"Ya tuhan apa yang akan terjadi pada gadis kecil itu, kini?" Ucap Lency yang lolos begitu saja. Membuat tiga pria yang berada dalam satu ruangan dengannya menatap Lency dan tampak memikirkan hal sama.
Begitupun genggaman Ali dan Marko yang makin erat dalam diam.
"Jika berpikir jauh kepala kita jadi terasa mampet, lakukan saja yang kita bisa untuk saat ini," ucap Sani membuka kaleng soda di tangan yang menimbulkan bunyi desisan dan langsung ditenggaknya habis. Tanpa sisa.
"Apalagi luka-luka di tubuh Arimbi yang tampak pasti bisa di sembuhkan bahkan hilang tak berbekas, mengingat ia masih begitu kecil," tambah Sani masih belum usai meski pria tinggi itu menarik dalam nafasnya yang terlihat berat sebelum berucap kembali.
"Tapi, luka batin? Well, lo berdua butuh lebih dari sekedar kuat dan sabar."
Sani menatap dua sahabatnya yang tidak berkomentar. Karena Ali dan Marko tahu tak ada hal yang lebih penting dari Arimbi saat ini. Gadis kecil kesayangan mer
"Siapa?"Mata awas guru yang jeweran mautnya terkenal ini mengikuti langkah dua pasang kaki anak kecil yang tadi meminta lembar tugas darinya untuk Arimbi, satu dari tiga muridnya yang hari ini tak masuk karena harus menemani mamanya yang sakit untuk beberapa hari kedepan, meski dalam izinnya Arimbi berketerangan sakit.Dua bocah menggemaskan yang ia perhatikan masuk ke dalam mobil asing dengan bule yang meski jauh, ketampanannya terpancar jelas. Apalagi bule itu menutup pintu untuk dua anak yang jadi tanggung jawab miss Eva.Meskipun, pandangannya heran juga kagum karena yang menjemput Rei dan Joe bukan pak Tian dan bu Miranda, miss Eva tampak biasa saja karena memang tak sembarang orang bisa datang untuk menjemput anak-anak didik di yayasan ini. Kecuali wali mereka, memberi tahu pihak sekolah terlebih dahulu. Jadi, bisa dipastikan bule tampan itu bukan orang mencurigakan yang perlu diwaspadai."Soto pak Bas!" seru wanita yang bergegas ke kantor untuk me
"Arimbi, kenapa?" tanya Rei menatapi gadis kecil yang tingginya hampir sama dengannya itu, penuh penasaran."Sakit, ya?" tanyanya lagi dan takut-takut hendak menyentuh perban di kepala Arimbi, sementara Joe diam memperhatikan Arimbi yang ujung bibirnya sobek."Is it hurt?" tanya Joe mengulurkan tangan kecilnya, menyentuh pelan pipi Arimbi yang membiru dan gadis kecil yang lebih tinggi darinya itu mengangguk."(Iya, sakit,)" ucap bibir Arimbi membuat dua teman kecilnya itu heran dan saling menatap, lalu memperhatikan gadis kecil yang meski mulutnya terlihat bicara tapi tak satupun suaranya terdengar sambil menunjuk tenggorokannya sendiri."Arimbi, kenapa? Kok gak ngomong?""Your neck sick, to?" tanya joe membuat Rei menatapnya cepat."Ini sakit?" ucap Rei menunjuk leher Arimbi yang meski mengangguk, tampak tak yakin karena ia sama sekali tak merasakan sakit di bagian leher ataupun tenggorokannya sendiri."Jadi, Arimbi gak bisa ngomong
(YOUR MY SON!)(YOU CAN'T LEAVE ME)(YOUR MINE... ONLY MINE!)(DON'T GO PLEASE, DON'T GO.)(I'LL DIE IF YOU LEAVE ME TO)(I WILL NOT FORGIVE YOU)(YOU PIECE OF SHIT!)(I'LL KILL YOU)(I LOVE YOU)(YOUR MY SON! ONLY MINE)(I LOVE YOU)(I'LL KILL YOU!)(YOUR MY SON! YOU PIECE OF SHIT!) Seth menutup wajahnya kasar, ia menarik nafasnya dalam-dalam. Untaian kaliamat yang biasanya tersimpan begitu rapat kini lolos dan tak bisa ia enyahkan. Pria yang benar-benar membutuhkan udara segar ini berusaha menemukan ketenangannya dengan mengatur nafas dan menutup matanya rapat. Tubuh Seth yang tampak tegang itu mulai bisa rileks dengan nafas yang teratur pada tiap detiknya. Bayangan-bayangan buruk yang muncul, perlahan makin buram bersama nafasnya yang teratur. Dan ditariknya nafas begitu dalam, sekali lagi saat ketenangannya kembali. Meski rasa buruk yang terasa, tak sepenuhnya pergi. "Some women can be so cruel but the other giv
"Bagaimana?" tanya wanita yang suaranya terdengar dari ponsel dalam genggaman dokter Sabrina."Ini masih terlalu awal unt-""Sabrina, aku mendatangkanmu dari Berlin bukan untuk bersantai-santai," ucap wanita yang suaranya terdengar datar, membuat Sabrina menarik nafasnya, "jika kau tak bisa menangani ini, katakan saja. Aku akan mengirim kakakmu dan kau bisa mengulang studimu dari awal," ucap suara yang masih terdengar datar di telinga wanita yang sudah kembali ke dalam ruang kerjanya ini.Sabrina tahu, wanita yang menghubunginya ini tak sedatar wajah maupun apa yang diperdengarkan padanya, 'dan kakak? Gadis kecil itu tak butuh penanganan seperti itu.'Meskipun, mungkin apa yang akan dilakukan sang kakak adalah cara paling cepat agar gadis kecil yang dipercayakan padanya ini, bisa kembali menjalani kehidupannya lagi. Tapi, hidup dengan ingatan yang akan dikunci serapat-rapatnya, seperti tidak pernah terjadi--"Aku mengerti, Oma," ucap Sabrina
Brakk!Wanita paruh baya yang melempar ponselnya ke atas meja itu, tampak begitu geram. Mulutnya yang terkunci dengan rahang mengeras seolah sedang merutuki apapun yang membuatnya kesal dalam hati.Jari lentik wanita paruh baya yang tampilannya modis ini menghentak penuh perhitungan di atas sofa yang ia duduki. Jari dari tangan sama yang masih terasa panas, setelah menggedor pintu kamar putrinya yang masih saja mengurung diri dalam kamar yang di kunci dari dalam dengan suara musik yang rasanya bisa memecahkan gendang telinganya.Zizi, putrinya itu sama sekali tak memberi Sukma tanggapan apapun. Putri bodoh dan egoisnya itu tak perduli pada wanita paruh baya yang kini sorot matanya begitu dingin.Wanita paruh baya yang sudah bersiap untuk bermain dengan salah satu cucunya itu, duduk sendiri di ruang tamunya yang luas namun sepi. Sukma yang sedang menahan amarah teramat sangat itu, mengatur nafasnya sendiri. Bahkan dadanya sampai terlihat naik turun dengan
Miss Eva yang ahirnya datang dengan nafas tersengal karena berjalan setengah lari itu, berhenti melangkah sambil menarik nafasnya dalam. Ia mengatur denyut jantung dan dadanya yang naik turun."Ketemu ponsel lo?""Ya, ada dikelas gue ternyata. Lagi ngomongin apa sih lo pada? seru banget kayaknya. Gak jadi makan soto pak Bas, kita?""Jadilah, Va. Nungguin lo doangan ini. Yuk ah, gue udah laper, lanjut ngobrol sambil jalan aja.""Jalan kaki? Gue pikir kita naik mobil lo, Mer.""Mobil gue lagi dibawa bokap, Miss Eva, lagian mau kaki kita gempor, jalan kaki? kita naik angkotlah sesekali.""Sesekali buat lo, Mer. Gue tiap hari," ucap salah seorang yang lalu membuat tawa."Lanjut yang tadi dong, Mer. Jadi cowok ganteng tadi tiap hari kumpul sama orang gila, dong.""Hah? Orang gila mana nih? Dan cowok mana yang lagi kalian gosipin tanpa gue?""Cowok yang lo tabrak tadi, Miss Eva," jawab seorang yang membuat Eva mengangguk paham
"Aku tidak percaya mereka mengizinkan manusia dekil seperti itu masuk ke toko mereka," kesal wanita yang wajahnya terlihat tak terima."Kulit mereka hanya gelap, Maya," ucap Bagas menyentuh tangan Maya yang entah kenapa suasana hatinya jadi begitu buruk."Apa kau tak membuka matamu, Mas Bagas?" tanya Maya menarik tangannya kasar dari genggaman Bagas yang manik matanya membesar tanpa Maya ketahui, "dan pegawai rendahan itu, beraninya membuat putri kita menangis. Putri kita, Mas." Ulang Maya menyentuh Carmen yang tertidur di pangkuannya dengan mata sembab dan masih basah."Mereka datang lebih dulu daripada kita, May. Lagipula masih banyak mainan yang bisa Carmen beli, bukan?" Ucap Bagas membuat manik mata Maya menajam, begitu tak terima dan menggigit keras bibir bagian dalamnya untuk tak berteriak."Kau tak tahu, sudah berapa lama Carmen menginginkan boneka itu, Mas Bagas. Hampir tiap malam putrimu membicarakannya padaku. Dan kita selalu memberikan yang dia
"Tidak, Sayang. Selama kita mampu kenapa harus menahan diri untuk anak," ucap Bagas membuat Maya yang menatapnya, meneteskan airmata lagi. Air yang lolos begitu mudahnya sesuka hati."Dan Carmen bukan hanya anak maminya saja, bukan? Carmen juga anak papinya," ucap Bagas tersenyum melihat pipi Maya yang sudah berurai air mata kembali basah dengan senyum di bibir."Aku mencintaimu, Mas Bagas," ucap Maya membuat Bagas mengangguk lalu mengecup bibir Maya, wanita yang menahan belakang kepala Bagas dengan tangannya yang bebas."May-""Stt, anak kita sedang tidur, jadi jangan bersuara," ucap Maya yang tangannya merayap turun lalu masuk kedalam celana pria yang resletingnya ia buka.Jemari-jemari tangan Maya begitu ahli mempermainkan naluri Bagas yang sengaja ia sulut. Pria bodoh yang bahkan tak melihat setitik pun keburukan dalam diri Maya karena rasa cintanya memburamkan segalanya."Dan teruslah menciumku, Mas," pinta Maya yang tangannya merasakan