Semalaman aku tidak bisa tidur karena Senja bilang akan bertemu calon mertuanya. Aku tidak bisa terima itu, dia masih istriku. Tidak akan kubiarkan siapapun memilikinya.
Dan hari ini saat aku pulang dari kantor benar-benar terkejut melihat Senja ada di rumahku. Kenapa dia bisa tahu aku tinggal di sini? Ada orang tuaku dan juga adikku. Sempat berpikir Senja sudah menceritakan semuanya. “Baby, ini abangku. Bang Al, Alaska Nawasena.” Danes memperkenalkanku pada Senja. Baby? Jangan bilang calon mertua yang Senja maksud itu orang tuaku dan pacaranya ... adikku sendiri. Aku tidak bisa bicara apa-apa. Membongkar semuanya sekarang sangat beresiko, kalau saja Mona tahu maka Senja yang akan diusik nantinya. Aku tidak mau Senja kenapa-napa. Sepertinya aku harus bicara lebih dulu pada Senja setelah itu mengakui semuanya pada orang tuaku untuk membatalkan pernikahan dengan Mona. Kutinggalkan ruangan itu tanpa bicara apapun. Perasaan ini tak karuan. Bagaimana mungkin Senja bisa berpacaran dengan adikku sendiri. Aku tidak terima ini. * Baru saja bangun kepalaku terasa berdenyut. Dua dua malam Senja membuatku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Dia juga tidak membalas pesanku dari kemarin membuat hati ini semakin gundah. Kulirik botol kosong di atas nakas. Mana tenggorokan terasa kering. Meski malas, aku keluar dari kamar untuk mengambil air di bawah. Belum sampai menuruni tangga malah berpapasan dengan Mona. Padahal ini masih pagi. Untuk apa juga dia pagi-pagi sudah ada di rumahku. Di bawah juga kulihat ada Senja. Ingin sekali aku langsung bicara padanya. Andai tidak ada Mona. “Sayang, kenapa keluar? Kamu ‘kan sakit.” “Lihat kamu aku makin sakit tahu nggak. Mending pulang saja sana, aku mau istirahat.” “Sayang, jangan begitu dong.” Cup. Secepat kilat dia mencium bibirku. Sialan sekali. Senja pasti melihat. Jangan sampai dia salah paham. “Apa sih, Mon?” Kudorong Mona menjauh, lalu mengusap kasar bekas ciumannya di bibirnya. “Aku ‘kan calon istri kamu.” “Pelankan suaramu.” Aku geram sekali. Kuseret saja dia dari sana, daripada membuat Senja nanti berpikir macam-macam padaku. Setelah semalaman berpikir, sepertinya memang rencana pernikahanku dan Mona tidak perlu dilanjutkan. Sebenarnya aku sudah ragu sejak lama, bukan karena kedatangan Senja saja. Aku dan Mona tidak akan bisa menjadi suami istri yang normal. Bisa-bisa aku mati muda kalau hidup satu atap dengannya. “Duduk di situ. Jangan kemana-mana.” Kutatap Mona dengan tajam yang sekarang duduk di ruang santai lantai dua. Sedangkan aku masuk ke dalam kamar, langsung mengirimkan pesan pada Senja. [Kamu hutang penjelasan soal hubunganmu dan Danes. Jangan langsung pulang, tunggu aku di luar nanti.] Sudah beberapa jam, bahkan aku tinggal tidur tapi Mona masih tidak beranjak. Dia seperti sengaja menungguku sampai bangun. Untung saja dia di ruang santai tidak di kamarku, biasanya dia main nyelonong saja. Kalau begini caranya aku tidak bisa bertemu Senja. Bisa jadi Senja sudah pulang. Mona memang kerja sesuka hatinya. Pendidkan saja S2 tapi kalau soal bekerja dia malas sekali. [Senja, kamu dimana?] [Aku bilang ‘kan tunggu. Kamu harus menjelaskan semuanya.] Centang satu. Dia malah tidak aktif. Gara-gara Mona jadi aku tidak bisa menemui istriku. * Senja masih belum aktif . Aku juga menduga-duga apa yang akan dilakukan Senja setelah tahu kalau Danes itu adikku. Sepertinya dia belum mengatakan apapun karena Mama juga terlihat biasa saja. Sebelum Senja yang bicara, aku akan lebih dulu mengakui semuanya di depan Mama dan Papa. Aku bernapas lega saat tiba-tiba dia aktif. Entah sudah bereapa ratus kali aku bolak-balik melihat apakah Senja sudah aktif atau tidak, dari semalam aku begitu sudah seperti orang bego saja. Tapi sungguh aku tidak akan bisa tenang sebelum semuanya jelas. [Kenapa baru aktif? Pesanku dari kemarin juga nggak dibaca sama sekali.] [Hari ini aku ada acara keluarga, jadi besok kita bertemu. Dimana rumahmu?] [Kita bertemu di luar saja.] Akhirnya Senja mau bertemu denganku. Hari ini ulang tahun Mama, aku tidak mungkin keluar. * Baru saja akan keluar rumah aku malah berpapasan dengan Senja yang sepertinya baru saja datang. Senja terpaku aku pun kaget. “Kenapa kesini? Aku bilang aku akan ke tempatmu ‘kan?” “Kenapa memangnya? Takut sekali kalau aku kesini, aku juga kesini bukan buat nemuin kamu kok. Aku mau bertemu Tante Kasih.” Dia berucap ketus, bahkan seolah enggan bertatapan denganku. Aku jadi semakin takut dia tidak mau kembali padaku dan memilih bersama Danes. Aku bisa gila kalau benar itu terjadi. “Ja, berikan aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Kita bicara di tempat lain ya.” “Nggak! Kalau mau bicara di sini saja. Kenapa harus di tempat lain?” Keningnya berkerut dalam. “Aku ... minta maaf.” Senja diam. “Aku ... memang salah.” Aku menunduk. Rasa sesak memenuhi dada, bayangan kebersamaan dengan Senja memenuhi benak. Aku tidak bohong. Penyesalan terdalamku adalah meninggalkan Senja hanya demi Mona yang selalu membuat kepalaku seperti ingin pecah. Senja tidak bisa dibandingkan dengan Mona yang dimataku tidak ada apa-apanya. “Sebenarnya apa maumu, Mas?” “Aku ... nggak mau kita pisah.” Aku mendongak, memberanikan diri menatap mata Senja yang memancarkan luka. Senja tertawa sumbang. “Nggak mau pisah? Bukannya kamu yang dulu ninggalin aku tanpa perasaan?” Rahangnya mengeras. “Soal itu-” “Senja.”Bodo amat, mau pacar atau selingkuhannya itu bukan urusanku.Selesai makan, aku beranjak untuk mencuci piring bekasku. Tidak mungkin aku membiarkannya begitu saja kalau tuan rumahnya saja membersihkan piring bekasnya padahal ada art di sini.“Mau ngapain ya?”Bingung mau melakukan apa, keliling rumah aku sungkan apalagi tidak ada pemiliknya. Tadi malam memang tidak ada acara memperkenalkan semua sudut rumah karena terlalu larut untuk melakukannya.Akhirnya kuputuskan untuk duduk di teras sambil menunggu ibu mertuaku kembali. Ibu mertua, rasanya aneh aku yang selama ini sendiri tiba-tiba punya ibu mertua.Setelah bosan menggulir isi sosial media. Aku beralih membuka grup yang sudah lama tidak aku intip, semenjak bekerja aku jarang masuk dan mengobrol dengan teman-temanku yang saat ini masih kuliah. Mereka sudah membujuk agar aku tidak keluar tapi aku tidak mau membuat kepalaku pecah karena harus memikirkan mata kuliah yang sama sekali tidak aku sukai.Tidak membaca semua pesan dari ata
“Argh!”Refleks aku menendang kakinya lalu mendorong tubuhnya sampai terjungkal. Mendengarnya bicara begitu membuat bayangan Reynand kembali muncul."Gia ada apa?" Suara Oma terdengar dari luar, sepertinya mereka masih ada di depan kamar.Aku mencoba mengendalikan diri, jangan sampai hilang kendali. Kutarik napas dalam-dalam mencoba untuk meredakan debar jantung yang menggila."Ada kecoa, Oma," sahutku sekenanya.“Tenanga kamu kuat juga ya,” katanya sambil berdiri, kuliat dia meringis sambil memegang bokongnya."Ck, nggak usah berisik deh!""Pokoknya kalau kamu nggak nurut, uang jajan akan saya dipotong."“Idih, siapa juga yang minta. Aku kerja ya, punya uang sendiri.”“Saya nggak mau kamu kerja.”Mataku melebar. “Jangan-”"Sekarang sudah jadi kewajiban saya buat nafkahin kamu. Saya juga nggak mau kamu kerja."Dari tampangnya dia terlihat kalem tapi aslinya benar-benar menyebalkan. Dia pikir bisa seenaknya“Nggak usah sok ngantur ya, pernikahan ini pun karena terpaksa. Aku yakin kamu
“Giana!” Mama menyusul dan menarik kasar tanganku, “kamu nggak usah turun, tunggu di kamar sampai akad selesai.”Sebelah alisku terangkat, “kenapa? Takut aku bikin malu ya?”Mama tidak menjawab dan menyeretku kembali masuk ke dalam kamar. Aku tidak dibiarkan sendiri, ada Mia yang Mama minta untuk menemaniku.“Aduh, Mbak beruntung lho dapat suami ganteng banget,” kata Mia, dia anaknya Bik Atih asisten rumah yang sudah bekerja 25 tahun di rumah ini.Mia dan aku hanya beda dua tahun saja. Kami memang akrab, tidak seperti majikan dan anak art pada umumnya.“Kamu liat, Mi?”Mia mengangguk dengan senyum lebar, “menurut Mia malah lebih ganteng dari Mas Reynand, Mbak.”Mendengar nama itu membuat jantungku seperti dihujam. Andai aku tidak berpikir logis, mungkin setelah keluar dari rumah Reynand, aku hanya tinggal nama.Beruntung otakku masih bekerja meski rasa sakit yang kurasa begitu menyiksa. Aku akan membuat mereka yang menghancurkan hidupku menderita. Sudah cukup selama ini aku hidup tanp
Tidak terlalu kupedulikan foto itu. Kulempar ponsel sembarang. Karena dibangunkan hingga tersentak dan kepalaku berdenyut begini. Tidak hanya kepala seluruh tubuh ini pun sakit terutama hatiku yang sudah terkoyak.Kalau saja aku tidak ada kegiatan bekerja di luar, mungkin aku sudah gila lama-lama di rumah ini.Semenjak bekerja, aku tidak pernah memakai uang dari Papa. Setiap bulan memang selalu diisi tanpa aku minta. Meski mereka seperti tidak menganggapku anak, tapi kalau soal nafkah selalu lancar. Tapi kasih sayang tidak kurasakan sama sekali.Saat malamnya, aku tidak keluar meski Kak Giska memaksaku untuk makan malam bersama. “Gia, kamu kenapa? Kalau ada masalah cerita, nggak usah ngurung diri. Nggak baik lho,” bujuk Kak Giska dengan suara lembut.Bukan dibuat-buat, dia memang sebaik dan selembut itu. makanya aku tidak mau kalau sampai dia menikah dengan Reynand. Bisa ditebak kalau pria itu sudah biasa meniduri wanita.Tapi apalah dayaku. Aku yang jadi korban saja malah disalahkan
“Pernikahan Kak Giska dan Reynand harus dibatalkan, Pa!” Dengan dada bergemuruh aku berucap lantang di tengah ruang tamu.Papa yang sedang fokus dengan laptopnya langsung mengangkat kepala dengan kening mengernyit heran. “Kamu kenapa sih? Ngigo atau iri sama kakakmu karena bisa dapat calon suami seperti Reynand, berpendidikan, karir cemerlang dan yang jelas dari keluarga terhormat,” katanya dengan nada ketus.“Reynand memperkosa aku, Pa!” Suaraku pecah dan tubuh berguncang hebat. Hatiku seperti tersayat sembilu saat mengungkap semua karena terbayang saat pria laknat itu merenggut paksa kehormatanku.Papa berdiri dengan mata melebar, Mama yang ada di ambang pintu dapur sampai menjatuhkan nampan di tangannya.Aku menggigit bibir kuat-kuat, menahan tangis yang hampir pecah. Kejadian mengerikan itu terus berputar di kepala.Awalnya Reynand minta tolong untuk menyiapkan kejutan untuk Kak Giska, tanpa curiga aku datang tapi sialnya dia malah menjebakku. Kejadian itu terjadi di rumahnya send
“Ifa nggak munafik, Ifa butuh waktu, Mas.”Danes mengerti. Istri lugunya yang memiliki hati lembut itu pasti tidak akan mungkin langsung memaafkan dengan mudah. Tapi setidaknya Latifa memberikan kesempatan pada Danes, wanita itu tidak menuntut pisah seperti yang kemarin dikatakannya.“Aku akan buktikan kalau memang aku serius dengan pernikahan ini, bukan cuman dengan ucapan.” Danes mengecup kembali punggung tangan sang istri. “Terima kasih karena kamu kasih aku kesempatan.”Latifa hanya mengulas senyum tipis, tenaganya belum pulih.“Istirahat ya, kalau butuh apa-apa bilang.”Wanita cantik itu mengangguk pelan.Semalaman Danes terjaga, ia begitu bahagia dengan kelahiran putrinya sampai sulit untuk memejamkan mata.Pagi harinya, orang tua Latifa datang tapi mereka bersama dengan orang tua Danes.“Lho, Mama sama Papa kok di sini?” tanya