Share

Bab 4

"Ayah!"

Pekik keduanya secara bersamaan, seiring dengan tubuh yang langsung membeku. Sedangkan guru yang ada di depan mereka terlihat membungkukkan badan sambil menyapa, "Selamat pagi, Pak Direktur dan Wakil Direktur." Lalu setelah itu segera memasuki ruang BK yang bersebelahan dengan ruang para guru. 

"Kenapa Ayah datang kemari?" tanya Mahesa dengan kepala yang menunduk. 

"Apa itu menjadi masalah bagimu, anakku?" tanya balik pria paruh baya itu yang berdiri tepat di hadapannya. 

Mahesa tidak bisa menjawab pertayaan tersebut. Hanya mampu terdiam dan semakin menunduk. Hal yang sama juga dilakukan oleh Arjuna. Apalagi sosok pria berkacamata yang ada di depannya sedang berbisik, yang membuat kedua bola mata Arjuna hendak meloncat keluar.

Setelah itu, pria tersebut meninggakan Arjuna yang diikuti oleh ayahnya Mahesa. Begitu suara langkah keduanya tak terdengar lagi. Mahesa langsung mendekati Arjuna dan bertanya tentang apa yang terjadi. Namun, ia tidak menjawab malah segera menuju ke ruang BK.

Melihat itu, Mahesa hanya bisa mengikuti jejak Arjuna yang telah memasuki ruangan. Walau hatinya merasa gundah gulana dengan seribu tanda tanya yang menghantui. Tidak hanya itu saja yang menjadi beban pikiran. Kedatangan ayahnya dan juga ayah Arjuna, membuat dirinya mencurigai akan ada sesuatu yang terjadi dalam waktu dekat ini. Biasanya menyangkut aturan sekolah yang baru. 

Kini, Mahesa yang telah berada di ruang BK. Segera duduk tepat di seberang sosok guru yang tadi memanggil mereka. Sosoknya tampak masih muda, mungkin baru berusia 30-an. Tampilannya terlihat tidak ada yang istimewa. Seperti para guru umumnya. Hanya saja kedua matanya terlihat sipit. Sedikit berbeda dari yang lainnya.

"Baiklah, Arjuna. Bisa kamu ceritakan tentang kejadian tadi? Bapak ingin mendengar semuanya dari sudut pandangmu. Sebelum Bapak menanyakannya ke Mahesa," pintanya sambil menunjuk ke arah pemuda yang ada di samping kanan Arjuna, "dan pastinya ke Arya juga. Setelah kondisinya membaik," lanjutnya setelah tadi sempat terjeda untuk beberapa detik saja.

"Tidak ada yang perlu saya ceritakan. Karena itu cuma kesalahpahaman saja. Selain itu, saya juga harus ke UKS. Untuk mengobati ini," jawab Arjuna sambil membuka kancing baju dan memperlihatkan memar yang ada di dada. 

Tak ayal hal tersebut membuat kaget Mahesa dan juga sosok guru yang duduk di seberang mereka. Tentu saja pria bermata sipit itu segera menyuruh Arjuna untuk ke ruang UKS serta hendak ikut mengantar, tapi ia menolaknya.

Dan begitu Arjuna sudah keluar dari ruang itu, Mahesa segera menceritakan tentang kejadian tadi. Secara terperinci, mendetil, dan tegas walau dengan sedikit terburu-buru. Karena ia ingin bisa cepat-cepat keluar dari sana untuk segera melihat keadaan sahabatnya. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Sebab Mahesa harus mendengarkan sesuatu yang membuat dirinya terkejut. Sesuatu yang menjadi alasan kenapa ayahnya hari ini datang berkunjung ke sekolah.

Sedangkan di sebuah ruangan yang berada di sisi lorong yang berbeda. Tampak sosok Arjuna yang baru saja berbaring di ranjang, sedang mendapatkan pengobatan. Dari petugas UKS yang sekaligus seorang guru olah raga.

"Bagaimana rasanya, Arjuna? Apa masih terasa sakit?" tanya sosok itu sambil menekan memar yang ada di dada Arjuna.

"Sudah tidak terlalu sakit, Bu. Hanya sedikit nyeri saja."

"Apa kamu yakin, Arjuna? Ibu tidak ingin kamu menyembunyikan rasa sakitnya. Karena Ibu tahu lukamu cukup dalam. Ini demi kebaikanmu, Arjuna. Apalagi kamu anak pemilik sekolah ini. Ibu tidak mau — "

"Ibu tidak usah mengkhawatirkan hal tersebut. Saya bisa menjaminnya," potong Arjuna sambil duduk serta menutup kancing bajunya.

"Tapi .... "

"Apa Ibu tidak mempercayai saya?" lagi-lagi Arjuna memotong ucapan wanita itu dan kali ini benar-benar membuatnya terdiam.

Untuk sesaat keadaan menjadi hening. Wanita itu hanya bisa diam dan tertunduk. Sedangkan di raut wajah Arjuna terlintas sedikit raut kekecewaan.

Dia tidak ada di sini, pasti sudah dibawa ke rumah sakit terdekat, batin Arjuna setelah mengamati sekitarnya. Lalu berkata, "Baiklah, Bu. Saya izin untuk kembali ke kelas." Sambil bangkit dari ranjang.

Sebelum Arjuna meninggalkan ruang UKS. Wanita itu memberikan beberapa obat yang disatukan ke kantong kertas berukuran kecil. Baru setelah itu ia berjalan pergi sambil berkata, "Anggap saya tidak pernah kemari." Dengan seutas senyum penuh makna.

Dan ketika baru saja Arjuna menjauhi pintu UKS. Dari kejauhan terlihat seorang siswa berjalan ke arahnya. Dengan muka masam seperti hendak memukul. Kenapa lagi dengan dia? Batin Arjuna yang menghentikan langkahnya.

"Kau ini memang tukang pembawa masalah saja. Bikin aku terlibat hal seperti ini," keluh siswa itu—Mahesa.

"Salahmu sendiri. Aku tidak mengajakmu," kilah Arjuna yang kembali berjalan.

"Kau mau ke mana?"

"Ke kelas, sebentar lagi bel masuk."

Baru saja Arjuna berkata demikian, bel langsung berbunyi dengan nyaringnya. "Cih! Sungguh suatu kebetulan sekali," ucap siswa itu yang tidak di dengar oleh Arjuna. Lalu ia menyusul dan berkata lagi, "Jangan lupa, sepulang nanti kita ke rumahnya Shima." Dengan nada yang sedikit tenang.

"Ya—jika aku lagi mood," jawab Arjuna tanpa mimik di wajahnya.

"Kau .... "

"Apa?" potong Arjuna sambil menoleh.

"Tidak jadi."

Dan setelah itu mereka berpisah. Masuk ke kelasnya masing-masing yang saling bersebelahan. Untuk kembali menerima tutur kata yang mengandung ilmu. Demi meningkatkan kemampuan CPU di otak. Biar kelak dianggap layak sebagai manusia oleh para orang dewasa yang saat ini terlalu otoriter.

Waktu terus berlalu mengikuti pergerakan matahari yang hendak menuju puncak tahtanya. Saat sinarnya terasa membakar dan mengubah suhu udara menjadi seperti di ujung—paling ujungnya neraka. Hingga beberapa manusia selalu memakai jaket atau payung untuk menjaga kulitnya tetap seperti orang Jepang—putih.

Tepat di saat itu, bel akhir pelajaran untuk hari ini berdering dengan nyaringnya. Hingga mengejutkan beberapa siswa yang terlalu sibuk mengerjakan tugas. Namun, bagi mereka yang menantikannya, sudah pasti sangat bergembira. Bagi mereka, siksaan telah berakhir. Walau keesokan hari harus kembali mengalaminya.

Mahesa dan Gayatri yang telah lebih dulu meninggalkan kelas dan berada di depan gerbang sekolah. Terlihat harap-harap cemas menanti kedatangan Arjuna. "Ini dia kenapa lama banget? Sudah tahu ada janji gini, masih belum datang aja. Lagian, aku lihat semua teman-teman sekelasnya sudah pada keluar. Dasar Arjuna — " celoteh Mahesa itu yang kesal kepada Arjuna harus terpotong, begitu sosok yang ia tunggu datang dengan senyuman tanpa dosa.

"panjang umur sekali kau, Arjuna. Baru saja aku membicarakan dirimu. Tahu-tahu, kau sudah nongol aja," lanjutnya sambil memberikan kedipan mata kanan kepada Gayatri.

"Membicarakan orang lain di belakang itu tidak baik, Mahesa," nasehat Arjuna yang menoleh ke arah Gayatri.

Mahesa hanya bisa tersenyum kecut mendegar itu. Lalu memperkenalkan Arjuna kepada Gayatri yang dari tadi diam. Setelah perkenalan singkat terjadi, barulah ketiga orang itu bergegas ke rumahnya Shima. Dengan menaiki mobil yang menjemput Arjuna.

Selang beberapa saat kemudian, mereka sampai di rumah Shima. Keadaan di sana terlihat ramai oleh beberapa orang yang melayat. Semua orang berpakaian adat Bali berwarna hitam. Di depan rumah terlihat adanya bade1) yang bertumpang tujuh, yang berhiaskan simbar,2) magunung tajak,3)karang curing,4)boma,5) garuda marep mungkur6) di depan dan belakang. Dengan menggunakan kertas warna emas.

"Arjuna, keluarga Shima berkasta Arya apa?" tanya Mahesa sebelum keluar dari mobil.

"Aku pikir kamu sudah tahu," ucap Arjuna yang tidak langsung menjawab pertanyaan itu.

Mendengar itu, Mahesa langsung melirik ke arah Arjuna. Ketika mereka sudah keluar dari mobil setelah menutup kembali pintu. Bukannya takut dan segera menjawab, Arjuna malah lebih dulu tersenyum, yang membuat raut muka Mahesa menjadi tidak enak dipandang.

"Arya Kloping."

Tiba-tiba Gayatri angkat suara untuk menjawab pertanyaan tadi begitu keluar dari mobil. Lalu segera bergegas masuk ke rumah Shima meninggalkan dua pemuda yang tidak pernah akur itu. Hingga membuat mereka saling menatap dan melongo melihat tingkah perempuan tersebut, yang dari tadi cuma diam saja.

"Kau itu .... "

"Apa?" potong Arjuna yang membuat Mahesa melengos pergi menyusul Gayatri.

Melihat itu Arjuna cuma tersenyum tipis. Lalu segera ikut masuk ke rumah Shima. Setelah lebih dulu menyuruh sang sopir untuk menunggu.

Begitu ia sudah berada di dalam bersama Mahesa dan Gayatri. Kedua mata Arjuna langsung tertuju pada jasad yang berada di tengah-tengah ruang keluarga. Sehingga ia tidak menyadari kedatangan Shima yang datang menghampiri serta menyapa dengan penuh kehangatan. Sampai-sampai Mahesa harus menginjak kaki kanan Arjuna. Untuk menyadarkan pemuda berkulit sawo matang itu.

Bukannya terkejut atau gelagapan. Reaksi Arjuna malah biasa saja. Walau bersamaan itu Shima mengajak berjabat tangan. Tentu Arjuna menyambut dengan baik seperti tidak pernah terjadi sesuatu di masa lalu mereka. Hal itu membuat Mahesa menjadi heran dan bertanya-tanya di dalam hatinya. Sedangkan Gayatri, cuma diam karena memang tidak mengerti apa-apa.

Setelah itu mereka berempat menuju ke tempat jenazah berada. Terlihat di sana beberapa wanita paruh baya mengapit ibunya Shima. Mereka terlihat sibuk mejejahitan7) untuk acara ngaben8) yang dilakukan esok hari. Saat itulah Arjuna, Mahesa, dan Gayatri bisa melihat kondisi mayat secara jelas yang berada di dalam peti kayu.

Hal yang menjadi perhatian mereka adalah adanya memar berwarna biru pada areal sekitar wajah. Hingga mereka menanyakannya kepada Shima. Perempuan berambut panjang sepinggang itu menjelaskan kalau kematian ayahnya karena terjatuh di kamar mandi. Saat penyakit jantungnya kambuh. Di mana bagian wajah menghantam pinggiran kloset hingga berdarah.

Mendengar penjelasan itu mereka bertiga hanya mengangguk saja. Namun, ada yang sedikit berbeda di wajah Arjuna. Ia terlihat menyeringai walau cuma beberapa detik saja. Tidak ada yang menyadarinya, hanya Gayatri yang sempat melihat hal tersebut.

Lalu ketika Mahesa pergi bersama Shima untuk mengambil buah-buahan di dapur yang akan digunakan sebagai pelengkap upacara. Saat itulah Gayatri menanyakan hal yang dilihatnya tadi kepada Arjuna.

"Maaf, Arjuna. Apa aku boleh bertanya sesuatu padamu?" tanya perempuan berambut sebahu itu dengan nada yang lemah lembut.

"Boleh. Apa itu?"

"Kenapa kau tadi seperti itu, Arjuna?"

"Maksudmu?" tanya balik Arjuna dengan tatapan dingin.

"Aku tadi melihatmu menyeringai. Kenapa kau seperti itu, Arjuna?"

Kali ini ada ketegasan yang terdengar jelas dari balik kelemah lembutan nada bicara Gayatri. Apalagi tatapan bola matanya yang berwarna coklat terlihat tajam memandang Arjuna. Seakan ada intimidasi yang menghujam. Untuk mengorek kejujuran lawan bicaranya.



Note: 

1. Bade: Tempat wadah mayat untuk upacara ngaben.

2. Simbar: Aksara Bali.

 3. Magunung tajak: Bentuk yang menyerupai gunung.

4. Karang curing: Seni ukir khas Bali.

5. Boma: Ukiran berbentuk kepala Sang Kala Boma.

6. Garuda marep mungkur: Ukiran berbentuk burung garuda.

7. Mejejahitan: Membuat banten.

8. Ngaben: Upacara pembakaran mayat di Bali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status