Dokter Farid tak kuasa menolak apalagi jadwal dinasnya sudah selesai. Tak ada alasan untuk tak membantuku. "Ok. Tunggu di sini, aku ke parkiran." Ia berlari kecil menuju tempat parkir. Mobil sport warna hitam miliknya langsung meluncur dari area parkiran dan berhenti tepat di depanku."Ayo, pelan-pelan, Dok," sahutnya seraya memegang kursi roda dengan kuat. Aku memilih duduk di jok tengah sebab ingin lebih sedikit rileks."Sudah siap?" tanyanya memastikan."Ok. Siap. Berangkat!" Aku menaikkan jempol.Dokter Farid melajukan mobilnya. Ia terus bertanya rute sebab lokasi yang dituju belum pernah dikunjunginya sama sekali. Pelabuhan penyeberangan menuju Pulau Tanakeke butuh waktu sekitar satu jam perjalanan dari arah kota Makassar itupun kalau tidak macet. Jujur saja, hatiku saat ini sungguh tak karuan. Khawatir kalau-kalau nantinya jenazah Pak Ichwan sudah menyeberang, aku pasti ketinggalan kapal. Kalau tidak salah ingat, kapal yang menyeberang hanya satu kali dalam sehari. Agak lebih
Kita langsung ke rumah sakit saja. Check up di radiologi dulu baru lanjut ke fisioterapi." Ajak Dokter Farid setelah kami menaiki mobil dan meninggalkan area pelabuhan."Itu perbannya sudah harus diganti dan minum antibiotik paling bagus biar lekas pulih." "Iya." Aku menjawab seadanya. Sungguh, hatiku ikut terbawa ke Tanakeke."Kalau besok belum pulih juga, terpaksa batal berangkat.""Jangan begitu! Aku pastikan besok sudah sembuh.""Kita lihat saja nanti.""Ok. Malam ini aku mau rawat inap biar ditangani maksimal.""Apa perlu bantuan perawat buat jagain, Dok?" Dokter Farid tertawa kecil ke arahku. Keisengannya mulai muncul. Saat seperti sekarang sering sekali aku jadi bahan ejekan, tetapi itu berlaku hanya pada saat kami berdua. Jika ada orang lain, ia pun tak berani sebab takut menurunkan wibawaku."Gak usah, aku terbiasa sendiri.""Hahaha. Sendiri? Aku sampai lupa kalau Dokter Hasyim The Power Of Jomlo." Tawanya yang menggelegar terdengar seperti Rahwana di telingaku. Sangat menye
"Bantu aamiinin, dong, Bu.""Aamiiin satu juta kali." Bu Siah mengangkat kedua tangannya seperti orang yang sedang bermunajat."Pamit dulu, Bu. Assalamu'alaikum." Aku langsung keluar rumah meninggalkan Bu Siah, ART yang sudah lebih dari sepuluh tahun bekerja di rumahku."Rapi amat, Pak Dokter." Setelah Bu Siah, giliran Dokter Farid meledekku."Ayo, lekas! Jangan sampai ketinggalan kapal lagi." Aku memerintah seperti bos. Jika ledekannya ditanggapi akan panjang pembahasan.Dokter Farid terkekeh lalu menghidupkan mesin mobil dan siap menuju pelabuhan.Berkali-kali aku menatap pada spion tengah mobil untuk memastikan wajahku tak pucat sebab grogi. Banyak bahan obrolan yang kami tuntaskan sepanjang perjalanan hingga mobil memasuki area pelabuhan. Seperti kemarin, aku ke loket membeli tiket untuk satu orang lalu mengambil posisi di ruang tunggu."Hati-hati di jalan, Dok. Jangan lupa, pulangnya bawa bidadari." Dokter Farid pamit setelah memastikan aku sudah memiliki tiket."Ok. Thanks, Do
"Minggir! Minggir!" Seru salah seorang diantara mereka kepada sebagian yang masih berdiri di ambang pintu dan menghalangi jalan."Lekas naikkan di mobil!" Aku yang mendengar itu mendadak jiwa ragaku dikepung ketakutan. Bukan pertama kali aku mendapati seorang ibu yang keguguran lalu terjadi pendarahan hebat dan akhirnya meninggal dunia sebab kehabisan pasokan darah sebelum transfusi selesai.Bagaimana jika itu Berlian? Ya Tuhan, sungguh takdirku begitu malang. Setelah berjuang untuk jumpa, malah …. ah, sudahlah."Bawa ke klinik!" seru seseorang kepada pria yang sudah duduk di depan kemudi.Melihat orang membutuhkan pertolongan medis membuat jiwa kemanusiaan ku bergejolak. Buket-buket yang ada dalam genggaman segera kuletakkan begitu saja di kursi teras kemudian sigap menghampiri seorang lelaki yang tengah duduk santai di atas motornya, "Pak, ojek!" pintaku cepat sembari menepuk bahunya."Maaf. Bukan ojek, cuma datang melayat juga." Dengan santainya lelaki itu menjawab. Hanya menunjuk
"M-maaf, Pak. Bisa minta tolong sebentar?" Aku mendekat ke arah petugas kebersihan klinik yang sedang istirahat."Minta tolong apa, Pak? Kalau mau duit, maaf gak bisa bantu." Dengan polosnya ia menjawab. Memangnya tampangku ini seperti orang yang tidak punya uang?"Bukan mau minta duit. Minta tolong diantar ke rumah teman.""Rumahnya di mana?""Di dekat taman baca.""Oh, dekat saja kok, bisa jalan kaki."Sebenarnya jaraknya tidak terlalu jauh, cuma jika harus jalan kaki di tengah terik begini, rasanya tengkuk hendak terbakar. Aku lantas membuka dompet dan mengeluarkan selembar uang seratus ribu."Ini ongkosnya, Pak!" Kusodorkan uang itu di depannya berharap ia mau mengantarku."Ayo!" Uang itu disambarnya tanpa berpikir panjang.Tiba di rumah Berlian, suasana rumahnya sudah sepi, tak satu pun orang yang melayat tadi kulihat saat ini. Hanya dua buket yang masih setia di kursi teras. Aku merapikan penampilan, mengatur napas, lalu mengambil kembali dua buket itu, perlahan kuketuk pintu r
Lho, Nak Hasyim belum menikah?" Nada sulit percaya terucap dari mulut ayah Berlian. Wajar. Usia sudah di angka empat, semua orang akan mengira sudah memiliki anak usia remaja."Belum, Pak.""Padahal dokter, lho. Kerjaan bagus begitu, langsung nunjuk perempuan pasti pada mau dijadikan isteri.""Yeah, belum tentu juga, Pak." Aku sedikit menyanggah biar tidak terlalu merasa percaya diri."Mungkin Nak Hasyim pasang kriteria terlalu tinggi.""Tidak, Pak. Cuman memang sejak kuliah di kedokteran, aku sibuk karena nyambi bekerja buat tambahan uang saku, hampir tidak ada waktu buat bermain-main sama temen-temen, terlebih lagi soal pacaran, tidak ada gadis yang berminat sama mahasiswa kere.""Waktu di rumah sakit, kamu bilang mau ngenalin aku sama istrimu, iya, kan?"Berlian menimpali, suaranya yang cempreng dan terdengar sengau karena menangis menjadi semakin terdengar lucu di telinga."Aku gak pernah bilang begitu." Memang iya, kan. Berlian cuma bilang mau kenalan dengan istriku, aku jawab sa
Aku begitu pandai memang menyimpan perasaanku pada Berlian serapat mungkin. Tak ada celah untuk orang lain tahu. Bahkan dari gelagat pun kuupayakan tidak menunjukkan tanda spesial lalu akhirnya aku merasa terluka sendiri dan menyesal, mengapa tidak dari dulu aku utarakan agar perasaan ini tidak semakin menyiksa hari demi hari. Semakin aku berusaha melupakannya, semakin kuat pula ia hadir dalam ingatan.Seperti hari ini, agenda kedatanganku untuk melayat suaminya, tidak ada yang lain, tetapi malah terjebak dalam pembahasan masa lalu. Aku menyimakdan sesekali menimpali sembari memerhatikan detak jantungku yang mulai tak seirama."Maaf, Pak, eh, Lian. Di sini apa ada penginapan? Aku baru tahu kalau jadwal perahu dompeng hanya satu kali dalam sehari, mau tidak mau harus menginap."Sengaja kualihkan pembicaraan agar tidak semakin canggung. Masalah pendamping hidup adalah tema yang paling kuhindari, bosan jika harus mendapat pertanyaan yang sama dan terus berulang."Oh, iya memang. Makanya
Sembari mengatur napas yang sempat berantakan, aku melangkah mendekat ke arah ayah Berlian. Beliau menunjukkan secarik kertas yang tadi sempat membuatku panik. Sekarang bukannya rasa panik itu hilang malah semakin bertambah. Aku berusaha menelan ludah yang mendadak tercekat."Makasih, Pak." Sigap aku meraih foto itu lalu memasukkannya dengan cepat ke dalam saku kemeja."Foto Berlian?""I-iya, Pak." Pura-pura aku mengusap tengkuk, seakan-akan kedinginan oleh angin malam."Dulu, Berlian sangat ingin kuliah, tetapi sejak insiden ia terjatuh dan matanya sakit, kondisi tidak memungkinkan sebab harus rutin check up. Foto itu mengingatkan bahwa ia pernah sangat manis dengan bola mata yang berbinar."Aku yang mendengar itu langsung dihantam rasa bersalah hebat. Aku penyebab kegagalan Berlian meraih cita-citanya.Ayah Berlian menatap laut lepas sembari mengenang masa remaja puteri satu-satunya. "Sekarang pun jika cuaca sangat panas, bola matanya sering berair dan sedkit gatal.""Kata dokter wa