Share

Chaptire 7

Coklat panas di tangan tak mampu mendinginkan perasaanku yang hancur. Laki-laki itu hadir untuk membuatku kembali terpuruk. 

Aku sudah menelpon anak-anak dan menyuruh untuk jadi anak yang manis. Aku akan menjemput anak-anak besok pagi, menuruti semua permintaan mereka sebelum laki-laki sial itu mencari celah agar dekat dengan anak-anakku. Aku benci jika dia menyentuh anak-anakku. Dia tak berhak sedikitpun! 

Aku menunduk melihat coklat panas tersebut. Berharap cangkir itu punya mulut dan berbicara padaku dan menenangkan jika aku tak boleh bersedih, Celine dan Celena hadir sebagai penyembuh untukku. Aku menyeka air mataku. Sakit hati masih terasa hingga kini. Bertahun-tahun. 

Dia mencampakkan aku!

Mengingat ini rasanya aku ingin menangis darah. Begitu hinakah aku? Dulu di memperlakukan aku seperti seorang putri, aku tak pernah ragu menyerahkan segalanya untuknya, tapi setelah aku dibuang seperti seonggok sampah! 

Aku terisak pelan. Bahuku bergetar dengan dada yang terasa begitu menghimpit, kenapa semua kesialan itu menimpa hidupku? Dari kecil aku selalu berusaha jadi anak yang manis disayang semua orang, tapi saat dewasa aku tidak dinginkan sama sekali. Aku merasa begitu kecil dan merasa hina. 

"Kau menghancurkan hidupku sedemikian rupa! Tak ada kesempatan buat laki-laki bajingan brengsek seperti dirimu!" 

πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°

Aku memuntahkan seluruh makanan yang baru saja masuk dalam perutku, seluruh perutku menolak apapun yang masuk. Tubuhku begitu lemah, rasanya aku ingin mengakhiri hidupku saja. 

"Ibu stress, jangan terlalu banyak pikiran, kasian janin dalam perut." Tubuhku langsung menggigil. Janin? Itu bayi! Akan jadi anak manusia bukan plasma TV. Ya Tuhan, kepalaku semakin terasa berat dan berdenyut. Mau pecah. Darah berkumpul di kepalaku, jantung memompa lebih keras! Aku memegang dadaku, memegang apapun yang aku bisa untuk menghilangkan perasaan sial ini! 

Bagaimana aku akan bilang ke orang tuaku? Bagaimana aku harus bilang ke semua orang jika aku hamill? Di saat pernikahan itu baru saja batal. 

Dokter memberi obat vitamin dan penguat janin, serta obat anti mual. Dokter sudah berpesan minum susu ibu hamil, makan makanan bergizi, dan terutama jangan stress. Bagaiamana mungkin aku tidak gila, jika pernikahan ini batal dan sekarang aku hamil? Hamil?! 

Aku keluar dari ruangan dokter itu dengan tubuh lemas berharap mati sekarang. Baru seminggu lalu keluar dari rumah sakit dan aku harus dirawat lagi. Tapi aku benci dengan semua hal yang berhubungan dengan rumah sakit! 

Aku menunduk melihat tubuhku sendiri yang tak terawat dan seperti orang gila! Mungkin aku memang sudah gila, tapi Momma dan Ayah tidak tega mengantarkan diriku ke psikiater. 

Aku berhasil masuk ke dalam mobil, dan menangis di dalam mobil. Duniaku hancur dan semuanya terasa gelap. Aku terperangkap dalam sebuah lembah hitam, dan tak ada jalan keluar di sana. Selamanya aku akan terjebak dengan luka yang semakin hari semakin menganga. 

Puas menangis! Tidak! Aku tidak akan pernah merasa puas untuk menangis, tapi menangis itu seperti kebutuhan lebih dari makanan. Anna dan menangis satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan! Hidupku akan terus diisi dengan kesedihan yang tiada berujung. 

Aku bergabung ke jalanan dengan tubuh lemah, mata kabur karena air mata. Jika aku kecelakaan sekarang, aku akan lebih dari bersyukur! 

Berkali-kali aku di-klakson dan dimaki-maki karena tidak bisa mengemudi dengan benar, setiap teriakan itu aku balas dengan tangisan yang lebih kuat. Aku memang sudah gila! Aku hopeless. 

Mobil itu berjalan tanpa arah dan menuntunku ke sebuah danau hijau tenang dengan banyak pohon besar bisa untuk berteduh, aku parkir sembarangan dan kaki telanjang menginjak rumput-rumput hijau tersebut. Aku begitu sensitif, terduduk lemas di pinggir danau dan menangis. Menangis dan terus menangis. 

Menundukkan kepala, memeluk lututku. Semua yang melihat jika aku wanita gila ditinggal mati laki. Aku dicampakkan! Ini yang membuatku semakin merasa kecil. Aku tidak pernah diinginkan! 

"Mungkin kamu butuh ini." Aku mengangkat kepalaku dan melihat seorang laki-laki memberi minuman dingin dengan gelas besar berwarna pink. Aku menyeka air mataku. Pasti penampilanku sangat berantakan, dan seperti gembel. 

"Aku bukan homeless." Kataku dengan tubuh gemetar. Dia tersenyum dan duduk di sampingku masih memegang minuman itu. 

"Bukan homeless aja yang butuh bantuan dan uluran tangan. Kamu butuh seseorang." Aku menangis lagi. Benar, aku butuh seseorang! 

"Nih minum dulu, biar perasaan lebih baik." Aku menyambut minuman itu, ragu tapi dia mengangguk sambil tersenyum tulus meyakinkan akhirnya aku menerima uluran tangannya dan meminum dengan perasaan kosong dan hampa. Jika laki-laki ini tak datang, sempat terlintas untuk meloncat ke dalam danau dan dimakan piranha di dalamnya. Atau ada buaya di sini. Aku baru saja dicampakkan buaya! Sial! 

"Terkadang kita perlu menangis, merasa dunia tak pernah adil. Dunia ini kejam. Tapi setelah itu kita harus bangkit, masih banyak hal indah di dunia ini yang membuat kita bersyukur. Pegang kata-kata aku. Hopeless boleh, tapi tak boleh larut dalam masalah, masalah itu dihadapi bukan terus denial membuat kita makin tersiksa." 

Tangannya menyugar rambutnya yang hitam. Aku hanya menatapnya tidak tahu harus merespon apa. Aku tidak butuh kata-kata seperti itu karena tidak akan merubah kenyataan jika aku gagal menikah dan sekarang aku hamil. Tanpa suami. 

Bagaimana tanggapan orang-orang sekitar dengan keadaanku? Bagaimana mereka merespon jika aku punya anak tanpa suami. Julukan wanita murahan itu akan terus melekat untuk diriku. Aku adalah wanita yang rela ngangkang buat siapa saja hingga hamil dan tak tahu siapa laki-laki yang menghamili! Ya Tuhan segitu hinanya? 

Dia tersenyum. Harus kuakui, senyumannya menenangkan! Aku menarik napas panjang, dan menyeruput minuman manis tersebut. 

"Jangan sedih terus. Ingat kata-kata orang, pelangi yang indah akan datang setelah badai datang menghantam. Sambutlah pelangi milikmu. Badai itu kita yang ciptakan sendiri begitu juga dengan pelangi." 

Aku mengangkat jari-jari tanganku ke atas melihat langit yang bersih dengan awan bersih berada di angkasa terbang bebas tanpa beban. 

"Pelangi hanya sebentar." Aku akhirnya membuka suaraku. Senyumannya makin melebar. 

"Hey, kan tadi aku bilang badai dan pelangi itu yang kita ciptakan sendiri. Jika badai yang datang terlalu berat dan hitam, kamu perlu menerima dan ikhlas dengan semuanya." 

Aku menatapnya lagi. Dia lagi-lagi tersenyum. Senyuman itu menenangkan. Belum pernah aku melihat ada orang dengan senyuman ternyaman seperti ini. 

Aku menunduk. Jika bicara ikhlas, aku harus ikhlas dengan kehadiran anak yang tanpa rencana walau aku akan dikatai orang-orang wanita murahan karena punya anak tapi tidak punya suami! 

Aku tak sabar menanti pelangi, anakku! 

πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°

Alam seolah sedang menghukumku. Lagi-lagi aku terjebak dengan laki-laki sial ini! 

Karena urusan kantor mendadak, aku tak bisa menjemput anak-anak lebih awal dan si sialan itu itu datang mengajak anak-anakku pergi ke kebun binatang. Kata Aunty Ilene, dia tidak bisa mencegah saat melihat auntusiasme anak-anak dan wajah-wajah polos itu, akhirnya diizinkan.  

Aku melihat dari kejauhan saat dia memperlakukan anak-anak dengan begitu tulus. Apa jika tahu itu adalah anak-anaknya dia akan senang? Atau dia merasa bersalah karena sudah membuang anak-anaknya sendiri? Walau aku ragu manusia tak punya otak seperti dia bisa merasa bersalah! 

Aku menarik napas panjang. 

Mereka sedang memberi makan burung kacang-kacangan. Mengendong bergantian. Anak-anak memakai topi bundar mereka, terlihat makin mengemaskan. Mereka terlihat serasi seperti ayah dan anak. 

Aku memalingkan wajahku. Jika melihat pemandangan ini setiap saat, aku akan cepat luluh. Tidak! Tidak ada kata luluh! Dia mencampakkan aku dan anak-anakku! 

Aku mendekat. Senyum miliknya langsung melebur, dia merasa bersalah. 

"Om, gendong lagi. Celena mau kasih makan burungnya." Sekarang mereka memberi makan burung itu pisang. Aku memegang tangan Celine, dia juga minta digendong. Aku tak bisa menolak, akhirnya terlihat seperti potret keluarga bahagia yang sedang piknik sekarang. Dia yang membuang kalian, nak. 

"Bunda. Nanti habis ini mau kasih makan monyet ya. Monyet suka pisang kan?" 

"Yang suka pisang itu Minion." sanggah Celena. Laki-laki sial itu fokusnya bukan lagi ke anak-anak tapi sorot matanya tak pernah meninggalkan aku, rasanya aku ingin menusuk dengan garpu. Aku menatapnya garang, memancarkan aura permusuhan. 

Kami berjalan, menuju bagian monyet. Tak kuat gendong aku menyuruh Celine turun, tapi Celine minta digendong akhirnya laki-laki sialan itu mengendong kedua anakku. 

Aku mengikuti dari belakang. Melihat penampilanku yang masih memakai pakaian kantor, dan mereka hanya pakai, pakaian santai. Tidak adil! 

"Kalian udah makan?" Anak-anak kompak menggeleng. Anak-anak ini makan teratur, tapi mereka suka makan. Apalagi camilan itu wajib. 

"Setelah kasih makan monyet, kita pulang ya." 

"Kan belum naik gajah, Bunda. Mau sama Om aja. Bunda pulang sana." ucap Celena tanpa dosa. Aku menarik napas panjang. 

Mengikuti mereka saat begitu senang memberi makan monyet walau Celine sempat menangis karena tangannya ditarik monyet karena tak sabaran. 

Anak-anak turun mencari makanan untuk monyet. Sedangkan aku berdiri di samping sejatinya monyet. Binatang lebih mulia dari kelakukanya yang bejat, dan sekarang dia ingin terlihat seperti malaikat. Cih, tak sudi! 

Dia melihat anak-anak, di manapun gerak-gerik mereka. Kami sama-sama memperhatikan anak-anak, saat kamu mata bertabrakan. Aku langsung mengalihkan pandangan. Tak sudi berada di dekatnya! 

"Aku udah bilang, jangan dekati anak-anakku! Aku mau jaga perasaan suamiku!" 

"Kata mereka, ayahnya pergi jauh." Aku menatapnya dengan sorot terluka. Rasanya seperti disayat-sayat ribuan belati tepat di ulu hati. Perih, sesak. 

"Mau ayahnya pergi jauh! Mau mati! Jangan ganggu hidupku dan juga anak-anakku! Harus berapa kali kubilang!?" Tak sadar suaraku meninggi. Aku seperti seorang istri yang mengomel karena jatah bulanan yang kurang. 

"Bunda!" Aku langsung menghapus air mataku saat anak-anak mendekat. Biarlah aku jadi ibu egois, tapi anak-anakku tak boleh tahu siapa laki-laki sial ini sebenarnya! 

"Mau makan? Kita makan di rumah ya. Bunda masakan sosis sama nuget." Keduanya kompak menggeleng. Mereka sama-sama keras kepala seperti ayah mereka sialan ini! 

"Mau sama Om aja." Celine dan Celena langsung memeluk kaki laki-laki sial ini. Jangan sampai mereka akrab. Jika sudah akrab, anak-anak tidak akan melepaskannya. 

"Ya udah makan di sini aja. Kita cari makanan dekat sini. Bunda lapar, siapa mau makan?" Mereka berdua terdiam menunggu persetujuan laki-laki sial ini! Padahal aku yang melahirkan mereka. 

Aku langsung melotot pada laki-laki sial ini untuk mengajak anak-anak makan. 

"Okay, kita makan dulu. Nanti kita kasih makan lagi." Benar saja. Senyum mereka langsung merekah. Ini yang jadi ibunya aku atau siapa? Padahal mereka baru mengenal laki-laki sial ini semalam! Apalagi jika dia sudah tahu rumahku dan juga anak-anakku sudah suka padanya. 

Kami menuju rumah makan dekat kebun binatang. Aku sangat lapar, deadline yang menumpuk tak sempat makan siang. 

Bahkan minuman itu langsung tandas dalam sekali teguk karena aku tak sempat minum air saking sibuknya, dan langsung pulang buru-buru menjemput anak-anak malah mereka bersenang-senang di sini. 

"Makan ayam? Satu piring aja ya, makan sama-sama." Keduanya mengangguk, biasanya mereka makan satu piring walau aku harus mengorbankan ayamku untuk mereka. 

"Om makan apa?" 

"Sama kayak Celine aja." Celine tersenyum manis. Anak-anak akan bersikap manis jika mereka suka dengan orang itu. 

Makanan kami datang. 

"Bunda suapin atau makan sendiri?" Mereka kompak menggeleng dan menatap polos laki-laki sial itu, berharap dia yang menyuapi Celine dan Celena. Dasar anak-anak tak tahu diri! 

"Nggak papa. Om itu tak bisa suapin anak-anak. Sama Bunda aja ya." 

"Nggak papa, aku bisa." Dia menjawabnya. Aku langsung memutar bola mataku malas. Muak sekali melihat wajahnya. Tapi anak-anakku sepertinya tahu dan sengaja menjebakku di sini. 

Dia menyuapi anak-anak dengan telaten. Padahal seingatku dulu, laki-laki sial ini tak suka anak kecil karena dia anak tunggal. Walau aku juga anak tunggal. Sekarang dia merawat anak-anak seperti sudah berpengalaman puluhan tahun. Laki-laki aneh! 

"Nih, Om." Celena begitu manis, menyuapi laki-laki sial ini. Biasanya mereka akan menyogokku dengan menyuapi seperti itu karena ada permintaan yang segera dipenuhi. Mereka pandai mengambil hati orang, makanya Celine dan Celena disayang semua orang. Semua orang geram dengan tingkah mereka. Walau aku tak rela anakku dengan orang lain, apalagi laki-laki sialan ini. Harusnya seujung kuku pun dia tak boleh menyentuh mereka dan sekarang mereka sudah begitu dekat. 

"Bunda, kata Om, Om sering main salju. Bisa buat manusia salju. Kata Om mau ajak main salju kami bisa buat Olaf." Aku menatapnya tajam. Dia menarik napas panjang. Dia sengaja mendekati anak-anakku agar aku memaafkan dirinya? Tidak akan! Hatiku mati rasa! Dan hatiku sudah sekeras batu. Kata orang batu bisa hancur jika terus ditetesi air, dan aku tidak mau ditetesi air manapun. Terkunci rapat! 

Tidak ada pintu maaf dan kesempatan untuknya. Tidak akan pernah ada! 

"Ya. Nanti Bunda ajak kalian ke sana." 

"Bunda kerja terus. Nggak mau ajak kami jalan-jalan." Dadaku serasa dihantam palu begitu besar. Mereka tidak akan makan jika aku tak kerja. Sepertinya quality time bersama anak-anak kurang. Mereka rindu kebersamaan seperti ini. Apa aku jadi ibu yang buruk untuk mereka? 

"Bunda nabung dong, Sayang. Biar kita bisa jalan-jalan terus dan makan enak." 

"Tapi Om nggak nabung kan? Bisa langsung main salju." Celena bertanya polos. Dia tersenyum dan mengangguk. Harusnya dia mencari alasan lain, dengan begini anak-anak akan semakin lengket padanya dan bisa-bisa semuanya terbongkar. Walau dia tidak berhak apa-apa pada anak-anakku! 

"Om mau jadi Ayah kami? Ayah kami nggak pernah pulang. Ayah kami pergi jauh. Jauh sekali!" Permintaan polos itu membuatku seperti mati rasa. 

Aku yang merasa bersalah di sini, padahal anak-anakku tidak ada yang menginginkan sama sekali! 

Ya Tuhan, cabut saja nyawa laki-laki ini secepatnya agar aku tak merasa bersalah pada anak-anakku. Bagaimanapun pintu maaf untuknya tidak ada! 

πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°

Lancar bangat nulis mereka😍😍😍. Aku jatuh cinta dengan karkater ini 😍😍😍. 

Ikutin terus kisah Anna. Kapan dia akan luluh dengan babang Danish yang bangsat? 

Orang-orang macam Danish gak layak dapat kesempatan kedua. Karakter Anna udah tegas. Aku suka bangat sama Anna😘😘😘😘. 

See youπŸ’‹πŸ’‹πŸ’‹πŸ’‹. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Metty Shiang
crt ny bgs sbnrnya thor...tp bs kh kurangi kt sial dlm penggunaan bahasanya???
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status