Share

Terbongkar

Author: Els Arrow
last update Last Updated: 2024-11-01 23:32:10

Pagi itu, kedatangan Narendra disambut Alya dengan wajah yang masih penuh keresahan. Tanpa membuang waktu, ia langsung mengajak sahabatnya itu duduk di ruang tamu. Beruntung tak ada orang di rumah ini, semua pergi bekerja.

“Naren, aku nggak tahu lagi apa yang terjadi di rumah ini,” bisik Alya pelan sambil sesekali melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada siapa pun di dekat mereka. “Suara-suara aneh itu ... dan bayangan yang muncul di kamarku ... semuanya terlalu nyata.”

Narendra mengangguk, menatap Alya dengan penuh perhatian. “Alya, aku tahu kamu sedang mengalami masa yang berat. Coba tarik napas dulu, tenangin diri. Ini nggak baik kalau kamu terus merasa tertekan begini."

Alya menarik napas dalam-dalam, meskipun masih terlihat gemetar. “Naren ... aku bahkan merasa kayak mau gila. Semalam aku dengar suara minta tolong dari arah halaman belakang, terus ada bayangan putih yang muncul di kamarku. Ini bukan cuma sekali dua kali aku ngalamin yang kayak gitu.”

“Dengar, Alya. Ada banyak penjelasan logis yang mungkin bisa kita pertimbangkan dulu. Kadang, stres dan kelelahan bisa bikin kita halusinasi, apalagi kalau suasana di sini memang cukup menyeramkan.”

Alya hanya menggelengkan kepala, matanya berkaca-kaca. “Tapi ... Naren, rasanya terlalu nyata. Aku bahkan bisa merasakan hawa dingin dan bau anyir itu seakan masih tertinggal di kamar Kakek.”

Narendra terdiam sesaat, berusaha menyusun kata-kata agar tidak membuat Alya semakin takut.

“Baiklah, kalau kamu merasa ini lebih dari sekadar halusinasi, aku akan coba bantu. Tapi, kamu harus tetap tenang, ya. Ingat, manusia dan jin memang hidup berdampingan. Mungkin ada yang sekadar lewat atau memang sudah lama tinggal di sini.”

Wajah Alya semakin pucat mendengar kata-kata Narendra, tetapi ia mengangguk pelan, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan.

“Jadi ... kamu yakin kalau ini bukan sekadar khayalanku? Ada yang benar-benar di sini, ya?”

Narendra menarik napas, lalu menghela pelan. “Aku nggak bilang ini pasti, tapi dari yang aku rasakan ... ada beberapa energi yang memang menetap di sini, Alya. Tapi mereka nggak selalu mengganggu, kok. Kadang, kita yang terlalu cemas, dan itu malah memancing mereka untuk muncul.”

“Astaga, Naren. Jadi, bayangan yang aku lihat di kamar itu benar-benar penunggu rumah ini?!” bisik Alya, suaranya mulai bergetar.

Narendra tersenyum tipis, mencoba menenangkan. “Mungkin iya, tapi mungkin juga hanya sisa energi. Makanya, kamu harus tenang. Kalau kamu panik, itu malah bikin suasana makin mencekam. Mereka ini nggak bisa diganggu, Alya. Cobalah belajar untuk menerima kehadiran mereka dengan tenang.”

Alya menggigit bibir, masih bingung dan ketakutan. “Tapi kenapa mereka sampai muncul kayak gitu? Bukannya biasanya mereka nggak ganggu kalau nggak diganggu?”

“Benar. Tapi bisa jadi, ada sesuatu di sini yang memancing mereka untuk hadir. Ada energi yang mungkin mengundang, atau mungkin kamu sendiri sedang dalam kondisi yang rentan, sehingga lebih mudah menyadari kehadiran mereka. Atau bisa juga ... ada pesan yang ingin mereka sampaikan.”

Alya menghela napas panjang. “Naren, terus terang, aku udah nggak kuat. Aku beneran takut. Semalam, suara tangisan dan bisikan itu ... aku nggak bisa lupain.”

Narendra mengangguk lagi, dan kali ini ia menatap sekeliling, mencoba merasakan energi di rumah tersebut.

“Aku akan coba bicara sama mereka, Alya. Sekadar memastikan, apakah mereka hanya menumpang atau ada hal lain.”

“Bicara?!” Alya terkejut, matanya membelalak. "Gimana caranya?”

“Bukan bicara langsung, lebih ke ... merasakan. Ini bukan seperti yang kamu bayangkan, kok.”

Alya menggigit bibir, tak tahu harus berkata apa. “Kalau memang ada sesuatu di sini, kenapa mereka minta tolong sama aku, ya, Naren? Aku, kan, nggak tahu apa-apa.”

Narendra terdiam sejenak, seolah menimbang jawabannya. “Kadang, mereka yang tinggal di antara dunia kita dan dunia mereka memiliki kisah yang belum selesai. Ada yang mungkin tersesat, ada yang masih menyimpan beban.”

Alya menunduk, teringat akan segala hal janggal yang terjadi di rumah itu, terutama setelah kematian kakeknya. “Jadi, kamu pikir mereka ini ... terjebak?”

“Mungkin. Kita nggak pernah tahu pasti, Alya. Yang bisa kita lakukan hanya berusaha memahami dan menghormati keberadaan mereka. Jangan terlalu terpancing dengan ketakutan, karena itu hanya akan membuat mereka semakin mendekat,” ujar Narendra sambil menepuk bahu Alya dengan lembut.

Alya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri meski hatinya masih diliputi ketakutan. Namun, kehadiran Narendra membuatnya merasa sedikit lebih kuat, seolah ada secercah harapan yang mulai muncul di tengah segala keanehan yang menghantui.

Obrolan mereka mendadak terhenti ketika seorang asisten rumah tangga datang membawa nampan berisi air minum dan camilan.

Alya mempersilakan Narendra untuk menikmati hidangan itu, dan ia sendiri hanya mengambil sepotong kue, sementara Narendra memilih air mineral.

Namun, baru saja Narendra menyesap seteguk, ekspresinya tiba-tiba berubah. Ia berhenti, menatap botol itu dengan raut tak enak, matanya memicing seolah melihat sesuatu yang tak kasat mata.

“Ada apa, Naren?” Alya bertanya, bingung melihat reaksi sahabatnya yang tampak tak biasa.

Narendra menelan ludah dengan berat, lalu menatap Alya, kali ini dengan sorot yang lebih serius.

Ia berbisik, “Alya ... rasanya ini bukan air biasa. Rasanya seperti ... darah. Kental, anyir, dan ada aroma busuk.”

Alya tersentak, merasakan hawa dingin menjalari punggungnya. Ia menatap gelas di tangan Narendra, tetapi yang ia lihat hanyalah air jernih seperti biasa.

“Darah? Naren, jangan bercanda! Ini ... ini cuma air mineral biasa.”

Narendra mendekatkan wajahnya ke gelas, mencium aroma yang tak tercium oleh hidung Alya.

“Dalam penglihatanku, Alya, air ini memang bukan sekadar air. Ini ... darah. Darah yang digunakan sebagai pengikat.”

“Pengikat?” Alya berbisik ketakutan, merasakan desiran angin dingin di sekelilingnya, seolah hawa ruangan itu mendadak berubah. “Naren, maksudmu apa? Pengikat untuk apa?”

Narendra menatapnya lekat-lekat, ekspresi wajahnya semakin serius. “Perjanjian, Alya. Keluarga ini terikat dalam perjanjian yang melibatkan darah. Entah darah siapa, tapi ini adalah tanda bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Sesuatu yang gelap dan tak kasat mata.”

Alya menelan ludah, pikirannya kacau. Ia mencoba memahami kata-kata Narendra, tetapi yang muncul dalam benaknya adalah secarik kertas lusuh yang pernah ia temukan di kamar mendiang kakeknya. Wasiat yang ditulis dengan tinta pudar, penuh dengan kalimat yang sulit dipahami.

“Perjanjian ... darah?” gumamnya, seakan bertanya pada dirinya sendiri. Matanya membesar, penuh kekhawatiran. “Apakah ini ... ada hubungannya dengan wasiat itu? Aku ... aku pernah menemukan surat wasiat milik Kakek. Tapi aku tak paham isinya, hanya beberapa kalimat yang terasa seperti peringatan. Kamu pikir, perjanjian itu terkait dengan kertas itu?”

Narendra mengangguk pelan, sorot matanya tetap tajam mengawasi setiap gerak-gerik Alya. “Mungkin saja. Darah sering kali digunakan sebagai lambang persembahan atau tumbal. Ia bukan sekadar ikatan, Alya, tapi juga penanda. Bisa jadi, perjanjian yang kakekmu buat melibatkan persembahan ini. Darah yang mengikat generasi ke generasi, menuntut sesuatu sebagai balasannya.”

Alya menggigit bibirnya, rasa ngeri menjalari tubuhnya hingga membuatnya gemetar. Seketika, ia merasakan ketakutan yang lebih dalam, seakan ada bayang-bayang gelap yang mengintainya dari sudut-sudut rumah ini.

“Tapi ... kenapa aku? Kenapa semua ini terjadi padaku?”

Narendra menyentuh bahunya, berusaha menenangkannya meskipun ia sendiri merasakan kehadiran sesuatu yang tak wajar.

“Alya, kamu bagian dari keluarga ini, dan ikatan darah itu mungkin memilihmu sebagai penerus. Tumbal yang diminta mungkin bukan sekadar nyawa, tapi jiwa dan ketenangan keluargamu.”

“Tumbal?” Alya bergidik, bulu kuduknya berdiri mendengar kata itu.

Narendra menarik napas panjang. “Alya, setiap perjanjian yang melibatkan kekuatan gelap memiliki harga yang harus dibayar. Kakekmu mungkin menginginkan sesuatu hal untuk keluarga ini, tapi sebagai gantinya, ada tumbal yang harus dipersembahkan. Darah itu mungkin adalah lambang dari setiap nyawa yang telah atau akan dikorbankan.”

Alya merasakan pandangannya kabur, kepalanya pening memikirkan semua ini. “Ini ... ini terlalu mengerikan. Aku nggak pernah berpikir kalau keluarga ini terlibat dalam hal semacam ini.”

Narendra mengangguk, menatap Alya dengan tatapan penuh simpati. “Aku tahu ini berat, Alya. Tapi kamu harus siap, karena ada kemungkinan bahwa kamu telah menjadi bagian dari perjanjian itu tanpa kamu sadari.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 74

    Cahaya matahari pagi menembus tirai jendela, menyinari rumah besar itu dengan hangat. Namun, suasana lantai dua terasa tegang. Tina, yang tengah merapikan barang-barangnya untuk pergi ke kos-kosan Alya, tiba-tiba merasa ada yang janggal.“Kenapa Nayu belum turun juga, ya?” gumamnya sambil melirik jam dinding. Jarum pendeknya sudah menunjuk angka sembilan. Biasanya, Nayu selalu muncul lebih pagi, entah untuk menyiapkan sarapan atau sekadar berkeliling.Tina menghentikan kegiatannya. Pikirannya terusik. Ia mencoba menepis kekhawatiran itu, tetapi firasatnya kian menguat. Akhirnya, dengan langkah pelan tapi pasti, ia memutuskan untuk naik ke lantai tiga.Tangga yang berderit di bawah pijakannya semakin menambah rasa was-was. Lantai tiga, yang biasanya jarang ia kunjungi, terasa begitu sunyi. Setibanya di depan kamar Nayu, Tina mengetuk pintu dengan hati-hati.“Nayu? Kamu di dalam?” panggilnya, berusaha terdengar tenang.Tak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras. “Nayu! Ban

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 73

    Rumah besar bergaya kolonial itu berdiri kokoh di tengah pekarangan yang sunyi. Malam telah larut, namun keheningan di lantai tiga terasa tidak biasa. Dinding-dinding tua berlapis cat yang mulai pudar memantulkan bayangan samar dari cahaya lilin yang berkerlip tak menentu. Udara di sana begitu pekat, seolah ada sesuatu yang mengintai, menunggu dalam bayangan gelap untuk menerkam.Di salah satu kamar di lantai itu, Nayu duduk bersila di lantai. Ruangan itu dipenuhi dengan benda-benda ritual, lilin hitam berjajar rapi di atas meja, sebuah cawan perak yang penuh cairan berbau menyengat, dan segumpal rambut kusut yang ia letakkan di atas kain merah. Matanya yang tajam menatap lekat rambut itu, tangannya mulai bergerak dengan pelan dan penuh tekad. Ia mulai merapal mantra, suaranya lirih, tapi penuh intensitas, seperti berbisik kepada kekuatan yang tidak kasat mata.“Aku tidak akan membiarkan mereka mengganggu rencanaku,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Namun, malam itu berbeda.

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 72

    Pagi ini, ia dan Narendra kembali ke rumah Pak Ustaz Harun—pamannya Narendra, seorang tokoh agama yang menjadi tumpuan mereka dalam melawan kutukan keluarga.Di perjalanan, Narendra mengemudikan mobil dengan tenang. Sementara itu, Alya duduk diam di kursi penumpang, menggenggam gelang perak yang terasa berat, seolah ada energi gelap yang mengalir darinya. Di pangkuannya, ada kotak kayu kuno berukir motif Jawa yang ia temukan di kamar mendiang kakeknya. “Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Narendra, memecah keheningan.Alya mengangkat bahunya. “Entahlah. Aku merasa lega, tapi sekaligus takut. Kalau ini nggak berhasil—”“Jangan berpikir begitu. Kita sudah sejauh ini. Aku yakin, Allah nggak akan membiarkan kita berjuang tanpa hasil.” Narendra mencoba menguatkan.Alya menatap kotak kayu di pangkuannya. “Kamu yakin semuanya akan selesai setelah ini?”Narendra mengangguk. “Itulah kenapa kita harus membakarnya. Semua benda yang jadi media kutukan harus dihancurkan total. Pak Ustaz juga

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 71

    “Ya Allah .…” Tina berdoa sambil menangis. “Kalau memang ini jalan yang harus kuambil, aku mohon … aku mohon, jangan biarkan Alya tahu. Jangan biarkan dia merasa bersalah. Dia nggak salah, semua ini karena dosa kami, dosa keluarga ini. Jangan hukum Alya, hukum aku saja.”Ia terisak lagi, kali ini lebih keras. Tangan kanannya menutupi wajahnya, tubuhnya gemetar hebat.Tangannya perlahan beralih ke dada, merasakan detak jantungnya yang semakin tak beraturan. Ia tahu efek ritual itu mungkin akan mulai terasa dalam beberapa hari ke depan. Bisa jadi tubuhnya akan melemah, bisa jadi ia akan sakit parah, atau bahkan meninggal.Tina tak berani menyelesaikan pikirannya. Namun, ia sudah siap. Ia tidak punya pilihan lain.Mobil yang ia kendarai kembali melaju perlahan, memasuki jalanan yang semakin sepi. Di tengah tangisannya, ia teringat lagi saat Alya memeluknya beberapa hari lalu. “Aku tahu kamu nggak akan berhenti, Nayu. Kamu mungkin akan cari cara lain kalau kamu tahu aku sudah menukar ram

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 70

    Malam hari.Tina memasuki rumah besar tiga lantai yang telah lama menjadi tempat tinggal keluarganya. Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Suara angin berdesir di sela-sela pohon mangga di halaman, seolah-olah menyampaikan peringatan akan sesuatu yang kelam. Kini ia sudah berdiri di depan pintu rumah, menyapa pembantu rumah tangga yang tengah membereskan meja ruang tamu. "Nayu di mana?" tanyanya singkat, mencoba terdengar santai meski hatinya terus berdebar."Bu Nayu tadi bilang mau keluar sebentar, Bu. Katanya beli sesuatu," jawab pembantu itu sambil melipat kain lap.Mata Tina sedikit membelalak, tapi ia segera menenangkan diri. "Oh, ya sudah. Kalau begitu, saya mau naik ke lantai tiga sebentar. Ada yang ketinggalan."Pembantu itu hanya mengangguk, tak mencurigai apa-apa.Tina melangkah ke tangga, kali ini berhati-hati agar langkahnya tak menimbulkan suara berlebihan. Tangga kayu itu sesekali berderit pelan, membuatnya berhenti sejenak untuk memastikan tak ada orang yang me

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 69

    Alya duduk dengan tubuh menggigil di atas karpet tipis yang membentang di ruang utama rumah sang ustadz. Pandangannya kosong, namun hatinya bergemuruh. Tubuhnya masih terasa panas, meski hawa dingin malam telah menyusup dari celah-celah jendela. Narendra duduk di dekatnya, mengamati Alya dengan cemas. "Alya," suara ustadz itu lembut, memecah keheningan. "Sebelum kita mulai, kamu harus menyucikan dirimu terlebih dahulu. Wudhu dan salat taubat adalah langkah awal untuk membuka hatimu kepada Allah. Setelah itu, kita lanjutkan dengan ruqyah. Apakah kamu siap?" Alya mengangguk perlahan, meski tubuhnya tampak lemah. "Saya siap, Ustadz," suaranya terdengar parau. Narendra segera berdiri, bersiap membantu jika Alya tidak kuat berjalan. Ustadz itu menunjukkan arah kamar mandi. "Narendra, temani dia. Pastikan dia baik-baik saja." Dengan langkah gontai, Alya berjalan menuju kamar mandi, Narendra mengikutinya dengan penuh perhatian. Di dalam kamar mandi, ia memercikkan air wudhu ke wajah

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 68

    Alya membaca tulisan itu berulang kali, mencoba memahami maksudnya. Tubuhnya terasa semakin berat, seolah tulisan di atas kertas itu membawa beban yang tak kasat mata. Suara Narendra memecah keheningan."Jadi, gelang ini semacam kunci perjanjian, ya?" Narendra mengamati ukiran pada gelang perak itu. "Dan perjanjian itu jelas-jelas kutukan untuk keluargamu."Alya mengangguk pelan, bibirnya gemetar. "Iya, ini pasti ada hubungannya dengan ritual pesugihan. Tapi siapa yang menaruh gelang dan kertas ini di kotak ini? Kalau Kakek, kenapa nggak cerita ke anak-anaknya?"Narendra menggeleng. "Mungkin seseorang dari keluargamu. Tapi yang lebih penting sekarang, kita harus tahu bagaimana mengakhiri ini semua."Alya menunduk, menatap gelang itu dengan campuran rasa takut dan penasaran. "Ren, aku harus mengembalikan gelang ini ke tempat asalnya, kan? Kalau nggak, kutukan ini nggak akan pernah berhenti menghantui keluargaku."Narendra menaruh tangannya di bahu Alya, menenangkan. "Kita cari tahu dul

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 67

    Keesokan HarinyaUdara dingin pagi itu terasa menusuk tulang ketika Alya dan Narendra tiba di depan rumah besar peninggalan Kakek Suroto. Bangunan itu menjulang angker dengan arsitektur kuno. Langit mendung menambah kesan mencekam pada suasana sekitar. Alya menarik napas panjang, mencoba mengusir keraguan yang menyelimuti hatinya.“Aku masih nggak yakin ini ide bagus, Ren,” bisiknya sambil melirik Narendra yang berdiri di sebelahnya dengan raut wajah serius.“Kita sudah sampai sejauh ini, Alya. Kalau kita nggak ambil kotak itu sekarang, entah apa yang akan terjadi padamu,” jawab Narendra. Ia menggenggam bahu Alya, mencoba memberinya keberanian. “Aku ada di sini, nggak perlu takut.”Alya mengangguk pelan. Dengan langkah hati-hati, ia membuka pintu samping yang biasa digunakan pekerja rumah untuk masuk. Tiga pekerja yang tengah membersihkan dapur langsung menoleh kaget melihat kehadiran Alya. Namun sebelum mereka sempat mengatakan sesuatu, Alya mengangkat tangannya, memberi isyarat aga

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 66

    Tina tetap berdiri di depan celah pintu kamar Nayu. Pandangannya terpaku pada apa yang dilakukan adiknya di dalam ruangan. Nayu tampak serius, duduk bersila di lantai, dengan lilin-lilin hitam yang berkeliling mengelilinginya. Di tengah ritual itu, mata Tina tertumbuk pada sebuah benda yang membuat hatinya berdesir.Di atas kain merah dengan aksara kuno yang tampak asing, tergeletak segumpal rambut hitam pekat. Di sebelahnya, selembar foto Alya yang sudah kusam. Tangan Tina bergetar, dan ia menahan napas saat mendapati potongan rambut itu sangat mirip dengan milik putrinya."Astaga," Tina berbisik dalam hati. "Itu pasti rambutnya Alya?"Ia menggigit bibir, berusaha untuk tetap tenang. Kakinya terasa seperti tertancap ke lantai, sulit untuk digerakkan. Pandangannya bergantian antara Nayu yang tampak khusyuk melafalkan sesuatu dan benda-benda di depannya.Nayu tampak memejamkan mata, sesekali tangannya mengangkat mangkuk logam di hadapannya, kemudian meletakkannya kembali dengan gerakan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status