Latifah menoleh kepada Zoelva. "Sama Mas Arief saya belum pernah ke sini, Akhi, baik sebelum menikah maupun setelah menikah," ucapnya. Arief adalah nama suaminya. "Terakhir kali saya ke sini bersama teman-teman, yaitu saat masih di pesantren. Tapi dulu belum sebagus ini, Akhi. Jadi lebih pada acara ziarah makam ulama."
"Oh begitu? Hm, tempat ini benar-benar indah dan berkesan, Mbak."
"Iya, benar, Akhi. Lebih tepatnya, romantis."
Datar saja Latifah mengucapkan kata itu, tanpa terlihat memberi kesan "romantis" pada Zoelva.
Mata keduanya kemudian sama-sama menatap kosong ke hamparan lautan. Burung-burung bangau putih yang beterbangan dan bertengger di pucuk-pucuk mangrove tak mengusik perhatian keduanya.
Selanjutnya keduanya menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan keliling di Kota Demak, makan-makan, sebelum memasuki sebuah mall yang paling megah di kota ini untuk belanja-belanja. Zoelva ingin membelikan sesuatu barang untuk menjadi kenangan-kenangan dengan Latifah. Sebenarnya sang bidadari menolak, tetapi ia yang kepengen membelikannya sesuatu barang itu. "Masak saya datang jauh ke kota ini tak membelikan Mbak Ifah apa pun buat kenang-kenangan?" ucap Zoelva. Latifah akhirnya mau untuk dibelikan sebuah barang yang tak perlu diceritakan di sini jenis barangnya. Dia sangat senang sekali. Tak lupa Zoelva pun membelikan Mbak Syarifah buat kenangan-kenangan, yang juga tak perlu diceritakan di sini jenis barangnya. Kata Latifah, saudaranya itu pasti senang menerima
"Usia saya 25 tahun lebih 2 bulan, Pak Bos. "Sudah menikah?" "Belum, Pak Bos." "Kalau pacar atau calon?" "Pacar... sebenarnya punya, Pak Bos...," ada keraguan yang tersirat dari suara dan raut wajah Mirdas. "Kalau sudah punya pacar atau calon, lamar dan nikahilah. Apa yang kautunggu? Biar ada yang mengurusmu. Jangan terus membujang jika sudah mampu secara mental dan fisik," nasihat Zoelva. "Iya sih, Pak Bos. Saya memang sudah setahun yang lalu memikirkan soal itu. Tapi saya masih ragu, apakah..., maaf, saya nanti mampu memenuhi kebutuhan rumah
Setelah pembicaraan dengan Latifah itu, Zoelva pun segera menghubungi Mirdas dan memberitahukan tentang hal itu. "Mirdas masih ingat dengan Ustadzah Latifah?" "Tentu, Pak Bos, saya masih ingat. Kenapa dengan beliau, Pak Bos?" "Nah, yang punya lokasi yang mau dijual itu adalah sepupunya beliau. Kaudatanglah ke tempat beliau, dia akan menunjukkan lokasi itu padamu. Tadi aku sudah memberitahukannya jika kau akan menemui dia. Soal harga yang ditawarkan aku sudah cocok. Terserah kalian nanti penawarannya, itu rejeki kalian.Hanya saja, strategis apa tidak tempatnya, kamu yang putuskan." "Oh, siap, Pak Bos. Sekarang pun saya akan meluncur ke sana," sahut Mirdas. "Bagus. Lebih cepat lebih baik,&rdq
Dan benar, tak berapa lama kemudian, pemilik ruko sudah datang dan memberi salam. "Maaf ni, Pak, mengganggu kesibukannya?" ucap Zoelva, berbasa-basi, ketika pemilik ruko sudah duduk di sofa. “Kenalkan, nama saya Zoelva.” "Oh, gak apa-apa, Pak Zoelva. Saya Pak Yahya,” sahut pemilik ruko sembari menyalami Zoelva. “Saya ingin melihat melihat dulu tempatnya, Pak Yahya?” "Oh, boleh, Pak " Karena Latifah turut serta, dia pun harus menutup dulu tokonya. Mereka berempat meluncur ke lokasi. Sengaja Zoelva bukakan pintu depan mobil buat Latifah, agar duduk sampingnya. 
Dan apakah Zoelva pun pernah terlibat skandal hati atau pun terkena jeratan asmara di dunia maya? Jawabnya: tidak! Kalau tertipu pernah. Iya, tertipu oleh seorang wanita yang relatif muda dan mengaku berstatus janda, padahal ternyata masih bersuami. Tapi untungnya ia belum sempat terjerat jauh oleh rayuan yang penuh kepalsuan. Dia blokir sang penggoda itu. Setelah itu ia menjadi kapok untuk memiliki hubungan yang spesial dengan perempuan yang dikenalnya di dunia maya. "Hm, begitu ya, Akhi?" "Iya dong, cantik," sahut Zoleva, sabar. "Tapi begini, misalnya, saya punya teman spesial di dumay, ya itu wajar-wajar saja, Mbak, karena saya kan seorang lajang, tak ada yang akan keberatan, marah, atau pun cemburu dengan kedekatan itu. Saya masihlah seorang laki-laki normal. Namun demikian, kan sama sekali tak ada pengaruhnya dengan hubungan kita se
Saat menjawab salamnya, suara Latifah terdengar agak parau. Kedua mata indahnya pun kulihat lembab, sayu, dan tak berbinar seperti biasanya, yang menandakan bahwa dia baru saja menangis cukup lama. Wajahnya yang biasanya segar merona bak kembang labu di malam hari, saat itu terlihat muram dan layu. "Ada apa dengan kamu, Mbak?" tanya Zoelva dengan suara rendah dan perasaan was-was. " Apa dia menyakiti Mbak lagi?" Latifah menggeleng-geleng pelan. "Semua akan segera berakhir, Akhi. Dia...," Latifah tak mampu melanjutkan kata-katanya. Ia menutup wajahnya dengan ujung hijab hitamnya. Tak ada suara tangisan yang keluar, hanya kepalanya yang bergerak-gerak,menandakan dia sedang sesenggukan. 
Seperti janjinya pada Latifah, seminggu kemudian Zoelva datang ke Demak. Ia masih menginap di hotel yang dulu tempatnya menginap. Semalam ia dan Latifah bercengkerama lewat video call, seperti biasanya. Silih berganti keduanya bercerita tentang pengalaman hidupnya masing-masing. Latifah meminta Zoelva untuk menceritakan tentang kehidupan dan pengalaman hidupnya. Jadi sekarang Zoelva tidak lagi dijadikan sebagai pendengar yang baik dan setia untuk kisah-kisah hidupnya. Di akhir-akhir obrolan, tak lupa sang bidadari memberi Zoelva 'hadiah' berupa lantunan ayat suci Al-Quran dengan suaranya yang indah, seperti biasanya. Setelah itu dia pamit untuk istirahat karena kepalanya terasa sakit. Zoelva pun ikut rehat. Keesokan harinya, sejak pukul 10.00 WIB Zoelva sudah berada di cabang rukonya yang akan segera dibuk
Malam itu Zoelva dan Latifah tidak mengobrol hingga larut malam seperti biasanya, karena besok pagi mereka harus bangun dalam keadaan kondisi bugar. Lagi pula rasa penat akibat kegiatan seharian membuat kami sepakat untuk rehat lebih cepat dari biasanya. Keesokan paginya, seperti yang sudah mereka sepakati, pukul 09.00 WIB keduanya sudah OTW. Latifah menunggu Zoelva di trotoar di depan ruko yang sudah Zoelva beli. Dari situ keduanya langsung menuju Museum Mesjid Agung Demak. Sekitar dua jam mereka berkeliling dalam ruangan museum tersebut, setelah itu mereka menuju arah selatan. Zoelva mampir di sebuah rumah restoran yang khusus menyiapkan menuseafood, menikmati makan siang, sekalipun saat itu baru menunjukkan pukul sebelas siang. Karena kebetulan juga ia memang belum sempat sarapan di hotel. Tadi sebelum berangkat