Share

5. Kembali ke Indonesia

"Aldi, bagaimana bisa kau bisa mengeluarkan uang sebesar itu untuk sebuah pena?” tanya Rayhan sambil melirik MonteGrappa di tangan Aldi yang baru saja dia pakai untuk menandatangani tagihan RS. “ Dimana Sasha?” lanjut Rayhan saat tersadar kalau pena Aldi telanjang karena body nya masih dipegang Sasha saat menolongnya untuk bernafas.

“Aku akan mencarinya,” kata Aldi “Simpan ini, jaga-jaga kau terlalu banyak bicara.” Sambil tertawa, Aldi memberikan penanya pada Rayhan.

Di Luar ruangan Aldi melihat Sasha seperti kebingungan karena gagal mendapatkan penerbangan buat hari itu. Berkali-kali Sasha menelepon maskapai penerbangan, mencari jadwal hari ini, tapi selalu gagal. Dia langsung menghampirinya untuk menawarkan bantuan. “Aku sungguh minta maaf, kau ketinggalan pesawat gara-gara kita. Jika kau izinkan, aku bisa membantumu kembali ke Indonesia hari ini,” ujar Aldi dengan santun.

Sasha menyambut tawaran Aldi dengan suka cita. “Silahkan…” jawab Sasha.

Aldi mengajak Sasha untuk kembali ke Indonesia menggunakan jet pribadi nya. Tentu saja hal ini disambut baik oleh Sasha karena dia sangat ingin pulang dan tak mau mengecewakan Emir.

Pesawat hanya ditumpang Rayhan, Aldi dan Sasha. Aldi yang duduk tepat di depan Sasha sekilas melirik tas belanja yang dia bawa. Sedikit kaget juga bertanya-tanya dalam hati. Bagaimana bisa buku yang ingin dia beli di toko buku bisa ada di tas Sasha. Aldi masih sungkan bertanya, dia tidak mau wanita cantik yang sudah menyelamatkan nyawa sahabatnya ini menjadi canggung, karena diberi pertanyaan yang aneh.

Sebelum pesawat berangkat, Aldi menerima telepon dari Nisa, asisten pribadi sekaligus psikiater Feyza Erlangga, adik perempuan Aldi.

“Pak, apakah kau sudah mendarat?” tanya Nisa.

“Tidak, kita belum lepas landas. Kurasa kita akan sedikit terlambat hadir makan malam ini…” Aldi mengabarkan kondisi terakhirnya di Italia kepada Nisa.

“Jangan bilang kau tidak bisa datang. Sudah begitu banyak persiapan, aku bekerja sangat keras…”

Praaang…

Aldi dengan jelas mendengar suara barang pecah di seberang sana. Membuat Nisa berhenti bicara. “Nisa, apakah kamu di sana?”

“Pak Aldi, bisa saya hubungi nanti? disini ada masalah kecil tentang adikmu, seperti biasa. Tapi tolong coba datang makan malam nanti ya.” Dari parkiran, Nisa menatap jendela di kamar lantai dua dimana baru saja sebuah vas bunga hampir mengenai dia, pecah berserakan dihadapannya. Teriakan Feyza jelas terdengar di dalam rumah, sesaat setelah Nisa menyimpan tas nya lalu naik ke lantai dua. “Aku tidak tahan lagi ... aku tidak mau!” 

“Bu Feyza, tenanglah…” Marini, pelayan kepercayaan keluarga mereka mencoba menenangkan tuannya yang sedang mengamuk di dalam kamar.

Tn. Farouk Erlangga...ayah Aldi dan Feyza ikut khawatir. Dia takut Feyza melakukan hal yang membahayakan dirinya karena mengunci kamarnya sendirian. Telepon dari sekretaris kantor nya tidak terlalu menjadi perhatiannya.

“Kita akan bicara nanti, Agus,” ujar Tn. Farouk sambil mondar mandir di depan kamar Feyza.

“Tapi ini sangat penting, Pak!” Agus memaksa berbicara.

“Sebentar Agus!” Tn. Farouk menggedor kamar anaknya. “Feyza! apa yang sedang kamu lakukan?”

“Cukup! Aku tidak tahan lagi!” teriakan Feyza makin terdengar lebih keras bersamaan dengan suara pecahan barang-barang yang dia lemparkan.

“Pak Farouk…” suara Agus di telepon memanggilnya.  “Ada apa, Agus?” bentak Tn. Farouk. “Tidak bisakah kau menunggu sebentar?”

“Pak, Tn. Aldi seharusnya bertemu dengan calon pbeli dari Inggris. Tapi…”

“Tidak ada yang dibatalkan! Aku akandatang, aku akan menelponmu sebentar lagi!” Tn. Farouk menutup telponnya.

“Tuan, tak apa...aku akan mengurus Feyza.” ujar Nisa sambil menghampiri kamarnya. “Feyza tolong buka pintunya.” Nisa mengetuk pintu kamar Feyza.

“Tolong, Tinggalkan aku sendiri,” jawab Feyza sambil melemparkan gelas ke pintu kamarnya.

“Feyza dengar, kau tahu aku bisa membuka pintu ini jika aku mau. Tapi aku ingin kau membukanya!”

Terdengar dari dalam, Feyza membuka kunci kamarnya. Dia membiarkan Nisa masuk ke kamarnya.

Feyza duduk saja di atas ranjangnya, sedangkan Nisa mulai membereskan pakaian Feyza yang berserakan.

“Aku tidak tahu mengapa aku melakukan apa yang kamu inginkan.”

“Karena aku dibayar untuk itu. Feyza, kenapa kamu bertingkah seperti ini? apakah kita akan kembali ke awal?” dengan sabar Nisa bertanya pada Feyza.

“Kita dimana?” Feyza malah balik bertanya. “Tidak ada yang berubah untukku. Tidak akan ada.” Sebuah foto bergambar anak laki-laki berusia 6 tahun kini si genggamannya.

Nisa berjalan menghampiri meja di sudut kamar. Lantas membuka tempat obat, dia mendapati obatnya masih utuh. “Jika kau tak meminum obatnya, kau akan terus merasa seperti ini.” Ujar Nisa. 

“Obatnya membuatku pusing.” Feyza berkilah. Sebenarnya obat itu membuatku tidak merasakan apa-apa. Aku bahkan tidak bisa mengingat rasa sakitku. Kehilanganku...Bagaimana aku bisa melupakan kejadian itu?” air mata Feyza mulai meleleh di pipinya.

“Feyza, cukup. Dengar, jika kau ingin aku membantumu, kau harus berusaha. Tidak ada dokter yang memiliki tongkat ajaib. Jika kau bilang bahwa kau bahagia seperti ini, aku akan pergi dan tidak akan pernah kembali.” Nisa segera berdiri lalu berjalan ke arah pintu.

“Berhenti!” Teriak Feyza “Tolong jangan pergi.”

Nisa berbalik lantas merangkul Feyza. “Feyza, tolong singkirkan psikologis menjadi korban. Kamu bukan satu-satunya wanita yang kehilangan anaknya. Jika kau minum obat, obat itu akan membantumu. Ayo, berdiri, siap-siap, cari udara segar...kau akan merasa lebih baik.”

***

Aisya, ibu Sasha sedang berkunjung ke rumah anaknya. Dia ingin menyambut kepulangan Sasha dengan membuat masakan kesukaannya. Di dapur dia dibantu oleh Fatima. Ibu Emir yang tinggal bersama mereka. “Sasha kan punya piring panjang. Aku tidak bisa menemukannya,” kata Aisya.

“Saya meletakkannya tepat di sebelah piring lainnya,” jawab Fatima sambil menunjuk lemari di dapurnya. Aisya duduk di meja makan mempersiapkan peralatan makan, Fatima mengikutinya dari belakang.

“Nyonya Aisya..”

 “Iya.”

“Apakah ada perkembangan mengenai hal pekerjaan saya?” Fatima mengharapkan jawaban yang menyenangkan dari besannya.

“Sayangnya Fatima, belum ada kabar sampai saat ini. Maksud saya itu sangat sulit di kondisi anda. Apa masalahnya? apakah pekerjaan Emir belum membaik?” tanya Aisya.

“Mereka bisa bertahan. tetapi dengan biaya kuliah Joyce…” Fatima tidak melanjutkan ucapannya.

“Kau seharusnya tidak mengirimnya ke sekolah swasta, Fatima. Sulit untuk terus seperti ini. Sasha sangat sibuk, kamu sakit dan kau sedang mencari pekerjaan.

Emir tiba-tiba datang lalu duduk di meja makan. “Ada apa? kenapa ibu tampak sedih?” tanya Emir pada ibunya.

“Bagaimana kau bisa masuk begitu tenang seperti pencuri?” Aisya mencoba mengalihkan perhatian Emir dari kekalutan yang Fatima perlihatkan. “Apa yang kamu lakukan di rumah sepagi ini?”

“Aku lelah, aku pulang untuk tidur, apa yang sedang ibu lakukan?” Emir mempertanyakan kedatangan Aisya ke rumahnya.

“Kami sedang mempersiapkan sesuatu untuk kepulangan Sasha…”

“Ini sedikit rumit. Sasha ketinggalan pesawat,” jawab Emir dengan wajah kecewa lalu dia segera pergi ke kamarnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
ci panda
ceritanya bagus👍 semangat author~ aku akan menunggu chapter baru dengan sabar (◡ ‿ ◡ ✿) btw author gaada sosmed kah? aku pingin follow~
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status