnya tidak diangkat, berarti kamu setuju jadi calon istri saya."

Najis! Amit-amit jabang bayi! 

Maka tanpa ba bi bu lagi, aku langsung menekan tombol video. Dan sialnya, seperti balas dendam, Bang Ayas malah tidak langsung mengangkat panggilan. Barulah pada percobaan kedua, wajahnya muncul di layar ponsel. 

"Bentar, Bro. Calon bini gue telefon."

Sumpah serapah yang sudah berada di ujung lidah, terpaksa kutelan kembali karena bersamaan dengan ucapan Bang Ayas, beberapa wajah laki-laki turut nimbrung di layar ponsel. 

"Wah, akhirnya …."

Aku tidak menghiraukan apa yang dikatakan oleh orang-orang di sekitar Bang Ayas karena aku hanya fokus ke wajah menyebalkan yang saat ini sedang mengulum senyum. 

Kemudian, laki-laki bangkotan yang tidak tahu diri itu berkata, "Kenapa? Kangen?"

Siapa pun, tolong panggilkan Malaikat Izrail untuk mencabut nyawa manusia bernama Ayas bin Adnan! 

Aku rela mengampuni dosa-dosanya asal Bang Ayas meninggal sekarang ya, Allah ….

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
yenyen
eeh kok gitu haha
goodnovel comment avatar
zahra
kok gitu calon imam itu......
goodnovel comment avatar
lampu petromax
wkwkwk... Ayas bin naas
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kutukan Perjaka Tua   Kutukan, Burger Diskonan, dan Kuasa Tuhan

    Secara medis, Bang Ayas mengalami sindrom couvade atau sering disebut kehamilan simpatik. Sejak pertama aku hamil, bahkan sebelum kami mengeceknya ke dokter, Bang Ayas lebih dulu menunjukkan gejala-gejala aneh seperti morning sickness, perubahan selera makan, dan ngidam. Iya. Bang Ayas ngidam. Sering kali malam-malam, saat tengah tertidur, dia terbangun karena ingin makan sesuatu. Alhasil, aku ikut terjaga dan menemaninya makan. Pernah suatu ketika, saat kami harus ke Bali untuk mengurus distro miliknya, tengah malam dia minta garang asem buatan Ibu. Sumpah sih, ngidamnya itu tidak melihat tempat! Aku yang hamil malah anteng-anteng saja. Tidak ada keluhan berarti yang aku derita. Pun tidak ada makanan tertentu yang membuat aku bad mood jika belum keturutan. Demi ngidamnya terpenuhi, keesokan harinya kami langsung bertolak ke Jakarta, sementara Ibu pun terbang dari Semarang. Beruntungnya ngidamnya itu tergolong awet, tidak musnah setelah makanannya tersedia. Jadi setelah dimasakkan

  • Kutukan Perjaka Tua   Ayam Pop Versus Nasi Goreng Udang

    Maldives. Jangankan menginjakkan kaki di sana, bermimpi untuk berlibur ke salah satu negara terkecil di Asia itu saja aku tidak pernah berani karena kemampuanku masih sebatas beli cilok yang keliling komplek. Itu dulu. Sebelum menikah dengan Bang Ayas. Sekarang, setelah menggelar resepsi di Jakarta, tiba-tiba Bang Ayas menunjukkan tiket honeymoon ke Maldives! Entah, aku harus koprol, guling-guling, atau jingkrak-jingkrak. Yang jelas … rasa lelah setelah menjalani semua proses panjang pernikahan telah terbayar tuntas begitu aku sampai di negara yang memiliki nama resmi Republik Maladewa. Tadinya, aku sempat tidak percaya Bang Ayas akan mengajak aku bulan madu ke tempat sebagus ini, mengingat dia adalah pria kaku yang sama sekali tidak romantis. Saking tidak percayanya, aku sampai meminta bantuan Acha dan Mama Fatma—begitu sekarang aku memanggilnya—untuk mengecek tiket. Aku takut ternyata diprank Bang Ayas. "Aku nggak sejahat itu, Yang," kata Bang Ayas begitu mengetahui aku meraguka

  • Kutukan Perjaka Tua   Seperti yang Kalian Inginkan

    Nikah? Serius? Jujur, sampai detik ini aku terkadang masih merasa kalau semua ini hanya mimpi. Sebelumnya, awal-awal diakui sebagai calon istri Bang Ayas pun aku belum kepikiran akan menikah di usia kurang dari dua puluh lima tahun. Ini kayak … kecepetan, tapi ditunda juga sayang. Bukan. Bukannya aku plin plan atau ragu dengan keputusan menerima Bang Ayas sebagai suami. Tapi, aku hanya berpikir, kok bisa ya, Tuhan memberikan aku jodoh seperti Bang Ayas yang ternyata sudah menyimpan perasaan selama tiga tahun. Ingat tiga tahun! Itu kalau kredit mobil juga pasti sudah lunas! Bayangkan. Selama tiga tahun itu, saat aku enak-enak tidur ternyata Bang Ayas sedang berdoa minta dijodohkan denganku. Saat aku sedang asyik haha hihi mengagumi cowok lain, ternyata Bang Ayas sedang stalking akunku. Kalau dibayangkan, kok jalur langit itu agak-agak ngeri, ya. Aku berpikir kalau Bang Ayas memiliki kepercayaan diri tingkat dewa. Bisa-bisanya selama tiga tahun itu dia diam anteng, giliran pulang d

  • Kutukan Perjaka Tua   Satu Langkah Lagi

    Setelah sekian bulan mengerjakan tugas akhir dan mengikuti sidang, hari ini akhirnya Resva mengambil hasil kelulusan. Selama menunggu, jantungku tidak hentinya bertalu. Aku mondar-mandir di parkiran, masuk ke mobil, lalu berujung ke toilet. Ini lebih mendebarkan dari apa pun. Padahal sebenarnya aku percaya, Resva telah memenuhi serangkaian persyaratan sehingga seharusnya dinyatakan lulus. Sebenarnya, kalaupun dia belum dinyatakan lulus pada hari ini, aku tidak perlu risau. Seharusnya. Namun, entah mengapa bagiku justru sebagai penentuan hidup dan mati. Resva lulus, berarti kami langsung menentukan tanggal pernikahan. Seandainya belum, berarti aku diwajibkan memperbanyak stok sabar. Berat. Menunggu hitungan bulan terasa lebih berat daripada tiga tahun memendam perasaan.Tawaran Resva waktu itu dengan sangat terpaksa aku tolak karena aku ingat pendidikannya harus diutamakan ketimbang perasaanku. Aku bisa menunggu sampai kapan pun meski hari yang terlewat terasa begitu lama. Selain k

  • Kutukan Perjaka Tua   Meminta Restu

    "Yas, bisa ketemu?""Yas. Respon dong.""Aku sama Hanif mau cere, Yas.""Dia nggak sebaik kamu.""Kita bisa memulai semuanya dari awal lagi, Yas. Aku janji bakal bikin kamu bahagia."Serentetan pesan itu masuk tepat setelah Resva meminta istirahat—sebuah kata yang teramat halus untuk mengakhiri hubungan kami. Walaupun menggunakan nomor baru, tapi aku bisa menebak kalau yang barusan mengirim pesan adalah Diandra. Aku segera menolak dengan tegas, lalu memblokir nomor itu tanpa berpikir lagi. Tidak ada tempat bagi Diandra atau siapa pun karena di hatiku hanya ada Resva meski hubungan kami saat ini berada di titik nadir. Seandainya Resva tidak kembali, aku bertekad akan tetap sendiri karena ini adalah hukuman terbaik bagiku setelah menyakitinya. Jika kelak Resva menemukan laki-laki terbaik, aku akan merelakan dia pergi, hidup dengan imam yang bisa membuatnya bahagia. Aku ikhlas. Biar saja segala kenangan indah bersama dia akan membersamai diriku sampai tua, sampai malaikat merenggut

  • Kutukan Perjaka Tua   Salah Kutukan

    Awan tebal itu masih menaungi hidup Resva. Duka teramat kental terasa di setiap postingan yang dia unggah di media sosial. Foto kebersamaan ayah dan ibunya disertai caption-caption yang mewakili isi hatinya membuat aku ingin merengkuh gadis itu ke dalam pelukan, menghapus air matanya lagi seperti beberapa minggu lalu. Sayangnya, aku telah kembali lagi ke Kalimantan, berkutat dengan padatnya jadwal pekerjaan. Dan kalaupun aku masih di Jakarta, rasanya mustahil aku bisa mendekati Resva yang sedang berduka. Terlalu lancang. Tidak sopan. "Ayam gepreknya ditutup. Ibunya mau pulang ke Semarang," kata Mama melalui sambungan telepon. "Resva juga ikut pulang?" Aku bertanya dengan perasaan kalang kabut. Bagaimana jika Resva memilih kembali ke Semarang? Bagaimana kuliahnya? Dan … untuk alasan apa jika aku ingin menemuinya? "Resva tetap kuliah di sini. Kemarin Mama sudah bantu carikan kos-kosan yang bagus karena dia menolak tinggal sama kita."Aku mengembuskan napas lega. Terlalu berbahaya ji

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status