Suara Mama terdengar dari dalam membuatku dan Senja sama-sama mematung.
Senja buru-buru menetralkan ekspresi wajahnya. Dia sepertinya masih ingin menyembunyikan fakta tentang kami di depan mama. “Kenapa datang nggak bilang-bilang, Nak?” Mama tersenyum hangat pada Senja. Dari dulu Mama memang selalu menyuruhku dan juga Danes untuk buru-buru menikah. “Ada acara ya, Tante? Kalau begitu saya pulang saja, kesini hanya memberikan kado dan kue untuk, Tante.” “Ya ampun, kenapa kamu repot-repot. Senang banget Tante dapat hadiah dari calon menantu. Jadi nggak sabar kamu dan Danes menikah, sayang.” Dadaku bergemuruh, aku tidak terima itu. “Senja tidak akan menikah dengan Danes!” kataku dengan tegas tanpa ragu. Senja terbelalak sedangkan Mama tampak tidak mengerti dengan apa yang kukatakan. “Apa maksud kamu?” Mama bertanya dengan kening mengernyit. “Senja ini istriku, Ma. Aku menikahinya lima tahun lalu.” Aku tidak mau menyembunyikan lagi, tidak peduli apa yang terjadi padaku nanti. Tapi akan kupastikan kalau Senja akan baik-baik saja. Tidak akan kubiarkan Mona menyakitinya. Mama terpaku, mulutnya terbuka lebar saking tak percayanya. “Kamu jangan bercanda, Al.” Mama beralih menatap Senja. “Senja?” Senja menunduk membuat pertanyaan Mama langsung terjawab tanpa Senja bicara. “Mama benar-benar nggak mengerti, Al.” Mama sepertinya masih belum bisa menerima dan menuntut penjelasan. “5 tahun lalu saat pembukaan cabang perusahaan, aku bertemu dengan Senja dan aku menikahinya.” Aku memang ada pekerjaan di sana beberapa bulan. Dan satu bulan terakhir sebelum kembali aku menikahi Senja dan meninggalkannya begitu saja. “Lalu ... kenapa Senja dan Danes bisa pacaran kalau memang Senja masih istri kamu?” “Aku ... meninggalkan Senja karena ada Mona yang harus aku nikahi.” Plak. Sebuah tamparan mendarat di pipi. Rasanya panas. Aku tertegun karena untuk pertama kalinya mendapat tamparan dari Mama. Selama ini Mama tidak pernah berlaku kasar, Mama selalu betutur kata lembut meski anak-anaknya membuat kesalahan tapi kesalahan yang kulakukan sepertinya tidak termaafkan di mata Mama. “Apa Mama mengajarkanmu menjadi lelaki seperti itu, Al?” Mata Mama memerah, buliran bening berjatuhan dari matanya. Sedangkan Senja membeku, alasanku ini pasti sukses membuat goresan luka baru. Tapi aku tidak mau menyembunyikan apapun, biarlah dia tahu dariku langsung daripada orang lain yang mengatakannya. Selain aku, sekretarisku tahu soal pernikahanku dengan Senja. Senja tidak sama dengan para wanita yang sering aku dekati, hanya dengan rayuan maut bisa diajak tidur. Siapa yang akan menolak sosok Alaska Nawasena, lelaki tampan dengan pesona luar biasa dan juga anak pengusaha. Hanya Senja yang menolak, tetapi saat sudah dinikahi, dia melayaniku dengan baik. Tidak mudah mendapatkan Senja, bahkan aku sampai mempermainkan pernikahan demi mendapatkannya. “Mama tidak menyangka kamu sejahat itu, Al.” Untuk kesekian kalinya Mama menyeka air mata yang terus berderai. “Maaf, Ma.” Aku menunduk dalam. “Bukan pada Mama, minta maaf pada Senja.” Senja yang dari tadi bungkam dengan berderai air mata kini berdiri. “Tante, aku pamit ya.” “Tunggu dulu.” Aku mencekal pergelangan tangannya. “Kita selesaikan semuanya, Ja. Aku minta maaf.” Senja mengangguk lalu mengusap kasar sudut matanya. “Oke, kalau mau selesaikan jatuhkan talak saja untukku, selesai. Aku nggak mau terikat sama kamu, Mas.” Aku membeliak. “Nggak, aku nggak bisa melepaskan kamu.” Seringai tampak di bibir Senja. “Bukannya kamu menikahiku untuk meniduriku saja? Sudah dapat ‘kan? Seharusnya kita selesai dari dulu.” Suaranya bergetar dan matanya kembali basah membuatku sakit melihat itu. “Kamu boleh marah padaku, pukul aku tapi jangan tinggalkan aku. Aku benar-benar menyesal, aku ... tersiksa setelah meninggalkanmu.” Senja menggeleng,. Diamnya Senja membuatku semakin merasa bersalah. Seharusnya dia mengamuk untuk melampiaskan kemarahannya, bahkan aku siap menerima pukulan atau tendangan dari dia, bagiku itu lebih baik daripada dia dam begini. “Bertahun-tahun aku seperti orang bodoh menunggumu kembali.” Deg. Dia menungguku? Padahal aku berpikir dia tidak akan sedih saat aku pergi karena memang menikah bukan karena saling mencintai. Rasa bersalah semakin menggunung. “Aku minta maaf. Kita mulai lagi, a-” “Terus mau kamu kemanakan pacarmu itu?” Nada suara Senja berubah sinis. Ini pasti karena kemarin Senja melihat Mona menciumku. “Aku-” “Anggap aja kita nggak pernah bertemu, aku juga nggak akan lagi berhubungan dengan Danes.” Senja lebih dulu memotong ucapaku. “Kamu memang harus memutuskan hubungan dengan Danes tapi denganku-” “Harus juga. Dan kamu nggak berhak mengatur apapun.” “Senja, kita bisa bicara baik-baik ‘kan?” Senja menyeringai. “Ini, memang kita nggak bicara baik-baik?” “Bukan itu maksudku. Berikan aku kesempatan.” Senja menggeleng, air matanya kembali menetes. “Lima tahun, Mas. Kamu baru menyadarinya sekarang? Kamu kalau di posisiku akan melakukan hal yang sama ‘kan? Apa kamu masih mau menerima orang yang bertahun-tahun kamu tunggu ternyata dia sengaja melakukan itu, sengaja nggak kembali. Aku hanya boneka di matamu ‘kan? Nggak berarti apa-apa.” “Senja.” Hatiku ikut perih melihatnya seperti ini. Dia yang kupikir baik-baik saja setelah aku pergi ternyata ....Bodo amat, mau pacar atau selingkuhannya itu bukan urusanku.Selesai makan, aku beranjak untuk mencuci piring bekasku. Tidak mungkin aku membiarkannya begitu saja kalau tuan rumahnya saja membersihkan piring bekasnya padahal ada art di sini.“Mau ngapain ya?”Bingung mau melakukan apa, keliling rumah aku sungkan apalagi tidak ada pemiliknya. Tadi malam memang tidak ada acara memperkenalkan semua sudut rumah karena terlalu larut untuk melakukannya.Akhirnya kuputuskan untuk duduk di teras sambil menunggu ibu mertuaku kembali. Ibu mertua, rasanya aneh aku yang selama ini sendiri tiba-tiba punya ibu mertua.Setelah bosan menggulir isi sosial media. Aku beralih membuka grup yang sudah lama tidak aku intip, semenjak bekerja aku jarang masuk dan mengobrol dengan teman-temanku yang saat ini masih kuliah. Mereka sudah membujuk agar aku tidak keluar tapi aku tidak mau membuat kepalaku pecah karena harus memikirkan mata kuliah yang sama sekali tidak aku sukai.Tidak membaca semua pesan dari ata
“Argh!”Refleks aku menendang kakinya lalu mendorong tubuhnya sampai terjungkal. Mendengarnya bicara begitu membuat bayangan Reynand kembali muncul."Gia ada apa?" Suara Oma terdengar dari luar, sepertinya mereka masih ada di depan kamar.Aku mencoba mengendalikan diri, jangan sampai hilang kendali. Kutarik napas dalam-dalam mencoba untuk meredakan debar jantung yang menggila."Ada kecoa, Oma," sahutku sekenanya.“Tenanga kamu kuat juga ya,” katanya sambil berdiri, kuliat dia meringis sambil memegang bokongnya."Ck, nggak usah berisik deh!""Pokoknya kalau kamu nggak nurut, uang jajan akan saya dipotong."“Idih, siapa juga yang minta. Aku kerja ya, punya uang sendiri.”“Saya nggak mau kamu kerja.”Mataku melebar. “Jangan-”"Sekarang sudah jadi kewajiban saya buat nafkahin kamu. Saya juga nggak mau kamu kerja."Dari tampangnya dia terlihat kalem tapi aslinya benar-benar menyebalkan. Dia pikir bisa seenaknya“Nggak usah sok ngantur ya, pernikahan ini pun karena terpaksa. Aku yakin kamu
“Giana!” Mama menyusul dan menarik kasar tanganku, “kamu nggak usah turun, tunggu di kamar sampai akad selesai.”Sebelah alisku terangkat, “kenapa? Takut aku bikin malu ya?”Mama tidak menjawab dan menyeretku kembali masuk ke dalam kamar. Aku tidak dibiarkan sendiri, ada Mia yang Mama minta untuk menemaniku.“Aduh, Mbak beruntung lho dapat suami ganteng banget,” kata Mia, dia anaknya Bik Atih asisten rumah yang sudah bekerja 25 tahun di rumah ini.Mia dan aku hanya beda dua tahun saja. Kami memang akrab, tidak seperti majikan dan anak art pada umumnya.“Kamu liat, Mi?”Mia mengangguk dengan senyum lebar, “menurut Mia malah lebih ganteng dari Mas Reynand, Mbak.”Mendengar nama itu membuat jantungku seperti dihujam. Andai aku tidak berpikir logis, mungkin setelah keluar dari rumah Reynand, aku hanya tinggal nama.Beruntung otakku masih bekerja meski rasa sakit yang kurasa begitu menyiksa. Aku akan membuat mereka yang menghancurkan hidupku menderita. Sudah cukup selama ini aku hidup tanp
Tidak terlalu kupedulikan foto itu. Kulempar ponsel sembarang. Karena dibangunkan hingga tersentak dan kepalaku berdenyut begini. Tidak hanya kepala seluruh tubuh ini pun sakit terutama hatiku yang sudah terkoyak.Kalau saja aku tidak ada kegiatan bekerja di luar, mungkin aku sudah gila lama-lama di rumah ini.Semenjak bekerja, aku tidak pernah memakai uang dari Papa. Setiap bulan memang selalu diisi tanpa aku minta. Meski mereka seperti tidak menganggapku anak, tapi kalau soal nafkah selalu lancar. Tapi kasih sayang tidak kurasakan sama sekali.Saat malamnya, aku tidak keluar meski Kak Giska memaksaku untuk makan malam bersama. “Gia, kamu kenapa? Kalau ada masalah cerita, nggak usah ngurung diri. Nggak baik lho,” bujuk Kak Giska dengan suara lembut.Bukan dibuat-buat, dia memang sebaik dan selembut itu. makanya aku tidak mau kalau sampai dia menikah dengan Reynand. Bisa ditebak kalau pria itu sudah biasa meniduri wanita.Tapi apalah dayaku. Aku yang jadi korban saja malah disalahkan
“Pernikahan Kak Giska dan Reynand harus dibatalkan, Pa!” Dengan dada bergemuruh aku berucap lantang di tengah ruang tamu.Papa yang sedang fokus dengan laptopnya langsung mengangkat kepala dengan kening mengernyit heran. “Kamu kenapa sih? Ngigo atau iri sama kakakmu karena bisa dapat calon suami seperti Reynand, berpendidikan, karir cemerlang dan yang jelas dari keluarga terhormat,” katanya dengan nada ketus.“Reynand memperkosa aku, Pa!” Suaraku pecah dan tubuh berguncang hebat. Hatiku seperti tersayat sembilu saat mengungkap semua karena terbayang saat pria laknat itu merenggut paksa kehormatanku.Papa berdiri dengan mata melebar, Mama yang ada di ambang pintu dapur sampai menjatuhkan nampan di tangannya.Aku menggigit bibir kuat-kuat, menahan tangis yang hampir pecah. Kejadian mengerikan itu terus berputar di kepala.Awalnya Reynand minta tolong untuk menyiapkan kejutan untuk Kak Giska, tanpa curiga aku datang tapi sialnya dia malah menjebakku. Kejadian itu terjadi di rumahnya send
“Ifa nggak munafik, Ifa butuh waktu, Mas.”Danes mengerti. Istri lugunya yang memiliki hati lembut itu pasti tidak akan mungkin langsung memaafkan dengan mudah. Tapi setidaknya Latifa memberikan kesempatan pada Danes, wanita itu tidak menuntut pisah seperti yang kemarin dikatakannya.“Aku akan buktikan kalau memang aku serius dengan pernikahan ini, bukan cuman dengan ucapan.” Danes mengecup kembali punggung tangan sang istri. “Terima kasih karena kamu kasih aku kesempatan.”Latifa hanya mengulas senyum tipis, tenaganya belum pulih.“Istirahat ya, kalau butuh apa-apa bilang.”Wanita cantik itu mengangguk pelan.Semalaman Danes terjaga, ia begitu bahagia dengan kelahiran putrinya sampai sulit untuk memejamkan mata.Pagi harinya, orang tua Latifa datang tapi mereka bersama dengan orang tua Danes.“Lho, Mama sama Papa kok di sini?” tanya