Home / Horor / Kutukan Wasiat Kakek / Panggilan Misterius

Share

Panggilan Misterius

Author: Els Arrow
last update Huling Na-update: 2024-10-30 11:07:50

Alya terbangun di tengah malam, tubuhnya basah oleh keringat. Kipas angin berputar pelan di sudut kamar, tapi udara terasa pengap, menyesakkan dada.

Matanya melirik jam di meja, hampir pukul tiga dini hari. Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri.

Dalam heningnya malam, tiba-tiba ia mendengar suara lirih memanggil namanya, "Alya … Alya ....” Suara itu terdengar halus, hampir seperti bisikan.

Namun, entah kenapa terdengar familiar.

Ia terdiam sejenak, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya imajinasinya. Namun, suara itu terdengar lagi, kali ini sedikit lebih jelas, suara itu mirip dengan suara Bibi Nayu.

“Tapi untuk apa bibi memanggil malam-malam begini?” pikir Alya sambil menggigit bibirnya, ragu.

Suami sang bibi sedang bertugas di luar kota, dan anaknya juga sedang kuliah dan tak bisa pulang. Ia pasti sendirian di lantai tiga.

Mengingat itu, rasa khawatir perlahan mengalahkan keraguannya. Alya bangkit dari tempat tidur, mengabaikan peringatan ibunya sore tadi.

Ia melangkah keluar dari kamar, lorong panjang menuju tangga kini tampak gelap dan mencekam, seolah menelan setiap suara langkahnya. Tangannya gemetar saat meraih pegangan tangga, matanya menatap lurus ke atas, ke arah lantai tiga yang cahayanya redup.

“Alya, ke sini ….” Suara itu terdengar lagi, sedikit menggema di tangga yang kosong, terdengar seperti berasal dari ujung lorong di lantai tiga.

Alya menarik napas panjang, menenangkan diri, dan mulai menaiki anak tangga satu per satu, perlahan.

Semakin dekat ke lantai tiga, suhu udara semakin dingin, membuat bulu kuduknya berdiri. Ia merasa seperti sedang diawasi, tapi tak ada apa pun di sekelilingnya kecuali bayang-bayang yang bergerak mengikuti setiap langkahnya.

Ketika sampai di lantai tiga, lorong itu gelap gulita, hanya disinari sedikit cahaya bulan yang masuk dari jendela kecil di ujung. Rumah besar itu kini terasa begitu asing, dindingnya seolah berbisik pelan, dan suasana sepi yang mencekam semakin menekan batinnya.

“Bibi Nayu?” panggilnya pelan, suaranya bergetar.

Tak ada jawaban. Hanya hening yang terasa semakin dalam, membungkus setiap sudut lorong.

Ia melangkah lebih dalam, hingga tiba-tiba langkahnya terhenti saat melihat sesuatu di ujung lorong, bayangan samar berdiri di depan pintu kamar Bibi Nayu.

Bentuknya seperti seorang wanita, tapi wajahnya kabur tertutup kegelapan. Sosok itu tampak diam, mematung, seolah menunggunya.

Alya merasakan napasnya tercekat, kakinya terasa berat untuk melangkah. Namun, suara itu terdengar lagi, kali ini lebih lembut, seakan memanggilnya lebih dekat.

“Alya, kemarilah, Nak .…”

Dengan tubuh gemetar, ia memaksakan diri berjalan mendekati sosok itu. Namun, saat ia hanya beberapa langkah dari sosok tersebut, tiba-tiba bayangan itu lenyap, menghilang begitu saja.

Kamar Bibi Nayu kini berada tepat di hadapannya, pintunya sedikit terbuka, memperlihatkan kegelapan di dalamnya.

Dengan tangan gemetar, ia mendorong pintu kamar sedikit lebih lebar, berusaha melihat ke dalam. Kamar itu kosong, sunyi, dan udara di dalam terasa lembab.

Namun, tepat ketika ia hendak melangkah mundur, sebuah tangan dingin mencengkram bahunya dari belakang, menekan bahunya dengan kuat. Alya tersentak, matanya membelalak, dan keringat dingin mengalir di pelipisnya.

“Jangan mengabaikan leluhurmu, yo, Nduk ....” bisikan terdengar di telinganya, sedingin es, membuat tubuhnya kaku dan tak bisa bergerak.

Alya berusaha berteriak, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Ia hanya bisa menatap ke depan, ke dalam kamar kosong yang kini tampak menyeramkan, membawa aroma bunga melati yang semakin menyengat di hidungnya.

Pikirannya berusaha mengambil kontrol atas tubuhnya, ia berusaha berbalik, hendak melarikan diri dari lorong gelap itu.

Namun, langkahnya terhenti seketika kala ia mendapati sosok Bibi Nayu berdiri tepat di hadapannya. Wajah bibinya tampak dingin dan datar, sedikit dibalut bayang-bayang, membuatnya terlihat lebih pucat dari biasanya.

Alya memekik tertahan. “B-bibi?!” Suaranya gemetar.

Bibi Nayu mengerutkan alisnya, raut bingung melintas di wajahnya. “Alya? Ngapain kamu tengah malam begini di luar kamar? Bukankah Ibumu sudah bilang untuk tetap di dalam kamar?”

Alya terdiam sejenak, mencoba mengatur napasnya yang masih tersengal. “Aku … aku tadi dengar suara yang memanggil namaku, Bi. Kupikir itu Bibi yang butuh bantuan.”

Mata Bibi Nayu menyipit, ekspresinya berubah serius.

“Memanggil namamu? Alya, Bibi tidak memanggil kamu. Bibi baru saja dari kamar Paman Suhadi. Istrinya masuk angin, jadi Bibi bantu ngerokin dia.”

Alya menelan ludah, merasakan hawa dingin menyusup ke belakang leher dan mengalirkan listrik ke seluruh pembuluh darahnya. “Tapi … aku jelas dengar suara yang mirip suara Bibi.”

Bibi Nayu menggeleng, pandangannya masih sama dingin. “Alya, di rumah ini banyak hal yang tak bisa dijelaskan dengan logika. Makanya kalau diminta ibumu untuk tidak keluar, kamu nurut saja jangan ngeyel."

Ucapan itu membuat bulu kuduk Alya semakin meremang. Bibinya menatapnya tajam, seakan memperingatkan sesuatu yang sangat penting.

“Kembalilah ke kamarmu, Nak. Jangan dipikirkan terlalu jauh. Takutnya kamu malah pusing.”

Alya mengangguk dengan gugup, tak ingin menentang lebih jauh. Tubuhnya masih gemetar saat ia berbalik, melangkah kembali ke kamarnya.

Namun, saat ia menapaki tangga dengan perlahan, rasa tak nyaman kembali muncul di dadanya. Seolah ada sepasang mata yang mengawasinya di kegelapan, mengiringi setiap langkahnya.

Ketika ia akhirnya tiba di kamar dan menutup pintu, ia merasakan jantungnya berdegup kencang, nyaris ingin copot. Perlahan ia bersandar ke pintu, mencoba menenangkan diri, tapi perasaan itu tak juga hilang.

"Tunggu!" Gadis itu menegakkan tubuh, keningnya mengerut heran dengan sepasang mata menyipit. "Aku nggak boleh keluar kamar, tapi Bibi Nayu boleh? Apa larangan itu khusus untuk anak-anak saja? Ah, tapi aneh sekali. Nyatanya ibu juga tetap ada di kamar sejak tadi," pikirnya.

Keesokan paginya, Alya terbangun dengan tubuh terasa berat dan pegal, seakan baru saja digebuki semalaman. Ketika ia menggerakkan lengannya, ia merasakan nyeri yang membuatnya meringis.

Matanya tertuju pada beberapa lebam di tangan dan kakinya, membuatnya bertambah bingung.

“Apa ini ...?” gumamnya, masih setengah sadar. Ia mengamati lebam itu, ungu kebiruan, membentuk lingkaran yang tidak beraturan.

Dengan lemas, Alya keluar kamar dan menemukan ibunya di dapur.

“Bu, lihat, deh,” katanya sambil menunjukkan lebam-lebam di tubuhnya, “tubuhku kok pegal-pegal, seperti habis dipukulin orang. Terus … lebam-lebam ini dari mana, ya?”

Ibunya terdiam sejenak, memperhatikan lebam-lebam itu dengan ekspresi tak menentu. Sekilas, wajah wanita paruh baya itu tampak pucat, bibirnya bergumam lirih, “tandanya sudah muncul. Astaga ... putriku sudah ditandai!”

Tina menaruh lap di atas meja makan, lalu menatap Alya dengan serius. “Kita harus ke orang pintar, Nak. Biar kamu diobati dan dibersihkan.”

"Maksudnya apa, sih, Bu? Kalau pergi ke dokter masih masuk akal, aku memang butuh pengobatan. Tapi ngapain kita ke orang pintar? Itu nggak benar—"

Wanita paruh baya itu langsung memotong cepat ucapan putrinya, kilatan matanya menyorot tajam. "Jangan banyak bertanya, Nak! Ibumu ini hanya ingin melindungi nyawamu!"

"N-nyawaku ...?"

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (3)
goodnovel comment avatar
Ghea
dih, malah mendekat. nyari masalah aja
goodnovel comment avatar
Cahyanii98
alya jafi tumbal?
goodnovel comment avatar
Nayanika Shanum
bagus banget
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 74

    Cahaya matahari pagi menembus tirai jendela, menyinari rumah besar itu dengan hangat. Namun, suasana lantai dua terasa tegang. Tina, yang tengah merapikan barang-barangnya untuk pergi ke kos-kosan Alya, tiba-tiba merasa ada yang janggal.“Kenapa Nayu belum turun juga, ya?” gumamnya sambil melirik jam dinding. Jarum pendeknya sudah menunjuk angka sembilan. Biasanya, Nayu selalu muncul lebih pagi, entah untuk menyiapkan sarapan atau sekadar berkeliling.Tina menghentikan kegiatannya. Pikirannya terusik. Ia mencoba menepis kekhawatiran itu, tetapi firasatnya kian menguat. Akhirnya, dengan langkah pelan tapi pasti, ia memutuskan untuk naik ke lantai tiga.Tangga yang berderit di bawah pijakannya semakin menambah rasa was-was. Lantai tiga, yang biasanya jarang ia kunjungi, terasa begitu sunyi. Setibanya di depan kamar Nayu, Tina mengetuk pintu dengan hati-hati.“Nayu? Kamu di dalam?” panggilnya, berusaha terdengar tenang.Tak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras. “Nayu! Ban

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 73

    Rumah besar bergaya kolonial itu berdiri kokoh di tengah pekarangan yang sunyi. Malam telah larut, namun keheningan di lantai tiga terasa tidak biasa. Dinding-dinding tua berlapis cat yang mulai pudar memantulkan bayangan samar dari cahaya lilin yang berkerlip tak menentu. Udara di sana begitu pekat, seolah ada sesuatu yang mengintai, menunggu dalam bayangan gelap untuk menerkam.Di salah satu kamar di lantai itu, Nayu duduk bersila di lantai. Ruangan itu dipenuhi dengan benda-benda ritual, lilin hitam berjajar rapi di atas meja, sebuah cawan perak yang penuh cairan berbau menyengat, dan segumpal rambut kusut yang ia letakkan di atas kain merah. Matanya yang tajam menatap lekat rambut itu, tangannya mulai bergerak dengan pelan dan penuh tekad. Ia mulai merapal mantra, suaranya lirih, tapi penuh intensitas, seperti berbisik kepada kekuatan yang tidak kasat mata.“Aku tidak akan membiarkan mereka mengganggu rencanaku,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Namun, malam itu berbeda.

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 72

    Pagi ini, ia dan Narendra kembali ke rumah Pak Ustaz Harun—pamannya Narendra, seorang tokoh agama yang menjadi tumpuan mereka dalam melawan kutukan keluarga.Di perjalanan, Narendra mengemudikan mobil dengan tenang. Sementara itu, Alya duduk diam di kursi penumpang, menggenggam gelang perak yang terasa berat, seolah ada energi gelap yang mengalir darinya. Di pangkuannya, ada kotak kayu kuno berukir motif Jawa yang ia temukan di kamar mendiang kakeknya. “Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Narendra, memecah keheningan.Alya mengangkat bahunya. “Entahlah. Aku merasa lega, tapi sekaligus takut. Kalau ini nggak berhasil—”“Jangan berpikir begitu. Kita sudah sejauh ini. Aku yakin, Allah nggak akan membiarkan kita berjuang tanpa hasil.” Narendra mencoba menguatkan.Alya menatap kotak kayu di pangkuannya. “Kamu yakin semuanya akan selesai setelah ini?”Narendra mengangguk. “Itulah kenapa kita harus membakarnya. Semua benda yang jadi media kutukan harus dihancurkan total. Pak Ustaz juga

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 71

    “Ya Allah .…” Tina berdoa sambil menangis. “Kalau memang ini jalan yang harus kuambil, aku mohon … aku mohon, jangan biarkan Alya tahu. Jangan biarkan dia merasa bersalah. Dia nggak salah, semua ini karena dosa kami, dosa keluarga ini. Jangan hukum Alya, hukum aku saja.”Ia terisak lagi, kali ini lebih keras. Tangan kanannya menutupi wajahnya, tubuhnya gemetar hebat.Tangannya perlahan beralih ke dada, merasakan detak jantungnya yang semakin tak beraturan. Ia tahu efek ritual itu mungkin akan mulai terasa dalam beberapa hari ke depan. Bisa jadi tubuhnya akan melemah, bisa jadi ia akan sakit parah, atau bahkan meninggal.Tina tak berani menyelesaikan pikirannya. Namun, ia sudah siap. Ia tidak punya pilihan lain.Mobil yang ia kendarai kembali melaju perlahan, memasuki jalanan yang semakin sepi. Di tengah tangisannya, ia teringat lagi saat Alya memeluknya beberapa hari lalu. “Aku tahu kamu nggak akan berhenti, Nayu. Kamu mungkin akan cari cara lain kalau kamu tahu aku sudah menukar ram

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 70

    Malam hari.Tina memasuki rumah besar tiga lantai yang telah lama menjadi tempat tinggal keluarganya. Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Suara angin berdesir di sela-sela pohon mangga di halaman, seolah-olah menyampaikan peringatan akan sesuatu yang kelam. Kini ia sudah berdiri di depan pintu rumah, menyapa pembantu rumah tangga yang tengah membereskan meja ruang tamu. "Nayu di mana?" tanyanya singkat, mencoba terdengar santai meski hatinya terus berdebar."Bu Nayu tadi bilang mau keluar sebentar, Bu. Katanya beli sesuatu," jawab pembantu itu sambil melipat kain lap.Mata Tina sedikit membelalak, tapi ia segera menenangkan diri. "Oh, ya sudah. Kalau begitu, saya mau naik ke lantai tiga sebentar. Ada yang ketinggalan."Pembantu itu hanya mengangguk, tak mencurigai apa-apa.Tina melangkah ke tangga, kali ini berhati-hati agar langkahnya tak menimbulkan suara berlebihan. Tangga kayu itu sesekali berderit pelan, membuatnya berhenti sejenak untuk memastikan tak ada orang yang me

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 69

    Alya duduk dengan tubuh menggigil di atas karpet tipis yang membentang di ruang utama rumah sang ustadz. Pandangannya kosong, namun hatinya bergemuruh. Tubuhnya masih terasa panas, meski hawa dingin malam telah menyusup dari celah-celah jendela. Narendra duduk di dekatnya, mengamati Alya dengan cemas. "Alya," suara ustadz itu lembut, memecah keheningan. "Sebelum kita mulai, kamu harus menyucikan dirimu terlebih dahulu. Wudhu dan salat taubat adalah langkah awal untuk membuka hatimu kepada Allah. Setelah itu, kita lanjutkan dengan ruqyah. Apakah kamu siap?" Alya mengangguk perlahan, meski tubuhnya tampak lemah. "Saya siap, Ustadz," suaranya terdengar parau. Narendra segera berdiri, bersiap membantu jika Alya tidak kuat berjalan. Ustadz itu menunjukkan arah kamar mandi. "Narendra, temani dia. Pastikan dia baik-baik saja." Dengan langkah gontai, Alya berjalan menuju kamar mandi, Narendra mengikutinya dengan penuh perhatian. Di dalam kamar mandi, ia memercikkan air wudhu ke wajah

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 68

    Alya membaca tulisan itu berulang kali, mencoba memahami maksudnya. Tubuhnya terasa semakin berat, seolah tulisan di atas kertas itu membawa beban yang tak kasat mata. Suara Narendra memecah keheningan."Jadi, gelang ini semacam kunci perjanjian, ya?" Narendra mengamati ukiran pada gelang perak itu. "Dan perjanjian itu jelas-jelas kutukan untuk keluargamu."Alya mengangguk pelan, bibirnya gemetar. "Iya, ini pasti ada hubungannya dengan ritual pesugihan. Tapi siapa yang menaruh gelang dan kertas ini di kotak ini? Kalau Kakek, kenapa nggak cerita ke anak-anaknya?"Narendra menggeleng. "Mungkin seseorang dari keluargamu. Tapi yang lebih penting sekarang, kita harus tahu bagaimana mengakhiri ini semua."Alya menunduk, menatap gelang itu dengan campuran rasa takut dan penasaran. "Ren, aku harus mengembalikan gelang ini ke tempat asalnya, kan? Kalau nggak, kutukan ini nggak akan pernah berhenti menghantui keluargaku."Narendra menaruh tangannya di bahu Alya, menenangkan. "Kita cari tahu dul

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 67

    Keesokan HarinyaUdara dingin pagi itu terasa menusuk tulang ketika Alya dan Narendra tiba di depan rumah besar peninggalan Kakek Suroto. Bangunan itu menjulang angker dengan arsitektur kuno. Langit mendung menambah kesan mencekam pada suasana sekitar. Alya menarik napas panjang, mencoba mengusir keraguan yang menyelimuti hatinya.“Aku masih nggak yakin ini ide bagus, Ren,” bisiknya sambil melirik Narendra yang berdiri di sebelahnya dengan raut wajah serius.“Kita sudah sampai sejauh ini, Alya. Kalau kita nggak ambil kotak itu sekarang, entah apa yang akan terjadi padamu,” jawab Narendra. Ia menggenggam bahu Alya, mencoba memberinya keberanian. “Aku ada di sini, nggak perlu takut.”Alya mengangguk pelan. Dengan langkah hati-hati, ia membuka pintu samping yang biasa digunakan pekerja rumah untuk masuk. Tiga pekerja yang tengah membersihkan dapur langsung menoleh kaget melihat kehadiran Alya. Namun sebelum mereka sempat mengatakan sesuatu, Alya mengangkat tangannya, memberi isyarat aga

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 66

    Tina tetap berdiri di depan celah pintu kamar Nayu. Pandangannya terpaku pada apa yang dilakukan adiknya di dalam ruangan. Nayu tampak serius, duduk bersila di lantai, dengan lilin-lilin hitam yang berkeliling mengelilinginya. Di tengah ritual itu, mata Tina tertumbuk pada sebuah benda yang membuat hatinya berdesir.Di atas kain merah dengan aksara kuno yang tampak asing, tergeletak segumpal rambut hitam pekat. Di sebelahnya, selembar foto Alya yang sudah kusam. Tangan Tina bergetar, dan ia menahan napas saat mendapati potongan rambut itu sangat mirip dengan milik putrinya."Astaga," Tina berbisik dalam hati. "Itu pasti rambutnya Alya?"Ia menggigit bibir, berusaha untuk tetap tenang. Kakinya terasa seperti tertancap ke lantai, sulit untuk digerakkan. Pandangannya bergantian antara Nayu yang tampak khusyuk melafalkan sesuatu dan benda-benda di depannya.Nayu tampak memejamkan mata, sesekali tangannya mengangkat mangkuk logam di hadapannya, kemudian meletakkannya kembali dengan gerakan

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status