Share

4. Ketinggalan Pesawat

Sebelum meninggalkan Kevin bekerja, Dea sempat mengobrol sedikit dengan bibi Ema. Wanita setengah baya yang mengasuh Kevin dari kecil ini berpamitan pada Dea karena dia harus pindah ke Bogor untuk mengurus cucunya. Sebenarnya Dea masih sangat membutuhkan bantuan bibi Ema. Dia sudah sangat percaya bahwa bibi Ema hafal karakter Kevin karena mengasuhnya dari kecil.

“Kapan kamu pergi, Ema?”

“Jika terserah aku aku tidak akan pernah pergi. Tapi anakku memanggilku. Aku tidak bisa mengatakan tidak. Dia akan segera melahirkan,” jawab Ema. “Kamu benar. Aku sudah terbiasa dengan si kecil ini.” Ema terlihat sangat berat meninggalkan mereka. 

“Apa yang bisa kita lakukan?  Kami akan menemukan jalan untuk mengatur hal-hal dalam beberapa hari berikutnya.” Dea begitu berat melepaskan bibi Ema. Tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa dengan situasi yang dihadapinya saat ini.

Ema memeluk Dea dengan erat. “Aku merasa sangat bersalah karena mengecewakanmu.”

“Tolong jangan khawatir, Ema. Kami akan menemukan jalan. Ibu harus pergi sayang … sampai jumpa malam ini, oke?”

Entah ke berapa kalinya Dea hampir saja terjatuh karena sakit di kepalanya.

“Ibu, apakah kamu baik-baik saja?” Kevin khawatir melihat Dea berjalan sempoyongan.

“Tidak apa-apa sayang … Ibu tersandung karpet bibi Ema,” jawab Dea sambil mengecup kening Kevin dan meninggalkannya untuk pergi kerja.

***

Keadaan Rayhan sudah mulai pulih, meskipun dengan suara yang serak, Rayhan memaksa untuk segera pulang kepada Aldi. Dia merasa tidak enak karena Aldi harus membatalkan sebuah pertemuan penting disebabkan dirinya masuk RS.

Baru saja Sasha bertemu dengan dokternya Rayhan dan segera mengabarkan berita menggembirakan kepada Rayhan di kamarnya. “Tidak ada yang perlu ditakuti, aku baru saja berbicara dengan dokter, kau akan baik-baik saja.”

“Aku tidak tahu harus berkata apa padamu. Kau telah menyelamatkan kemungkinan…”

“Tidak apa-apa, jangan bicara dulu, tenggorokanmu masih luka.”

“Itu tidak akan menjadi masalah baginya. Dia bahkan bisa berbicara dengan lubang di tenggorokan,” canda Aldi. “Aku tidak bisa memperkenalkan diri karena dia membuat kita ketakutan. Aldi Erlangga.”

“Sasha…”

Ponsel Sasha berbunyi. Alvin, asistennya di RS bertanya apakah Sasha sudah tiba di Indonesia. Dia juga mengabarkan bahwa keadaan pasiennya yang bernama Diva masih tidak stabil. Sasha menyuruh Alvin memberikannya antibiotik lalu memberi kabar bila kondisinya tidak membaik. 

Setelah menelepon asistennya, Sasha meminta izin untuk menelepon di luar agar bisa memberi kabar pada suaminya. Aldi juga sadar bahwa hari itu dia harus mengabari Martin untuk membatalkan pertemuan bisnisnya.

“Bagaimana kau bisa ketinggalan pesawat?” suara Emir di seberang sana seolah-olah menyayangkan Sasha yang batal kembali ke Indonesia.

Sasha langsung menenangkan suaminya. “Emir, tenang, Jangan khawatir, terjadi kecelakaan.”

“Bagaimana saya bisa tenang, Sha?  kecelakaan apa?  apa yang terjadi?” Sasha langsung diserang beberapa pertanyaan dari Emir.

"Ada seorang pria dan aku harus menyelamatkan hidupnya." Sasha mencoba menjelaskan baik-baik masalah yang sedang dihadapinya.

"Apa? kenapa kamu?" nada suara Emir terdengar kesal. Apakah kau satu-satunya dokter di Italia, Sha? apa yang sedang kamu lakukan?"

"Aku tidak melakukan apa-apa, apa yang harus aku lakukan, biarkan dia mati? aku di rumah sakit jangan membuatku bicara, kumohon, mereka akan mendengarnya. Emir, aku seorang dokter..." suara Sasha pelan karena tak jauh darinya, Aldi juga sedang menelepon Martin sekretaris dia.

Setelah menelepon Martin, Aldi kembali ke kamar Rayhan. Dia benar-benar merasa bersalah pada Aldi. “Aldi, aku baik-baik saja. Kita bisa pulang!”

Aldi langsung menyela Rayhan. “Rayhan, tolong diam! tidakkah menurutmu lebih baik jika dia tetap tinggal?” tanya Aldi pada Sasha.

“Saya setuju, satu hari lagi istirahat akan membuat sembuh total.” Rayhan hanya diam saja, 2 lawan 1. Jelas Rayhan kalah suara.

***

“Ada apa, Emir?” Indra melihat kesedihan di mata sahabatnya.

“Sasha ketinggalan pesawatnya.” Emir menjawab dengan pelan.

“Betulkah? jadi sekarang bagaimana?”

“Aku kira dia akan menemukan pesawat lain. Aku akan pulang, mandi dan istirahat aku lelah.” Emir berpamitan pada Indra dan Gery.

“Oke, bro. Kau pulang saja, aku disini.” Emir mengikuti saran sahabatnya untuk istirahat di rumah.

Tiba-tiba tak ada angin tak ada hujan Gery berseru. “Bravo!”

“Apaan bravo?” tanya Indra.

“Bravo, hari ini kau membuatku terpesona. Tolong, Bos … tolong terima. Kita tidak memiliki pekerjaan yang layak, hal ini akan membuat kita sibuk dan keterampilan kita tidak akan berkarat.” Lagi-lagi Gery mengeluarkan bujukan mautnya sambil memijat bahu Indra.

“Lepaskan tanganmu dariku!” Indra menepiskan tangan Gery.

“Lihat, aku benar-benar akan terus memohon sampai kau menyentuh mobilku,” dengan tampang memelas yang lebay rayuan Gery menggoyahkan Indra sekaligus membuatnya mual.

“Lihat! jangan pasang mata anak anjing,” cetus Indra. “Lihat bibir bawah itu! kenapa jadi manyun?” 

“Katakanlah ya Gery kita akan mulai bangun mobilnya.” Bawel sekali Gery hari itu. “Kita benar-benar perlu membangunnya. Karya ini dibuat untuk Boss Emir. Jika kita membuat mobil ini orang-orang akan melihat di depan bengkel kalau kita memang ahli membangun mobil, tidakkah kamu mengerti?

“Hari ini kau membuatku sakit kepala, serius. Keluar!  Keluar!” Indra mengusir Gery dari kantor.

Joyce muncul ketika Indra sedang gerak-geriknya pada Gery. Indra yang menaruh hati pada adik perempuan Emir satu-satunya ini langsung mempersilahkannya masuk.

“Apa kabar Joyce? selamat datang,” sambut Indra.

“Terima kasih, apa kakakku disini?” Joyce langsung menanyakan Emir.

“Emir baru saja pergi, dia bilang mau istirahat di rumah,” dengan sedikit gugup Indra menjawab Joyce.  

Joyce memasang muka menyesal, padahal sebenarnya dia memang mengharapkan kakaknya tidak ada di bengkel. “Hmmm sayang banget, padahal aku ingin menemuinya.”

“Jangan khawatir, katakan saja padaku, aku kan bukan orang asing,” kata Indra.

“Anu, ummm sepulang kuliah aku berencana pergi dengan kawan-kawan ke suatu tempat, tadinya aku mu minta pada Emir….”

“Jangan khawatir tentang itu, aku mengerti, tunggu...aku akan mengurusnya.” Indra memotong ucapan Joyce lalu pergi ke brangkas uang. “Urusan dengan Emir biar bagianku.”

“Tapi...tidak apa-apa kan?” Joyce pura-pura merasa tidak enak.

“Kenapa tidak? ambil ini.” Indra memberikan uang 1 jt yang diambilnya dari brangkas bengkel.

“Aku minta maaf, aku benar-benar merasa canggung,” sahut Joyce dengan lirikannya yang menggoda.

“Jangan khawatir, bersenang-senang lah.” Indra yang pemalu dibuat tak berdaya dengan lirikan Joyce.

“Terima kasih banyak tapi tolong jangan beritahu ibuku, jika dia tahu maka dia akan terus ngomel, pinta Joyce sambil menggenggam tangan Indra.  

“Baik, ini rahasia kami.”

Joyce langsung pergi bertemu teman-teman nya meninggalkan Indra yang langsung senyum-senyum sendirian ditemani Gery yang ikut-ikutan senyum-senyum.

“Kenapa kau tersenyum?” tanya Indra.

“Tidak...tidak bos, muka saya memang begini,” jawab Gery ngasal.  

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status