Share

5. Bertalu Gaduh

Kaisar bergerak gelisah dalam duduknya. Jemarinya berulang kali mengetuk meja kantin, tatapannya bergerak pada Zaki sebentar, lalu menghindarinya lagi. Itu terjadi berulang kali hingga tanpa sadar, Zaki turut merasa gelisah dan mengusap belakang lehernya canggung.

“Sar ....”

Kaisar bangkit berdiri, abai pada panggilan Zaki atas dirinya. Lelaki itu kemudian berbalik menghadap sang kawan, sorot matanya sulit diartikan. “Siapa aja yang tahu?” tanyanya.

Zaki menghela. “Lo, gue, Ila.”

Kaisar lantas mengembus lega. Ia kembali duduk dalam satu gerakan cepat, tubuhnya condong, merapat pada Zaki. “Beneran cuma kita bertiga?”

“Tadinya cuma gue sama Ila, malah,” Zaki menelengkan kepalanya. “Tapi daripada lo denger dari orang, atau gue nggak sengaja keceplosan di masa depan terus lo salah paham, ya mending gue kasih tahu sekarang, lah.”

Hening. Kaisar memandangi kawannya lekat-lekat.

“Lo sama Ila beneran nggak ngapa-ngapain, kan?” bisiknya. “Ralat. Lo nggak ngapa-ngapain Ila, kan?”

Raut Zaki berubah malas. Ia memutar bola matanya. “Dia sakit, Sar, semalem. Lo pikir gue bakal ngapain?” tukasnya, dengan nada tidak terima. Sekali lagi, Kaisar mengembuskan napas, seolah lega.

Satu tangan Kaisar lalu terangkat demi memijit pelipisnya sendiri. Diam-diam, ia menyesali perilaku abainya semalam. Ketika sang ayah menelepon beberapa jam setelah kepergian Kaila, Kaisar berbohong mengatakan Kaila sudah tidur di kamarnya. Ia hanya memiliki keyakinan kalau kakak kembarnya itu baik-baik saja bersama Ilma. Mana Kaisar tahu kalau Kaila justru bersama Zaki?

Kalau ayahnya tahu, ini pasti akan menjadi masalah besar.

“Lagian lo kenapa nggak langsung nelepon gue aja, sih?”  dengkus Kaisar kemudian, berusaha menyalurkan kekesalan.

“Dan ngebiarin lo berdua bikin ribut di kosan gue? Makasih, lah, gila,” sergah Zaki. “Gue masih betah di sana, belom ada rencana minta diusir.”

Dengkus Kaisar berubah menjadi dengkus tawa. Tangannya menoyor kepala Zaki, mengabaikan protes yang segera terdengar akibat perlakuannya itu.

“Lo lagi ada-ada aja. Kalian ngeributin apaan lagi, sih, sampe Ila kabur-kaburan segala?”

Ditanya demikian, cengiran Kaisar seketika lenyap. Lelaki itu menarik salah satu sudut bibirnya, lalu menghindari tatapan Zaki. Kala napasnya terembus, Kaisar merasakan beban berat di dadanya. Membuatnya setengah sesak.

“Lo tanya tuh, sama temen lo,” sahut Kaisar akhirnya, berusaha bersikap tidak acuh.

“Lah, ini gue lagi nanya?”

“Maksudnya bukan gue, bego!” Kaisar membuat gestur seolah hendak memukul Zaki dengan sesuatu. “Maksud gue, ya, lo tanya, lah, sama Ila.”

Tidak ada tanggapan. Yang Kaisar dengar selanjutnya hanya satu dengkusan kasar. Seolah sengaja dilakukan keras-keras, agar terdengar. Kepalanya lantas menoleh menghadap sang kawan. Tatapan Zaki menyebalkan. Sesuatu yang tidak bisa ia artikan. Oh, ayolah. Kaisar tahu Kaila selalu mengatainya bodoh dan segudang hal-hal jelek lainnya. Tapi, tidak perlu, kan, Zaki membuatnya merasa semakin bodoh dengan cara seperti ini?

“Pernah ada perasaan pengen ngobrol, nggak, sih, Sar? Yang nggak pake otot gitu,” cetus Zaki tiba-tiba. “Capek gue, asli, dari pertama kenal lo sama Ila, kerjaan lo berdua ribut mulu.”

Kaisar kembali mendengkus tertawa. “Lo aja capek, Zak,” katanya, terdengar ringan. “Menurut lo, gue gimana?”

Zaki memandang kawannya prihatin. Jika ia tidak salah ingat, ini kali pertama Kaisar menjadi begitu terbuka membicarakan saudarinya. Selama ini, Kaisar lebih suka menghindar. Berpura-pura tidak peduli, mentertawakan semuanya seolah semua hanya lelucon atau perkara ringan, bukan sesuatu yang sebenarnya membuat ia terjaga di malam hari karena bertanya-tanya.

“Coba lo ajak ngobrol,” saran Zaki kemudian. Membuat Kaisar menghela.

“Dia nggak mau denger.”

“Kalo gitu, coba lo minta dia ngomong. Lo yang dengerin.”

“Apalagi itu,” tukas Kaisar. “Gue nggak ngerti kenapa dia jadi sebegitunya nggak suka gue. Percaya nggak lo, kalo gue bilang, dulu waktu kecil, gue sama Ila akrab banget ke mana-mana berdua?”

Tidak ada tanggapan. Kaisar terpaksa menoleh memeriksa Zaki yang masih berada di sisinya. Kening Kaisar berkerut. Sesuatu dalam raut Zaki terlihat asing, serupa baru saja memikirkan hal lain.

“Zak?”

“Percaya,” putus Zaki, tanpa melihat ke arah Kaisar. “Ya, pokoknya lo ngapain, kek. Betah banget musuhan sama kembaran sendiri.”

“Ya, bukannya gitu, Zak ....” Kaisar lantas mengusak rambutnya, tampak frustrasi. Hening menggantung di antara mereka untuk sejenak sebelum Kaisar berakhir memandang Zaki. Lama. Dan lekat. Satu tangannya lalu mampir ke pundak sang teman, menepuk di sana satu kali.

“Gue titip Ila, ya,” cetusnya kemudian. Zaki seketika menoleh, terperangah.

“Apaan, dah? Lo pikir si Ila barang pake dititipin segala?”

“Serius, Zak,” Kaisar mengedik. “Dia lebih percaya sama lo daripada sama gue. Ya, gue juga percaya, sih, sama lo,” pungkasnya, dengan cengiran.

Zaki memandangnya sesaat. Wajahnya tanpa ekspresi.

Now I got the full idea about why you two are twins.”

Kaisar menaikkan alis, bertanya.

“Sama-sama nggak waras.”

***

Menjadi mahasiswa tingkat akhir berarti menjadi sesosok individualis yang tidak lagi sering terlihat bergerombol bersama orang lain. Kaila mempelajari itu seiring hari-harinya menyusun skripsi. Jadwal kuliah yang berbeda, jadwal bimbingan yang berbeda, urusan akademik yang berbeda pula, menjadi faktor-faktor yang membuatnya kini lebih sering berkeliaran di kampus sendirian, tanpa Resya ataupun Ilma membersamainya.

Sama seperti hari ini, kala sampai di halte fakultas, gadis itu baru menyadari betapa wajah-wajah yang tengah duduk menunggu bus di sana bukan lagi teman-teman seangkatannya. Mayoritas adalah adik-adik tingkat yang masih begitu sering ia jumpai di kampus. Mahasiswa-mahasiswi semester akhir seperti dirinya tentu sudah tidak sesering dulu muncul di jam-jam kuliah seperti sekarang.

Jadi, dengan gontai, Kaila memilih duduk di salah satu sudut. Tangannya menggenggam ponsel yang baru saja ia gunakan sebagai media berbalas pesan dengan dua karibnya yang kini sedang sama-sama absen dari lingkungan kampus.

“Hai, ketemu lagi.”

Sapaan mendadak itu sontak membuat Kaila menoleh, menemukan sesosok pemuda asing tengah tersenyum ke arahnya.

“Sori, ...” Kaila mengernyit samar. “Siapa?”

Lelaki itu tertawa kecil. “Fano,” balasnya. “Yang di perpusat kemarin.”

Seketika Kaila menaikkan sebelah alis, rautnya tidak suka. Gadis itu lalu mengernyit lebih kentara. Ia memang tidak terlalu mengingat wajah Fano-Fano yang membuatnya kesal tempo hari itu, mereka hanya bertemu satu kali dan berinteraksi sekilas, bagaimana Kaila bisa mengingatnya? Tapi kini, sepertinya ia ingat. Dari cara bicara serta suara lelaki di hadapannya, sosok ini memang sama dengan yang kemarin bertemu dengannya di perpustakaan pusat.

“Inget, kan?” Fano mengulas senyum. “Wah, nggak nyangka ternyata gue dilupain semudah itu,” lanjutnya dengan suara terluka yang dibuat-buat.

Kaila berdeham pelan sembari membenahi ekspresi wajahnya. Meski belum sepenuhnya melenyapkan kesan tidak suka yang sejak tadi ia tunjukkan, setidaknya kini gadis itu tidak terlalu tampak terperangah. Memilih untuk tidak menanggapi, Kaila mengalihkan pandang dari Fano, berusaha tidak mengacuhkan lelaki itu.

Tapi rupanya usaha itu sia-sia, karena Fano mendadak sudah mencondongkan diri, mengganggu jarak pandang di sudut matanya.

“Nggak mau nanya kenapa gue bisa ada di sini?”

Kaila melirik sekilas. “Maaf, nggak minat,” ketusnya.

Lagi, Fano tertawa kecil. Ia kemudian sibuk mengeluarkan sesuatu dari ransel yang kini tengah dipangkunya.

“Nih,” katanya kemudian, mengulurkan sebuah buku yang Kaila kenali. “Gue udah selesai pake. Kalo lo mau minjem, bawa aja. Tapi jangan lupa–”

“Nggak perlu. Makasih,” tolak Kaila segera. Apa-apaan ini? Kenapa lelaki ini masih saja mempermasalahkan soal buku? Diam-diam, Kaila jadi menyesali keputusannya untuk bertanya saat di perpustakaan kemarin. Jika ia tidak membuang waktu dan bertanya pada lelaki itu, mungkin ia juga tidak perlu berinteraksi dengannya lagi hari ini.

Uluran buku Fano mundur. “Padahal gue bela-belain nungguin di halte FE karena yakin lo anak FE dan kita bakal ketemu lagi,” katanya, dengan nada berlagak sedih yang membuat Kaila bergidik takut.

“Lo sadar nggak, sih, dari kemarin kelakuan lo creepy banget?” cetus Kaila akhirnya, tak tahan untuk tidak menyuarakan isi kepalanya.

Bukannya tersinggung, Fano justru tergelak. “Gue bercanda. Gue di sini karena lagi janjian nungguin temen. Lo nggak usah kepedean.” Lelaki itu lalu menyeringai. “Tapi lucu juga kita ketemu lagi. Mungkin takdir.”

Mendengarnya, Kaila lantas mendengkus. Ia tidak pernah percaya segala hal yang meromantisasi kebetulan dan takdir. Kebetulan dan takdir mungkin memang ada. Tapi bukan untuk dipuja-puja tidak jelas seperti yang tengah Fano lakukan sekarang.

“Nggak lucu.”

“Lo selalu seketus ini sama orang?”

“Sama orang asing yang sok kenal kayak lo? Iya.”

Okay.”

Setelahnya hening. Lepas beberapa menit, Kaila menyempatkan diri melirik ke arah Fano, memastikan. Dan seolah telah menanti, Fano ikut menoleh sembari tersenyum lebar ke arahnya. Membuat Kaila buru-buru mengalihkan pandangan. Suara gelak pelan lekas terdengar segera setelah gadis itu memandangi ujung sepatunya sendiri.

“Sori kalau dari kemarin lo nganggep tingkah gue creepy,” Fano berujar tenang. “Abis reaksi lo lucu, jadi gue gatel aja pengen jahilin.”

Kaila menggelengkan kepala, benaknya tengah mencari cara agar bisa segera melarikan diri dari tempat ini dengan senatural mungkin. Ia tidak ingin mengambil risiko dibuntuti oleh lelaki asing yang sok akrab ini. Apa saja mungkin terjadi, kan? Jadi, sembari menolehkan kepala pada Fano, gadis itu berujar sinis,

“Lo selalu caper gini ke semua cewek yang baru pertama kali lo temuin?”

Fano menyeringai, lantas menelengkan kepalanya sejenak. “Nggak juga,” gelengnya kemudian. “Cuma sama beberapa yang spesial. Kayak lo gitu,” lanjutnya sambil mengedik samar ke arah Kaila.

Baiklah. Akibat bulu kuduknya yang mendadak meremang, Kaila memutuskan ia harus segera angkat kaki meninggalkan lelaki sinting ini. Maka buru-buru ia berdiri. Kala matanya memandang sekitar dengan panik, Kaila menangkap sosok Zaki yang baru saja akan meninggalkan jalan setapak menuju halte yang menghubungkan halaman fakultas dengan halte tempatnya saat ini. Dengan langkah terburu, gadis itu menghampiri Zaki. Tidak memberi Fano kesempatan menginterupsi meski ia bisa melihat Fano hampir melakukannya.

“Zak! Kebetulan ketemu lo di sini. Temenin gue ke LC, yuk!”

Kaila menggamit lengan Zaki, mengabaikan raut terkejut yang lekas berubah menjadi kebingungan di wajah pemuda itu. Ketika mereka telah berbalik memunggungi halte, Kaila mendekat ke telinga Zaki.

“Ada cowok creepy, Zak, di halte. Please, please, temenin gue balik ke dalem dulu dong. Lo nggak lagi buru-buru, kan?” bisiknya dalam satu tarikan napas.

Informasi itu membuat kening Zaki berkerut. Ketika pandangan keduanya bertemu, Kaila bisa merasakan pancaran khawatir yang menguar dari sorot mata lelaki di hadapannya. Secara alamiah, Zaki menolehkan kepalanya, berusaha melihat lelaki mana yang Kaila maksud. Namun, sebelum ia sempat melihat siapa pun, satu bus kampus tiba di halte dan membuat kerumunan manusia tampak carut-marut, menghalangi pandangan Zaki dari niatnya menemukan seseorang.

“Yang mana, La?” Zaki bertanya, dalam usaha terakhirnya sembari menjulurkan leher.

Bukannya menjawab, Kaila justru menggeleng cepat lalu menarik lengan Zaki kembali menuju selasar fakultas. Abai pada setiap protes yang Zaki suarakan beberapa kali sepanjang perjalanan mereka.

***

“Siapa, sih?” desak Zaki sambil meletakkan sebotol air mineral di meja di antara mereka. “Nih, minum dulu.”

Kaila menatapnya ragu. Pandangannya lalu menjelajah pada setiap sudut kantin fakultas, mendadak merasa kurang aman. Gadis itu kemudian mengembuskan napas.

“Nggak kenal,” gelengnya. “Nggak sengaja ketemu pas di perpusat kemarin. Terus tiba-tiba tadi ketemu lagi di halte.”

“Dia ngapain lo?”

“Nggak ngapa-ngapain.”

Zaki mengernyit. “Tadi katanya–”

“Bukan creepy yang kayak gitu, Zak,” keluh Kaila. Tangannya mengusap botol air mineral di meja, nyaris setengah sadar. “Risih aja gue. Dia sok akrab nggak jelas gitu, ya gue ngeri, lah.”

Napas Zaki terembus, diam-diam merasa lega. Ia mengawasi Kaila yang tampak sedang melamun, mendadak teringat pada kata-kata Kaisar kemarin.

“Gue titip Ila, ya.”

Meski kemarin Zaki menolak dan mengatai Kaisar tidak waras, ia tentu tidak akan diam saja jika gadis di hadapannya ini sedang membutuhkan bantuan. Terlebih, jika Kaila mengalami hal yang mengganggu seperti barusan.

So,” katanya, berpura-pura santai. “You okay?”

Kaila mengangkat pandangan, mempertemukannya dengan sepasang mata Zaki yang tengah menatap lurus padanya. Pertanyaan Resya mendadak terngiang dalam kepalanya sendiri. Benarkah Kaila tidak memiliki perasaan apa-apa terhadap lelaki baik hati di hadapannya ini?

Tidak.

Tidak.

Nyatanya, memang tidak ada. Gadis itu lantas menggeleng samar kemudian mengulas sebuah senyum.

Fine, I think,” putusnya. “Gue tadi cuma merasa perlu buru-buru kabur dari sana sebelum tambah mual. Geli banget, anjir, tuh orang nggak jelas, sumpah.”

Zaki balas tersenyum. “Good, then,” balasnya. “Kalo ada apa-apa, jangan ragu bilang gue.”

Kaila mengangguk ringan, senyumnya masih tersungging tipis. Bagaimana pun, ia bersyukur memiliki teman sebaik Zaki. Lelaki itu tidak pernah ragu memberi atau sekadar menawarkan bantuan. Zaki seolah selalu ada untuknya, selalu sigap menolongnya.

Tanpa Kaila tahu, campur tangan Kaisar ada di sebagian besar sikap baik Zaki sejak dulu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status