Share

Bab 5

Arjuna yang merasakan adanya tekanan seperti itu terlihat tampak tenang. Tak memperlihatkan kegusaran sama sekali. Baik di raut wajah atau gerakan tubuh.

"Karena aku tahu kalau Shima sedang berbohong kepada kita," jawab Arjuna dengan senyuman kecil.

"Begitu, yah. Kira-kira kenapa dia harus berbohong seperti itu kepada kita? Bukankah kita temannya?"

"Entahlah. Tapi, setahuku tak sedikit yang seperti itu. Demi menjaga nama baik yang telah meninggal."

Begitu Arjuna selesai bicara, Mahesa datang menghampiri dengan bulir-bulir air di dahinya. "Wah, apa aku datang tidak tepat pada waktunya? Sepertinya dari tadi ada yang sedang asyik mojok terus," celetuknya dengan nada yang menyindir.

Karena Arjuna sedang malas menanggapi celotehan itu. Maka ia lebih memilih menjauh dengan meninggalkan ruang tamu. Menuju ke mobilnya yang terparkir di seberang rumahnya Shima.

Sedangkan Mahesa masih diam di sana bersama Gayatri—di ruang tamu. Pojok ruangan, dekat jendela. Keduanya terlihat sedang berbicara dan tampak serius. Sampai-sampai kedatangan Shima tidak mereka sadari.

"Ehem! Sepertinya serius sekali kalian ini. Ada apa sih?" tanya Shima yang berusaha bercanda walau ada serak yang masih tersisa.

"Hehe, tidak ada apa-apa. Nanti juga kau akan tahu, Shima," kilah Mahesa sambil tertawa kecil.

Sedangkan Gayatri hanya mengangguk sambil tersenyum manis. Lalu secara tiba-tiba Mahesa meminta izin untuk pulang. Begitu juga dengan perempuan berambut sebahu itu. Tentu hal tersebut membuat Shima kaget. Apalagi masih ada pertanyaan yang mengganjal di hati perihal yang tadi.

Namun, apalah daya jika kedua temannya itu sudah berlalu pergi. Menyusul Arjuna yang sudah berada di dalam mobil. Begitu Mahesa dan Gayatri telah kembali masuk ke mobil. Sang sopir pun segera meninggalkan tempat tersebut. Dengan lebih dulu mengantarkan Gayatri yang rumahnya berada di kompleks itu juga. Hanya berbeda beberapa blok saja. Lebih masuk ke dalam.

"Arjuna. Apa kau tidak melihat sesuatu yang aneh tadi di sana?" tanya Mahesa setelah cukup jauh dari rumahnya Gayatri.

"Aneh bagaimana?"

"Aku tidak melihat raut kesedihan di wajah Shima. Padahal setahuku, ia sangat dekat dengan ayahnya."

"Apa kamu tidak memperhatikan suaranya saat ia bicara?" giliran Arjuna yang balik bertanya dengan mengamati spion tengah untuk melihat mimik wajah Mahesa yang ada di belakangnya.

"Tidak."

"Pantas saja."

"Pantas saja, bagaimana?" tanya Mahesa dengan nada sedikit meninggi.

"Pantas saja tidak ada cewek yang mau sama kamu."

Sebuah jawaban yang sangat menonjok hati Mahesa. Sehingga raut wajahnya menjadi merah dengan kedua mata melotot. Lalu ia bergerak ke depan, menyelinapkan kepala di antara Arjuna dan sang sopir.

"Anj .... "

Hampir saja Mahesa mengucapkan nama hewan yang suka menjulurkan lidahnya. Jika saja ia tidak mengingat kastanya yang tinggi. Lebih tinggi dari Shima dan setara dengan Arjuna—Brahmana.

"Kenapa? Kenapa tidak kamu lanjutkan, Mahesa?" tanya Arjuna dengan nada mengejek.

"Perutku lapar. Buang-buang tenaga saja," jawab Mahesa sambil memalingkan wajah ke arah kiri.

Mendengar itu Arjuna cuma tersenyum, karena tahu alasan kenapa temannya itu tidak melanjutkan ucapannya. Kasta—itulah yang membuat Mahesa tidak sanggup berkata kasar melebihi semestinya. Apalagi ada orang lain yang berada di sana—sang sopir.

Sungguh tidak elok jika Mahesa melakukannya. Karena akan merendahkan kastanya di hadapan orang lain yang berkasta rendah. Apalagi jika hal itu sampai ke telinga sang ayah. Bisa-bisa ia akan dicoret sebagai satu-satunya ahli waris atas semua kekayaan kedua orang tuanya.

Setelah setengah jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di depan rumah Mahesa. Lalu pemuda berambut ikal itu segera turun tanpa berkata apa-apa. Hanya melambaikan tangan sekilas, saat Arjuna menoleh ke arahnya yang baru saja menutup pintu.

Dan begitu Mahesa telah berada dibalik pagar besi yang tinggi. Arjuna pun segera menyuruh sang sopir untuk segera jalan meninggalkan kawasan tersebut. Menuju pulang ke rumahnya untuk beristirahat. Karena ia sudah cukup merasa lelah hari ini.

Malam telah menjelang, dengan senyuman sang rembulan yang sedikit meredup. Apalagai saat ini anak jarum jam telah berada di angka 11. Waktu bagi sebagian umat manusia untuk terlelap. Melepaskan penat dan lelah setelah berjibaku menjalankan roda kehidupan.

Di sebuah kamar yang berada di lantai dua. Terlihat sekelebat bayangan masuk melalui celah jendela yang tertutup rapat. Bergerak sangat cepat menuju ranjang yang berada di tengah-tengah ruangan. "Tidurlah kau dengan lelap sampai mati," ucap bayangan itu yang telah berubah bentuk menjadi sesosok makhluk mistis.

Lalu dengan gerakan yang cepat, ia menancapkan kukunya yang tajam pada sosok yang berada di balik selimut. "Mati kau!" teriaknya dengan puas sambil tertawa.

"Hai kepala babi!"

Tiba-tiba ada suara yang berteriak memanggil makhluk tersebut. Hingga ia terkejut dan langsung menoleh ke belakang. Bersamaan dengan itu, lampu kamar ikut menyala terang. Sehingga memperlihatkan siapa sosok yang memanggilnya.

Betapa kagetnya makhluk itu saat melihat sosok bertopeng telek1) berdiri di dekat sakelar lampu. Dengan berpakaian serba hitam serta berkuku tajam. Walau tak sepanjang miliknya.

"Naskeleng!"2) umpat makhluk itu yang kembali berubah menjadi bayangan dan langsung kabur dari sana.

Namun, baru saja turun dari kamar tersebut dan masih berada di pekarangan belakang. Tiba-tiba saja sosok bertopeng tadi sudah ada di depannya sambil tertawa. Dengan kedua tangan terselip di saku celana.

"Kau mau ke mana? Main kabur aja. Padahal kita baru bertemu, lho," ucapnya sambil tertawa.

"Aku tidak kabur, hanya mencari tempat yang lebih luas untuk membunuhmu," jawab sosok bayangan itu yang telah kembali berwujud leak berkepala babi.

"Wohoho, aku jadi takut, nih. Sampai-sampai kakiku gemeteran, lho," ejek sosok bertopeng itu sambil berpura-pura ketakutan.

"Kau benar-benar membuatku muak!" teriak si kepala babi sambil menerjang cepat ke arah depan.

Lalu secara tiba-tiba ia melompat ke atas dan langsung menyemburkan cairan putih pekat ke arah lawannya. Tentu hal tersebut membuat sosok bertopeng itu terperanjat kaget. Karena tidak menyangka akan mendapatkan jenis serangan seperti itu

Walau demikian ia bisa menghindarinya dengan bergerak cepat ke belakang. Tapi, ada beberapa percikan dari cairan itu yang mengenai dirinya. "Wow! Sungguh menakjubkan sekali. Aku pikir cuma muntahan biasa. Tapi, ternyata tidak," pujinya yang langsung merobek lengan baju tangan kiri yang mengeluarkan asap pekat.

Lalu harus menghindar lagi dan kali ini ke arah samping kiri. Karena si kepala babi telah kembali menyerangnya. Dengan melancarkan tendangan kaki kanan yang berbalut pancaran energi tenaga dalam berwarna merah. Sehingga menyebabkan ledakan yang menghamburkan butiran-butiran tanah serta kerikil di udara. Saat menghantam ibu pertiwi.

Belum saja butiran-butiran tanah itu menghilang. Si kepala babi sudah melancarkan serangan susulan. Berupa tinju tangan kanan yang kali ini berselimut api ke arah wajah lawannya. Namun, tetap saja hal tersebut bisa dihindari dengan baik oleh sosok yang kini berdiri di kanannya.

"Wohoho, aku rasa sudah cukup sampai di sini kau menyerang, yah. Karena kini giliranku," ucap sosok bertopeng itu yang telah melilitkan sobekan lengan bajunya tadi ke pergelangan tangan si kepala babi.

Lalu dengan sekuat tenaga menarik dan menghempaskannya ke sisi kanan. Sehingga tubuh si kepala babi terlempar begitu saja. Dengan posisi kepala di bawah serta membelakangi pagar pembatas rumah itu.

Dan ketika hendak menghantam pagar. Sosok bertopeng itu telah lebih dulu menghentikannya. Dengan memukul tulang belakang si kepala babi. Hingga terdengar suara tulang yang patah. Lalu kembali terhempas sebelum wajahnya mencium tanah.

"Ayo, Babi. Bangunlah! Bukankah kau ingin membunuhku? Kenapa malah tidur-tiduran di tanah?" tanya sosok bertopeng itu dengan nada yang mengejek.


Note: 

1. Telek: Topeng Bali yang digunakan dalam tarian. Di mana telek—merupakan kaki tangan dari Barong.

2. Naskeleng: Umpatan bahasa Bali yang kasar

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status