Share

LEBIH BAIK KITA BERPISAH
LEBIH BAIK KITA BERPISAH
Author: Yazmin Aisyah

Bab 1

Author: Yazmin Aisyah
last update Last Updated: 2023-06-25 15:44:55

LEBIH BAIK KITA BERPISAH 1

"Ini kelima kalinya kamu menolak. Aku sudah nggak punya lagi alasan untuk Mama."

Lelaki di sampingku tak menoleh, sibuk melempar kerikil ke aliran sungai jernih yang merendam kaki kami. Gemerisik suara air dan anak-anak yang bermain di dalamnya timbul tenggelam di telinga. Aku menunggunya bicara.

"Bilang Mamamu, malam nanti aku lembur."

Aku menoleh dengan gerakan tiba-tiba, menghentikan gerakan tangannya yang kesekian puluh, yang akan dia lakukan. Sesaat lamanya kami saling tatap sebelum masing-masing memalingkan wajah.

"Aku nggak mau terus berbohong. Kalau kamu memang nggak punya niat serius untuk hubungan kita, lebih baik kita berpisah."

Waktu seakan membeku. Efek kata-kataku barusan tampak jelas diwajahnya. Hatiku perlahan berdebar. Lima tahun lamanya aku menunggu untuk sebuah kepastian darinya.

Tapi kemudian, dia tersenyum. Tangannya terulur, merapikan  ujung jilbabku yang melambai tertiup angin.

"Jangan ngambek sayang. Masa lima tahun kita pacaran dan kamu ingin berpisah hanya karena aku belum siap bertemu Mamamu."

Aku menelan ludah. Hanya. Rupanya dia menganggap ini hal sepele. Lima tahun bagi seorang wanita bukan waktu yang sebentar. Susah payah aku menjaga hati, menjaga diri dari banyak godaan. Bukankah wajar jika aku ingin sebuah kepastian? Kami telah lulus kuliah dan sama-sama punya pekerjaan yang menjanjikan. Apa lagi yang ditunggu?

"Baiklah…"

Aku menghela napas panjang, berdiri dan menepuk-nepuk celana longgar berwarna hitam yang kupakai untuk meluruhkan daun-daun yang jatuh di pangkuan. Sungai kecil dengan batu-batuan besar ini berada di sebuah kawasan wisata alam bernama Wira Garden. Bukit kecil dengan rumput Jepang, rumpun bambu yang dirawat dengan baik, pohon-pohon hijau, dan yang teristimewa adalah tenda-tenda sewaan yang berada di pinggir sungai. Para pengunjung bisa menyewanya untuk merasakan sensasi kemping dengan musik percikan air yang memenangkan.

"Aku hanya bisa memberimu waktu satu minggu untuk memutuskan, apakah kita akan terus atau putus. Ini sudah terlalu lama."

Aku lalu berbalik. Jonas terkejut, dia bangkit dari duduknya dan meraih tanganku dari belakang. 

"Senja, jangan begitu. Semuanya bisa dibicarakan."

Aku memandangnya tanpa senyum, lalu melepas tanganku yang dipegangnya.

"Bicara? Lalu yang kita lakukan tadi? Kemarin, dan kemarinnya itu apa?"

Jonas menghela napas. 

"Aku… aku masih belum bisa. Jika aku datang ke rumahmu kita pasti akan disuruh segera menikah kan?"

Aku mengerutkan dahi dengan heran.

"Memang itu tujuannya. Lalu kenapa? Apa kamu pikir hubungan kita ini hanya main-main?"

Jonas tampak berpikir sesaat, lalu senyum mengembang di bibirnya.

"Baiklah kalau begitu. Aku akan datang ke rumahmu malam minggu depan."

Aku menghembuskan napas lega diam-diam. Mungkin pada akhirnya, aku akan dapat membungkam mulut para sepupu yang tahu bahwa aku dan Jonas telah berhubungan terlalu lama.

"Tapi ada syaratnya…"

Suara Jonas menggantung. Senyumku pudar seketika.

"Nanti malam, kita check in. Aku ingin merasakan semalam bersamamu sebelum memutuskan menikahimu."

Rasanya bagai ditampar di depan orang banyak. Kaget, malu dan marah. Aku sama sekali tak menyangka kalimat itulah yang akan keluar dari mulutnya. Kutahan sakit di dada yang tiba-tiba terasa sesak.

"Apa maksudmu?"

"Selama ini kita pacaran. Tapi menyentuhmu seperti sesuatu yang amat mahal bagiku. Apalagi melakukan hal-hal seperti pasangan kekasih lainnya."

Wajahku merah padam. Ini memang salahku, tak bisa menolak saat cinta hadir di hatiku untuknya. Tapi aku tetap menjaga diri. Pacaran bagiku, artinya menjaga hati dari lelaki lain, berkomitmen bahwa hubungan ini akan bermuara pada sebuah pernikahan.

Tapi rupanya dia tak berpikir seperti itu.

"Jadi, itu yang kau inginkan dariku?"

"Ya. Hubungan kita ini tidak normal seperti orang pacaran, Senja. Aku ingin tahu lebih dulu, apa kau sebenarnya masih perawan."

Plak!

Aku tak lagi dapat menahan diriku untuk menamparnya. Tak kusangka, begitu rendah dia memandangku selama ini. Dan nilai hubungan kami baginya, ternyata hanya sebatas kontak fisik.

"Kalau begitu lupakan Jonas. Tak ada lagi yang bisa kita pertahankan dari hubungan ini. Prinsip kita berbeda, dan karena itu, lebih baik kita berpisah."

***

Aku dan Jonas bertemu di tahun pertama masa kuliah. Berada di Fakultas yang sama, berbagi ruang yang sama. Aku yang tak pernah mengenal lelaki sebelumnya, tiba-tiba tersentuh oleh caranya memperhatikanku. Hingga di tahun kedua, saat dia menyatakan cinta, aku tak sanggup menolak. Itulah kesalahan terbesar dalam hidupku. Aku terjerat pada cinta yang terlalu dalam, cinta yang tak punya tujuan, hingga terlupa bahwa waktu terus berjalan dan tahu-tahu saja, usiaku sudah cukup matang untuk menikah. 

"Senja, Mama sudah tua. Kalau sudah ada lelaki yang serius denganmu, suruh dia temui Mama."

Ucapan itu membuatku galau berhari-hari lamanya. Lalu ingatanku melayang, mengingat interaksiku dengan Jonas, seseorang yang mengaku mencintaiku tanpa syarat.

"Jangan. Tolong jangan. Aku akan memberikan semuanya padamu saat kita sudah menikah."

Aku ingat pernah mengatakan hal itu padanya saat dia hendak menci-umku. Saat itu, aku berulang tahun dan dia memberi surprise yang manis di kampus. Dia terdiam sejenak, lalu tersenyum dan meminta maaf.

Lalu, beberapa kali Valentin, dia mengajakku ikut pergi dengannya. Ada acara yang diadakan oleh teman-teman kami di hari merah jambu itu. Tapi lagi-lagi aku menolak. Jonas akhirnya pergi sendiri dan aku menjalani hari seperti biasa karena bagiku tak ada yang istimewa.

Ah, kenapa baru kini kusadari bahwa kami berbeda? Dan kenapa aku bertahan dengannya sekian lama? Lalu apa yang membuatnya juga masih terus menunggu hingga tahun kelima akhirnya terlewati?

***

"Senja, kamu dan Jonas putus?"

Evelyn menarik kursinya ke meja ku. Aku mengalihkan pandangan dari layar laptop.

"Ini."

Dia mengeluarkan selembar kartu undangan, dan meletakkannya di atas meja.

"Dua minggu lagi Jonas menikah."

Aku nyaris kehilangan kata-kata. Seminggu telah berlalu sejak keputusan di Wira Garden waktu itu. Jonas sama sekali tak berniat memperbaiki hubungan kami, atau bahkan sekedar meminta maaf. Aku dan dia masih bertemu setiap hari karena kami satu kantor. Tapi sejak saat itu, kami sama sama bertingkah seperti orang yang tak saling kenal. Dan kini tiba-tiba saja, dia menyebar undangan pernikahan. Hebat sekali.

"Aku kira akan melihat namamu di sini. Tadi aku hampir saja marah karena berpikir kau menikah tanpa bilang-bilang padaku."

Aku tertawa kecil, meski hatiku rasanya perih.

"Kami sudah putus seminggu yang lalu."

"Seminggu yang lalu. Dan tahu-tahu dia akan menikah dua minggu lagi. Ini benar-benar gila."

"Ssstt…"

Aku memberi isyarat pada Evelyn agar diam, karena orang yang kami bicarakan kini tengah berjalan menuju mejaku. Senyumnya lebar, seperti tak merasa bahwa dia menyakitiku selama ini. Di letakkannya selembar kartu undangan di mejaku.

"Aku akan menikah dua minggu lagi, Senja. Jangan lupa datang."

Aku menatapnya. Tersenyum. Mungkin dia kira aku tak akan sanggup datang dan melihatnya menikah. Benar, aku masih mencintainya. Masih sangat mencintainya. Tapi prinsip dan harga diriku berada di atas segalanya.

"Aku akan datang."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • LEBIH BAIK KITA BERPISAH   Bab 60 (ENDING)

    LEBIH BAIK KITA BERPISAH 60 (ENDING)Berita kelahiran baby G menjadi trending topic berhari-hari di keluarga besarku dan keluarga besar Biru. Bergantian, mereka datang menengok, membawakan aku dan Baby G hadiah yang bermacam-macam. Belum lagi aneka rupa snack dan camilan supaya aku banyak makan dan ASI ku lancar. "Mantap Senja. Jahitan aman?"Ulfa meledekku. Aku curhat padanya tentang jahitanku yang entah sebanyak apa, karena bayiku yang besar. Untung saja, posisi jongkok yang selaras dengan gravitasi bumi membuat bayi keluar dengan mudah."Aman. Cuma masih ngiluuuuuu. Hiksss. Kamu sih nggak ngerasain.""Isshh sama aja. Jahitan secar malah lebih parah sakitnya. Belum lagi suntik epidural. Uh, kalau bisa minta, aku mau bius total rasanya."Ulfa melahirkan secar beberapa bulan yang lalu."Bedanya, besok kamu harus hati-hati Ja kalo MP lagi." Ulfa mengedipkan sebelah mata."MP apaan?""Malam pertama setelah nifas. Bilang Biru jangan grasa grusu. Harus pelan-pelan, soalnya kayak perawan

  • LEBIH BAIK KITA BERPISAH   Bab 59

    LEBIH BAIK KITA BERPISAH 59Sebuah kejutan yang sama sekali tak pernah kuduga. Kupikir tadinya, Tante Mala dan keluarganya telah membawa Erika pergi, seperti yang dia ucapkan setelah mendengar penolakan Jonas. Tapi kini, gadis itu berdiri di hadapanku, menatapku dengan pandangan benci, sementara aku, sekuat mungkin menahan sakit dari pergerakan bayi yang mulai mencari jalan keluar."Erika…"Bahkan, untuk berkata-kata pun sulit karena menahan sakit yang luar biasa. Perutku terasa diremas, dipelintir, seakan ada sesuatu yang besar berguling-guling di dalam sini, mendesak desak jalan lahir hingga bagian bawahku ikut terasa ngilu. Aku bertahan untuk tetap duduk, membiarkan air ketuban mengaliri kakiku, membasahi kasur dan sebagian jatuh ke lantai."Senja…"Dia berhenti sejenak, menatap wajahku yang meringis, tak bisa berpura-pura biasa saja dan menyembunyikan rasa sakit ini. Aku sendiri hanya diam sambil menatapnya, sementara hatiku terus berdoa agar Allah menjagaku. Ya, meski Biru ada di

  • LEBIH BAIK KITA BERPISAH   Bab 58

    LEBIH BAIK KITA BERPISAH 58Seperti dugaanku, Mama memang langsung histeris saat aku menceritakan kejadian kemarin. Mama memegang tanganku, lalu memeriksa seluruh tubuhku."Kamu nggak apa-apa kan? Ya Allah, Senja. Kenapa kamu nekad seperti itu? Kalau lelaki itu kalap gimana? Kamu juga Biru, kenapa kamu izinkan saja Senja melakukan hal berbahaya. Jangan terus-terusan menuruti keinginannya. Dia ini kadang harus dilarang secara tegas. Kalau perlu, kamu kurung saja di rumah."Tuh kan?Di seberangku, Biru meringis karena ikut kena damprat. "Iya, Ma, maaf, aku salah," ujar Biru dengan suara lembut."Mulai besok, Senja diawasi dua puluh empat jam. Lagi hamil besar, kok bisa-bisanya kepikiran nantangin penjahat."Mama masih belum puas."Mama marah bukan karena lemari dan keramik-keramik itu, tapi marah karena kamu nekad. Sejak dulu Mama bilang apa? Manjat pohon, naik motor lelaki, aduh Senja. Kapan berhenti bikin Mama khawatir? Mama kira setelah nikah, kamu bakalan kalem, ternyata…""Ma, aku

  • LEBIH BAIK KITA BERPISAH   Bab 57

    LEBIH BAIK KITA BERPISAH 57PoV SENJAAku dan Biru tiba di rumah sakit tiga puluh menit setelah Jonas menelepon, dan mengabari bahwa dia membawa Erika ke rumah sakit karena pingsan di perjalanan. Ini sudah jam delapan malam. Dari kejauhan, kulihat Jonas duduk di selasar rumah sakit, memandangi tanaman bougenville di halaman kecil di depannya."Jonas, apa yang terjadi?""Erika pingsan, dan terlihat linglung. Ada apa sebenarnya? Dan, oh, bagaimana kabar Zara?""Zara baik-baik saja. Kamu nggak perlu mengkhawatirkan dia."Jonas tampak menghembuskan napas lega."Oh, syukurlah. Beberapa hari ini, perasaanku nggak enak, aku terus teringat pada Zara."Aku terdiam, terenyuh dalam hati. Ternyata, naluri seorang Ayah dalam diri Jonas, telah tumbuh dengan subur. "Orang tuanya sudah datang kan? Kamu sudah menjelaskan semuanya sama dia?"Jonas mengangguk."Kalau begt6, ayo kita pulang. Kita sudah nggak ada hubungannya lagi dengan Erika.""Tapi, dia temanku, Senja. Aku nggak bisa membiarkan dia sep

  • LEBIH BAIK KITA BERPISAH   Bab 56

    LEBIH BAIK KITA BERPISAH 56PoV ERIKAKenapa semua harus berakhir seperti ini? Senja, bagaimana caranya dia bisa tahu semua pembicaraan dan rencanaku dengan Clay? Perempuan hamil itu benar-benar mengerikan. Dia seperti bisa membaca pikiran orang lain, menebak dengan tepat apa yang kupikirkan. Dan tatapan matanya yang lembut itu, dengan cepat akan berubah menjadi waspada saat melihatku. Sejak awal, dia sepertinya tahu bahwa aku mendekati keluarga Biru dengan maksud tertentu.Kalaulah bukan karena cinta, mana mungkin aku mau melakukan ini semua. Tapi, ternyata, orang yang kuperjuangkan, menyerah begitu saja. Clay, begitu mudah dia mengucapkan perpisahan, tanpa sedikitpun memikirkan perasaanku, apalagi menghargai perjuanganku.Aku menghentikan mobil sewaan di depan rumah Senja. Tak mungkin membawa mobilku sendiri karena Mama dan Papa akan dengan mudah melacaknya.Rumah itu sepi dan tampak tenang. Sebuah rumah yang penuh dikelilingi bunga-bunga indah. Pohon mangga, jambu air dan rumpun m

  • LEBIH BAIK KITA BERPISAH   Bab 55

    LEBIH BAIK KITA BERPISAH 55"Berhentilah bertualang Jonas. Aku gerah melihatmu gonta ganti pacar.""Tunggu sampai aku mendapatkan dia.""Siapa?""Senja.""Bukannya lo udah pacaran lama sama dia?""Lama sih lama Bro. Tapi apa gunanya kalo sekedar nyium aja gak bisa, apalagi lebih dari itu."Bugh!Aku menonjok bahunya sedikit agak keras. Jonas tertawa dan melompat menjauh."Itulah gadis yang baik dan seharusnya langsung lo lamar. Dia mampu menjaga diri, bahkan dari orang yang dia cintai."Tawa Jonas makin keras."Ya gimana? Gua nggak mau beli kucing dalam karung. Kalo sebenarnya dia udah nggak perawan gimana?""Ya, berarti lo harus instropeksi diri, apa saja yang pernah lo lakukan sama gadis-gadis lainnya. Karena jodoh itu sekufu Jonas, lo tahu artinya kan?""Selevel maksud lo?""Ya, semacam itulah. Kalo ternyata dia nggak suci lagi, berarti lo juga sama."Dia terkejut, tapi hanya sejenak. Detik berikutnya, Jonas sudah kembali tertawa."Gila. Nggak bisa gitu, Bi. Biar gua bejat, gua har

  • LEBIH BAIK KITA BERPISAH   Bab 54

    LEBIH BAIK KITA BERPISAH 54"Pilihan ada ditanganmu, Clay. Apakah akan terus hidup dalam penyesalan, atau bertobat dan menebus dosa."Biru membantu Clay berdiri, dan aku terkejut melihat dia menangis. Lelaki seperti dia? Yang tega melakukan kejahatan luar biasa, membunuh orangtuanya sendiri, menangis?"Dosaku tak mungkin lagi diampuni. Aku telah membunuh orang tuaku sendiri."Suaranya tercekat di tenggorokan. Aku sendiri, sejak melihat air matanya menetes, telah pula merasakan sedih. Sampai usiaku ini, aku memang tidak pernah merasa derita seperti dirinya. Hidupku bahagia dan lurus-lurus saja. Tapi, bukan berarti empatiku tak terasah."Allah itu maha pengampun, Clay. Berdoalah, dan meminta."Clay menghela napas dalam-dalam, menatapku sejenak, lalu memandang Biru."Aku akan menyerahkan diri, tapi, tolong izinkan aku melihat bayi itu… keponakanku."***Aku memandang lelaki itu, dengan langkahnya yang terpincang-pincang, dan tatapan mata penuh kerinduan. Aku tak pernah menyangka ada hidu

  • LEBIH BAIK KITA BERPISAH   Bab 53

    LEBIH BAIK KITA BERPISAH 53Apa yang harus kulakukan pada bayi ini? Oh, Clay menungguku. Bukankah seharusnya dia menungguku mengabarinya? Bukankah hari ini, dia seharusnya pergi dari negara ini? Meski aku masih belum mengerti, kenapa dia mau repot-repot membawa bayi.Tok tok tok…Aku tersentak. Kaca jendela mobilku diketuk orang dari luar. Dan ketika aku mengangkat kepala, aku terkejut bukan kepalang, mendapati wajah Tante Ivana dan Om Irwan disana. Jantungku rasanya berhenti berdetak."Buka pintu, Erika."Gemetar, aku malah terpaku padanya, menatap wajah Tante Erika, dan Om Irwan. Jika biasanya aku melihat mereka ramah dan murah senyum, kali ini, wajah itu tampak dingin sekali. Kenapa ini bisa terjadi? Bagaimana mereka bisa ada disini? Kenapa mereka tahu akan membawa bayi ini? Sungguh, kepalaku rasanya mau pecah karena dijejali beribu pertanyaan."Erika!"Sementara itu, Zara masih terus menangis. Suaranya melengking-lengking memekakkan telinga. Dia terus bergerak, meronta-ronta, beru

  • LEBIH BAIK KITA BERPISAH   Bab 52

    LEBIH BAIK KITA BERPISAH 52Aku tersenyum, meski dalam hati, gugup setengah mati. Bagaimana dia bisa menebak dengan begitu sempurna bahwa aku punya hubungan dengan Clay?"Clay siapa?" ujarku, mencoba mengeluarkan suara yang meyakinkan.Senja menatap wajahku dengan pandangan meneliti, lalu dia tersenyum."Kamu yakin nggak mengenal seseorang bernama Clay?"Aku menggeleng "Baiklah, tapi kalau suatu saat aku tahu kamu bohong, aku mungkin akan marah padamu. Karena, ini hal yang sangat penting."Aku membuang pandang, jengah melihat tatapan mata bulatnya yang tajam."Jangankan kenal, dengar namanya saja baru ini. Kupikir, itu sejenis mainan anak-anak."Senja tersenyum, mengangkat gelas susu dan meneguknya perlahan-lahan. Aku melangkah ke depan, ketika kemudian, suaranya terdengar lagi."Manusia yang cerdas tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Jika iya, dia lebih bodoh dari keledai."Aku terdiam sejenak. Apa yang dia maksud? Siapa yang lebih bodoh dari keledai? Aku gegas meninggalkan d

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status