Share

3. Two Man One Desire

Emir meletakkan ponsel selepas Sasha meneleponnya. Begitu rindunya Emir pada wanita yang selama ini selalu setia menemaninya. Meskipun Emir merasa sebagai laki-laki dia belum bisa membahagiakan Sasha, dia hanya memiliki Kaz Speed bengkel yang sebenarnya tidak terlalu menguntungkan, akan tetapi Sasha selalu menerima Emir apa adanya. Juga tulus mencintai ibu dan Joyce, adik perempuan Emir.

“Emir, kamu datang lebih awal?” suara Indra membuyarkan lamunan Emir.

“Pikiranku sibuk dengan sesuatu yang sedang aku kerjakan,” jawab Emir sambil kembali fokus pada layar monitor di hadapannya. 

“Tapi kau tidak di sini sepanjang malam, kan?” nada suara Indra sangat mengkhawatirkan Emir.

“Aku….”

“Kau pasti lapar….” Indra yakin bahwa sahabatnya selalu lupa segala hal saat dia bekerja.

“Ya….”

“Dimana Gery? kita seharusnya memiliki pegawai, kita kan gaji dia. Dia malah belum membuka toko ini dari tadi.” Indra kesal pada Gery yang pemalas. “Bagaimana dengan berat onderdilnya?” tanya Indra pada Gery yang muncul saat tahu namanya disebut-sebut oleh Indra.

Gery segera melaporkan kegiatannya hari itu di bengkel.“Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku meletakkan mesin di belakang dan itu menyebabkan masalah keseimbangan … aku biarkan apa adanya … kemudian masalah bahan bakar. Aku tidak dapat menemukan jalan,” lapor Gery.

“Gery, jangan buat aku marah. Apa yang kamu pakai, seperti badut? Lepaskan kacamata.” Emir mengomentari penampilan norak Gery daripada mengomentari pekerjaan dia yang diprotes Indra.

“Bos, jangan.  Ini adalah filosofi ku, aku mengekspresikan diri seperti ini.” Gery membela diri sembari membetulkan topi dan kacamata hitamnya.

“Jadi, aku akan menghancurkan filosofi mu dengan kunci pas….” Emir menggoda satu-satunya hiburan dia di bengkelnya yang sepi pelanggan.

Buru-buru Gery merayu Emir supaya tidak marah. “Kau lapar bos? tangan dan kakimu gemetar? apa gula darah mu turun? biar aku pergi membeli rendang di warung Padang langganan kita … jadi kau tidak akan membunuh kita semua.”

“Kemarilah, apa kau tidak butuh uang?” cetus Emir berniat memberikan gaji bulanan Gery.

“Masyaallah ... tentu saja … tidak ragu.” Gery langsung menghampiri Emir menerima amplop gajinya. Tak lupa dia mencium tangan Emir takzim seperti pengantin yang sedang sungkem pada orangtuanya.

“Mengapa kau melihat ke luar terus? tanya Indra yang memperhatikan Gery terus saja celingukan keluar bengkel. “Apakah seseorang sedang menunggu?”

“Tidak ada, bos.  Jangan melebih-lebihkan…” Tak berapa lama kemudian, akhirnya sesuatu yang ditunggu-tunggu Gery datang juga. Sebuah Honda Civic Nouva Th 1988 Hatchback Coupe hitam 2 Pintu, diderek mobil karena keadaanya hancur kini terparkir di Kaz Speed. “Ya Tuhan … dia datang!” Pekik Gery kegirangan.

“Apa yang ada di sini?” tanya Indra terlihat bingung dengan kedatangan mobil butut di bengkelnya.

“Pelan-pelan, hati-hati….” Gery mengarahkan sopir dereknya. Sopir itu melepaskan derekkan sedikit kasar. “Apa yang telah kau lakukan? Kau sudah menghancurkan mobil,” maki Gery pada sopir.

“Mobil sudah hancur dari sananya,” jawab sopir enteng.

“Astaga apaan ini!” Emir keluar melihat keributan di luar.

“Mobil, bagaimana? Apa bos menyukai Pangeran Hitam saya? Ini adalah granat. Ini adalah roket.” Gery memuji mobil rongsokannya. Dia memaksa Indra dan Emir agar membantu memperbaikinya.

“Darimana kau menemukan mayat ini. Milik siapa ini?” tanya Indra.

“Milikku … aku beli dari kakakku.” Gery menjawab dengan bangga sambil menepuk-nepuk kap mobilnya yang sudah penyok.

“Kau benar-benar bodoh! Beritahu saudaramu untuk membawa ini ke dealer sampah," ejek Indra.

“Lihat mobil ini. Jika kita memperbaikinya, itu akan menjadi pesawat! kita bisa memproduksi pesawat Indonesia pertama.” Sahut Gery lebay.

“Berhenti bicara omong kosong. Aku akan membuatnya. Tapi tidak sekarang.” Akhirnya Emir menyerah karena merasa berisik dengan celotehan Gery yang lebay.

***

Cafe Romano Outdoor Restaurant menjadi pilihan Aldi pagi itu. Terletak di Via Bocca de Leone. Hari ini adalah hari Minggu, tetapi Roma seperti biasa penuh sesak, dan itulah mengapa sulit untuk temukan cafe outdoor yang tidak terlalu penuh pengunjung. Pagi yang hangat, sangat menyenangkan menikmati pemandangan kota. Dan cafe ini adalah tempat terbaik yang mereka temukan sebelum meninggalkan Italia.

“Mereka membuat mobil yang luar biasa sekali lagi. Tahun depan mereka akan membuat yang lebih baik.  lalu bagaimana?  Apakah kah membeli yang itu juga? Ini tidak ada habisnya, Aldi …” Percakapan Aldi dan Rayhan yang berlanjut sambil minum kopi di dekat toko buku masih saja membahas impian Aldi memproduksi mobil sendiri.

“Aku punya rencana lain untuk tahun depan,” jawab Aldi.

“Apa?  Apakah kau membeli pesawat ruang angkasa?” Rayhan menyindir Aldi yang terlalu mudah membuang-buang uangnya.

“Rayhan, aku memberitahumu satu hal dan kau segera berbicara sampah.” Aldi kesal karena Rayhan selalu saja mengkritik nya.

“BAIK.  Aku tutup mulut.”

 Seorang pelayan menghampiri mereka dengan selembar tagihan di tangannya. Aldi mengeluarkan pena barunya dan menandatangani bill. “Grazie….”

Wajah Rayhan tiba-tiba pucat. Dia melepas beberapa kancing atas kameranya. “Aku tidak tahu aku merasa seperti aku…” Rayhan kesulitan bernafas.

“Ayolah … jangan main-main. Wanita mana yang sudah kau lihat?” Aldi melirik kanan kiri menganggap bahwa Rayhan sedang mengerjainya.

“Aku tidak merasa baik … Aku tidak bisa bernafas.” Rayhan tercekat dan jatuh dari kursinya. Aldi syok melihat keadaan temannya yang beberapa saat baik-baik saja kini kesulitan bernafas.

“Rayhan, kamu baik-baik saja, ada apa kamu? Tolong panggil ambulans!” Aldi panik meminta bantuan orang-orang di dekatnya.

Sasha yang baru saja keluar dari toko pakaian segera berlari menghampiri teriakan minta tolong yang dia dengar lantas dengan sigap melakukan pertolongan pertama pada Rayhan. “Dia dalam syok anafilaksis*.”

“Apa?” Aldi kebingungan.

“Dia tidak bisa bernapas!” Sasha membuka tasnya lalu mengeluarkan gunting kecil dari kotak kosmetik lantas merendamnya dalam gelas whiskey yang dia temukan di atas meja. Sasha berniat membuat lubang di leher Rayhan agar dia bisa bernafas.

“Hei!  Apa yang sedang kamu lakukan?” tangan Aldi menghalangi gunting yang dipegang Sasha.

“Aku mencoba membuatnya bernafas. Jangan sentuh aku!” bentak Sasha pada Aldi. “Sedotan? Aku butuh sedotan.” Sasha berteriak sambil menahan gunting kecil dengan tangan kiri. Untuk kali ini Aldi hanya diam saja, membiarkan wanita asing menolong sahabatnya. Sasha tidak bisa menemukan sedotan. Dia hanya melihat pena diatas meja dan langsung melepasnya menjadi dua bagian. Bagian atas tempat keluar isi pena kini sudah menancap di leher Rayhan. Rayhan pun bisa bernafas.

Tak berapa lama kemudian ambulans datang. Petugas segera memasukan Rayhan ke dalam ambulans dan membawanya ke RS. “Jangan khawatir, temanmu akan baik-baik saja. Aku ikut kamu … aku mungkin perlu memberi tahu dokter apa yang terjadi.” Aldi dan Sasha ikut ke RS dengan ambulans.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status