Share

Chaptire 5

Menangis. Aku hanya menangis semalaman. Tidak percaya dengan nasibku. 

Aku gagal menikah! 

Ya Tuhan, mengingat ini aku meraung-raung seperti orang gila. Danish brengsek sialan itu mencampakkan aku! Aku meringkuk seperti udang memeluk diriku dengan dada yang terasa perih dan perutku yang terus diaduk. Menangis memang percuma, tapi terasa lebih sesak jika aku tak melakukan hal ini. Aku tak percaya! Tidak bisa dipercaya! 

"Anna." Aku hanya menggeleng. Aku tak ingin berbicara dengan siapapun, aku tak ingin bertemu dengan siapapun! 

Pintu dikunci rapat! Aku hanya ingin seperti ini, tak tahu bagaimana semua kesialan yang kurasakan segera hilang. Awalnya si bajingan itu yang mencoba-coba mengajak menikah, mungkin dia bercanda tapi aku menganggap serius dan banyak hal yang sudah kami lalui bersama tentu jadi akar yang kuat untuk menikah, tapi dia mengacaukan semuanya. Sampai detik ini aku masih belum percaya Ya Tuhan! 

Aku dicampakkan oleh laki-laki yang sangat aku cintai. Aku dibuang oleh laki-laki yang kupercayai sepenuh hati. 

"Anna!" Momma memanggil, tapi aku seperti orang tuli yang tak ingin mendengar apapun. Kata-kata Danish sialan itu sangat membekas di telingaku dan terus diputar-putar seperti kaset rusak yang mengejekku jika aku tidak berharga sama sekali di matanya! 

"Anna! Momma panggil DAMKAR ya!" Aku tak peduli. Bahkan aku rela jika Momma menyewa algojo dan menghabisi nyawaku sekarang. 

"Anna!" Hatiku semakin perih saat Ayahku. Ayah adalah laki-laki lembut yang tidak pernah marah dan sangat memanjakan aku. Sedari kecil aku selalu berlimpah kasih sayang dari orang-orang di sekitarku, tapi sekarang aku merasa begitu hina! Aku hanya memeluk diriku masih terisak, bahkan pita suara nyaris putus karena kebayankan menangis. Kepalaku sampai pening. 

"Anna." 

Kepalaku pening. Perutku semakin terasa mengencang, tenggorokanku terasa dicekik, dadaku dihimpit. Perutku seperti diaduk-aduk. 

Aku bangkit dan memuntahkan semua kesialan yang aku rasakan. Setelah semua cairan bening itu keluar aku masih menangis dengan melihat muntahanku sendiri! 

Uweeekkk! 

Aku tergugu. Duduk lemas di bawah wastafel, sebelum aku terbangun di ranjang rumah sakit! 

πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°

"Sayang, maaf, Mommy nggak tahu kamu kayak gini. Mommy malu bangat sama kamu. Maafkan, kami." Aku terduduk di ranjang sambil menerawang kosong. 

Mommy si brengsek itu datang dan memeluk diriku. Keluarga kami sudah saling mengenal dan menganggap diriku seperti anak. Hal ini juga yang mendasari diriku begitu kuat untuk menikah, tapi si sialan itu merusak segalanya! Ah! Perutku mau muntah lagi jika mengingat dirinya. 

Aku melirik dengan ekor mataku ke arah ayahnya si bajingan itu. Hanya diam. Ayahnya memang tidak banyak bicara, tapi tidak brengsek seperti anaknya. 

"Maafkan, Mommy. Maafkan anak Mommy. Nggak pernah Mommy mengajarkan seperti itu.  Semalam ayahnya udah pukul Danish sampai babak belur, tapi anaknya tetap ngotot mau pergi. Dia pergi dengan lebam di tubuhnya. Nggak ada yang nganterin ke bandara. Kami semua menghukum dia." 

Aku tidak lega sama sekali. Justru rasa benci itu semakin mengakar. Berarti aku memang tak berarti apa-apa jika keluarganya juga tak bisa mencegah dirinya. 

"Maafkan anak Mommy sayang." Ibu si bajingan itu mencium pucuk kepalaku dengan sayang. Sorot matanya menatapku lembut dan penuh kasih sayang. Ibu si bajingan itu sangat baik dan lembut, tapi kenapa anaknya harus brengsek? 

"Lekas sembuh, Anna. Semalam ayahnya ngancam, kalau dia berani pergi, Danish akan dicoret dari KK. Dia bukan anak kami lagi. Anak kami, Anna." Semua hiburan itu tidak berarti apa-apa bagiku. Aku mati rasa dan tersisa hanya kebencian yang kain membumbung tinggi. 

"Mau makan? Biar Mommy suapin." Aku hanya duduk di atas ranjang. Duduk dalam diam, dan tak ingin melakukan apapun. Aku tengah berduka luar biasa. 

"Maafkan Danish, Sayang. Kami bahkan nggak tahu kalau dia melamar kerja di sana. Anak kami hanya, Anna. Mommy hanya mau menantu Mommy itu Anna." Aku masih diam. Tidak merespon apa-apa.  

Menunduk dengan tubuh lemah dan perasaan tidak diinginkan sama sekali. Sial sekali hidupku! Aku benci dengan hidupku sendiri! 

"Cepat sembuh, Sayang." Semua kata-kata itu tidak ada artinya sama sekali. Aku hanya menunduk saat ibu si bajingan itu memeluk diriku. 

Danish sialan! Danish brengsek! Laki-laki pengecut yang pernah aku tahu. Tapi aku tidak akan mengenal laki-laki itu lagi. Seumur hidupku! 

πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°

Tanpa sadar bulir air mata itu merembes. Lima tahun aku berjuang, bagaimana aku melawan kesedihan dan luka yang dia torehkan. Dan sekarang dia dengan gampang meminta kesempatan kedua? Kesempatan my ass! Aku bahkan sangat membenci melihat dirinya. 

Dengan cepat-cepat aku mengubur air mataku dan tersenyum melihat anak-anak itu bermain. Jika aku terluka dan bersedih seperti ini, perlarianku adalah datang ke taman. Melihat anak-anak bermain tak mengenal rasa lelah, tak ada kesedihan yang terpancar dari wajah-wajah polos itu membuatku ingin kembali ke masa kecil, ketika apa yang aku inginkan semua terpenuhi. 

Mataku tak pernah lepas dari dua kembar itu, yang satunya memakai dress berwarna putih dengan bunga-bunga pink, yang satu lagi berwarna merah. Rambut diikat ekor kuda, rambutnya sedikit panjang. Aku tersenyum melihat tingkah mereka. Anak-anak itu seperti terapi bagiku. Saat aku merasa sial seperti ini, melihat anak-anak bermain adalah solusi. 

Nora : Oy! Kemana? 

Aku hanya membaca pesan dari Nora. Aku memang bolos dari kantor. Kesedihan membawaku kesini. Semoga laki-laki brengsek sialan itu tidak pernah hadir dalam hidupku. Dia hanya membawa luka! 

Aku menunduk memijit kepalaku pening karena menangis. Mengingat masa-masa terpuruk dalam hidupku. Saat laki-laki brengsek itu hadir lagi aku merasa kembali terpuruk. Lebih baik dia memang tak usah kembali lagi. 

Anak-anak itu berlari ke hadapanku. Aku langsung tersenyum. Keduanya begitu kompak dalam melakukan segala hal. 

"Hi, cantik." Aku langsung memeluk satu-satu dan mencium seluruh wajah mereka. Secara ajaib luka yang tadi menganga lebar seperti diembuskan sebuah mantra dan luka itu mengering. Jika mengingat si bajingan sialan itu luka itu kembali. 

"Kalian mau main lagi atau mau pergi makan?" 

"Bunda, mau makan ice cream." 

"Okay! Kita makan ice cream." Aku tersenyum tulus dan manis pada mereka. Obat dari segala obat. 

"Bunda, kapan Ayah pulang?" 

Tubuhku langsung menegang. Aku selalu bilang ke anak-anak jika Ayah mereka pergi jauh. Jauh sekali! 

Permintaan polos mereka kadang membuatku semakin merasa jadi ibu terburuk buat anak-anakku. 

"Okay. Bunda antar makan ice cream ya." 

"Bunda, nanti Ayah pulang kan? Nanti kita bisa pergi ke taman, pergi makan ice cream sama Ayah kan?" Aku hanya mengangguk dengan air mata yang tak dapat kubendung lagi. 

Mengendong Celine dan Celena ke dalam mobil. 

πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°

Hayoooo. Siapa ayah mereka? 

Kalau itu anak Danish, kira-kira kapan dia tahu anak-anaknya πŸ˜‹πŸ˜‹πŸ˜‹πŸ˜‹. 

Kita hukum Danish ya, dia jahat sama Mama Anna. 

See youπŸ’‹πŸ’‹πŸ’‹πŸ’‹. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status