Kamar berukuran tiga kali tiga meter itu terasa begitu pengap. Bayangan Asih dan janjinya terhadap Mak Ram serta kehidupannya waktu di desa benar-benar menyita waktunya. Emak yang selalu ia rindukan perihal nasehat-nasehatnya, jangan lupa makannya, jangan lupa ibadahnya, senyumnya yang begitu tulus hingga marahnya, seperti hari itu ketika ia pulang main bola menjelang maghrib, emak sudah mondar-mondar di depan pintu dengan sampu di tangan kanannya, sedang tangan kirinya masih nyincing Tapeh yang dari jarik lurik.
“Ileng muleh barang kowe, Run?” Suara keras itu menyambutnya memasuki halaman rumah yang sederhana.
“Tadi istirahat dulu, Mak?” Harun berusaha membela diri meski tak mampu ditatap wajah emaknya yang begitu tampak mengerikan.
“Besok ulangi lagi kalau pengen tahu rasanya sapu ini.” Mata itu menatap tajam sembari mengacungkan sapu yang di pegangnya.
“Mboten.” Harun masih tertunduk lesu. Tak ada yang membela. Bapak tak ikut bicara saja sudah syukur. Lebih kacau urusannya jika sampai bapak juga ikut bicara.
Harun cengar-cengir mengingat kejadian sore itu. Betapa bandelnya ia dulu. Mak, gimana kabarnya? ia pejamkan matanya. Tampak perempuan yang kala lebaran itu di sungkeminya. Itulah terakhir kalinya mereka betemu.
Badannya terasa letih. Ingin sekali ia beristirahat namun matanya tak mampu di ajak kompromi dengan baiknya sepertinya. Mata itu menampakkan kasayuan tapi bukan mengantuk, melainkan kepikiran keadan Asih. Surat yang ia terima dari sahabtanya yang mengabarkan kesetiaan Asih yang mendatangi stasiun tua tengah kota setiap hari begitu menyayat hatinya. Ingin sekali ia segera pulang, membayar segala kesabaran dan kesetiaan Asih selama ini. Tetapi keadaan sama sekali tak mendukung. Di pejamkannya mata itu sekian lama. Berusaha tidur, namun yang ada justru bayangan Asih dengan snyum khasnya. Di keluarkan karbon dioksida itu dengan keras. Ternyata rindu itu begitu menyiksa. Ingin sekali ia mengaku kalah pada rasa yang terus saja membelenggu. Seandainya saja ia bisa seperti Prabu Angling Dharma yang bisa berbicara dengan hewan, pasti ia sudah meminta tolong merpati putih untuk menyampaikan perasaan rindunya yang begitu besar pada kekasihnya. Merpati putih, adalah hewan yang tak pernah mendua. Ia selalu pulang pada kekasihnya meski sejauh apapun ia terbang.
Betapa beruntungnya Parbu Anglingdarma, memilik istri yang cantik jelita dan setia, bisa berbicara dengan hewan seperti Nabi Sulaiman. Prabu Anglingdarma adalah nama seorang tokoh legenda yang disebut sebagai keturunan ketujuh dari Arjuna dalam kisah Mahabarata.
Matanya sayu menatap awang-awang. Terlintas di pikirannya, Asih, Renjaninya sama seperti Setyawati istri dari Prabu Anglingdarma yang cantik jelita. Namun ia tersadar, mana bisa ia menitip salam untuk sang kekasih melalui merpati seperti Prabu Anglingdarma yang juga di anggap titisan Bhatara Wisnu.
Setelah sekian lama begitu kesal dengan bayangan Asih yang begitu manja, namun nyatanya cukup menenangkan. Mata itu perlahan terpejam. Hingga membawanya ke alam bawah sadar dan mimpi yang di rasa cukup menggelikan.
***
“Hamba akan di kasih ajian Aji Geneng, Prabu?” Harun membungkukkan badannya sekaligus menangkupkan kedua tangan di dekat wajahnya. Prabu Anglingdarma mengangguk.
“Sudah saatnya ku turunkan ajian itu untukmu, Harun” Wajahnya yang teduh dan bijaksana begitu menenangkan.
“Agar kau bisa menitipkan rasa rindumu untuk Asih melalui merpati seperti inginmu.” Titah sang prabu.
Prosesi itu cukup lama dan memakan tenaga. Tampak di sana bulir-bulir bening sak jagung-jagung mulai tampak di pelipis Harun. Namun, semua itu terbayar lunas. Setelah itu, ia langsung bisa mengetahui apa yang sedang di bicarakan oleh dua cicak yang ada di dinding di mana ia tengah bersantai.
Di bukanya jendela rumah yang berukuran sempit. Berharap burung merpati akan segera melintas dan ia bisa menitip salam untuk sang kekasih, meski nanti Asih tak akan pernah tau jika ia selalu menitip salam untuknya.
Matanya berbinar, ketika tampak di ujung sana sepasang merpati sedang melenggang di atas bangunan rumah yang ada di depan rumahnya. Ia berniat memanggil merpati, namun tiba-tiba suara pintu kamar terbuka dan membangunkan mimpinya.
Matanya mengeriyip. Di pandanginya siapa gerangan yang tengah mengamping di daun pintu. Tampak seorang pemuda seumurannya tengah berdiri di sana. Memandangi lamat-lamat.
“Siang-siang ngelindur,” Celetuk suara yang terdengar agak berat. Mulutnya masih terdiam meski matanya sudah bisa menatap lebar dan nyawanya sudah banyak terkumpul. Pemuda itu kini duduk di sebelah dengan menyalakan rokok yang ia rogoh dari saku celana. Cekrek ... suara korek langsung mengeluarkan api kecil dalam sekali tekan. Asap mulai mengepul dari mulut pemuda itu.
“Mimpi Asih lagi?” Pemuda itu seolah menangkap jawaban dari wajah sahabatnya meski ia tak melihat wajah Harun yang masih merebahkan di tempat semula. Harun mengangguk. Mulutnya masih terkunci dengan rapat. Namun matanya menunjukkan semua.
“Asih ngerti, kok, kalau kamu setia sama dia, Run” Pemuda dengan nama Dewa kini berusaha meredam perasaan seorang sahabatnya ketika ia mulai merindukan sang kekasih. Hatinya Harun suka berubah menjadi merah muda ketika mengingat Asih, berubah lagi menjadi putih ketika ingat emaknya, dan berubah menjadi warna-warna yang lainnya.
“Asih, maafkan aku. Aku harus seperti ini untuk hubungan kita. Mudah-mudahan kamu selalu kuat menghadapi semua ini ya, cah ayu” Harun mengeluarkan napasnya kasar. Terasa begitu berat dan sesak di dada.
Jika Prabu Anglingdarma melakukan pengasingan diri karena ia ingkar tehadap istrinya, Setyawati, akan sehidup semati, tapi batal menceburkan diri ke bara api yang di gunakan istrinya pati obong karena mendengar percakapan sepasang domba. Di pikirkan perkataan sepasang domba itu, keputusan yang salah jika Prabu Anglingdarma harus ikut melompat, ia akan merugikan banyak rakyatnya.
Dalam perjalanannya mengasingkan diri, Prabu Anglingdarma bertemu dengan tiga seorang perempuan yang jatuh cinta padanya. Mereka menahan Anglingdarma ketika ia ingin pergi namun sering meninggalkan secara diam-diam ketika malam. Demi menjawab penasarannya, Prabu Anglingdarma menyamar sebagai burung Belibis namun ternyata ketiga wanita yang mencintainya itu ketahuan sedang berpesta memakan daging manusia. Sejak saat itulah Prabu Anglingdarma di kutuk menjadi burung Belibis dan hanya berubah menjadi manusia ketika malam.
Lalu, burung itu terbang ke arah Jawa Timur, Bajanagara. Di sana burung itu di pelihara oleh seorang penduduk desa. Di kota itulah Harun dan Asih berasal, kota yang kini di sebut dengan Bojonegoro, kota dengan sejuta keunikan. Salah satunya adalah nyadran atau manganan, yang membuat Harun merindukan kota kecil di ujung barat Jawa Timur.
Di pandangi makanan yang ada di depannya. Di aduk-aduk. Selera makannya seketika hilang. Di teguk es teh yang ada di sebelah kanan sikunya. Berharap selera makannya bisa pulih seperti sedia kala. Rasa rindu di hati benar-benar membuncah. Tak tertahankan. Ingin sekali ia mengunjungi keluarga dan juga Asih, kekasihnya.Di genggam surat dari emak yang ia terima kemarin. Pikirannya kacau. Ia ingat betul betapa sibuknya orang-orang di desa ketika acara seperti yang di ceritakan emak. Acara yang selalu ada di setiap tahun. Menunjukkan rasa syukur kepada Tuhan atas apa yang telah diterima.Nyadran berasal dari bahasa Sansakerta, Sraddha yang artinya keyakinan. Masyarakat desa dimana Harun berasal mempercayai, bahwa semua nikmat yang telah ia terima adalah pemberian Tuhan melalui usaha dan kerja keras.Begitu juga dengan keluarga Harun. Mengikuti acara sakral itu dengan khidmat. Di bawanya makanan yang sudah di letakkan pada sebuah wadah yang cukup untuk menamp
Kereta lokal itu membawa Harun kembali ke parantauan. Suara saut-sautan orang bercengkrama dalam kereta begitu riuh. Pak kondektur menyibak lalu-lalang pedagang yang hilir mudik. Mengecek satu persatu tiket penumpang.Lidahnya masih kelu. Wajah emak dan sekar masih terlintas. Bayang-bayang Asih juga ikut menghantui. Diliriknya perempuan cantik yang kini duduk di sebelah. Ia tampak berusaha sekuat tenaga menyembunyikan kesedihan. Air mata itu sesekali menetes. Secepat kilat tangan yang terlihat putih pucat itu meraih bulir-bulir bening yang mulai jatuh, agar tak ada orang yang tahu perihal dukanya. Di ulurkan sapu tangan yang sedari tadi bersembunyi di balik kantong tas kecil yang di cangklong Harun. Ragu, perempuan yang berambut bergelombang di sebelahnya menerima. Harun mengangguk mantab. Meyakinkan bahwa ia ikhlas memberikan. Di usapnya sapu tangan berwarna biru ke wajah gadis manis di sebalah. Adakala digunakan untuk menutupi wajahnya ketika wanit
“Asih, Renjanaku, apa kabar? Maafkan aku.” Sudah seminggu layang itu di kirimkan. Perasaannya kacau. Merusak konsentrasi kegiatan belajar. Semangatnya tak membara seperti dulu, ketika ingat janji untuk segera melamar kekasihnya. Namun kini, keadaan sudah berbalik. Alam tidak mendukung niatnya.Juga sekitar satu minggu, ia tidak bekerja. Dan hari ini adalah hari pertama setelah seminggu kerjaan berhenti. Bukan karena Harun sakit, tapi melainkan karena memang tidak ada proyek yang harus di kerjakan.Tapi, Harun berangkat tidak penuh semangat seperti biasa. Ternyata pedihnya perasaan juga berimbas pada semangat kerja. Dewa, teman bekerja sekaligus sahabatnya yang mengetahui segala dari Harun─ selain teman kerja dan teman kuliah Harun─ menghempaskan napas dengan kasar dan geleng-geleng kepala. Dewa paham betul lara hati yang di dera sahabatnya. Sungguh tidak mudah menjadi Harun. Bahkan, jika ia sendiri yang mengalami, ia tidak tahu harus menga
Suara gaungan ular besi terdengar jelas di telinga Asih. Beberapa penumpang segera mengangkat bokongnya dan beranjak meninggalkan stasiun. Asih masih tetap duduk di ruang tunggu sedari dua jam yang lalu.Para calon penumpang datang dan pergi. Entah sudah ganti berapa orang yang duduk di sekitarnya. Hanya ia yang masih tetap di sana. Dengan stastus menjemput tetapi tak jelas yang di tunggu.Waktu berputar terus. Hingga tak terasa Asih tetap melakukan ini meski sudah di terimanya surat dari Harun kala itu. Surat yang mengabarkan berakhirnya hubungan mereka.Gadis desa itu tampak sudah mulai lelah. Di keluarkan nafas berat berkali-kali. Meski ia harus menerima perasaan hancur seperti biasa. Pulang tanpa kabar angin pun dari kekasihnya yang telah mengakhiri hubungan secara sepihak.Wajah ayunya menyapa satu persatu petugas stasiun yang kebetulan berpapasan. Senyum dan sikap santun ia lemparkan. Beberapa ikut merasakan kepedihan yang di alami gadis ya
Asih, cah ayu, Renjanaku, maafkan aku. Mata Harun menatapnya begitu lekat. Ingin sekali di rengkuh gadis manis yang menitikkan bulir bening. Keadaan masih terasa begitu menegangkan. Aliran darah masih belum sepenuhnya kembal berdesir.Wajah Asih tampak lebih ayu. Dia juga tampak lebih dewasa. Meski masih seperti dulu, dengan wajah yang di biarkan natural. Juga dengan baju yang sopan.“Kang Harun?,” Di ejanya nama itu sekali lagi.Lidah Asih masih terasa kelu. Matanya tak lepas dari sosok yang sekarang berdiri di depannya. Tinggi Harun yang dulu hampir sama dengan dia, kini sudah menjulang tinggi. Tubuhnya lebih gagah. Kumis tipis tampak sebagai pemanis.Tak ada kata. Hanya senyuman yang membuat mata pemuda itu semakin sipit sembari bibirnya mengangkat seulas senyuman untuk gadis yang mematung. Di dekatinya Asih yang masih tergugu. Tangisan bahagia itu benar-benar tumpah ruah di ruang tunggu stasiun.Beberapa penumpang
Hari ini, suasana rumah Asih begitu ramai. Hilir mudik emak-emak dengan segala kesibukan. Ada yang membawa rantang, ada yang membawa makanan, juga ada yang sibuk menata meja depan.Asih masih mengurung diri di kamar. Pikiran dan hatinya kacau. Bagaimana bisa penantian panjangnya selama ini sia-sia. Mengapa kamu tega sekali padaku, Kang? Asih masih belum sepenuhnya menerima keputusan yang di berikan Harun.Suara canda tawa anak-anak kecil terdengar begitu nyaring. Di luar sana orang-orang tengah bahagia. Mereka kira, Asih menerima keputusan ini dengan lapang dada. Kang, hari ini aku harus lamaran dengan laki-laki selain kamu. Apakah kamu siap dan baik-baik saja dengan keputusanmu?Suara ketukan pintu kamarnya membuyarkan segala lamunan. Juga air mata yang semalam telah membasahi bantal putih miliknya. Di sapu air mata kepedihan itu. Perlahan ia bangkit dan membuka pintu.“Mbak, kulo tukang rias sing di pesen ibu.” Seo
Harun melangkah pasti. Napasnya juga teratur. Tatapannya lurus ke depan. Di punggung ada tas hitam besar. Tak begitu berat, tapi berisi penuh. Digenggamnya beberapa lembar kertas. Di kepalanya ada topi kebesaran. Wajahnya menawan. Baju yang ia kenakan bersih, rapi, dan wangi. Rahangnya tampak mengeras. Wajah lelah melekat di sana. Namun tak mengurangi sedikit pun performa ketampanannya.“Langsung pulang, Pak?” Laki-laki yang tak kalah tinggi dari Harun memutus kesunyian di antara mereka.“Iya, Pak. Aku sudah berjanji sama emak. Akan bertemu di Cepu.” Harun menjawab sembari duduk. Suaranya terdengar tegas.“Ya sudah. Saya duluan kalau begitu.” Pemuda itu berlalu. Meninggalkan ia yang duduk sembari menunggu kereta yang akan membawanya menemui Emak nya.Hatinya bergemuruh. Debar-debar kerinduan sudah ingin keluar dari tempatnya. Sesekali dilihatnya sepatu yang mengkilap. Tak seperti dulu. Sewaktu kecil, kaki itu beralaskan
Cuaca kota Atlas hari itu terasa panas. Setelah membersihkan diri ia merebahkan badannya di kasur. Tubuhnya terasa lelah juga perasaannya. Matanya menatap lurus ke langit-langit kamar, terlihat plavon yang bersih dan rapi tidak seperti kostnya kala itu ketika ia masih jadi kuli bangunan.Kerinduan terhadap Asih masih ada hingga kini meski ia telah menyelesaikan hubungannya. Gadis manis dengan lesung pipit di pipi kanannya membuat Harun selalu teringat tentang Asih.Harun merogoh selembar kertas yag ia simpan di balik bantal. Di sana ada gambar perempuan yang haru lalu ia relakan untuk orang lain. Perempuan yang selama ini menunggunya dengan penuh setia dan percaya bahwa ia akan menepati janjinya.Harun mengeluarkan napasnya dengan kasar. Terasa sekali beban berat perasaan yang di pikul. Di elus beberapa kali foto itu. Wajah perempuan disana tidak berubah cemberut atau tertawa.Bagaimana mungkin aku bisa meninggalkan dan melupakan kamu begitu saja, Cah