Share

LATIFAH: Derita Istri yang Terbuang
LATIFAH: Derita Istri yang Terbuang
Penulis: Emde Mallaow

PART 01

       

       "Mas, istrimu itu aku, bukan dia! Mengapa hanya karena wanita lain kaurela untuk menzolimi aku dan Syifa? Kasihan dia Mas...!" Latifah sesenggukan sembari memeluk kaki suaminya, Arief, mengharap sedikit welas asih ya. 

        Tetapi, Arief, lelaki yang telah menjadi suaminya hampir sepuluh tahun itu dan sangat dicintainya itu tampaknya benar-benar menganggapnya bukan lagi istrinya. Dengan kasar ia menarik kakinya dan mendorong kepala Latifah. "Lepaskan! Aku ke sini bukan untuk mendengar ocehan dan tangisanmu, tapi untuk meminta kausegera keluar dari rumah ini! Kemasi barang-barangmu! Satu Minggu lagu aku datang, rumah ini harus sudah dalam keadaan kosong! Silakan kaubawa anakmu!!"

         Tanpa menunggu jawaban apa pun dari Latifah, laki-laki yang memang masih menyimpan ketampanan dan pesona dari masa mudanya itu langsung keluar dari rumah itu. 

        Latifah berusaha mencegahnya agar ia memikirkan kembali keputusannya, sama sekali tak digubris. Bahkan sang buah hatinya, Syifa, yang menangis mengikuti sembari memanggilnya "Ayah" pun sama sekali tak dianggapnya ada.

       Untuk kesekian kalinya, Latifah, harus menerima perlakuan yang sama dari suaminya. Ia memeluk tubuh Asyifa sembari menangis tersedu-sedu. Ternyata, wanita cantik dengan segala kelembutan sepertinya, tak selalu nasib rumah tangganya pun indah.

***

         SI GANTENG  pengusaha muda itu namanya Zoelva Paranaka. Ia biasa dipanggil Zoel atau Zoelva. Umur 27 tahun, status perjaka--kata KTP-nya--, dan berprofesi sebagai  pengusaha muda yang sedang menapaki anak tangga menuju kesuksesan. Ia membuka gerai perhiasan dari emas, perak, dan permata di beberapa tempat mall di wilayah Jabodetabek.  Gerai dan tokonya khusus menjual barang perhiasan emas, perak, dan permata dari beberapa brand ternama luar negeri.

       Oh ya,  si ganteng Zoelva ini perantau asal Jambi, tapi setelah menyelesaikan kuliahnya di Jakarta (dia mahasiswa pindahan dari sebuah kampus di Jogja), ia memutuskan untuk bekerja di ibukotanya Indonesia itu, sebelum ia memutuskan untuk resign  dari perusahaan tempatnya bekerja lalu merintis usahanya sendiri.  Posturnya yang tinggi besar dengan wajah kebule-buleannya diturunkan dari ibunya, Albertina Agueda,  yang merupakan wanita Indo-Purtu Timor-Timur (kini Timor Leste). Menurut ceritanya, dulu ayahnya pernah bertugas di propinsi termuda itu (saat itu) sebagai anggota Abri TNI). Di Tanah Lorosa’e  itu ayah dan ibunya bertemu lalu menikah, dan di sana pula Zoelva dilahirkan, tepatnya di kota Lospalos, Lautem.

       Sebenarnya, Zoelva pernah menjalin hubungan asmara dengan seorang gadis, Niken Komalasari,  yang merupakan teman kuliahnya dulu. Mereka berpacaran hampir tiga tahun. Namun rupanya, Niken tidak bermain jujur dan setia, tetapi dia telah mencuranginya secara bertubi-tubi di belakangnya. Mulanya ia tak percaya saat beberapa teman kuliahnya menceritakan padanya bahwa sang pujaan hatinya itu memiliki PIL (pria idaman lain). Bahkan ia anggap itu hanya semata fitnah. Bahkan saat matanya sendiri menyaksikan kekasihnya itu berjalan berangkulan pinggang dengan mesra memanja dengan laki-laki lain, ia pun masih mempertahankan pikiran positifnya. Ia berpikir, bahwa Niken adalah gadis yang kalem, berbudi pekerti halus dan lembut. Jadi mana mungkin bisa berbuat curang?

       “Oh, dia Hendi, Mas, sepupunya Niken. Dia memanfaatkan cutinya untuk berlibur di Jogja. Ortu Niken meminta Niken untuk menemaninya selama dia berada di Jogja,” kilah Niken dengan suara yang masih lembut dan wajah tak menampakkan wajah seorang pembohong sedikit pun, ketika Zoelva menanyakan perihal laki-laki yang berjalan dengannya tempo hari. “Mas lihatnya di mana?”

      “Di sebuah mall di Malioboro?” sahut Zoelva, pun dengan wajah tidak menampakkan raut cemburu sama sekali.

      “Oh iya, Mas, benar. Itu pas hari pertama dia berada di Jogja.”

      “Oh, dia tinggal di mana?”

      “Ya dia tinggal dan bekerja di Surabaya, Mas. Rumah ortunya satu komplek dengan rumah ortuku. Ibunya dia kakak dari papanya Niken.”

       “Hm, berarti calon abang iparku, dong?” canda Zoelva.

       Niken tersenyum sembari menjulurkan ujung lidahnya. Satu cubitan kecil ia daratkan pada lengan Zoelva, lalu memeluk lengan kekar itu dengan sikap manja. “Oh iya, lupa. Katanya Mas tempo hari lihat kami di mall  itu, terus Mas ke sana dengan siapa, hayo? Kok Niken nggak dikasih tau?”

      “Sama si Dicky, cari-cari sepatu futsal.”

      “Oh...”

       Zoelva paham, bahwa wanita pujaan hatinya sedang cemburu, ia pun mengacak-acak pelan rambutnya dan mencium ubun-ubun kepalanya. Coba, mayak iya, kekasihnya yang lemah lembut dan manja seperti ini bisa mencuranginya di belakang aku? Tak mungkinlah! Pikirinya.

       Akan tetapi, keyakinannya itu terbantahkan oleh kenyataan yang ia dapatkan sebulan kemudian. Sang pujaan hatinya yang disanjung-sanjungnya sangat setia itu ternyata benar telah mencuranginya habis-habisan secara  rapi, halus, senyap, dan terukur. Hehehe.

       “Kamu  akan cuti kuliah? Kenapa? Apakah ortumu tak punya harta lagi untuk membiayai kuliahmu?” tanya Zoelva kepada Niken, ketika gadisnya itu mengungkapkan akan mengambil cuti kuliah selama dua semester. Saat itu Niken sengajak mengajaknya ke Tloga Putri, Kaliurang.

       “Bukan karena itu Mas...”

       “Ya terus kenapa?”

       Niken mendadak terisak. “Ortu Niken mau menikahkan Niken dengan dia, Mas.”

        Seumur-umurnya, mungkin kabar itu kabar yang paling membuat Zoelva paling kaget ketika mendengarnya, sehingga spontan ia merenggangkan duduknya dari Niken dan memegang pundak gadis itu. “Kamu akan menikah? Dengan dia siapa!?”

       Niken tak mampu menatap wajah Zoelva. “Dengan...cowok yang Mas lihat jalan berdua dengan Niken di mall itu!”

       “Haahh...!!” makin kaget Zoelva. Spontan ia melepaskan tangan kirinya dari pundak Niken dengan agak mendorongnya. “Berarti benar, kautelah mencurangi aku selama ini!”

      “Tidak Mas! Mas harus mendengarkan penjelasan Niken!” jerit Niken sembari hendak meraih tubuh Zoelva.

      Zoelva dengan cepat mengangkat kedua tangannya sebagai tanda bahwa ia tak ingin dipeluk oleh si gadis. “Maaf, kamu tak perlu perlu menjelaskan apa pun lagi, karena tak akan mengubah apa pun!”

      “Tapi aku tetap mencintaimu, Mas! Walau pun kita mungkin tak bisa saling memiliki, tapi cinta...”

      “Stop! Stop! Stop!” potong Zoelva sembari  mengangkat kedua tangannya setinggi dadadnya. “Kauingin mengatakan, bahwa cinta itu tak mesti saling memiliki, kan? Jiahahaha, itu kata-kata orang yang stres dan putus asa! Sudah Basi! Tapi okey, aku mengucapkan terima kasih kausempat mampir dalam hidupku, mengisi ruang hatiku, mengajarkan aku ke jenjang ke dewasaan dengan pelajaran cintamu yang..., oh maaf. Selamat menempuh hidup baru. Aku berharap, kalian berdua dapat hidup bahagia dan rukun, tanpa bumbu kecurangan dan penghiatan di dalamnya! Selamat tinggal, Nona!”

       Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Zoelva pun meninggalkan Niken, meninggalkan sang wanita yang selama ini ia puja dan sanjung oleh hatinya siang dan malam. Pergi membawa kecewa dan luka hatinya yang teramat dalam. Dia memang tak menderaikan air matanya di pipi akibat penghianatan itu, karena dia seorang laki-laki, tetapi jiwanya yang menjerit setinggi langit. Penghianatan dari wanita yang sangat ia cinta itu terasa menghujam ulu hati dan nurani sucinya, cucurkan darah dan selaksa duka.

      Maka sadarlah Zoelva, bahwa penampakan tak selalu secara dengan apa yang dipikirkan dan yang terjadi sesungguhnya. Seeokar angsa tidak selalu seelok dan seanggun rupanya, namun ia pun mampu menimbulkan luka dan kengerian.

      Akibat kecewa berat akibat kegagalan cinta itu, Zoelva lalu memutuskan untuk pergi meninggalkan kampusnya di Jogja dan pindah kuliah di Jakarta. Terlalu banyak kenangan indah dia bersama Niken yang tak mungkin mampu ia hapus, bahkan seumur hidupnya. Di kampus itu ia mengenal gadis itu, lalu jadianya, seterusnya memupuk cinta mereka.

       Sejak saat itu, ia tak berhasrat lagi untuk mencari tambatan hatinya yang baru lagi, karena ia merasa bahwa separuh jiwa dan segenap ruang batinnya sudah dibawa pergi oleh wanita yang merupakan cinta pertama yang diseriusinya itu. Kegantengan serta kesuksesan yang telah ia raih, tentu ia dengan mudah mendapatkan wanita pujaan lagi yang bahkan lebih dari segalanya daripada Niken. Namun ia tak melakukan itu. Bahkan wanita-wanita cantik dan berkelas yang mencoba mencari perhatiannya, juga menjamah hatinya, pun semuanya mental. Belum mempan. Pintu hatinya masih tertutup dan tersegel rapat.

       “Tak baik, Nak, hidup membujang terlalu lama, sebab kau akan memanen banyak dosa,” ucap ibunya, Umi Tina, saat ia berlibur ke kampung halamannya di Jambi. “Menikahlah, Nak.  Kau itu seorang laki-laki muslim yang sudah matang dalam usia dan mental serta mampu secara ekonomi. Artinya, hukum menikah untukmu bisa menjadi wajib.”

        “Benar kata ibumu, Nak,” tambah ayahnya, Abi Ruslan. “ Sempurnakan agamamu dengan menikah. Wanita seperti apa yang kauinginkan?  Jika kaumau, abi dapat melamarkanmu wanita-wanita yang berkelas dan cantik dari kalangan keluarga besar kita. Mereka cantik-cantik dengan kedudukan sosial yang bagus. Misalnya seperti Rustina anak Wak Abidinmu, dia seorang dokter spesial, atau Aisyah anak Pak Nga Hamzah, dia seorang dokter gigi dan bertugas di Kota Seulak, atau saudara-saudara sepupu lainmu yang kebanyakan dokter.”

       “Insha Allah, Umi, Abi, doakan dalam waktu tak lama lagi saya sudah benar-benar siap untuk menikah. Bisa jadi istri Zoel kelak adalah di antara wanita yang Abi sebutkan barusan,” jawab Zoelva dengan bahasa yang santun sembari membesarkan hati abinya.

        “Insha Allah, Nak. Amin Allahumma amin,” ucap Abi Ruslan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status