Emir meletakkan ponsel selepas Sasha meneleponnya. Begitu rindunya Emir pada wanita yang selama ini selalu setia menemaninya. Meskipun Emir merasa sebagai laki-laki dia belum bisa membahagiakan Sasha, dia hanya memiliki Kaz Speed bengkel yang sebenarnya tidak terlalu menguntungkan, akan tetapi Sasha selalu menerima Emir apa adanya. Juga tulus mencintai ibu dan Joyce, adik perempuan Emir.
“Emir, kamu datang lebih awal?” suara Indra membuyarkan lamunan Emir.
“Pikiranku sibuk dengan sesuatu yang sedang aku kerjakan,” jawab Emir sambil kembali fokus pada layar monitor di hadapannya.
“Tapi kau tidak di sini sepanjang malam, kan?” nada suara Indra sangat mengkhawatirkan Emir.
“Aku….”
“Kau pasti lapar….” Indra yakin bahwa sahabatnya selalu lupa segala hal saat dia bekerja.
“Ya….”
“Dimana Gery? kita seharusnya memiliki pegawai, kita kan gaji dia. Dia malah belum membuka toko ini dari tadi.” Indra kesal pada Gery yang pemalas. “Bagaimana dengan berat onderdilnya?” tanya Indra pada Gery yang muncul saat tahu namanya disebut-sebut oleh Indra.
Gery segera melaporkan kegiatannya hari itu di bengkel.“Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku meletakkan mesin di belakang dan itu menyebabkan masalah keseimbangan … aku biarkan apa adanya … kemudian masalah bahan bakar. Aku tidak dapat menemukan jalan,” lapor Gery.
“Gery, jangan buat aku marah. Apa yang kamu pakai, seperti badut? Lepaskan kacamata.” Emir mengomentari penampilan norak Gery daripada mengomentari pekerjaan dia yang diprotes Indra.
“Bos, jangan. Ini adalah filosofi ku, aku mengekspresikan diri seperti ini.” Gery membela diri sembari membetulkan topi dan kacamata hitamnya.
“Jadi, aku akan menghancurkan filosofi mu dengan kunci pas….” Emir menggoda satu-satunya hiburan dia di bengkelnya yang sepi pelanggan.
Buru-buru Gery merayu Emir supaya tidak marah. “Kau lapar bos? tangan dan kakimu gemetar? apa gula darah mu turun? biar aku pergi membeli rendang di warung Padang langganan kita … jadi kau tidak akan membunuh kita semua.”
“Kemarilah, apa kau tidak butuh uang?” cetus Emir berniat memberikan gaji bulanan Gery.
“Masyaallah ... tentu saja … tidak ragu.” Gery langsung menghampiri Emir menerima amplop gajinya. Tak lupa dia mencium tangan Emir takzim seperti pengantin yang sedang sungkem pada orangtuanya.
“Mengapa kau melihat ke luar terus? tanya Indra yang memperhatikan Gery terus saja celingukan keluar bengkel. “Apakah seseorang sedang menunggu?”
“Tidak ada, bos. Jangan melebih-lebihkan…” Tak berapa lama kemudian, akhirnya sesuatu yang ditunggu-tunggu Gery datang juga. Sebuah Honda Civic Nouva Th 1988 Hatchback Coupe hitam 2 Pintu, diderek mobil karena keadaanya hancur kini terparkir di Kaz Speed. “Ya Tuhan … dia datang!” Pekik Gery kegirangan.
“Apa yang ada di sini?” tanya Indra terlihat bingung dengan kedatangan mobil butut di bengkelnya.
“Pelan-pelan, hati-hati….” Gery mengarahkan sopir dereknya. Sopir itu melepaskan derekkan sedikit kasar. “Apa yang telah kau lakukan? Kau sudah menghancurkan mobil,” maki Gery pada sopir.
“Mobil sudah hancur dari sananya,” jawab sopir enteng.
“Astaga apaan ini!” Emir keluar melihat keributan di luar.
“Mobil, bagaimana? Apa bos menyukai Pangeran Hitam saya? Ini adalah granat. Ini adalah roket.” Gery memuji mobil rongsokannya. Dia memaksa Indra dan Emir agar membantu memperbaikinya.
“Darimana kau menemukan mayat ini. Milik siapa ini?” tanya Indra.
“Milikku … aku beli dari kakakku.” Gery menjawab dengan bangga sambil menepuk-nepuk kap mobilnya yang sudah penyok.
“Kau benar-benar bodoh! Beritahu saudaramu untuk membawa ini ke dealer sampah," ejek Indra.
“Lihat mobil ini. Jika kita memperbaikinya, itu akan menjadi pesawat! kita bisa memproduksi pesawat Indonesia pertama.” Sahut Gery lebay.
“Berhenti bicara omong kosong. Aku akan membuatnya. Tapi tidak sekarang.” Akhirnya Emir menyerah karena merasa berisik dengan celotehan Gery yang lebay.
***
Cafe Romano Outdoor Restaurant menjadi pilihan Aldi pagi itu. Terletak di Via Bocca de Leone. Hari ini adalah hari Minggu, tetapi Roma seperti biasa penuh sesak, dan itulah mengapa sulit untuk temukan cafe outdoor yang tidak terlalu penuh pengunjung. Pagi yang hangat, sangat menyenangkan menikmati pemandangan kota. Dan cafe ini adalah tempat terbaik yang mereka temukan sebelum meninggalkan Italia.
“Mereka membuat mobil yang luar biasa sekali lagi. Tahun depan mereka akan membuat yang lebih baik. lalu bagaimana? Apakah kah membeli yang itu juga? Ini tidak ada habisnya, Aldi …” Percakapan Aldi dan Rayhan yang berlanjut sambil minum kopi di dekat toko buku masih saja membahas impian Aldi memproduksi mobil sendiri.
“Aku punya rencana lain untuk tahun depan,” jawab Aldi.
“Apa? Apakah kau membeli pesawat ruang angkasa?” Rayhan menyindir Aldi yang terlalu mudah membuang-buang uangnya.
“Rayhan, aku memberitahumu satu hal dan kau segera berbicara sampah.” Aldi kesal karena Rayhan selalu saja mengkritik nya.
“BAIK. Aku tutup mulut.”
Seorang pelayan menghampiri mereka dengan selembar tagihan di tangannya. Aldi mengeluarkan pena barunya dan menandatangani bill. “Grazie….”
Wajah Rayhan tiba-tiba pucat. Dia melepas beberapa kancing atas kameranya. “Aku tidak tahu aku merasa seperti aku…” Rayhan kesulitan bernafas.
“Ayolah … jangan main-main. Wanita mana yang sudah kau lihat?” Aldi melirik kanan kiri menganggap bahwa Rayhan sedang mengerjainya.
“Aku tidak merasa baik … Aku tidak bisa bernafas.” Rayhan tercekat dan jatuh dari kursinya. Aldi syok melihat keadaan temannya yang beberapa saat baik-baik saja kini kesulitan bernafas.
“Rayhan, kamu baik-baik saja, ada apa kamu? Tolong panggil ambulans!” Aldi panik meminta bantuan orang-orang di dekatnya.
Sasha yang baru saja keluar dari toko pakaian segera berlari menghampiri teriakan minta tolong yang dia dengar lantas dengan sigap melakukan pertolongan pertama pada Rayhan. “Dia dalam syok anafilaksis*.”
“Apa?” Aldi kebingungan.
“Dia tidak bisa bernapas!” Sasha membuka tasnya lalu mengeluarkan gunting kecil dari kotak kosmetik lantas merendamnya dalam gelas whiskey yang dia temukan di atas meja. Sasha berniat membuat lubang di leher Rayhan agar dia bisa bernafas.
“Hei! Apa yang sedang kamu lakukan?” tangan Aldi menghalangi gunting yang dipegang Sasha.
“Aku mencoba membuatnya bernafas. Jangan sentuh aku!” bentak Sasha pada Aldi. “Sedotan? Aku butuh sedotan.” Sasha berteriak sambil menahan gunting kecil dengan tangan kiri. Untuk kali ini Aldi hanya diam saja, membiarkan wanita asing menolong sahabatnya. Sasha tidak bisa menemukan sedotan. Dia hanya melihat pena diatas meja dan langsung melepasnya menjadi dua bagian. Bagian atas tempat keluar isi pena kini sudah menancap di leher Rayhan. Rayhan pun bisa bernafas.
Tak berapa lama kemudian ambulans datang. Petugas segera memasukan Rayhan ke dalam ambulans dan membawanya ke RS. “Jangan khawatir, temanmu akan baik-baik saja. Aku ikut kamu … aku mungkin perlu memberi tahu dokter apa yang terjadi.” Aldi dan Sasha ikut ke RS dengan ambulans.
Bersambung...
Sebelum meninggalkan Kevin bekerja, Dea sempat mengobrol sedikit dengan bibi Ema. Wanita setengah baya yang mengasuh Kevin dari kecil ini berpamitan pada Dea karena dia harus pindah ke Bogor untuk mengurus cucunya. Sebenarnya Dea masih sangat membutuhkan bantuan bibi Ema. Dia sudah sangat percaya bahwa bibi Ema hafal karakter Kevin karena mengasuhnya dari kecil. “Kapan kamu pergi, Ema?” “Jika terserah aku aku tidak akan pernah pergi. Tapi anakku memanggilku. Aku tidak bisa mengatakan tidak. Dia akan segera melahirkan,” jawab Ema. “Kamu benar. Aku sudah terbiasa dengan si kecil ini.” Ema terlihat sangat berat meninggalkan mereka. “Apa yang bisa kita lakukan? Kami akan menemukan jalan untuk mengatur hal-hal dalam beberapa hari berikutnya.” Dea begitu berat melepaskan bibi Ema. Tapi dia juga tidak bisa b
"Aldi, bagaimana bisa kau bisa mengeluarkan uang sebesar itu untuk sebuah pena?” tanya Rayhan sambil melirik MonteGrappa di tangan Aldi yang baru saja dia pakai untuk menandatangani tagihan RS. “ Dimana Sasha?” lanjut Rayhan saat tersadar kalau pena Aldi telanjang karena body nya masih dipegang Sasha saat menolongnya untuk bernafas.“Aku akan mencarinya,” kata Aldi “Simpan ini, jaga-jaga kau terlalu banyak bicara.” Sambil tertawa, Aldi memberikan penanya pada Rayhan.Di Luar ruangan Aldi melihat Sasha seperti kebingungan karena gagal mendapatkan penerbangan buat hari itu. Berkali-kali Sasha menelepon maskapai penerbangan, mencari jadwal hari ini, tapi selalu gagal. Dia langsung menghampirinya untuk menawarkan bantuan. “Aku sungguh minta maaf, kau ketinggalan pesawat gar
Sebelum pesawat lepas landas, ponsel Sasha kembali berbunyi. Alvin kembali menghubunginya berkenaan dengan Diva, pasien kecil Sasha yang menderita kelainan ginjal. Menurut Alvin, demam Diva sudah diatas normal hingga 41 derajat dan mengharuskan dia diselimuti selimut dingin. Sasha menyuruh Alvin mencari luka di tubuh Diva dan membuangnya.Setelah selesai memberi pengarahan pada Alvin. Sasha menghubungi Emir dan mengabarkan berita gembira bahwa dia akan pulang hari itu juga.“Aku harap itu tidak mendesak.” Rayhan berkomentar setelah Sasha menutup teleponnya.“Semoga kita tidak terlambat,” cetus Sasha dengan wajah yang sangat khawatir.***Disaat Aldi sedang dalam perjalanan menuju Indonesia. Agus, sebagai orang kepercayaan keluarga Erlangga, dia mencoba meyakinkan klien besar nya untuk bersedia bertemu dengan Tn Farouk sebagai ketidakhadiran Aldi. Untung saja hari itu Mr. William menerima kehadiran Tn Farouk dan negosiasi pun berjalan
Makan malam yang sudah dipersiapkan Aisya untuk anaknya telah terhidang di atas meja. Sementara itu di ruangan lain, Fatima sibuk bertanya pada Joice darimana dia bisa mendapatkan uang untuk membeli tas barunya. Sasha yang tidak langsung ke rumah tapi malah pergi ke RS melihat kondisi Diva, kembali menelepon Emir, menyuruh dan ibunya nya agar makan malam duluan karena Sasha masih harus memastikan keadaan Diva baik-baik saja.“Aku mengerti, akung...Tapi hanya karena kau datang, mereka telah melakukan banyak persiapan...itu tidak sopan.”“Apa yang terjadi?” tanya Aisya pada menantunya.“Dia harus pergi ke rumah sakit,” singkat Emir menjawab. “Ayo mulai. Ayo, Bu….” Emir mengajak ibu, ibu mertua nya makan malam duluan.***Suasana persiapan makan malam keluarga di rumah keluarga Erlangga juga tampak tidak terlalu menyenangkan. Sementara semua asisten rumah tangga mempersiapkan makanan. Tampak mereka sedikit
Sebelum kembali ke rumahnya tak lupa Nisa juga mampir ke tempat Aldi Erlangga. Dia mencoba meyakinkan Aldi untuk tidak mundur dengan usahanya menjalin lagi kedekatan bersama Feyza dan Ayahnya.“Pak Aldi, aku tidak bisa menyelesaikan ini tanpa bantuan Anda,” tutur Feyza.“Lihat, kamu bersikeras dan aku datang ke makan malam itu. Apakah ada yang berubah?,” Nada suara Aldi sedikit putus asa.“Tetapi Anda tidak boleh menyerah begitu saja. Dengar, kita rayakan ulang tahunmu. Ini adalah kesempatan besar untuk keluarga berkumpul. Anda dapat berbicara dengan Feyza di sana.” Nisa memberi usul agar Aldi mau merayakan ultahnya yang hanya beberapa bulan lagi.“Merayakan ulang tahun dan konfrontasi. Dua kata yang tak berarti dalam hidupku,” sanggah Aldi.“Mungkin Anda harus menghadapi diri sendiri terlebih dahulu.”“Maaf tapi aku tidak butuh terapi. Jika aku membutuhkannya, aku akan memberitahumu.”“Sebaiknya aku pergi….” Nisa beranjak dari sofa mewah di kediaman Aldi. “Teri
ruDea baru saja selesai mempersiapkan makanan untuk anaknya. Buah potong yang diberi susu adalah cemilan favorit Kevin disela-sela waktu makan dia.Kevin merasa keheranan karena beberapa minggu ini ibunya selalu berada di rumah. Dia langsung bertanya. “Apakah kau tidak akan bekerja lagi, Bu?”“Tidak, ibu tidak kerja lagi sayang,” jawab Dea.“Hore! Kita selalu akan bersama terus,” teriak Kevin kegirangan.” Dea tersenyum sambil membelai rambut anaknya. Kevin meneruskan makan cemilan buahnya dengan sangat lahap. Dea kemudian dia berdiri mengambil ponselnya. Diam sejenak karena ragu dengan apa yang akan dia kerjakan. Dia pandangi lagi kontak yang akan dia hubungi. “Baba” seketika air mata menetes di wajahnya yang pucat. Akankah ayahnya mau bicara dengannya? Bagaimana jika Baba masih marah padanya? Tanpa berfikir lagi Dea langsung menghubungi Baba.Terdengar suara seorang laki-laki tua, suara yang begitu Dea kenal. Karena laki-laki itu teramat dia cintai dan dia hormati.
Sasha masuk ke dalam rumah. Selang beberapa menit Emir juga menyusul masuk ke dalam rumah. Raut wajah Emir sudah tidak bagus. Sasha tetap menyambut Emir dengan suka cita.“Selamat datang sayang. Bagaimana malammu? kau mabuk ya? tahan, biarkan aku membuatkanmu kopi dan menyadarkanmu,” sahut Sasha“Siapa pria yang mengantarmu pulang?” pertanyaan dengan nada suara yang tinggi Emir langsung to the poin.“Aku sudah memberitahumu tentang dia. Dia adalah teman dari orang yang jatuh sakit di Italia. Jika kau sudah melihat kami tadi diluar kenapa kamu tidak menyapa?” Sasha balik bertanya sambil mengernyitkan dahinya.“Mengapa aku harus datang dan menyapa?” Emir mengelak “Apa yang dilakukan teman pria itu saat makan malam?”“Dia adalah temannya, dia mengundangnya juga. Haruskah aku bertanya mengapa dia mengundangnya?” Sasha merasa Emir terlalu memojokkan dia.“Iya!” cetus Emir.“Kamu serius?” mata Sasha yang bulat kini terbelalak seakan tidak mengenal pria yang kini berdi
Dor…Terdengar suara letusan senjata dari dalam gedung hotel. Tak berapa lama kemudian mobil polisi dan ambulans berdatangan. Kevin yang sempat ketiduran di dalam mobil Aldi terbangun dan mulai keluar mencari ibunya.“Ibu? Ibu … “ Kevin memanggil manggil Dea.Ibrahim yang berdiri tak jauh dari sana. Langsung menggendong Kevin dan kembali masuk ke dalam mobil.“Ayo ayo.” Ibrahim menenangkan Kevin.“Biarkan aku pergi! Aku ingin bersama ibuku!” Teriak Kevin“Tidak, ayo, ayo pergi.” Bujuk Ibrahim pada Kevin.“Ibuku sedang bermain game di dalam,” rengek Kevin.“Mari sini… Setahuku kau suka mobil, lihat ini mobilku,” Ibrahim berusaha mengalihkan perhatian Kevin yang terus-menerus menanyakan ibunya.“Apakah ini milikmu?” Kevin mulai tertarik pada mobil Aldi.“Ya, ini mobil ku. Ayolah mari kita pergi melihatnya.” Ibrahim menahan Kevin agar tidak mengetahui tubuh ibunya sedang dibawa ke ambulans.“Ibuku menyuruhku untuk tinggal di mobil ini,” ujar Kevin.“